(23)

You're so rock, guys! Ga mau main-main lagi deh (mungkin kapan-kapan) wkwk. Anyway, thank you yang sudah vote demi bisa menagih padaku. Haha..

Sedikit lagi, pikir Max ketika Jesse menjadi begitu ketat saat menerimanya. Max memundurkan pinggulnya dan mendesak lagi.

Oh Tuhan, wanita ini begitu nikmat.

Max tak mengira dirinya bisa bertahan selama ini. Nyatanya ketika melihat Jesse, Max tidak hanya ingin menyentuhnya. Ia ingin mencium Jesse, ingin memiliki Jesse, tak ingin berjarak dengannya. Menyatu dengan Jesse seperti ini adalah yang Max inginkan.

Max menyalurkan gairahnya, rasa frustasinya setelah menahan diri begitu lama, dan berusaha menunjukkan cintanya untuk Jesse. Semua ini di luar imajinasinya. Jesse begitu manis dan responsif saat Max sentuh. Kulit pucat Jesse begitu lembut di tangannya. Max butuh menyentuh setiap incinya. Ini tak akan cukup untuk Max.

"Max... Max... Jangan berhenti," desah Jesse dengan begitu manis.

Max melesak lagi. Mendengus ketika kenikmatan itu menjalari gairahnya. "Berhenti? Tidak mungkin." Max bahkan tak berniat berhenti setelah seks cepat mereka di belakang gedung. Max tidak peduli dengan hal-hal lainnya, ia hanya ingin menyentuh Jesse sepenuhnya. Jadi Max menggendong Jesse ke mobilnya dan membawa wanita itu ke kamarnya. Syukurlah semua orang sepertinya teralihkan dengan adanya pesta pasangan Storm yang penuh selebritis. Kediaman keluarga Beverly sepi dan Max tidak berpikir dua kali untuk membawa Jesse ke kamarnya.

"Oh Tuhan! Max!" Jesse gemetar di bawahnya. Max mempercepat ritme percintaannya ketika Jesse terasa begitu hangat setelah pelepasannya. Berusaha mengejar Jesse hingga mencapai titik yang sama.

Ketika Max tiba di puncaknya, ia pun menyurukkan kepalanya ke leher Jesse. Menikmati saat kenikmatan itu meledak berkeping-keping. Menggeramkan nama Jesse seraya mengosongkan dirinya. Ia pun ambruk menindih Jesse sebelum beringsut ke samping tubuh wanita itu.

Ya Tuhan, ini sangat-sangat nikmat. Max tidak yakin ia akan bosan mengalami kenikmatan ini. Sudah berapa lama Max menginginkan ini? Ia telah memimpikan Jesse berada di ranjangnya sejak ia remaja. Max tidak mengira Jesse akhirnya begitu nyata di pelukannya, memberikan kenikmatan untuknya.

"Wow." Jesse akhirnya berkata lebih dulu. Napasnya masih terengah-engah. Wajahnya mengilap karena keringat. Rambutnya yang tadinya tersanggul rumit kini sudah acak-acakan. Bibir Jesse bengkak dan terbuka akibat ulah Max. Tetapi wanita itu begitu cantik saat ini. "Itu fantastis."

Max mendapatkan 4 skor untuk pelepasan Jesse yang manis. Jesse mendapat 2 skor dari Max. Dalam satu malam. Itu pasti lebih daripada fantastis. "Apa kau butuh jasa pria penghibur? Kalau ya, aku ingin mendaftar."

Jesse merona dan menyembunyikan dirinya di bawah lengan Max. Jemari kecilnya membelai dada Max dengan begitu menggoda. Kalau saja Max punya sesuatu untuk membangkitkan gairahnya, pasti Max akan menidurinya lagi. Tapi setelah banyak percintaan yang mereka lakukan dalam beberapa jam terakhir, Max butuh waktu untuk memulihkan tenaganya. "Sudah berapa banyak wanita yang kaupuaskan?"

Max terdiam selama beberapa saat. Ia tidak yakin akan jujur pada Jesse. Padahal ia hampir selalu jujur dalam segala hal di hadapan Jesse. Yang sebenarnya, Max juga tidak tahu jawaban jujur dari pertanyaan itu. Max tidak pernah mengingat dengan siapa ia tidur. Ia punya kebutuhan dan wanita yang tidur dengannya hanya sebatas pemuas nafsu yang ia bayar. Berbagi keadaan intim seperti ini setelah bercinta, hanya Max lakukan bersama Jesse. Yang sejujurnya, Max tidak pernah membawa siapapun ke ranjang manapun. Hanya Jesse. Max tidak perlu repot-repot ke ranjang hanya untuk kebetuhan fisiknya.

"Itu... pertanyaan jebakan," kata Max akhirnya.

"Terlalu banyak untuk dihitung?"

"Aku tidak bisa menghitung yang tidak nyata. Jika aku harus menghitung yang nyata, jawabannya satu."

"Siapa?"

"Kau," jawab Max mantap. "Siapa lagi?"

Jesse tersipu hingga menyusupkan wajahnya lebih dalam dan Max tidak bisa melihat wajahnya. Tapi Max menyunggingkan senyum penuh kemenangan ketika berhasil mendapatkan rona wajah Jesse. Ia membelai rambut Jesse bergelombang Jesse yang begitu lembut. Mengangkat wajah Jesse dan memberinya ciuman dalam.

Jesse melepaskan ciuman dan menatap Max. "Kau tidak harus merayuku setiap saat. Jika kau melihat wanita yang lebih cantik, kau bisa mengakuinya, kau tahu."

"Benarkah?"

Jesse mengangguk.

"Wah, aku melihat wanita cantik."

"Hah?"

"Benar! Sangat cantik. Di depan mataku."

Jesse tertawa hingga Max ikut tertawa. Max tidak bisa membayangkan yang lebih sempurna dari ini, Jesse yang memeluknya, telanjang, berada di ranjangnya. Sekarang saja aroma Jesse memenuhi ruangan. Max tidak mengerti mengapa mereka harus mengakhiri hubungan ketika momen semacam ini begitu sempurna. Kalau saja mereka masih bersama, pasti Jesse sudah menjadi istrinya, mereka akan punya anak yang akan menjadi sepupu anak Cara dan Rick. Sebelas tahun pasti berarti sesuatu untuk keduanya.

"Jesse?"

"Hm?"

"Kenapa kau memutuskanku malam itu?"

Max bisa merasakan tubuh Jesse yang menegang, tapi Max tidak membiarkan Jesse melepaskan pelukannya. Bahkan Max memeluk makin kuat. Ia mengangkat wajah Jesse supaya bisa melihat mata wanita itu tanpa kacamata yang menutupi. Kelabu, sejak dulu Max tahu itulah warna mata Jesse. Sekarang Jesse tak akan melarikan diri darinya lagi.

"Aku ingin meminta maaf karena malam itu bersikap kasar," kata Max lagi ketika Jesse tidak menjawab. "Ternyata kau sudah pergi. Aku berusaha menghubungimu tapi kau tak pernah membalasku. Ketika aku menanyakan alamatmu yang baru di Manhattan pada ayahmu, dia tidak mau memberitahuku."

"Maafkan aku," cicit Jesse.

"Aku berusaha melupakannya. Setiap hari selama sebelas tahun. Aku melakukan seperti yang kau sarankan. Aku mencari gadis lain. Tapi semakin aku mencoba semakin aku tahu aku hanya memaksakan diri untuk menuruti keinginanmu. Tapi itu bukan keinginanku. Aku tidak pernah ingin bersama mereka. Dan itu membuatku semakin buruk karena semakin banyak hati yang kusakiti. Aku juga menyakiti diriku sendiri karena memaksakan diri bersama mereka. Harusnya kau tahu bahwa yang kuinginkan hanya bersamamu."

Jesse mengerjapkan matanya ketika menatap Max. Yang tidak Max duga adalah mata Jesse yang berkaca-kaca. Tetapi ketika Jesse berusaha mengalihkan pandangan, Max tidak mengijinkan. "Maafkan aku, Max."

"Kau mengatakan itu berulang kali. Aku tak tahu kenapa kau harus meminta maaf. Kau bilang kau tidak pernah meminta maaf, tapi yang kuingat setiap hari adalah permintaan maafmu. Aku selalu berpikir bahwa semua ini salahku. Kau... selalu menolakku."

"Ini bukan salahmu." Jesse berkata pelan. Ia mengusap sudut matanya. "Mungkin aku tidak benar-benar meminta maaf. Aku mungkin meminta maaf karena sibuk, tapi aku masih akan sibuk setelahnya dan setelahnya lagi. Kau hanya... begitu baik."

"Begitu baik? Itu menurutmu? Dan apakah kali ini permintaan maafmu sungguhan?"

"Ya."

"Jadi jika aku memaafkanmu, kita bisa mulai dari awal lagi? Hubungan kita?"

Jesse menggigit bibir. "Mungkin."

Max tersenyum dan kembali mencium Jesse. Ia rela melupakan apa saja yang ada di masa lalu asal ia bisa bahagia bersama Jesse, wanita yang ia cintai sejak dulu, wanita yang Max inginkan untuk hidup bersamanya.

Max kembali mengambil posisi di atas Jesse dan siap menggoda wanita itu untuk meminta lebih, namun suara ponsel begitu keras terdengar di antara mereka.

"Itu ponselku," bisik Jesse.

"Persetan." Max menurunkan wajah dan melumat bibir Jesse. Tangan Max tidak tinggal diam untuk meremas dada telanjang Jesse hingga desahan wanita terdengar begitu menggoda di telinganya. Max baru akan menggoda leher Jesse, ketika ponsel sialan yang tadinya sudah senyap itu berbunyi lagi. "Keparat!"

"Mungkin itu sesuatu yang penting." Jesse bangkit dan beringsut dari bawah Max. Ia meraih tasnya di bawah ranjang dan mengeluarkan ponselnya. "Halo? Hai!"

Max merebahkan diri ke ranjang. Menatap langit-langit sementara gairahnya mulai menegang. Max berharap bisa mendapatkan percintaan lainnya sebelum orang-orang pulang. Teringat akan pengaman yang baru saja digunakannya, Max meraih tisu dan melepas pengaman itu, namun Max mematung ketika melihat ada yang salah dengan pengamannya.

Robek.

Brengsek.

Pengaman itu robek. Max baru saja melakukan seks tanpa perlindungan dengan Jesse.

"Apa?! Apa yang―tunggu, kau di sini? Westerly? Di mana?" Jesse beranjak dari ranjang dan mulai mencari-cari hingga tak memperhatikan apa yang terjadi pada Max. "Ya! Tempat itu! Maksudku, aku tidak yakin acaranya masih berlangsung." Jesse melirik Max hingga Max cepat-cepat mengurus pengaman itu dan menutupnya dengan tisu. "Eh... Davis, bisa kita bicara nanti? Aku akan menghubungimu. Tentu. Sempurna!"

Max membersihkan tenggorokannya, berusaha menghilangkan kepanikannya. Tanpa usaha berarti, sepertinya perhatian Jesse sudah sepenuhnya teralihkan. "Ada apa?"

Jesse memasukkan ponselnya ke tas dan memakai celana dalamnya. "Aku harus pergi."

"Pergi? Ke mana?"

Jesse mengenakan branya setelah mencari-cari ke bawah ranjang. "Kembali ke pesta Cara."

Tidak cukupkah Max dikejutkan dengan satu hal? "Apa? Kenapa?"

Jesse membelakangi Max untuk mengambil gaun di dekat pintu. "Dia di sini," katanya sambil mengenakan gaun.

"Siapa?"

"Aku butuh sisir!"

"Siapa yang di sini?" tuntut Max.

Jesse mengurai sanggulnya yang berantakan dan membiarkan rambutnya tergerai, kemudian menyisir cepat dengan jarinya. Ia terlihat terburu-buru dan kepayahan untuk memperbaiki penampilannya.

"Jesslyn?!" desak Max.

"Davis, oke?!" Jesse mengembuskan napas dan kembali membuang pandangan pada Max. "Dia pasangan kencanku malam ini dan dia di sini. Aku harus pergi menemuinya." Ia mencari sepatunya dan mengenakannya dengan cepat.

Max meraih bokser dan mengenakannya secepat ia bisa untuk menyusul Jesse. "Siapa itu Davis?"

"Aku sudah mengatakannya padamu."

"Kau pasanganku malam ini! Kau tidak perlu pergi kemanapun!"

"Aku tidak membual soal pria lain yang berhubungan denganku selama empat tahun!"

Max terdiam ketika merasakan hatinya hancur berkeping-keping. Ia pikir itu hanya cerita karangan Jesse untuk menghindarinya. Gengsi Jesse di hadapannya. Max tidak tahu bahwa pria itu nyata. Tidak seorang pun mengingatkannya soal ini. Tidak pula Cara yang sudah serumah dengan Jesse selama dua tahun. "Jadi kau akan meninggalkanku untuk dia?"

"Maaf, Max. Tapi aku harus benar-benar pergi. Davis tidak kenal siapapun di sini, aku harus menemuinya. Lagipula aku yang memintanya ke sini."

Jesse yang memintanya ke sini. Berarti sejak awal memang Jesse tidak menginginkan hubungan ini. Ia punya orang lain dalam hidupnya. Max merasa dirinya dilempar ke malam yang sama saat Jesse memutuskan hubungan dengannya. Sekarang ini Max begitu ingin melampiaskan emosinya dengan meninju sesuatu. "Aku tidak mengerti. Kupikir... beberapa hari ini..." Ada yang berubah di antara kita.

"Kita bisa bicara nanti," sela Jesse. "Saat ini, aku benar-benar harus pergi."

"Kau tidak bisa terus meninggalkanku!" hardik Max. "Satu kali kau pergi, kau tak pernah kembali. Sekarang kau pergi untuk pria lain dan kau pikir kau bisa melakukan ini padaku?"

Jesse mengerjap dan mundur menjauhi Max. Dalam sedetik, Max merasa ingin menarik kata-katanya dan memberi Jesse waktu supaya kembali padanya. Tapi sebelas tahun bukan waktu yang singkat bagi Max untuk menunggu wanita itu. Berapa lama lagi wanita itu akan melarikan diri darinya?

"Jika kau pergi sekarang untuk pria itu, aku jamin kau akan menyesalinya. Aku bisa lebih mencintaimu, lebih dari yang kaukira. Dan sekali kau pergi menjauh, kau mungkin tidak bisa melihatku memohon seperti ini lagi."

Max pikir Jesse memang telah kembali padanya. Setelah semua percintaan itu, pasti salah satunya berarti sesuatu untuk Jesse. Tapi ternyata Jesse tetap mundur dan mengambil langkah menjauh darinya. "Jangan memohon padaku, Max. Aku tidak bisa memberikannya padamu. Aku sungguh-sungguh minta maaf. Aku menyesal―"

"Silakan keluar kalau begitu," potong Max lebih cepat. Max bisa mendengar hatinya yang hancur, tapi ia berusaha sebisa mungkin bicara dengan tenang. Ia tidak mau berakhir seperti bertahun-tahun yang lalu, berkubang penyesalan. "Kau tahu jalannya."

Max begitu berharap Jesse mengubah pikirannya―harapan yang sama seperti sebelas tahun lalu. Tapi Max berharap terlalu banyak. Jesse mengenal rumahnya dengan baik, tidak mungkin tersesat atau apapun. Ketika Jesse keluar, Max tidak mendapati Jesse mengambil langkah berbalik.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top