(24)


Jesse tidak berpikir dua kali ketika ia meninggalkan Max untuk menghadapi Davis. Ia sendiri tidak berpikir akan ke sana menggunakan apa, mengingat Max yang membawanya ke sini dengan mobilnya. Dari rumah Jesse, aula pesta pasangan Storm berjarak satu setengah kilo jauhnya. Jesse tidak mungkin berjalan kaki, sementara menyuruh Davis menjemputnya hanya akan memperumit keadaan. Meski Westerly hanya kota kecil, tetapi keadaan saat malam hari yang gelap tidak diperuntukkan bagi turis yang mencari alamat. Davis bisa saja tersesat, atau bisa saja tercebur ke sungai.

Untunglah rumah Jesse di sebelah rumah Max. Untunglah Jesse selalu mengantongi kunci mobilnya. Untunglah sedetik tadi Jesse memutuskan untuk berangkat bersama ayah dan ibunya, lalu meninggalkan mobilnya di rumah. Jadi Jesse harus mengambil mobilnya lebih dulu sebelum menjemput Davis yang sudah berada di area pesta.

Sisi lain kota Westerly begitu gelap ketika Jesse menyusuri jalan. Hanya jalan utama yang menuju ke aula, yang malam ini dibuat begitu meriah untuk menyambut para tamu yang datang dari luar kota. Beverly House juga terlihat begitu mewah dan menawan dengan lampu-lampu benderang mengingat salah satu pemilik mereka sedang merayakan pesta dan hotel terbaik di kota ini pun dibanjiri tamu yang memutuskan untuk menetap sejenak.

Tidak sulit untuk menemukan Davis yang datang terlambat hingga mendapat tempat parkir di bagian paling belakang, paling gelap, dan paling jauh dari aula. Jesse juga sangat mengenal mobil partnernya selama empat tahun ini.

Jesse memastikan penampilannya tidak menunjukkan bahwa ia baru saja ditiduri. Jesse sudah kehilangan sanggul dan riasannya, berharap rambutnya yang tergerai dan riasan seadanya bisa membantu penampilannya. Jesse keluar dari mobil dan saat itulah Jesse tahu Davis menunggunya di balik kemudi, mengamatinya dari kaca mobil.

Davis keluar dari mobilnya dan tersenyum pada Jesse. Jika beberapa seminggu yang lalu Davis melakukan ini, pasti Jesse akan tersenyum lebar, bisa jadi merasakan percikan perasaan pada pria itu. Davis sangat berusaha dengan penampilannya. Ia memakai tuksedo, rambutnya rapi, kacamata itu membuatnya terlihat cerdas. Meski, yah, tidak punya banyak otot seperti Max, atau punya karisma seluar biasa Max, atau pintar memuaskan wanita seperti Max.

Jesse merasa bodoh karena membandingkan setiap pria dengan Max, persis yang dilakukannya saat awal perpisahannya dengan Max, membuat Jesse tidak punya hasrat mendekati menerima tawaran pria manapun. Tidak setelah tujuh tahun dan Davis menawarkan kesepakatan untuk saling menguntungkan.

"Jesslyn..."

Jesse lebih suka Max yang memanggilnya begitu. Ia mengangguk sesopan mungkin pada partnernya itu. "Dave."

"Namaku Davis," koreksi pria itu. "Aku tak tahu harus berapa kali mengingatkanmu. Omong-omong, aku terkesan dengan gaunmu."

Yah, Jesse berharap yang lebih manis dari itu. "Trims. Um... apa yang kau lakukan di sini?"

"Untuk menuruti permintaanmu, apa lagi?"

"Kau bilang, kau tidak akan datang."

"Kubilang, kita akan lihat nanti. Dan sekarang, aku di sini. Meski agak terlambat. Siapa sangka jalanan begitu ramai dan aku menemui dua kecelakaan selama perjalanan ke sini? Jadi... apa aku terlambat? Apa kita tidak bisa masuk atau sesuatu? Tadinya aku ingin masuk, tapi pesta sebesar itu pasti butuh akses dan segalanya. Aku tidak yakin, jadi aku meneleponmu. Kau tidak datang dari dalam sana?"

Jesse mengabaikan pertanyaan terakhir. "Pestanya mungkin hampir selesai. Kau benar, kau terlambat. Ketika kita bisa masuk―karena pintu masuk dipenuhi wartawan, artis, dan penggemar―aku tak tahu apakah kita masih bisa bertemu Cara untuk mengucapkan selamat." Jesse juga tidak yakin akan mengenalkan Davis pada semua orang. Memangnya Jesse harus mengenalkannya sebagai apa? Davis hanya rekan kerjanya. Hubungan mereka belum seintim itu, terlepas dari hubungan seksual yang mereka lakukan. Dan setelah apa yang terjadi padanya dan Max, Jesse tidak bisa menjalin hubungan dengan pria lainnya.

"Apa maksudmu, pestanya mungkin hampir selesai? Kau tidak tahu pestanya sudah selesai atau belum?"

Lagi-lagi Jesse mengelak dari pertanyaan Davis. Jesse tak mau menjawab bahwa ia habis bercinta habis-habisan di tempat lain dan tidak tahu apa yang terjadi di dalam sana. "Sudahkah kau memesan kamar hotel?"

"Belum. Aku langsung ke sini. Aku sibuk mencari tempatnya sampai tidak memikirkan hotel."

"Kau mungkin tidak bisa mendapatkan hotel di sekitar sini. Beverly House dipenuhi tamu-tamu penting. Ada penginapan kecil dan beberapa motel, tapi kudengar tempat itu juga dipenuhi penggemar yang ingin melihat pesta pasangan Storm. Saranku, Stonington."

Davis mengerutkan kening. "Stonington... di mana?"

"Connecticut. Ada beberapa penginapan di sana, meski tak terlalu banyak variasinya seperti di sini. Tapi itu tempat terdekat untuk mendapatkan penginapan di malam seperti sekarang ini. Tidak jauh. Mungkin sekitar sepuluh kilo atau kurang."

"Kau yakin semuanya baik-baik saja? Maksudku, aku di sini untuk menemanimu ke acara itu. Aku tak ingin kau menghadapinya sendirian. Kita bisa pikirkan soal penginapan nanti. Aku bisa tinggal di mana saja. Jika tidak ada kamar tersisa di kota ini, aku bisa kembali ke Manhattan. Dua jam perjalanan bukan apa-apa."

Kenapa pula Davis tidak mengatakan itu seminggu yang lalu? Kenapa baru sekarang Davis peduli? Atau kenapa Davis tidak sepengertian ini sejak bertahun-tahun kedekatan mereka? Jesse pasti akan jatuh cinta dan yakin bisa menoleransi kekurangan-kekurangan lainnya dalam diri Davis. Tetapi kali ini Jesse sangat yakin bahwa ini saatnya mengakhiri hubungan saling menguntungkannya dengan Davis.

"Semuanya... baik-baik saja," jawab Jesse akhirnya. "Tentu saja. Kenapa tidak? Ikuti mobilku. Aku akan mencarikanmu penginapan."

Ketika Jesse hendak berbalik menuju ke mobilnya, Davis tiba-tiba meraih lengannya. "Kau yakin? Aku merasa tidak enak hati karena tidak jadi datang ke acara itu."

"Jangan begitu. Kau bisa menginap dan menikmati hari Minggu di sini. Kau mungkin harus datang Layla Tea House, mereka punya menu sarapan terbaik. Mungkin kau bisa bertemu sahabatku besok saja, saat dia tidak panik menghadapi semua tamu itu."

"Kau yakin itu tidak apa-apa?"

Yah, Jesse meragukan reaksi Cara saat Jesse mengenalkannya pada seorang pria, tapi Jesse tidak punya jawaban lainnya. "Tentu saja. Aku mengenalnya dengan baik. Kami bersahabat seja bayi, ingat?"

Davis mengembuskan napas lega dan sepertinya Jesse berhasil meyakinkannya. "Mungkin sebaiknya kau meninggalkan mobilmu dan kita ke hotel dengan mobilku?"

Lalu bagaimana cara Jesse pulang? Jesse tidak mungkin berjalan kaki melewati perbatasan antar negara bagian dengan sepatu hak tingginya. Apa itu tanda dari Davis yang ingin Jesse tinggal di kamar yang sama? Well, tentu saja Jesse tidak akan menerima opsi itu.

"Bagaimana caraku kembali kalau begitu?"

Davis tersenyum tipis. "Aku bisa mengantarmu besok pagi."

Oh tidak. Mungkin pikiran Jesse benar. Ia mencoba menutupi rasa ngerinya dan tertawa sekilas. "Kau tahu, ayahku punya jam malam. Aku tidak mau pulang pagi setelah pergi semalaman. Tidak ketika aku pulang ke Westerly."

"Usiamu dua puluh enam dan kau masih punya jam malam?"

Sebenarnya Jesse tak yakin. Dulu memang ada jam malam, tapi ia tidak tahu apakah aturan itu masih berlaku. Kemungkinan besar, memang begitu, mengingat ayah Jesse masih saja mengguruinya tepat setelah pukul enam pagi. Kebiasaan lama mungkin sulit dihilangkan. "Percayalah, kau tak ingin bertemu ayahku di pagi hari. Apalagi setelah tak pulang semalaman." Jesse merasa ngeri membayangkan Davis bertemu James. Atau bagaimana respon Janice ketika tahu Jesse membawa seorang pria.

"Baiklah." Davis mendesah kalah. "Tunjukkan jalan ke sana kalau begitu."

Dengan lalu lintas yang tak begitu padat menuju Stonington, mengingat Jesse meninggalkan seluruh keramaian Westerly, Jesse bisa mencapai hotel di pesisir sungai itu dalam waktu lima belas menit. Hotel itu tidak sebesar Beverly House yang mewah dan elegan. Tetapi hotel itu terlihat cukup besar dan terawat. Sangat bagus untuk Stonington yang lebih kecil dan sepi daripada Westerly.

Jesse memarkirkan mobilnya, diikuti Davis yang menghentikan mobil di sebelahnya. Davis keluar membawa koper kecil. Membuat Jesse kembali mengingat sosok Davis yang selalu terorganisir.

"Sepertinya mereka punya banyak kamar," komentar Davis ketika melihat hotel yang terang benderang itu.

"Itu berita bagusnya. Masuk?"

Davis membuka jalan untuk Jesse dan memberi senyuman sopan. Terheran dengan sikap Davis yang begitu manis malam ini, Jesse melangkah lebih dulu dan memesan kamar untuk Davis. Di luar dugaan Jesse, ternyata sebagian besar tempat itu juga dipenuhi penggemar The Five yang ingin melihat pesta besar-besaran pasangan Storm. Untungnya masih ada satu kamar tersisa karena seseorang membatalkan pesanan mereka di jam terakhir. Jesse langsung mengambil kamar itu tanpa pikir panjang.

Hotel itu hanya terdiri dari dua lantai. Davis mendapatkan kamar di lantai dasar yang ternyata sebuah ruangan besar yang punya dua kasur ekstra besar. Ini jenis ruangan untuk keluarga. Ruangan yang seharusnya ditempati empat sampai enam orang.

"Wow! Aku bisa memilih di manapun aku ingin tidur kalau begitu," kata Davis. Ia meletakkan koper ke meja terdekat, lalu menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Ketika Jesse berdiri dan mengamati ruangan itu, Davis menatap Jesse. "Bergabung?"

"Hah?"

Davis tertawa. "Duduklah, Jesslyn. Kita bukannya belum pernah berada di ruangan yang sama."

Jesse tidak menyadari ini sebelum Davis menyinggungnya. Secara tidak sadar, Jesse baru saja membatasi dirinya sendiri. Tapi demi Tuhan, siapa yang tidak begitu? Jesse baru saja tidur dengan seseorang dan Jesse tidak mau beralih ke tempat tidur orang lain.

"Oh... um... kau benar." Jesse mengambil posisi duduk di sofa terdekat. Tiba-tiba merasa canggung berada di dekat Davis. Jesse tidak tahu apa masalahnya. "Ruangan yang besar."

"Aneh sekali kau berkata begitu mengingat kau yang memesan kamar ini."

Jesse mengendik. "Hanya ini yang tersisa."

"Pesta itu pasti sangat meriah. Mungkin kau benar. Kita bisa saja membuang waktu di pintu masuk hanya untuk melihat-lihat. Siapa nama temanmu itu?"

"Siapa? Semua yang ada di sini temanku. Cara itu temanku. Rick juga temanku."

"Yah, terserah. Omong-omong, apakah kau ingin tinggal?"

Entah hanya perasaan Jesse atau apa, kali ini pertanyaan itu tidak terdengar menghakimi seperti mengusirnya atau apa. Ada nada berharap di sana. "Um... aku... sudah bilang soal jam malam itu, kan?"

"Ya. Tapi... kita sudah seminggu tidak bertemu." Davis menegakkan tubuhnya dan menatap Jesse. "Kau tidak rindu atau sesuatu?"

Jesse bahkan tidak bisa memikirkan apapun seminggu ini selain Max. "Eh... mungkin. Bagaimana penelitiannya? Perkembangan apa yang kau temukan?"

"Aku sedang tidak membicarakan penelitian. Aku sudah mengurusnya."

"Bagus sekali!" sahut Jesse. "Kau memang bisa diandalkan."

"Tentu saja. Tapi bukan itu yang ingin kubicarakan."

Jesse waspada. "Lalu... kau ingin bicara apa?"

Davis menatap Jesse lama tanpa mengatakan apapun. Ia membuka mulut beberapa kali, namun mengatupkannya kembali. Karena Jesse tidak tahu harus mengatakan apa lagi, ia pun menunggu Davis. Pria itu akhirnya mengembuskan napas dan bicara, "Aku... merindukanmu."

Wow.

Dia bilang apa tadi?

"Aku―begini, Jesslyn... Selama seminggu ini... aku menyadari sesuatu yang aneh."

"Eh... sungguh?"

"Ya!" sahut Davis. "Maksudku... tidak―bukan aneh. Ini hanya... kau tahu, kesadaran yang mendadak muncul dari dalam benakku, kemudian aku merasa... entahlah... aku tidak bisa menggambarkannya. Jadi... aku memikirkan tentang kita."

Jesse mengerjap beberapa kali, tidak yakin harus berkata apa. "Ada apa dengan kita?"

"Pertanyaan bagus!" sergah Davis. "Itu juga yang kutanyakan selama kau pergi. Seminggu ini, aku merasa―atau aku memikirkan kita menjadi sesuatu yang lebih―"

"Lebih?"

"Ya!" Davis terlihat gugup dan mungkin itu bukan pertanda baik. Davis adalah pria cerdas dan penuh persiapan, ia selalu bisa mengatasi segala hal. "Aku berpikir soal kita... mungkin bisa... menjalin hubungan. Maksudku, hubungan lebih. Kau tahu, kita sudah lama bersama. Kita mungkin terbiasa bersama. Aku tidak melihat wanita lainnya―hanya kau. Jadi... mungkin kita bisa mencoba untuk mengubah arah pertemanan kita menjadi sebuah hubungan antar kekasih. Aku bisa menjalani hidup denganmu."

Jesse mencoba mencernanya. Jika ia bisa, ia mungkin ingin memutar ulang pernyataan tadi. Atau jika ia bisa memutar ulang, ia mungkin tidak ingin memencet tombol putar balik. Jesse ingin melupakan semua kalimat itu hingga ia tak harus menjawabnya.

Tapi nyatanya, Davis menanti jawabannya. "Bagaimana menurutmu?

"Davis..." Jesse mencoba perlahan. "Apa kau... sudah memikirkan ini?"

"Tentu saja!" balas Davis mantap. "Aku selalu berpikir panjang. Aku tahu apa yang kupertaruhkan. Aku tahu risiko yang harus kutanggung. Aku juga tahu ke mana akan membawa hubungan ini. Aku tidak pernah main-main. Aku sudah punya rencana untuk hubungan kita kalau kau ingin tahu. Entah kenapa aku baru memikirkannya sekarang―bahwa kita bisa begitu hebat jika bersama."

Harusnya Jesse menyukai pria semacam ini. Pria yang berpikiran rasional, cerdas, dan teratur. Tetapi Jesse tidak sekalipun memikirkan masa depannya dengan Davis. Setidaknya, tidak selama seminggu ini ketika Max memenuhi pikirannya.

Rumah kita.

Kebun kita.

Bisnis kita.

"Aku..." Jesse berusaha sepelan mungkin hingga tak perlu menyakiti perasaan Davis. "Maafkan aku, Dave. Mungkin aku tidak akan pernah berada di dalam rencanamu itu. Aku tidak akan menjadi masa depanmu."

"Pertama-tama, namaku Davis. Aku mulai berpikir kau menderita alzhaimer atau semacamnya."

"Well, aku tidak pikun atau apapun."

"Kedua, kenapa kau berkata begitu? Kau tidak tahu seperti apa masa depan. Melihat apa yang terjadi dengan kita selama ini, aku sangat yakin akau akan berakhir denganmu."

"Kenapa kau sangat yakin? Kau bilang kita tidak tahu seperti apa masa depan."

"Aku memperkirakan berdasarkan hal-hal yang sudah ada. Itu berdasar."

"Yah, pemikiranku juga berdasar. Aku yang memutuskan ingin bersama siapa. Dan itu bukan bersamamu."

Davis mengerjap dan menatap terkejut pada Jesse. Dalam sedetik, Jesse merasa berdosa karena sudah menyakiti Davis karena kata-katanya terlalu kasar. "Hah? Apa?"

Jesse mendesah dan mengubah nada bicaranya selembut mungkin. Ia tidak mau bertengkar dengan Davis. Mereka masih satu partner dan mereka masih harus bekerjasama di departemen. "Aku mencintai orang lain. Sejak sekian lama."

Davis terdiam sesaat. "Ini... serius?"

"Ya." Jesse menghela napas. "Maafkan aku, Dave. Tapi aku tidak bisa menjalin hubungan yang lebih jauh denganmu atau bahkan melanjutkan apa yang sudah terjadi. Aku sudah memutuskan untuk mencintai orang ini. Seharusnya kita berhenti. Sejak awal kita memang hanya ingin melepas keperawanan, kan? Mungkin kau harus mulai melanjutkan hidupmu dan mencari seseorang yang baik untukmu."

"Siapa orang itu?"

Apakah Jesse harus menjawab pertanyaan itu? Davis hampir tidak mengingat nama Cara dan Vivian, meski Jesse sering menceritakan sahabat-sahabatnya pada Davis. "Kau pernah menonton NFL?" Apa pertanyaan itu akan membuatnya terdengar sombong?

"Tidak. Kenapa? Memangnya si pria ini ada hubungannya dengan NFL?"

Jesse mengangguk. "Dia... Maxime Beverly."

Davis mengernyit. "Siapa itu? Komentator NFL?"

Jesse perlu mengerjap beberapa kali untuk menelaah apakah Davis bercanda. "Dia gelandang New England. Dan kalau kau menyadari, nama belakangnya sama dengan Cara―well, sebelum berubah menjadi Cara Storm."

"Wow," gumam Davis. Ia mengangguk dan terpana menatap Jesse. "Itu... wow. Pacarmu adalah pemain futbol?"

Jesse tak yakin apakah Max adalah pacarnya. Tetapi setalah banyak percintaan itu, Jesse yakin hubungan mereka berarti sesuatu. Ia hanya mengangguk pada Davis. "Berjanjilah kita akan tetap berteman."

"Kau bercanda? Tentu saja kita masih berteman. Aku orang yang cukup profesional untuk membedakan urusan pribadi dan pekerjaan."

Jesse yakin begitu. Mengingat Davis tetap memperlakukannya sebagai rekan kerja meski mereka punya hubungan ranjang untuk sesaat, Davis pasti bisa memegang kata-katanya. Jesse tidak perlu khawatir bahwa perpisahan ini membuatnya kehilangan seorang teman―yang mana sangat jarang Jesse miliki. Jadi Jesse maju dengan penuh keyakinan, untuk memeluk Davis sebagai salam perpisahan. 


Hmm... mungkin lain kali akan ada vote challenge lagi wkwk.

Semoga suka part ini. Semoga nggak ada yang kesel lagi xoxo.

Kalau masih kesel, silakan komentar, siapa tau nambah part :D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top