(20)
Siapa yang tadi minta 3x ? Hahaha. Lunas, ya.
Setelah membereskan kekacauan di kamarnya sebelum ayahnya bisa masuk, Jesse bersiap secepat mungkin. Ia mandi dan berdandan―hal yang jarang ia pedulikan selama bertahun-tahun, namun entah mengapa ia begitu berhasrat memoles wajahnya pagi ini. Jesse memilih baju terbaiknya. Namun akhirnya menyerah setelah kebingungan melihat isi lemarinya.
Bagaimana mungkin baru pagi ini Jesse berpikir selera berpakaiannya membosankan?
Jesse baru menyadari bahwa olok-olokan Vivian soal penampilannya selama ini adalah sungguhan. Jesse hanya punya baju-baju tertutup yang sudah ketinggalan jaman, banyak sekali kemeja yang biasa-biasa saja, dan baju santai yang lebih menggelikan dari itu semua. Sekarang ini ia terbersit ingin mengenakan sesuatu yang bisa menunjukkan tubuhnya. Well, meski Jesse juga ragu ada bagian di tubuhnya yang bisa dipamerkan. Tetap saja, Jesse berharap punya sesuatu yang cantik untuk ia kenakan saat keluar bersama Max si bintang futbol.
"Aku tidak mungkin mempermalukan diriku sendiri," ujar Jesse di depan cermin. Ia menatap lemarinya lagi dan merasa putus asa.
Mungkin seharusnya Jesse menunda kencan ini setelah pulang dari rumah Cara. Sahabatnya itu pasti punya beberapa baju modis―mengingat suaminya selebriti. Atau Vivian mungkin bisa membantu. Yah, meski Jesse sangat meragukan itu. Vivian punya banyak gumpalan di tubuh yang membuatnya seksi, tidak seperti Jesse. Ukuran tubuh Vivian pasti satu atau dua angka dari ukuran tubuh Jesse.
Namun Jesse menemukan kotak hadiah natal dari ibunya bertahun-tahun lalu yang tertutup di bawah tumpukan selimut. Ketika Jesse membuka kotak itu, Jesse bersyukur ibunya menyelamatkannya. Jesse masih punya blus bunga cantik yang ibunya belikan dan belum pernah Jesse gunakan.
Untungnya Janice suka membelikannya segala hal yang berbau tumbuh-tumbuhan. Janice memang pecinta tanaman sama seperti James. Janice sempat bekerja di arboretum Rhode Island setelah lulus kuliah, di sanalah ia bertemu dengan James McGraw sang ahli botani hingga akhirnya jatuh cinta dan menikah. Menghasilkan Jesse yang punya kesadaran akan nasib pangan seluruh dunia. Yang membuat keluarga McGraw terdengar seperti maniak flora.
Jadi ketika ibunya membelikan lusinan barang-barang bermotif tumbuhan, hal itu sudah wajar. Bukan hal aneh pula jika sesekali Jesse ingin memberontak motif tumbuhan dengan motif kartun, atau motif galaksi, atau hewan, dan lainnya. Kebiasaan itu masih mengikuti Jesse hingga dewasa. Tapi pagi ini, Jesse cukup bersyukur punya blus yang pantas untuk keluar bersama Max.
Jesse mencoba blus yang berakhir di atas lututnya itu dan bersyukur tubuhnya tidak berubah banyak selama bertahun-tahun. Tentu saja blus itu pas di tubuhnya. Janice memang menyelamatkannya.
"Kau mau ke mana?" tanya James saat Jesse keluar dari kamar seraya memasukkan ponsel dan dompet ke tas kecilnya.
"Ke tempat Cara." Itu bukan suatu kebohongan. Jesse nantinya memang ke tempat Cara.
James mengamati penampilan Jesse. "Kau rapi sekali hari ini. Memangnya apa yang akan kau lakukan bersama Cara?" Jika ayahnya saja terkejut dengan penampilannya, itu berarti Jesse sudah mengambil langkah yang benar untuk mengubah penampilannya.
"Yah, Cara 'kan pengantinnya. Aku bersumpah di berlipat-lipat kali lebih cantik meski perutnya menggembung seperti raksasa dan aku tidak mau terlihat udik ketika berjalan di sampingnya."
"Begitu?" tanya James seraya mengangkat alisnya. "Kenapa baru sekarang kau berpenampilan seperti itu?"
Jesse mendengus karena tahu ayahnya hanya menghalangi-halanginya pergi. Bisa jadi James berusaha memerintah Jesse untuk mengurusi selada, atau bahkan mengomeli Jesse karena bangun siang. Oh, sial, Jesse jadi teringat alasannya keluar kamar begitu siang. Apa ini hanya perasaannya saja atau Jesse memang merasakan pahanya yang gemetar?
Pipi Jesse tiba-tiba panas membayangkan ciuman mereka semalam. Membayangkan percintaan mereka pagi ini. Ya Tuhan, apa benar itu baru terjadi dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam? Rasanya seperti cerita bertahun-tahun lalu. Hati Jesse mengembang, merasakan denyutan akrab yang Jesse rasakan ketika pertama kalinya menyadari perasaannya kepada Max.
"Siapa itu?" seru Janice dengan suara melengking saat memasuki lorong. Ia memutar tubuh Jesse dengan senyum lebar merekah. "Kau sangat cantik! Aku tahu gaun ini cocok untukmu! Lihat, James! Kau pasti bangga aku melahirkan bayi secantik ini."
"Aku bukan bayi," sela Jesse.
"Dia mengingatkanku saat muda. Saat kita pertama kali berkencan. Kau ingat, James?"
James mengusap dagunya. "Tadi aku sempat bertanya-tanya pernah melihat yang seperti ini di mana."
"Yah, itu aku," ujar Janice. "Dia putriku."
"Oke, Mom, Dad, aku harus pergi atau aku akan terlambat."
"Kau tidak sarapan?" tanya Janice. Entah berpura-pura karena James di antara mereka, atau lupa bahwa Max sudah membawakan sarapan untuknnya. Bahkan ia mendapatkan jenis sarapan yang menggairahkan harinya. Janice memang kadang-kadang melupakan banyak hal.
"Vivian dan aku akan menjarah dapur keluarga Storm," jawab Jesse akhirnya.
"Sampaikan salamku pada Cara kalau begitu," ujar Janice. "Bilang padanya, aku tidak sabar dengan pestanya."
Jesse segera pergi sebelum ayahnya beisa mengintrogasi atau tahu bahwa Jesse akan pergi bersama Max. Di luar, Max sudah bersandar di mobil merahnya, rapi dengan celana jins pendek dan kaos berkerah yang membuatnya terlihat santai namun elegan, kacamata hitam bertengger di hidungnya, senyumnya merekah ketika melihat sosok Jesse keluar rumah.
"Hei!" sapa Max seraya membuka pintu untuk Jesse.
Meski hal itu sudah sering Max lakukan saat mereka berpacaran, tapi Jesse tetap saja tersentuh mengingat tidak banyak pria yang berhubungan dengannya di usia dua puluh enam tahun.
"Jadi ke mana kita akan melakukan sesuatu?" tanya Max ketika ia sudah menempatkan diri di balik kemudi dan mengenakan sabuk pengaman.
Jesse tidak yakin ke mana mereka bisa pergi mengingat mereka sudah sarapan. Pagi hari jelas bukan waktu untuk berkencan. Pikiran Jesse buntu. Ia tidak punya pengalaman soal ini. "Entahlah... um... bagaimana menurutmu? Ada saran?"
Max keluar dari jalan mobil, seperti biasanya memamerkan mobilnya yang bisa melaju cepat. "Wah, aku senang kau menanyakan pendapatku karena tadi aku juga memikirkan itu sebelum kau keluar. Saranku, kita menyeberang ke Connecticut."
Jesse kebingungan. "Kenapa Connecticut?"
"Karena banyak alasan," ujar Max seraya melirik Jesse. "Karena ini kota kecil semua orang tahu. Karena hotel terbaik di sini adalah Beverly House dan aku tidak mungkin membawamu ke hotel keluargaku sendiri, meski fasilitasnya sangat kurekomendasikan."
"Um... kenapa kita harus ke hotel?"
Max terdiam sebelum menjawab. "Kita akan melakukan sesuatu, kan? Aku sudah bawa banyak pengaman. Sekotak penuh. Jadi kita tidak perlu khawatir lagi."
"Astaga!" Mendadak benak Jesse berdesir. Tidak menyangka Max berencana menidurinya lagi. "Kau serius mengajakku ke hotel?" Jesse tidak yakin apakah ia merasa sakit hati atau tersanjung. Itu berarti seks mereka berarti sesuatu, kan? Setidaknya Max tidak menyadari Jesse yang tidak berpengalaman.
Max bergumam. "Kau benar, itu agak brengsek. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara mendapatkan ranjang di sekitar sini tanpa harus menciptakan gosip, atau bahkan semprotan air ayahmu."
Jesse tergelak. "Tenang, pria besar. Tahan gairahmu. Kita tidak harus ke ranjang lagi setelah pagi ini. Simpan milikmu untukku, oke?"
"Kau tidak tahu berapa lama aku melakukan ini," dengus Max. "Bagaimana dengan jalan-jalan ke pantai? Aku pasti membawa selimut atau sesuatu di belakang."
Meski waktu sudah menunjukkan pukul sembilan, sepertinya pergi ke pantai bersama Max terdengar menggiurkan. Lagipula rumah Cara tidak jauh dari muara. Jadi Jesse menyetujuinya. Max melajukan mobilnya ke arah marina. Membuka kap mobilnya hingga mereka bisa menikmati angin laut yang mulai menyambut mereka. Andai saja Jesse membawa kacamata seperti Max, pasti ia tidak perlu menyipitkan mata seperti sekarang ini karena sinar matahari.
"Ini," kata Max seraya menyodorkan kacamata Rayban yang lain hingga Jesse tidak bisa menutupi rasa terkejutnya. "Aku punya banyak."
"Sombong sekali, Maxie. Tapi aku tidak yakin. Minusku sudah bertambah banyak. Aku tidak bisa melihat apapun dengan kacamata ini. Aku butuh kacamataku sendiri."
Max mengendik dan meletakkan kacamata itu di dasbor. "Kalau kau berubah pikiran." Max menyeringai, lalu mengacak rambut Jesse yang memang sudah acak-acakan.
Ternyata Max tidak membawa mobilnya ke pantai. Ia mengarahkan mobilnya ke jalan aspal perumahan elit yang dibangun di atas tebing pantai, mendekati mercusuar. Max berhenti di sebuah lahan kosong yang dipenuhi rumput liar tinggi, namun menampakkan pemandangan laut yang terbentang dan langit yang tak terbatas nan indah.
"Kau tahu seseorang pasti akan mengusirmu jika parkir sembarangan, kan?" tegur Jesse setelah mereka hanya terdiam beberapa saat menikmati pemandangan di hadapan mereka.
"Aku tahu." Max melepas kacamatanya hingga Jesse disuguhi satu lagi warna biru yang indah. "Tapi seingatku, orang yang bisa mengusirku dari sini, hanya aku."
Jesse perlu beberapa detik untuk mencerna kata-kata Max hingga matanya melebar ketika mengerti artinya. "Kau pemilik lahan ini?"
"Yap."
Jesse menatap sekelilingnya, lahan yang luas, kawasan yang elit, pemandangan yang menakjubkan. Tempat ini bisa untuk mendirikan sebuah mansion, atau hotel, atau lapangan olahraga, atau aula yang lebih besar dari gedung yang disewa Cara dan Rick. Tempat ini punya harga jual yang sangat mahal. "Kau membelinya?"
"Apa salahnya?" tukas Max. "Aku suka pemandangannya. Sejak dulu aku merengek ingin pindah ke perumahan ini tapi Mom dan Dad tak pernah setuju. Mereka bilang, perumahan ini berhantu karena sering ditinggal pemiliknya."
"Kau tahu kawasan ini hanya berpenghuni ketika musim liburan. Pemilik rumah-rumah ini bahkan bukan warga Westerly."
"Aku tahu. Agak jauh dari pusat kota, tapi ayolah, aku punya mobil dan semuanya beres. Ini investasi yang bagus. Kau tahu beberapa penghuni villa-villa ini sering menyewakan propertinya untuk para selebritis 'kan?"
"Ya." Jesse bisa membayangkan Max punya rumah yang besar mengingat karirnya sebagai pemain begitu cemerlang. Astaga, seseorang bahkan mau membeli MiniMax supaya terus mengangguk di dasbor mobil mereka. Membeli tanah di sini bukan sulit bagi Max. "Jadi... kau berniat membangun sesuatu di sini?"
"Sebuah rumah. Ya."
"Itu bagus."
"Aku sudah cukup melihat dunia, Jesslyn. Belum semuanya, tapi, yah, aku sudah kemana-mana untuk sekedar melihat-lihat dan tidak ada yang lebih kuinginkan selain kembali ke kota ini. Aku suka ketika kota kita kedatangan turis, kemudian semua keriuhan itu berbondong-bondong pergi seiring bergantinya musim. Aku akan pulang setelah masaku pensiun nanti. Aku bisa melakukan sesuatu di sini. Membangun bisnis, mungkin."
"Jangan jual dirimu sendiri," sergah Jesse.
Max tergelak. "Benar."
"Maksudku, bobblehead itu. Kau tidak mungkin menjual dirimu sendiri di tokomu. Itu sombong sekali, Maxie."
Max melirik Jesse. "Sebenarnya, aku berpikir untuk membuka bisnis pertamanan."
Jesse sepenuhnya memusatkan perhatian pada Max yang tersipu seraya menatap lahan kosong di sekeliling mereka.
"Ayahmu selalu berpikir bahwa menanam tanaman bisa menghasilkan uang. Selain menjual sayuran, maksudku. Bisnis pertamanan akan cukup bagus di sini, mengingat ada banyak hotel yang tidak mempunyai kebun karena mereka tidak telaten seperti Kevin yang mau belajar menanam sesuatu dari ayahmu."
"Kau tahu itu mencurangi Beverly House. Tempat itu disebut terbaik bukan tanpa alasan."
"Yah, aku ingin semua hotel di sini bagus. Lagipula masih ada sekolah, restoran, taman kota yang mungkin butuh sedikit sentuhan. Mereka tidak perlu mencari keluar Westerly. Bisnis itu terlihat sangat bagus."
Jesse tidak mengira Max bisa memikirkan ide cemerlang itu. Bisnis itu memang sangat bagus mengingat belum terlalu banyak perusahaan pertamanan di negara bagian ini. Bukan hal mustahil bisnis itu bisa berkembang ke luar wilayah ini.
"Aku... setuju untuk bekerja sama dengan ayahmu kalau dia benar-benar akan membangun bisnis itu."
Jesse sudah sering mendengar ayahnya membicarakan itu, tapi sepertinya Janice mencegah James bekerja setelah masa pensiunnya. Sementara James juga menyadari tenaganya tidak seperti dulu lagi untuk melakukan pengecekan rutin pada tanaman dalam jumlah besar. "Kau tahu ayahku penuh omong kosong."
Max mengangguk. "Omong kosong yang sangat brilian."
"Ya, memang. Tapi banyak yang harus dilakukan jika ingin membuka bisnis seperti itu. Aku meragukan struktur tanah di sini. Aku perlu memesan banyak humus ketika ayahku berniat menanam banyak sayuran di belakang rumah."
"Sempurna," gumam Max.
"Apanya?"
Max melirik Jesse beberapa kali sebelum kembali bicara. "Kau. Sempurna. Kau tahu betul apa yang perlu dilakukan untuk bisnis ini. Menurutku kau sempurna untuk bergabung."
Jesse mendengus geli. "Aku tidak bisa berinvestasi. Aku juga tidak punya uang sebanyak itu untuk mendirikan sebuah firma."
"Kita bisa mulai dari nol."
"Aku punya pekerjaan di labku."
"Tidakkah kau mengerti, Jesslyn?" Max menatap Jesse. "Aku membawa lab untukmu. Bisnis ini sempurna untuk investasiku, juga kegemaranmu."
Jesse tidak melakukan apapun selain bungkam dan menatap Max.
"Aku pikir kau meninggalkanku karena lab itu. Kau suka bekerja di kebun seperti ayah dan ibumu dulu―"
"Memang."
"Aku berpikir untuk memberimu alasan kembali. Bersamaku. Kau tidak harus berada di green house, di labmu. Kau bisa punya green house sendiri di sini. Aku akan membangun rumah di sini. Tidak semuanya akan kugunakan untuk rumah. Kita akan punya kebun di sini. Kita bisa menggunakan separuh lahan untuk kebun―"
Kita apa? "Max..."
"Kau pasti suka itu. Kau bisa melakukan apapun dengan kebun kita. Kita pasti kebun terbaik di perumahan berhantu ini―"
"Max, menurutku―"
"Kita bisa bahagia di sini. Tempat ini menakjubkan untuk menghabiskan waktu bersama, bukan? Aku pensiun, mengurus bisnis bersamamu―"
Jesse menarik wajah Max dan membungkam Max dengan bibirnya. Max terkesiap, terkejut, tetapi tidak sedikitpun menolak. Setelah Jesse selesai dengan tugasnya membungkam Max, pria itu yang mengambil alih. Ciuman itu menggelora, hangat, dan basah. Max menekan tengkuknya supaya mendekat. Membuat ciuman mereka semakin dalam. Ketika Max melepaskan ciumannya, Jesse terengah.
Max memejamkan mata ketika dahi mereka menyatu. Masih membelai Jesse dengan ibu jarinya. "Aku begitu ingin menghabiskan hidup denganmu."
Jesse tidak mengira Max ingin sepenuhnya kembali ke Westerly, bahkan sudah menyiapkan tanah miliknya sendiri di kota ini. Jesse pikir setidaknya Max merasakan apa yang Jesse rasakan. Alasan yang sama mengapa Jesse jarang pulang ke tanah kelahirannya. Ia tidak mau mengingatkan diri dengan kisahnya bersama Max. Itu hanya kenangan yang tidak akan bisa diulang untuk diperbaiki. Kesalahan Jesse yang akan terus ia sesali. Tetapi nyatanya, Max sudah menyiapkan masa depannya dengan Jesse di dalamnya.
Kebun kita.
Rumah kita.
Bisnis kita.
"Maaf, Max," bisik Jesse akhirnya.
"Untuk apa?"
"Segalanya. Aku tidak meminta maaf saat pergi. Aku tidak pernah minta maaf untuk apapun karena aku selalu merasa keputusanku benar. Aku bahkan... begitu egois pada hubungan kita." Dan masih banyak daftar alasan Jesse meminta maaf. Ia menghindari Max selama bertahun-tahun, ia tidak membalas pesan Max sejak dulu dan tak pernah sekalipun meminta maaf, ia bahkan tidak pernah meminta maaf sudah membuat Max khawatir atau apapun. "Aku hanya... ingin meminta maaf."
Max terdiam sesaat. Ia menarik wajahnya, membelai pipi Jesse, dan membawa helai rambut Jesse ke belakang telinga. "Aku tahu aku menakut-nakutimu dengan menunjukkan semua ini. Obrolan kosong ini, soal bisnis, dan rumah ini. Aku hanya... ingin kau tahu bahwa aku ingin kau ada di hidupku. Aku mencintaimu, Jesslyn. Sejak dulu dan itu tidak pernah berubah."
Harusnya Max membencinya atau sesuatu. Itu pasti melegakan Jesse, memudahkannya untuk menghindari Max. Tapi Jesse juga mencintai pria ini meski tak pernah mengungkapkannya. Jadi Jesse hanya menarik kembali wajah Max dan kembali memberinya ciuman. Berharap Max tahu hanya dengan isyarat itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top