(21)
"Bagaimana penampilanku?" tanya Cara untuk ke seratus kalinya.
"Kau sempurna!" Tidak diragukan lagi. Cara begitu cantik dengan gaun putih yang melekat di tubuhnya. Perutnya menggembung dan sama sekali tidak bisa ditutupi, tapi itulah yang membuatnya semakin cantik. Aura Cara berubah total sejak ia hamil. Sepertinya ia jadi cantik setiap saat. Dengan gaun dan riasan mahal yang dibayar Rick untuk pesta pernikahan mereka kali ini, Cara memang sempurna.
"Tunggu! Ada yang kurang," gerutu Vivian.
"Apa? Apa? Apa yang kurang?" sahut Cara panik. "Aku tidak mau ada yang kurang. Aku bisa mempermalukan diri. Ada banyak wartawan, selebritis, dan tamu penting di luar. Aku tidak mau masuk kolom gosip."
"Ya. Apa yang kurang?" tuntut Jesse. Persiapan pesta ini tidak bisa lebih lama lagi dengan Vivian yang terus memprovokasi, sementara Cara―yang sedang hamil―mudah panik.
"Tarik napas, Cara," kata Vivian. "Lalu buang. Kau harus tenang. Itu yang kurang."
Mau tidak mau Jesse setuju. Cara tidak perlu mengkhawatirkan banyak hal di usia kehamilannya yang sekarang. "Benar. Semuanya akan baik-baik saja."
"Rasanya aku seperti menikah lagi," kata Cara. "Aku tidak bisa tenang."
"Memang," balas Vivian. "Yang kali ini baru disebut menikah sungguhan. Kau punya pendamping wanita dan semua orang yang harusnya datang saat pernikahanmu ada di sini. Tapi Jesse benar, semuanya akan baik-baik saja. Kau mempercayakan seluruhnya pada asistenmu yang hebat, yaitu aku."
"Kau siap?" tanya Jesse seraya menyodorkan bunga tangan pada Cara.
Cara mengembuskan napas. "Aku bersyukur kalian ada di sini. Aku berharap ibuku di sini."
Miranda Beverly sudah meninggal lama sekali. Yang terkadang menjadi penyesalan Jesse karena ia memutuskan hubungan dengan Maxime tidak lama sebelum ibunya meninggal. Max pasti sangat terpukul, tapi Jesse tidak bisa menarik ucapannya lagi untuk mengakhiri hubungan mereka. Jadi Jesse selalu memendam pikiran itu dalam-dalam.
"Cara?" panggil Gerald Beverly yang masuk ke kamar pengantin wanita. Pria paruh baya itu telah rapi dengan setelannya. Jesse bisa melihat Max berusia lima puluhan di wajah ayahnya. "Kau sudah siap?"
Cara mencoba mengembuskan napas lagi dan tersenyum. "Ya."
"Kuharap kau tidak punya keraguan apapun lagi karena Rick sudah jadi suamimu."
Baik Cara, Vivian, maupun Jesse terkekeh. "Aku tahu," ujar Cara. "Tapi rasanya aneh. Rasanya seperti aku menikahinya lagi. Aku gugup sekali."
"Bukan tanpa sebab aku membuat prosesinya mirip upacara pernikahan sungguhan," kata Vivian dengan bangga. "Dengan sedikit modifikasi baby shower di pertengahan acara, ini pasti hebat."
"Kau siap memberi tahu semua orang jenis kelaminnya?" tanya Jesse pada Cara.
"Aku sendiri sudah bisa menebak, melihat betapa manjanya cucuku ini meski masih dalam kandungan," kata Gerald.
"Kau merusak kesenangannya, Dad," kata Cara. Kemudian ia meraih lengan ayahnya. "Baiklah, aku siap. Antar aku pada Rick."
Di luar, para istri personel The Five yang juga ditunjuk sebagai pendamping wanita sudah menunggu. Mereka sepertinya baru saja mengobrolkan hal seru tentang kehamilan sang penyanyi wanita papan atas, Evelyn Case. Berbeda dengan Rick dan Cara yang beritanya surut begitu film debut mereka akhir tahun lalu keluar dari deretan layar lebar, mengingat pasangan Storm memutuskan pindah sepenuhnya ke Westerly sejak kehamilan Cara; pasangan Evelyn Case dan Jim Kinsley sang gitaris The Five tak pernah pudar, mengingat mereka selalu memamerkan kemesraan hingga begitu sering diliput. Rick dan Cara remaja memang suka pamer kemesraan, tapi mereka tidak berniat mempublikasikannya, mereka hanya tak peduli pada dunia.
Aula itu kini telah disulap dengan begitu elegan. Kandelir kaca yang menawan. Lampu-lampu hias yang mewah. Para tamu membuka jalan untuk pasangan pengantin dan pengiringnya. Jesse bisa melihat wajah-wajah familiar para selebritis yang selama ini hanya ia lihat di televisi. Ada banyak sekali kamera hingga kilat-kilat cahaya bersahutan. Jika Jesse pernah membayangkan pesta dansa kerajaan dalam dongeng, pasti seperti inilah rupanya.
Ketika para pengiring pengantin wanita tiba di pintu masuk, musik pernikahan pun mulai terdengar. Rick yang juga sama sempurnanya dengan setelan warna hitam telah menunggu dengan para pendamping pria di belakangnya. Ia tersenyum lebar melihat pengantin wanitanya. Jelas-jelas takjub hingga Jesse yakin Rick berkaca-kaca ketika melihat Cara.
Gerald menyerahkan Cara pada Rick. Memeluk menantunya dengan hangat sebelum melepaskan putrinya sepenuhnya. Jesse bisa saja menikmati pemandangan mengharukan itu kalau saja ia tidak ingat bahwa ia punya formasi. Rick dan Cara, meski masih terbawa suasana mengharu biru, ternyata mengingat bahwa mereka punya formasi yang harus dijalankan. Pasangan itu mengambil posisi di bagian paling depan, sementara para pendamping mengikuti di belakang. Satu per satu pendamping pria mulai mengambil posisi. Jesse tidak perlu mencari-cari satu-satunya sosok yang ingin dilihatnya saat ini. Max sudah berdiri di sampingnya seperti yang sudah diinstruksikan sebelumnya.
"Hei," sapa Max. Ia begitu tampan dengan setelannya. Setelan yang cocok untuk tubuh berototnya. Meski Jesse sudah pernah melihat Max mengenakan setelan itu saat pengepasan, tetap saja ia merasa terpukau hingga membuatnya tersipu.
Jesse mencoba tersenyum. "Halo, Maxime."
"Kau cantik hari ini, Jesslyn."
Jesse yakin riasannya sekalipun tidak bisa menyembuyikan rona wajahnya. "Trims. Kau juga tampan, Max."
Vivian, yang berada di depan Jesse, tiba-tiba menengok dan melotot―pada Jesse. "Apa itu?"
Jesse mengendik. "Apa?"
"Apa aku tidak salah dengar? Apa kalian baru saja saling menggoda?" hardik Vivian.
"Viv, perhatikan jalanmu," kata Max.
"Persetan denganmu," ujar Vivian tanpa sedikitpun melirik Max. "Jadi, Jesse, jelaskan."
"Kau tidak mungkin berjalan mundur dalam barisan ini," kata West yang berjalan bersisian dengan Vivian.
Vivian jelas tidak senang dengan peringatan itu, tetapi terpaksa untuk setuju. "Kau masih harus menjelaskan sesuatu padaku." Kemudian Vivian berbalik ketika barisan pengiring mulai berjalan mengikuti pasangan pengantin.
Jesse perlu mengerjapkan mata beberapa kali ketika barisan berjalan karena kilatan cahaya ada di mana-mana, memotret satu per satu siapa-siapa saja yang ditunjuk Cara Storm sebagai pendampingnya. Posisi Jesse saat ini jelas bukan posisi favoritnya karena Max punya nama dan sama terkenalnya dengan personel The Five. Ini Max Beverly! Gelandang New England yang terkenal itu!
"Apa aku harus khawatir?" bisik Max ketika mereka berjalan perlahan. Ia sama sekali tidak peduli dengan wartawan yang memanggil namanya untuk mengambil potret.
"Apa yang harus dikhawatirkan?" Harusnya itu Jesse yang khawatir menjadi sorotan karena berjalan di samping Max―dan sedang saling berbisik seolah punya rahasia di belakang semua orang.
Max meringis. "Vivian itu. Aku sedikit ngeri pada temanmu."
Jesse mengendik. "Dia hanya ingin tahu. Dia memang seperti itu―ingin tahu banyak hal. Jangan khawatir. Dia baik."
"Aku yakin begitu. Dia temanmu dan Cara."
Benar. Vivian adalah teman terbaik yang bisa Jesse dapatkan di lingkungan yang baru ia kenal. Selama ini ia hanya tahu Cara sebagai temannya, mengingat mereka sudah bersama sejak kanak-kanak. Awal masuk sekolah selalu berat untuk Jesse beradaptasi dengan lingkungan. Berbeda dengan Cara yang bisa dengan mudah memulai obrolan dengan siapa saja. Tapi Vivian mengingatkan Jesse dengan Cara saat ia pergi dari Westerly. Jesse bersyukur bertemu Vivian.
Jesse memusatkan perhatiannya lagi ke barisan, yang kini mulai membubarkan diri setelah mengantarkan pasangan pengantin ke singgasananya―itu ide Vivian juga, mengingat Cara hamil besar dan tidak bisa berdiri terlalu lama. Membuat pesta ini jadi betul-betul mirip pesta kerajaan.
Pengiring pengantin membubarkan diri. Max meraih lengan Jesse dan membawanya berjalan bersama―untuk menjauhi Vivian. Max mengambil dua gelas anggur yang diantar pelayan dan memberikan salah satunya pada Jesse.
"Untuk adikku," kata Max mengajaknya bersulang.
Jesse tersenyum dan mendentingkan gelasnya. "Untuk sahabatku." Anggurnya lezat, tidak diragukan lagi. Vivian memang perencana pesta sungguhan.
Rick memberikan sambutan untuk para tamunya. Ia juga menyampaikan beberapa kalimat manis untuk Cara―seperti yang sudah sering ia lakukan. Cara yang sedang duduk seraya mengusap perutnya, memperhatikan Rick dengan berlinangan air mata dan senyum bahagia. Kadang-kadang pemandangan itu memang membuat Jesse iri.
"Ayahku bertaruh bayi Cara perempuan," kata Max tiba-tiba.
Jesse melirik Max yang tersenyum bahagia juga melihat adiknya. "Cara akan jadi ibu yang hebat. Meskipun aku masih agak sulit mempercayainya. Kau tahu, seperti baru kemarin aku bermain trampolin bersamanya, sekarang salah satu dari kami sudah jadi calon ibu yang mungkin akan membelikan anaknya trampolin."
Max terkekeh. "Aku tahu. Dan aku akan jadi paman. Aku pernah berpikir Cara akan berakhir bersama Rick, tapi tidak terpikir olehku Cara akan mendahuluiku."
Jesse menarik Max supaya menatapnya, melingkarkan lengannya ke leher Max. Syukurlah Vivian memaksa Jesse memakai hak tinggi hingga Jesse tidak terlalu kesulitan meraih Max. "Kau terganggu?"
"Apa? Karena Cara mendahuluiku? Tentu saja tidak. Aku bahagia untuknya."
Entah mengapa jawaban itu terdengar kurang untuk Jesse. "Kau pasti akan mengalami hal sama. Kau pasti akan bahagia bersama seseorang, seperti Cara."
"Benar." Max menangkup wajah Jesse dan mengusapkan hidungnya ke hidung Jesse. "Aku akan mengalami itu. Bersamamu. Tidak diragukan lagi."
Jesse ingin menolak, tapi tidak bisa. Ia terlalu setuju dengan pemikiran menggiurkan itu. Tidak dipungkiri, setiap kali memikirkan Cara yang begitu bahagia bisa menemukan Rick, pikiran Jesse tertambat pada Max. Ia adalah satu-satunya pria yang pernah ada di hati Jesse.
"Maukah kau berdansa denganku?" tanya Max seraya megusap pipi Jesse dengan ibu jari.
Jesse hanya mengangguk dan membiarkan dirinya ditarik Max ke lantai dansa yang telah lebih dulu diisi Cara dan Rick, kemudian Gerald dan Vivian. Jesse mendapati ayah dan ibunya yang menyusul kemudian, setelah Max mengambil langkah pertama untuk dansa mereka. Kemudian personel The Five dan tamu lainnya mulai ikut berdansa.
Gerakan Max pelan dan manis. Ia menatap Jesse dan tak pernah berpaling ke manapun. Tubuh mereka tak berjarak. Jesse bisa merasakan otot-otot Max di balik setelannya. Tubuh tegap Max yang menggiurkan, membuat Jesse ingin memanjatnya. Max menundukkan kepalanya dan mencium Jesse dengan cara yang manis meski itu hanya ciuman singkat. Jesse merasa dunia di sekitarnya memudar dan ia hanya merasakan Max.
"Aku mencintaimu," bisik Max.
Aku juga, balas Jesse dalam hati.
Jesse menjatuhkan kepalanya di dada Max, sementara pria itu bergerak memimpin gerakan dansa lembut yang diikuti Jesse, lalu menarik Jesse ke pelukannya. Tubuh Max beraroma maskulin. Tangan Max begitu panas ketika menyentuh kulit Jesse yang telanjang. Jesse merasakan napas Max di lehernya, kecupan-kecupan singkat di kepalanya.
Mendadak, Jesse begitu menginginkan Max.
"Menurutmu butuh berapa lama lagi kita di sini?" tanya Max pelan.
Jesse mengerjap untuk mengembalikan kesadarannya― dimana mereka tengah berada di lautan orang-orang dan wartawan yang bisa saja memotret kebersamaan mereka. Berusaha keras menyingkirkan hasratnya untuk menyentuh Max sekarang juga. Hal-hal aneh ini yang tak pernah Jesse rasakan sebelumnya. "Aku tidak tahu."
"Apa tugasmu selain mengiring Cara?"
"Tidak ada," seingat Jesse. Vivian mengatur segalanya. Pesta ini tidak akan berlangsung terlalu lama mengingat kondisi Cara. Setengah acaranya telah dibagi untuk memberkati bayi dalam kandungan Cara, hingga prosesi pesta pernikahannya berjalan secepat mungkin.
"Ikut aku," perintah Max yang belum sempat Jesse turuti karena pria itu telah menarik tangannya. Melewati kerumunan tamu undangan. Max sempat melambai pada wartawan yang memanggil namanya. Ia menyunggingkan senyuman penuh kharisma khas seorang pemain futbol. Tetapi Max mengambil langkah yang berlawanan dengan datangnya para tamu. Ia menuju ke pintu belakang, melewati dapur hingga beberapa pelayan terheran―seolah menerka siapa yang baru lewat di hadapan mereka, mengingat sebagian besar tamu di sini adalah orang terkenal.
Sebelum Jesse bisa bertanya apa yang dipikirkan Max, mereka sudah tiba di luar, Max menghimpit Jesse ke dinding dan menciumnya dengan ganas. Jesse perlu waktu untuk mencerna apa yang tengah terjadi padanya―bahwa ia sedang diserang. Dengan penuh gairah. Hingga Jesse tak lagi bisa membendung gairah yang telah susah payah ia tahan.
"Ini membuatku gila," geram Max dengan suara berat nan parau. Ia mengangkat Jesse dalam satu angkatan mudah, hingga Jesse kini berakhir di paha pria itu. Satu tangan Max menahannya, sementara tangan yang lain menyusup ke balik gaunnya, memberi usapan panas di kulit pahanya, mengarahkan tungkainya terkait di pinggul Max. "Aku pasti sangat brengsek karena tak berhenti menginginkanmu."
Jesse belum sempat berkata apa-apa karena Max sudah menyurukkan kepalanya ke leher Jesse. Membuatnya mendesah nikmat hingga ia perlu bersusah payah menahan gairahnya mengingat mereka berada di belakang gedung yang gelap dengan pemandangan bukit terbuka. "Max..."
Jesse begitu terbuka untuk Max, hingga mudah saja Max menyusupkan jemarinya ke balik gaun panjang Jesse, mencari-cari pusat kenikmatan Jesse. Ketika Max tiba di titik itu, Jesse menjatuhkan mulutnya ke bahu Max untuk meredam jeritannya. Max bergerak membelainya, begitu lihai mempermainkan ritme gairah Jesse hingga wanita itu terbakar. Jesse sepenuhnya tenggelam dalam gelap ketika gelombang kenikmatan itu melandanya. Matanya terpejam, desahannya melayang, sementara hanya nama pria itu yang diingatnya.
"Lihat? Kau begitu manis dan basah karena jariku," bisik Max.
Jesse merasa malu, namun belum sanggup menopang tubuhnya sendiri, apalagi untuk menyanggah Max. Pria itu juga tahu hingga tak menurunkan Jesse. Tetapi Jesse takjub Max sanggup menopangnya, sementara tangannya sibuk membuka sabuk dan celananya. "Apa yang kau lakukan?"
"Memberimu yang kedua, apalagi?"
Jesse menggeleng. "A-aku... tidak bisa." Demi Tuhan, Jesse baru satu kali merasakan kenikmatan dengan jari. Dengan jari! Dan Max yang membawanya ke sana. Jesse tidak yakin ia bisa mendapatkan yang kedua kalinya dalam waktu singkat. Jesse belum pernah melakukan itu meski sudah banyak novel erotis yang ia baca. Ini tidak sama dengan percintaan mereka pagi kemarin yang begitu lembut.
"Tentu saja kau bisa." Dengan itu Max mengisinya hingga lenguhan keduanya tidak lagi tertahan. Desahan mereka membelah suara malam di sisi lain pesta yang teredam. Max bergerak mengangkat Jesse dan menurunkannya lagi demi momentum kenikmatan yang tak terkira. Max tahu betul apa yang dilakukannya. Menunjukkan apapun yang bisa ia berikan pada Jesse. Dan tentu saja, Jesse bisa mendapatkan yang kedua.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top