(16)


Max merasa seperti bajingan beruntung. Ia memang tidak berencana membuat panekuk untuk merayu Jesse. Ini murni untuk menyenangkan Jesse. Ini bagian dari misinya untuk mengambil hati Jesse. Ia juga hanya berjaga-jaga membawa kondom dan mengunci pintu kamar. Tapi ia benar-benar tak menyangka Jesse mengatakan kalimat itu dengan jelas.

Bercintalah denganku, Max.

Oh, ya.

Tentu saja, YA! Max pasti bodoh jika menolak.

Tubuh Jesse beraroma lavender seperti kamarnya. Ini bukan jenis lavender pekat khas parfum ruangan atau pewangi yang membuat muak. Ini seperti wangi bunga yang baru dicabut dari potnya. Begitu segar dan memabukkan, membuat Max ingin terus menyurukkan kepalanya ke leher Jesse. Tapi ia perlu menatap Jesse sekali lagi untuk memastikan bahwa ini bukan sekedar mimpi indah Max. Jika Jesse menolaknya sekarang, pasti Max seketika terbangun dari tidurnya dan tak ingin tidur lagi. Tidak dengan mimpi Jesse yang menolaknya.

"Aku akan bertanya sekali lagi, Jesslyn," bisik Max lambat-lambat karena ia tidak bisa berhenti menghirup aroma wanita itu. "Karena aku tidak akan berhenti setelah ini. Apa kau yakin?"

"Ya! Astaga! Max, jangan leherku."

Max tersenyum di leher Jesse dan memberi gigitan-gigitan ringan hingga wanita itu mendesah, mengkhianati kata-katanya. "Jangan? Kau yakin? Sepertinya aku baru saja menemukan titik sensitifmu." Max begitu senang mendapatkan titik itu. Max menjelajah lagi, kali ini menjilat telinga Jesse hingga wanita itu menggelinjang. Ia mendapatkannya lagi. "Satu lagi, manis. Aku suka menghitung skorku."

Bibir Max merangkak ke pipi Jesse, terus ke bawah untuk menelusuri dagu dan leher. Max membuka matanya untuk melihat Jesse yang sudah memejamkan matanya sementara bibirnya terbuka dan mendesah. Max membuka satu per satu kancing piyama Jesse. Wanita itu mengenakan bra hitam berenda yang cantik. Napas Jesse tersentak ketika Max menurunkan bibirnya ke daging kenyal yang tak tertutup kain.

Jesse mengerang. "Oh Tuhan!"

"Kau suka?"

Jesse tidak menjawab tapi ia memang tidak perlu menjawab ketika tubuhnya telah menunjukkan betapa ia mendambakan Max. Tangan Max terus bergerak, menyelesaikan tugasnya di atasan piyama Jesse. Max mengangkat tubuh, menilai hasil karyanya. Perut datar Jesse terekspos, dada yang mengenakan bra cantik itu naik turun, mata Jesse menatapnya sayu. Max menarik celana piyama Jesse dengan mulus, memperlihatkan celana dalam yang sepasang dengan bra itu. Max berhenti bernapas ketika menyadari betapa cantik wanita di bawahnya.

"Kau membuatku gila." Max menurunkan wajahnya menciumi perut Jesse. Lidahnya bermain-main di sepanjang kulit hingga membuat Jesse menggeliat. Tangan Jesse di rambutnya dan suara Jesse seperti nyanyian surga.

"Max... Max..." Jesse menyebut namanya berulang-ulang dan itu membuat Max hampir kehilangan kendali.

"Astaga, kau begitu cantik." Max sudah berkali-kali membayangkan Jesse telanjang. Ia selalu bertanya-tanya apa yang ada di balik jas lab wanita ini, di balik piyama bergambarnya, tapi tidak menyangka akan seindah ini. Max menurunkan celana dalam Jesse dalam satu gerakan mulus dan melemparnya ke belakang. Kembali memeluk wanita itu, meraih kait bra di balik punggung dan melucutinya. Mencium Jesse seraya melempar branya tanpa peduli ke mana benda itu mendarat. Inilah yang Max inginkan, tangannya yang membelai dada kenyal Jesse. Mengendus ruang di antaranya. Melahapnya secara bergantian.

Jesse melengkungkan punggung dengan begitu indah. Mendekatkan dirinya pada Max dan Max siap memperdalam cumbuannya untuk menyenangkan wanitanya. "Astaga, Max! Jangan... berhenti."

"Tidak mungkin." Max melepas bibirnya dari dada Jesse. Melepas kaosnya dalam satu tarikan mulus. Ia bisa melihat Jesse yang terbakar gairah, menelan ludah, sementara pipinya merona ketika menatap tubuh Max yang telanjang dada di atasnya. Max senang menimbulkan efek semacam itu pada Jesse. "Sentuh aku."

Jesse menjalankan tangannya ke dada Max. Jemari Jesse begitu lembut, meninggalkan jejak panas di tiap inci kulitnya. Jesse menelusuri otot perutnya. Max mendengus tajam merasakan gairahnya yang naik ke permukaan. Jesse menatap Max untuk melihat reaksi atas perbuatannya. Tangannya terus turun ke ban pinggang celana jins yang Max kenakan. Max sepenuhnya menegang di bawah sentuhan Jesse.

Max membuka kait celananya, menurunkannya, dan membebaskan dirinya hingga menjulang. Jesse terlihat menahan napas ketika melihat gairah Max yang tersedia di hadapannya. "Sentuh aku."

Jesse tidak lantas menurutinya. Wanita itu justru membuka kakinya lebih dulu sebelum menyentuh gairah Max. Tungkainya mengait pinggul Max membuat Max terjatuh di atas tubuhnya. Max mencium Jesse, membiarkan gairahnya yang bebas menyentuh inti Jesse. Wanita itu terengah-engah di bawahnya, Max pun demikian. Max hampir saja meledak, padahal ia belum sempat memasuki Jesse.

"Tunggu. Sial." Max meraih kantong celananya, mengambil dompet, dan mencari pengaman yang dibawanya. Sekali kali merasakan syukur karena sempat memikirkan kondom. Membuka kemasannya dengan gigi, Max melindungi dirinya secepat kilat sebelum memposisikan dirinya untuk Jesse.

"Oh! Astaga!" desah Jesse ketika Max sepenuhnya menyatukan diri.

Sementara Max membeku di posisinya. Ia mendengus kuat-kuat dan berusaha mencari udara. "Sial." Brengsek. Apa-apaan ini? Jesse begitu ketat hingga Max perlu menyesuaikan diri sebelum bergerak. Apa benar wanita ini tidak perawan? Max merasa dirinya seperti dipilin.

"Max?" Sepertinya Jesse mulai bertanya-tanya mengapa Max belum bertindak.

Astaga, Max sangat ingin bergerak. Tapi dengan dinding yang seketat ini, Max perlu berusaha supaya bertahan lebih lama. Ini bisa saja karena Max sudah lama tidak melakukan seks atau Jesse yang begitu nikmat.

"Max... um... kau... begitu..." Kalimat Jesse menggantung sejenak. Max menarik wajah untuk menatap wanita itu. Ya Tuhan, wanita itu begitu cantik di bawahnya. Max tidak mengira bisa menatap Jesse sementara tubuh mereka tak berjarak. "Begitu... besar."

Max mendengus lagi. Kata-kata Jesse tidak membantu. Gairahnya semakin berdenyut dan Jesse bisa saja membuatnya ejakulasi dini. "Brengsek, J. Kau begitu nikmat. Ya Tuhan, aku bisa saja meledak tanpa harus bergerak."

"Tapi kau harus." Jesse memelankan suaranya dan menambahkan. "Aku ingin merasakanmu."

Max memundurkan pinggul dengan pelan, memejamkan mata ketika merasakan nikmatnya, lalu melesak lagi untuk menembus inti Jesse.

Erangannya Jesse teredam di bahu Max. Sementara pria itu menyusupkan dirinya di leher Jesse. "Lagi."

Max melakukannya lagi. Keluar menyisakan sedikit, lalu kembali pada Jesse. Ketika Max bisa menyesuaikan diri, ia mulai memberi ritme pada gerakannya, menarik wajahnya untuk menatap Jesse, mencium bibir wanita itu, dan berbagi desahan seraya mencari kenikmatan. Saat itulah Max menyadari ia baru saja jatuh cinta lagi pada wanita ini.


# # # #

Jesse menatap mata Max yang balas menatapnya. Sesekali mata biru itu tertuju ke dada Jesse dan memainkan ujung rambut Jesse di sana. Max mencium bibirnya lagi. Lagi dan lagi. Jesse muali tidak bisa menghitung berapa banyak ciuman mereka sejak semalam. Benar-benar tidak bisa dipercaya Jesse baru mendapatkan ciuman pertamanya semalam, rasanya seperti ia sudah sering melakukan itu bersama Max.

"Aku bisa saja merayumu untuk ronde kedua. Tapi aku cuma bawa satu pengaman."

Jesse merasakan pipinya panas. Sepertinya baru kali ini Jesse mendapatkan seks di pagi hari. Jesse tidak pernah melakukan ini bersama Davis. Seks dengan Max tidak bisa dibandingkan dengan Davis. Pria pertama Jesse begitu teratur hingga kasur yang mereka tempati untuk berhubungan seks seperti hanya ditiduri. Tetapi kasur yang menjadi tempat Max dan Jesse berhubungan seks, jelas terlihat seperti baru saja diserang kebrutalan. Jesse tidak bisa menemukan bantal atau gulingnya. Jadi ia terpaksa berbantalkan lengan berotot Max yang nyaman. Selimutnya tertendang entah ke mana. Seprainya pun tak lagi melekat seperti seharusnya.

Max Beverly jelas definisi pria erotis yang ada di novel. Jesse berani bertaruh ia akan kesulitan mencari celana dalamnya nanti.

"Apa aku bisa mendapatkan yang seperti ini lagi?" tanya Max. "Bukan yang persis seperti ini. Maksudku, aku terbuka untuk gaya, posisi, dan variasi lainnya."

Ya Ampun. Jesse tak mengerti mengapa Max perlu bertanya. Itu membuat Jesse malu. Meski tak bisa dipungkiri Jesse juga menginginkan seks semacam itu lagi. Baru kali ini Jesse orgasme tiga kali dalam satu kali hubungan seks. Tiga! Itu pasti rekor atau sesuatu.

"Kalau aku tahu akan sehebat itu seks kita, aku pasti melompat jendelamu sejak lama."

Jesse menepuk dada Max dan menyurukkan kepala ke sana. Ia menghirup aroma maskulin Max yang menyenangkan. "Berhentilah membuatku malu, Max."

"Aku sudah bilang kalau aku suka membuatmu malu, kan?" Max mengecup puncak kepala Jesse lalu memberi usapan lembut. "Mau sarapan sekarang?"

Jesse mengeluh saat mendongak menatap Max. "Aku baru sadar kalau aku belum mandi."

Max menarik lengannya dari bawah kepala Jesse dan bangkit mengambil panekuk yang pasti sudah dingin. "Yah, kalau belum mandi saja senikmat itu. Aku tidak bisa membayangkan yang lebih dari itu." Max meletakkan nampan ke kasur, memotong panekuk, dan menyuapkannya untuk Jesse.

Jesse menatap uluran tangan Max. Sikap manis Max tidak akan pernah bisa membuat Jesse mempertahankan benteng dirinya. Max selalu bisa meluluhkannya. Ia menerima suapan itu dan mengunyah. Makanan itu lezat dan Jesse yakin Max bersusah payah. "Kau tidak makan?"

Max tersenyum jail saat menatap Jesse. "Tentu saja." Ia mengambil garpu dan menelusuri selai cokelat di atas panekuk. Alih-alih memotong panekuk, Max membawa garpu itu ke dada Jesse, melumuri puncak Jesse dengan selai cokelat. Sebelum Jesse bisa menjauh atau mencegah, mulut Max sudah melahap sarapannya. Jesse tidak bisa menahan dirinya untuk mendesah.

"Max! Oh, Max!"

Max melepaskan mulutnya dan tersenyum lebar melihat Jesse yang terengah-engah. "Lezat. Kau memang sangat lezat, Baby J."

"Jesslyn! Kau bilang kau akan menyirami seladaku!" seru ayahnya di balik pintu hingga Max dan Jesse menegakkan tubuh.

"Sial. Sial. Aku hampir lupa ini rumah orang tuamu," Max bangkit dan menatap pintu seolah menanti monster yang siap menyerangnya. Padahal dia sendiri masih telanjang.

Ada suara ribut-ribut di luar. Itu pasti Janice dan James yang berdebat. Janice mengatakan sesuatu, seperti ia sudah mengambil tugas menyirami itu. James menggerutu mengapa Jesse bangun sangat siang. Janice berkata bahwa Jesse kelelahan dan menyuruh James supaya membiarkan Jesse istirahat. Sepertinya itu memang terdengar seperti ibunya.

"Aku mungkin harus menyelamatkan diri sebelum dikubur di kebun belakang rumahmu dan menjadi mikroorganisme penyubur selada."

Jesse tertawa mendengar kata-kata Max. Berusaha keras tidak terbahak supaya ayahnya tidak curiga. Max mendekatkan wajahnya, meraih wajah Jesse dan memberi ciuman di bibir. Max melepas ciumannya, namun masih menyematkan kecupan di beberapa titik. Max seperti tak ingin berhenti menyentuhnya. Jesse tak mengira dirinya akan suka diperlakukan seperti itu.

"Keluar denganku hari ini? Makan siang? Makan malam? Jalan-jalan sore? Aku ingin menghabiskan waktu denganmu."

Jesse menghela napas. "Aku harus menemui Vivian dan Cara sebelum pesta."

Wajah kecewa Max muncul seketika dan tak dibuat-buat. "Oh. Um, yah, baiklah. Mungkin... aku akan menjemputmu―kalau kau tidak keberatan..."

Jesse tersenyum. "Atau kita bisa keluar sekarang setelah aku mandi. Sebelum aku harus ke rumah Cara. Mungkin kau bisa menjemputku juga dan kita bisa melakukan sesuatu setelah aku selesai dengan Cara."

Senyum muncul dengan cepat menggantikan ekspresi sebelumnya. "Kita akan pergi seharian? Kau mau?"

Jesse juga sama tak mengiranya bisa mencetuskan ide itu untuk Max. Ia menjawab mantap seolah memang itu yang diinginkannya. Tapi Jesse memang menginginkan itu. Tiba-tiba ia tidak ingin berjarak dengan Max. "Aku mau."

Max meraih celana jinsnya. Tidak ada celana dalam. Jesse tidak ingat apakah Max melucutinya tadi. "Kau tahu, aku suka bagian―melakukan sesuatu, seperti yang kau usulkan." Kemudian Max membuka jendela kamar Jesse dan melompat keluar. Meninggalkan Jesse yang baru saja menyadari bahwa kamarnya seperti baru saja diterjang angin topan akibat seks yang menggairahkan. Ia melihat kaos Max yang tergeletak, celana dalam Max yang tertinggal, dan pelindung bekas yang dilempar sembarangan. Jesse jelas tidak punya pengalaman soal ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top