(22)


Max menatap jendela kamar Jesse di seberang. Tidak ada tanda-tanda bahwa ada orang di sana. Tidak ada bayangan Jesse atau apapun. Tidak ada cahaya. Tidak ada pula pesan yang masuk ke ponselnya. Apa Jesse pergi? Ke mana? Jesse tidak membalas pesannya selama tiga hari, sebelumnya Jesse bahkan hanya membalas singkat beberapa pesan. Tapi sudah lebih dari seminggu Max dan Jesse tidak lagi saling membuka jendela kamar saat malam hari.

Saat pagi hari, Max tidak bisa menemukan Jesse di rumahnya. James bilang Jesslyn sudah berangkat. Ketika Max datang lebih pagi hari ini supaya bisa berangkat bersama Jesse, James bilang Jesse juga sudah berangkat. Demi Tuhan, mana mungkin Jesse berangkat sebelum pukul setengah tujuh? Kenyataannya Max tidak bisa menemukan Jesse di manapun di sekolah.

Suara ketukan di pintu membuat Max teralihkan dari perhatiannya ke ponsel dan ke jendela. Adik perempuannya membuka pintu sebelum Max mengijinkannya.

"Mom dan Dad memanggilmu, Max. Kau tidak dengar? Waktunya makan malam."

Max mengabaikan adiknya. "Aku tidak lapar."

"Aku tidak mau membawakan makanan untukmu ke kamar. Memangnya kau ini siapa? Kau tidak memberiku uang saku untuk melakukan itu."

"Jangan lakukan kalau begitu," gerutu Max. Adiknya sama sekali tidak membantu. Cara tidak mengerti apa yang Max rasakan. Pacar Cara, Rick selalu ada kapanpun dan di manapun. Berbeda dengan Jesse yang begitu sulit ditemui.

"Silakan jadi penjaga jendela kalau begitu. Jesse pergi."

Hal itu menarik perhatian Max. "Kau tahu dia di mana? Dia bilang padamu dia sedang apa?" sergah Max cepat-cepat.

Cara mengerjap. "Eh... tidak."

"Brengsek."

"Akan kuadukan karena kau mengumpat padaku."

"Yah, umurku hampir delapan belas. Aku bisa mengumpat sebisaku. Brengsek. Brengsek."

"Aku tidak brengsek!" seru Cara. "Lagipula aku bukan pacar Jesse! Aku tidak tahu di mana Jesse!"

Kalimat itu membuat Max tersinggung. "Lalu kenapa kau bilang dia pergi?!" tuntut Max.

"Karena dia tidak datang ke kelas manapun hari ini!"

"Kenapa kalian bicara berteriak seperti itu?!" seru Gerald dari arah ruang makan. "Ayo cepat kita makan malam! Aku sudah lapar!"

"Pergilah," kata Max kemudian. "Aku tidak ikut. Sisakan sedikit untukku. Akan kupanaskan sendiri."

Cara mendengus dan kembali menutup pintu kamar Max, namun sebelum pintu sepenuhnya tertutup, Cara melongo lagi ke kamar Max. "Maaf aku membentakmu. Aku benar-benar tidak tahu di mana Jesse."

"Maaf karena menyebutmu brengsek, Sis. Aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya ingin bilang brengsek. Bukan berarti aku menyebutmu begitu."

Cara mengangguk pelan. "Kau tahu, aku ingin sekali membantumu. Tapi aku tidak tahu apa yang terjadi pada Jesse. Dia sangat aneh akhir-akhir ini. Dia terlihat... sangat sibuk."

Itulah yang selama ini Max yakini, Jesse pasti sibuk belajar untuk olimpiadenya. "Aku yakin begitu." Max tahu betul bagaimana rasanya mempersiapkan diri sebelum menghadapi lawan dan memenangkan pertandingan. Jesse pasti melakukan hal yang sama.

Cara akhirnya berlalu dari kamarnya, meninggalkan Max yang masih menekuri ponsel dan jendela. Max tidak tahu apakah hubungannya dengan Jesse ini jenis yang normal. Teman-temannya bisa bercumbu di lorong sekolah meski mereka tidak sepenuhnya punya hubungan. Cara dan Rick selalu bersama kapanpun dan dimanapun. Tapi Max dan Jesse hanya bertemu seperlunya saja. Jesse selalu menolak bergabung dengan teman-teman Max, tidak mau terlalu mengumbar kemesraan, bahkan tidak pernah sekalipun berkencan saat malam―well, masalah kencan ini bukan masalah berarti bagi Max, mengingat betapa kerasnya ayah Jesse. Tapi tetap saja, membuat Max bertanya-tanya apakah ada dari sikapnya yang selama ini kurang benar pada Jesse.

"Maxime?" ibu Max, Miranda, membuka pintu tanpa mengetuk lebih dulu. Biasanya Max akan menggerutu ketika ibunya melakukan kebiasaan itu, mengingat Max hampir delapan belas dan ibunya belum bisa menerima batas privasi yang diberikan Max. Tetapi untuk saat ini, Max tidak punya tenaga untuk menggerutu ketika seluruhnya terkuras untuk menunggu Jesse. "Kau tidak makan?"

"Aku menunggu Jesse." Max melirik ponselnya lagi. Masih mati. Apakah Max memang baru mengeceknya semenit yang lalu? Rasanya begitu lama, ia begitu merindukan Jesse. "Lagipula aku belum lapar. Aku akan makan nanti. Aku bisa mengerjakan PR dulu sambil menunggu, setelah selesai aku akan makan malam. Sisakan untukku, ya?"

"Well, Jesse ada di depan. Dia mencarimu."

Max beranjak dari tempatnya dan melewati ibunya tanpa berpikir dua kali. Max yakin ia berlari ke luar secepat saat ia membawa bola untuk mendapatkan skor. Di sanalah Jesse yang ia rindukan selama berhari-hari. Gadis itu menunggu di beranda rumah Max, mengenakan sweter kebesaran, tas punggung yang masih melekat, dan rambut pirang yang terkepang ke belakang. Ibu Jesse, Janice, keluar dari mobil yang ia parkir di jalan masuk rumah keluarga McGraw. Wanita itu melambai saat melihat Max, membuat Jesse menyadari kehadiran Max di belakangnya.

"Halo, Max!" sapa Janice pada Max yang dibalas lambaian tangan singkat dari Max. "Jangan terlalu lama, Jesse. Ayahmu menunggu."

Jesse mengangguk dan memperhatikan ibunya yang masuk ke rumah. Ia hanya diam selama beberapa saat. Tidak menyapa Max atau apapun. Ketika Max mengambil tempat di samping Jesse, gadis itu pun juga masih belum bicara.

Jadi Max yang memulai. "Hei."

"Hai, Max. Kau tadi sedang apa?"

Menunggumu. Sepanjang hari. "Mengerjakan PR." Itu suatu kebohongan. Max sudah berhari-hari tidak punya semangat mengerjakan PR.

"Wah! Itu bagus. Apa aku mengganggu?"

"Tidak," balas Max begitu cepat. "Maksudku, aku sudah selesai. PR mudah. Um... bahasa Inggris. Puisi. Semacam itu."

Jesse mengangguk. "Jadi... Max, aku ingin bicara denganmu."

"Aku juga," balas Max dengan antusias. Tidak biasanya Jesse menghampirinya. Ini pasti suatu kemajuan untuk hubungan mereka. "Kudengar kau tidak masuk sekolah. Kau tidak sakit 'kan? Maksudku, kau terlihat cantik. Sangat cantik. Sama sekali tidak terlihat sakit."

Ternyata Jesse tidak terkesan. Kendati Jesse yang kali ini menghampirinya, tetapi Max merasakan perbedaan dalam diri Jesse. Gadis itu begitu diam. Bukan berarti biasanya Jesse mendominasi percakapan, tapi Jesse terkesan tidak mau menatapnya. Ya, memang itulah yang dilakukannya.

"Aku tidak sakit."

"Syukurlah," jawab Max. "Itu bagus. Aku khawatir kau sakit. Apa kau pergi seharian dengan ibumu?"

"Ya."

"Wow. Seingatku, kau jarang membolos. Pasti kau pergi bersama ibumu untuk acara penting, ya?"

"Ya."

Max mengangguk dan terdiam. Bingung harus berkata apa. Meskipun Max sangat ingin mengatakan bahwa ia merindukan Jesse. Ia ingin memeluk Jesse dan memberi kecupan―mungkin? Tapi jelas bukan hal seperti itu yang biasa Max dan Jesse lakukan selama berhubungan. Max akan terdengar sangat protektif dan itu sama sekali tidak adil bagi Jesse yang tak pernah mengekang Max.

"Maxime..." Suara Jesse mendadak lirih. "Kurasa... aku ingin... putus saja."

Jika momen canggung semenit yang lalu tidak bisa menghentikan jantungnya yang terus berdegup cepat, kalimat Jesse seketika menghentikan denyutnya. "A-apa? K-kenapa?"

"Aku... entahlah. Aku tidak bisa menjalani hubungan ini."

"Kenapa?!" tuntut Max hingga ia menyesali nada suaranya yang membuat Jesse berjengit.

"Kupikir... kau harus mencari seseorang yang lebih baik dariku."

Max terkekeh tanpa humor. Merasa geli sekaligus kosong mendengar alasan Jesse mengakhiri hubungan. Demi Tuhan, apa yang salah? "Aku tidak mengerti, Jesse. Aku menunggumu membuka jendelamu, aku menunggu pesan masuk darimu, dan kau tiba-tiba ada di sini hanya untuk memutuskan hubungan denganku?"

Jesse membalas dengan yakin. "Ya."

"Apa yang salah? Apa masalahnya? Kita bisa membicarakan ini lebih dulu. Itu maksud dari sebuah hubungan. Aku tidak mengerti." Max menggeleng untuk mencerna segalanya, tapi tetap saja ini terkesan tidak nyata. Ia sangat mencintai Jesse. "Aku tidak mengerti," ulang Max. "Beritahu aku."

"Aku hanya..." Jesse tersekat. Ia menunduk dan menggigit bibirnya. Jika Jesse menangis, berarti Jesse tidak menginginkan ini. Nyatanya, ketika gadis itu mengangkat kepalanya, tidak ada sedikitpun air mata di balik kacamatanya, meski binarnya terlihat sedih. "Aku tidak bisa berhubungan lagi denganmu. Aku harus pergi."

"Apa maksudmu dengan pergi?"

"Aku mendapatkan beasiswa kelompok sains di New York. Tetapi aku harus pindah ke SMA yang lebih baik daripada yang di sini. Aku harus ke Manhattan. Aku baru saja mengurus surat pindah sekolah, menyewa tempat tinggal, dan segalanya."

"Kau tidak pernah cerita soal ini padaku. Tiba-tiba saja kau sudah mengurus segalanya dan aku yang terakhir tahu? Dan serius? Manhattan?" Itu puluhan mil jauhnya dari sini. Dua jam perjalanan. Tapi itu bukan apa-apa. Bukan jenis alasan untuk memutuskan hubungan. Max bisa menyetir sampai Manhattan jika ingin. Ia punya SIM, mobil, dan uang untuk bensin. "Bagaimana dengan olimpiademu?"

"Aku meninggalkannya." Jesse mengangkat bahu. "Aku ikut olimpiade itu supaya bisa masuk ke fakultas sains, tetapi berada di kelompok itu membuatku mendapatkan jalan instan ke fakultas sains. Itulah yang kuinginkan."

"Itu yang kauinginkan?" Max mengangguk. Meski masih tidak mengerti apa yang terjadi. "Tapi bukan ini yang kuinginkan. Aku tidak mau kita putus. Jika kau harus mengejar impianmu ke Manhattan, aku akan mendukungmu. Kita tetap masih bisa berhubungan, itu bukan alasan untuk mengakhiri hubungan."

"Kita akan terpisah begitu jauh," cicit Jesse.

"Dan aku peduli? Jarak itu hanya jarak. Hubungan kita hanya kita yang merasakan. Kita masih bisa saling berhubungan lewat SMS, email, atau aku akan meneleponmu. Kau pasti pulang saat akhir pekan. Aku yakin itu cukup untuk menebus jarak keparat itu."

Sepertinya Jesse tidak terkejut dengan umpatan Max. "Well, aku mungkin akan sangat sibuk. Aku akan ada di kelompok yang penuh dengan karya ilmiah remaja. Akhir pekan bukan waktu yang tepat untuk pulang."

"Baik. Aku yang akan menemuimu di sana. Aku akan menyetir ke sana―"

"Sudah kubilang, aku akan sibuk," potong Jesse.

Max seketika bungkam. Menghela napas dan tak bisa menatap Jesse yang terus menghindar darinya. Ia tidak menginginkan perpisahan ini, tapi Jesse sepertinya bersikeras. "Kenapa kau tidak mau berusaha untukku?―tunggu, aku benar-benar tak mengerti. Astaga! Bisakah kau―" Max menghela napas, berusaha memadamkan hasratnya untuk meninju sesuatu. "Aku tidak mengerti."

"Max, pikirkan ini. Sebentar lagi kau akan kuliah. Kau akan ke Boston seperti yang selalu kau impikan. Kita akan terpisah sejauh itu. Empat jam perjalanan. Kau akan punya kehidupan pemain futbol yang keren. Kau bisa mencari gadis manapun. Kau bisa mendapatkan yang lebih baik dariku―"

"Tapi mereka bukan kau!" bentak Max ketika tak sanggup lagi menahan emosinya hingga dadanya naik turun. Kali ini Jesse begitu terkejut hingga mundur menjauhi Max. Mulut Jesse membentuk garis tipis, jelas-jelas menahan ucapannya dari Max. "Sialan. Beritahu saja kalau kau memang ingin putus dariku."

Jesse tidak menjawab selama beberapa waktu lamanya. Max berharap ada penyesalan dari Jesse karena memutuskan hubungan ini; tapi Jesse mengangkat wajah, dagunya tegak, dan suaranya mantap. "Ya. Aku sudah mengatakan segalanya. Aku tidak punya waktu untuk hubungan ini."

Max tidak mengatakan apapun lagi. Ia hanya bangkit dan membanting pintu depan keras-keras. Ada suara protesan dari ruang makan, tapi Max menjawabnya dengan bantingan pintu yang lebih keras ketika menutup pintu kamarnya. Max menutup jendela hingga kacanya bergetar. Menutup tirai rapat-rapat. Menendang kursi hingga menghantam dinding.

Max tidak ingat apakah ia menangis atau mengamuk sampai kelelahan. Ketika ia menyadari bahwa ia baru saja bersikap kasar dan brengsek pada semua orang―terutama Jesse―ternyata hari telah berganti. Hal pertama yang dilakukan Max keesokan paginya adalah pergi ke rumah Jesse untuk minta maaf. Tetapi gadis itu sudah pergi ke Manhattan tanpa salam perpisahan apapun. Jesse bahkan tidak bilang bahwa ia pergi hari itu juga. Setelahnya, Jesse tak pernah kembali ke Westerly untuk waktu yang sangat lama.


Hmm... mungkin kalo dikasih 200 vote dalam sehari bisa nambah kali :'D

Semoga suka, ya. Kujuga sedih buat Maxime.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top