(17)
Jesse tidak menundukkan pandangannya meski Mrs. Trace memelototinya. Ia mengangkat dagunya ke atas, menatap tajam dan bersiap menantang siapa saja. Ia sepenuhnya mampu membela diri tanpa Max harus ada di sampingnya. Jesse akan membuktikan bahwa Kayla tidak benar. Sehingga Jesse berusaha menyentak sentuhan Max yang seolah membuat Jesse tidak bisa berjalan dan begitu lemah hingga tak bisa membela diri.
"Jadi..." Mrs. Trace membuka dengan helaan napas panjang. Kekecewaan dan keterkejutan belum menghilang dari wajahnya ketika menatap Jesse. "Sepertinya, kau yang harus mulai menjelaskan, Ms. McGraw."
Benar, Jesse yang harus memulainya karena di sini hanya dirinya yang terlihat seperti tersangka. Kayla menangis tersedu-sedu sejak tadi dan Max menasehati Jesse macam-macam. Seolah Jesse tidak tahu apa yang dilakukannya di lorong tadi atau apa yang akan dilakukannya saat ini. Tidak. Jesse tahu apa tindakannya. Jesse bukan seorang yang berpikiran pendek.
"Aku membela diriku," jelas Jesse. "Dia sengaja membuatku terjatuh dan dia menghinaku."
"Itu tidak benar!" raung Kayla hingga Jesse mengernyit. "Aku tidak melakukan apapun padanya. Dia yang pertama kali mengumpat padaku. Dia bilang... aku..." Ia terisak lagi. "Dia bilang aku brengsek."
Jesse tidak mau meralatnya. Itu umpatan pertama yang ia tujukan pada orang lain. Ia tidak menyesal. Kayla memang brengsek. "Aku tidak mungkin melakukan hal kasar jika tidak diprovokasi. Dia bilang, aku bukan apapun tanpa―"
"Dia bilang aku pengecut!" potong Kayla. "Kemudian dia... tiba-tiba menyerangku dari belakang."
Mrs. Trace menatap tajam pada Jesse. "Apa itu benar, Jesslyn?"
Lagi-lagi Jesse tidak meralat. "Dia mengerjaiku beberapa hari yang lalu. Dia membuatku berlumuran cat ketika aku membuka lokerku."
"Brengsek, Kay," sergah Max tiba-tiba. "Itu benar?!"
"Mr. Beverly!" tegur Mrs. Trace. "Tolong, jaga ucapanmu."
"Tentu saja tidak!" bantah Kayla. "Aku tidak tahu soal apapun yang menimpanya."
"Kau bilang―"
"Aku tidak bilang apapun!" sahut Kayla dengan tajam memotong kalimat Jesse. "Aku tidak mau repot-repot mengotori tanganku dengan cat. Itu merusak kuku yang sudah kurawat! Sekarang kau juga merusak rambutku dan membuatku malu!"
Jesse mendengus. "Yah, seharusnya kau berpikir ketika berpikir untuk membuatku terjatuh."
"Aku tidak melakukannya!" bantah Kayla.
"Baiklah, tenang!" tegas Mrs. Trace. "Aku sudah dengar saling bantah kalian. Aku sudah cukup mendengar dari Jesslyn. Sekarang aku ingin mendengar darimu, Ms. Winters. Menurutmu apa yang membuat Ms. McGraw menyerangmu. Aku ragu kalian bahkan saling mengenal."
Kayla membuang pandangan dari Jesse tapi menatap Mrs. Trace sambil bercucuran air mata. "Aku mengajaknya berkenalan saat di tribun saat latihan. Perkenalan kami hanya sampai di sana. Tapi dia tiba-tiba menyerangku ketika aku menyuruhnya berhati-hati. Dia seperti tidak menyukaiku. Dia iri padaku."
Max tercengang mendengar penjelasan Kayla. Ia menatap Jesse seolah tak percaya. Dan, ya, Max tidak percaya pada Kayla meski gadis itu temannya.
Sementara itu Jesse mendengus geli, sebisa mungkin tidak terbahak mendengar alasan itu. Ia berusaha sekuat tenaga menahan tawa di depan kepala sekolah yang sedang mengadilinya. "Aku iri padamu?" Astaga, kalimat itu menggelikan. "Aku punya daftar orang yang kukagumi hingga aku iri pada mereka. Tapi bisa kupastikan, namamu tak ada di dalamnya."
Mrs. Trace menghela napas. Ia terlihat agak tidak yakin pada Kayla, tapi ia juga masih kecewa pada Jesse hingga tak ingin percaya. Ia menatap Max yang sedaritadi hanya memperhatikan. "Bagaimana menurutmu, Maxime? Kau ada di tempat kejadian untuk melerai. Kau tahu bagaimana kejadian awalnya?"
Max menggeleng. "Aku datang ketika mereka sudah saling menyerang―"
"Dia yang menyerangku," ralat Kayla. "Aku tidak melakukan apapun. Aku korban di sini."
Max menghela napas. "Tapi aku tidak tahu kalau Jesse pernah mengenal Kayla. Maksudku, Kayla memang teman sekelasku, tapi dia tidak punya urusan apapun dengan Jesse, bukan? Kenapa pula Jesse harus iri padanya dan menyerang tiba-tiba?"
Kayla menatap Max tak percaya. "Aku tak percaya kau tak mempercayaiku, Max. Kau pikir aku membual? Aku temanmu sejak sekolah dasar. Kau semata-mata membelanya karena dia adalah pacarmu."
"Apakah itu benar, Maxime?" tanya Mrs. Trace.
Max menghela napas. "Ya. Jesslyn memang dekat denganku. Tapi itu sebabnya aku mengenal Jesse dengan sangat baik. Aku tidak yakin mereka terlibat satu sama lain. Aku bukan bermaksud membela siapapun. Aku memberi tahu yang sebenarnya. Seperti yang kau tahu, Jesslyn dekat denganku dan Kayla temanku. Aku tidak ingin ini terjadi pada mereka."
Mrs. Trace menulis sesuatu pada lembar kosong. Sesekali melirik lama pada Jesse. Kemudian ia melipat kertas itu jadi dua dan menyelipkannya di bawah buku terdekat. Ia mendongak dan menatap Jesse dan Kayla bergantian. "Aku tidak tahu masalah yang sebenarnya karena kalian terus membantah, tapi aku ingin masalah ini selesai. Aku ingin kalian saling meminta maaf."
"Dia yang harus minta maaf padaku!" tukas Kayla. "Dia menyerangku."
Jesse kali ini berani tertawa. "Seingatku, ada orang yang membuatku terjatuh hingga kacamataku pecah. Ya ampun, Mrs. Trace, kau bisa lihat retakan lensanya jika mengenakannya. Tapi, yah, baiklah―maaf."
"Kau tidak tulus!" hardik Kayla.
Jesse memutar mata. "Kau ingin aku minta maaf, aku sudah mengatakannya. Ya ampun! Kenapa kau tidak terima saja?"
Kayla mendorong kursinya dengan derit nyaring. Kemudian mengucapkan permisi dengan cepat tanpa kesopanan lebih, dan keluar ruangan. Max menatap kepergian Kayla sebelum menatap Jesse dan memberi remasan singkat di tangan Jesse.
"Kau bisa kembali ke kelasmu, Maxime," kata Mrs. Trace.
Max melirik Jesse sepintas. "Dia tidak akan mendapat masalah, bukan?"
Senyum Mrs. Trace kaku seperti biasanya. Wanita empat puluh tahunan itu memang mustahil bisa meyakinkan orang dengan senyumannya. "Tentu saja tidak."
Max mengangguk, pura-pura percaya kemudian keluar dari ruangan itu, meninggalkan Jesse yang terjebak dengan kepala sekolahnya. Ini baru pengadilan yang sesungguhnya.
"Aku tidak berbohong, kalau kau ingin tahu." Jesse mendahului. Ini saatnya ia membela diri tanpa bantahan dari Kayla. "Aku juga tidak ingin ini terjadi."
"Tapi yang dikatakan Ms. Winters adalah benar? Bahwa kau menyerangnya dan menghinanya?"
Jesse mengangguk pelan. "Meski dia menghinaku lebih dulu."
"Tidak jadi soal siapa yang lebih dulu. Jika dia menghinamu, seharusnya kau memperingatkannya dengan cara yang benar, atau melaporkannya."
Jesse mengendik. "Aku hanya... bertindak begitu saja."
"Aku sudah mendengar hinaan macam apa yang kaubalaskan pada Kayla Winters, aku ingin tahu apa yang Ms. Winters katakan padamu hingga kau tersulut. Benarkah dia hanya menyuruhmu berhati-hati karena kau jatuh?"
"Ya, dia menyuruhku berhati-hati. Setelah dia membuatku jatuh. Itu bukan teguran, itu cemoohan. Dia bilang aku bukan apapun tanpa Max."
Mrs. Trace sepertinya terkejut dengan kalimat terakhir Jesse. Wanita itu tersentak ke belakang, tapi menutupi gelagatnya dengan baik dengan mundur bersandar kursinya. "Sudah berapa lama hubunganmu dengan Maxime?"
Jesse berpikir bahwa pertanyaan ini tak lazim, tapi untuk apa pula Jesse menutupinya. "Entahlah. Berbulan-bulan. Kami berkencan sebelum aku masuk tahun pertama."
Mrs. Trace mengangguk dan menilai keadaannya. "Baiklah, Jesslyn. Aku akan jujur padamu bahwa aku sangat terkejut dengan kejadian ini. Aku tidak menyangka kau sampai bertindak dengan kekerasan. Aku juga baru mendengar soal hubunganmu dengan Maxime Beverly. Dan aku juga akan jujur bahwa aku tidak menyukai situasi yang terjadi saat ini."
Jesse mengernyit. "Situasi yang mana?"
"Semuanya. Dan bertambah buruk dengan kau yang menyerang seorang murid."
"Dia yang memprovokasiku!" hardik Jesse. "Aku sudah mengatakannya padamu."
"Dan aku percaya padamu. Sungguh. Kau murid kesayanganku, kebanggaan yayasan sekolah ini, dan aku tidak ingin kau terlibat masalah. Kayla Winters memang masalah. Dan Maxime Beverly juga masalah."
Jesse tidak mengerti mengapa Max disebut masalah. Max membuat sekolah ini memenangkan banyak pertandingan. Sekolah ini dikenal dan Max Beverly selalu menjadi penghuni yang melekat. Max adalah kebanggaan.
"Ya, aku tahu prestasi macam apa yang Max berikan," kata Mrs. Trace seolah membaca pikiran Jesse. "Tapi aku sulit mengendalikannya di dalam sini, kau tahu. Nilai-nilainya memprihatinkan. Guru-guru mengeluh karena dia tidak pernah memperhatikan―demi Tuhan, dia selalu tidur di kelas. Alasan yang membuatnya tetap di sini karena dia masih mengambil bagian untuk menghasilkan piala untuk kita dan karena pelatihnya, Mr. Hodge yang menjaminnya. Jika dia tidak bisa menjalani tes SAT, aku tak tahu bagaimana lagi bisa membantunya."
Jesse terdiam. Kali ini ia tidak mengangkat dagu seperti tadi. Ia hanya menunduk, memendam sakit hatinya, menahan bantahannya untuk kata-kata Mrs. Trace. Jesse tahu bagaimana Max sudah berusaha sebisanya. Max memang tidak cukup baik di bidang akademis, tapi Max tahu bagaimana caranya mengembangkan potensi dirinya. Jesse sudah sebisa mungkin membantu Max dengan nilai-nilainya dan Jesse tak tahu bagaimana Mrs. Trace tidak melihat usaha itu. Max mendapat nilai bagus karena Jesse membantunya, tapi sepertinya itu tidak meluluhkan hati Mrs. Trace sampai Max menjadi sempurna.
Mrs. Trace menghela napas setelah ruangan itu hanya dipenuhi keheningan. "Kita tahu bagaimana kakak-beradik Beverly itu berulah. Mereka hanya anak-anak membuat onar."
"Tapi Max―"
"Aku tidak tahu apa yang kau lihat darinya, Jesslyn," sela Mrs. Trace. "Aku tidak ingin melarangmu, tapi aku hanya berusaha bersikap jujur. Nilaimu tidak sebagus saat kau berada di sekolah menengah dan sekarang kau terlibat yang seperti ini. Maxime bisa saja pengaruh buruk untukmu."
Itu menyentak Jesse sepenuhnya. "Tapi... aku berhasil di penilaian apapun. Aku mempertahankan nilai-nilaiku. Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Max. Kau tak bisa menyalahkan Max atas apa yang tidak dia perbuat."
"Baiklah. Aku memang tidak menyalahkan Max. Kalau begitu aku menyalahkanmu karena tidak bisa mengendalikan keadaan. Kau tahu, Ms. McGraw, aku seharusnya memberimu skors atas tindakanmu hari ini. Dan itu sama sekali tidak baik untuk catatanmu. Aku memperhatikan apa-apa saja yang perlu dan kulihat Sara Manners sedang melampauimu. Kau harus waspada."
Kalimat itu membuat Jesse merinding hingga tak mampu berkata-kata.
"Kita tinggal lihat hasil tes penjurusan olimpiade kalian. Jika prestasimu menurun, aku tidak tahu apa yang bisa kuperbuat. Aku ingin membelamu dan menempatkanmu tetap di posisi teratas, tapi aku orang yang adil. Jika Sara Manners ingin mendapatkan posisimu di tim inti olimpiade sesuai bidang yang diminatinya, dia akan mendapatkannya."
Untuk pertama kalinya dalam hidup Jesse, ia bisa membayangkan hidup yang telah ia rencanakan denga nbaik akhirnya berantakan. Ia bisa merasakan rasa pesimis mulai mengintip di balik jiwanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top