(15)
Jesse tidak mengadukan hadiah terkutuk yang ia dapatkan di loker kepada siapapun. Ia tidak bisa menduga siapa yang mungkin melakukan hal itu padanya. Sebagian besar teman SMA-nya sekarang adalah temannya sejak di bangku sekolah dasar, beberapa adalah pendatang baru yang Jesse kenal saat SMP―dan siapapun yang punya dendam pada Jesse di masa lalu, kenapa pula orang itu perlu menunggu sampai SMA?
Jesse juga tidak menceritakan hal itu pada Max. Pemuda itu tahu dengan sendirinya. Pasti desas-desus memalukan itu sudah menyebar. Jesse tak bisa mengelak ketika Max menatap penampilan Jesse saat makan siang―dengan kaos oblong kebesaran milik Sam. Sara membantunya di kamar mandi dan bergegas mencari bantuan untuk mengganti baju Jesse yang bernoda cat merah cerah.
Benar-benar memalukan. Pasti Max baru sekali ini menghadapi gadis seperti Jesse. Pemuda itu begitu marah hingga memelototi semua orang sepanjang sisa hari itu untuk mencari pelakunya.
"Kalau aku sampai tahu siapa yang melakukannya―"
"Yah, kau tidak tahu. Aku juga tidak," potong Jesse ketika Max mulai menggeram di kantin dengan suasana hati buruk. Jesse dan Max jarang makan siang bersama, tapi sepertinya, kali ini Max berusaha menjadi pengawalnya. Jesse tidak mau membuat masalah baru untuk hari itu, jadi ia menurut saja dan berusaha bersikap santai layaknya pasangan remaja lain.
"Siapapun itu, dia sudah sangat keterlaluan. Dia benar-benar cari masalah denganku!"
Jesse mendesah. "Lupakan saja, Maxime sayang."
Max mengerjap dan menatap Jesse. "Begitu. Kau sengaja menambahkan kata sayang supaya aku luluh. Dasar licik."
Jesse tergelak. "Setidaknya, itu berhasil."
Dan itu benar. Sisa hari itu Jesse gunakan untuk meyakinkan Max bahwa semuanya akan baik-baik saja. Jesse perlu bermanis-manis supaya suasana hati Max sedikit lebih baik. Jesse juga membiarkan Max menunggu sang ayah menjemputnya sebelum Max sendiri pergi berlatih.
Meski Jesse mengatakan semuanya baik-baik saja pada Max, Cara, Sara, dan yang lainnya, tapi Jesse tak bisa mengenyahkan pikirannya yang menduga-duga. Ayahnya bahkan bisa membaca gelagat Jesse yang sering berpikir keras hingga Jesse perlu mengelak dari satu orang lagi.
Setelah beberapa waktu lamanya, kejadian itu terlupakan di antara Max dan Jesse karena Jesse tidak pernah mau membahas. Namun sepertinya, cerita murahan itu belum sepenuhnya menghilang dari gosip sekolah. Jesse berusaha bertahan untuk tidak memedulikannya. Max juga. Tapi tetap saja pemuda itu memelototi siapa saja yang memandang aneh pada Jesse.
Bagaimanapun, Jesse tidak mau Max mengekorinya ke mana-mana. Mereka punya lingkaran pergaulan yang berbeda dan Jesse butuh jarak dari sikap Max yang berubah protektif. Jesse perlu bersusah payah meyakinkan Max bahwa ia punya urusan dan tidak ingin Max ikut. Max akhirnya mengerti dan meninggalkan Jesse karena Jesse pun tahu, Max seharusnya berada di tempat lain untuk menyelesaikan urusannya.
Kini Jesse harus menghadapi tatapan menyerang itu. Jesse tidak tahu seperti apa wajahnya saat penuh dengan noda cat, tapi sepertinya itu bahan lelucon yang akan bertahan selama berminggu-minggu.
Dan tiba-tiba saja, Jesse sudah tersungkur dengan wajah lebih dulu ketika ia berjalan melalui koridor untuk mencapai kelasnya pagi ini. Ada suara tawa. Banyak. Tapi Jesse tidak bisa melihat siapa saja yang tertawa. Kacamatanya terlepas hingga segalanya buram. Jesse mencari-cari di sekitarnya. Mengabaikan betapa lututnya berdenyut-denyut karena menghantam lantai, telapak tangannya yang panas karena menyangga tubuh sebelum wajahnya menyentuh lantai.
Jesse berhasil menemukan kacamatanya, namun ketika ia mengenakannya, ia menyadari lensa sebelah kanannya hampir pecah. Jesse menatap ke arah kakinya. Melihat tiga orang gadis yang berdiri paling dekat dengannya. Meski Jesse tidak memperhatikan jalanan saat berjalan tadi, tapi ia bersumpah ia terjungkal karena ada kaki yang sengaja menjagalnya. Dan hanya dengan satu lensa saja yang berfungsi, Jesse bisa melihat Kayla Winters tertawa keras dengan pandangan mencemooh.
"Perhatikan jalanmu, junior," cibir Kayla. "Hati-hati berjalan."
Jesse bangkit untuk mengembalikan sisa harga dirinya. "Maaf. Apa kau sengaja membuatku jatuh?"
"Masa?" Kayla tertawa dibuat-buat dan itu membuat Jesse muak. "Huh. Kau jatuh dengan sendirinya dan sekarang kau menyalahkan aku."
"Yah, aku tak tahu apa masalahmu, tapi aku tidak suka diperlakukan tidak adil!"
"Adil." Kayla membeo lalu tertawa-tawa diikuti teman-temannya yang Jesse ketahui sebagai anggota pemandu sorak senior juga.
"Dan aku mulai bertanya-tanya, apa kau juga yang membuatku terkena noda cat."
Kini Kayla menatap tajam Jesse. "Hati-hati dengan perkataanmu, kuperingatkan kau. Apa kau pikir kau paling pintar? Kau hanya sok berani. Kau hanya menggunakan Max sebagai tamengmu. Kau bukan apa-apa kalau bukan karena Max!"
"Aku bisa berdiri dengan kakiku sendiri, brengsek! Aku pintar. Aku berhasil. Aku berusaha. Aku melakukannya sendiri dengan jerih payahku. Dan itu tidak ada hubungannya dengan Max!" ujar Jesse berapi-api. Ia tidak pernah mengumpat, tapi emosinya detik ini sudah cukup membuatnya berani menyumpahi siapapun. Cukup untuk membuatnya melanggar etika manapun. "Jika ada orang yang bukan apapun. Itu kau. Aku berani bertaruh bahwa kau tidak punya dua puluh nilai A padahal kau hampir lulus. Kau hanya bisa memanas-manasi dan menindasku dengan cara pengecut. Karena itulah kau―pengecut! Aku bahkan bertanya-tanya apakah payudara atau bokongmu itu asli!"
Ada suara oh panjang di sekitar mereka ketika Jesse berani menumpahkan segalanya. Wajah Kayla merah padam dan Jesse merasa sangat siap untuk menghadapi gadis ini. Tapi Kayla hanya mengepalkan tangannya dan teman-temannya terlihat sama marahnya. Tiga lawan satu, bukan jumlah yang baik. Tapi sepertinya Jesse tidak peduli. Ia cukup yakin bisa mebela dirinya sendiri. Ia tidak belajar siang malam hanya untuk diinjak-injak.
Seorang teman perempuan Kayla tiba-tiba datang menengahi mereka. Ia juga menatap tak suka pada Jesse, namun tidak mengatakan apapun sebelum berbalik pada Kayla dan berbisik-bisik di belakang Jesse yang masih tersulut emosi. Kayla menggeram pada temannya itu, namun gadis itu mendorong Kayla lebih keras. "Lain kali saja. Ayo," ujar gadis itu ketika Jesse menguping.
Kayla masih saja menatap Jesse dengan tajam. Rahangnya menegang. Dagunya terangkat begitu tinggi. "Ini belum berakhir. Aku sama sekali tidak takut denganmu, dasar sok pintar! Dan kau tahu, menurutku kau menyinggung dada dan bokongku hanya karena kau tidak memiliki keduanya di tubuhmu yang kurus kering itu!"
Ada gelak tawa lebih keras di sekitar Jesse. Kayla menyeringai puas lalu berbalik dengan senyum akhir mencemooh. Saat itulah kaki Jesse bertindak dan tangannya menggapai-gapai rambut Kayla. Gadis itu menjerit-jerit, begitu juga teman-temannya yang berusaha melepaskan tarikan Jesse di rambut cokelat Kayla. Jesse benar-benar berhasrat menggunduli gadis itu hanya dengan tangan kosong.
Salah satu teman Kayla mendorong Jesse hingga Jesse hilang keseimbangan. Tapi ia cepat-cepat meraih Kayla hingga keduanya tersungkur di lantai koridor, lalu kembali menendangi Kayla dan masih berusaha menarik.
"Astaga!" Suara pekikan berat itu terhadang oleh sorak ramai anak-anak di koridor yang menyemangati Jesse dan Kayla. Lawan Jesse masih menjerit-jerit, tidak Jesse biarkan sedikitpun gadis itu membalas, tapi tiba-tiba saja tubuh Jesse sudah terangkat oleh sebuah tangan besar dengan begitu mudahnya hingga ia terlepas dari Kayla.
"Lepaskan aku!" Jesse meronta, menendang-nendang siapapun yang berani menariknya mundur. Kayla menangis di lantai, wajahnya memerah, dan rambutnya berantakan. Namun Jesse masih saja muak. "Pengecut! Cengeng! Tolol!"
"Baby J, tenang," bisik seseorang di telinganya. Saat itulah Jesse menoleh dan ternyata Max lah yang sudah memisahkannya dari Kayla.
"A-apa yang kau lakukan di sini?!" pekik Jesse. Ia tidak mau Max ikut campur urusannya. Ia tidak mau dibilang bergantung pada Max. "Lepaskan aku!"
"Kau hanya membuat dirimu terkena masalah," kata Max.
"Kalau begitu jangan terjun ke arahku atau kau juga mendapatkan masalah!" geram Jesse.
"Apa-apaan ini?!" Suara melengking itu membuat semua orang terkesiap hingga kerumunan penonton di koridor berangsur bubar untuk melarikan diri. Jesse juga ingin lari, tapi ia masih berada dalam dekapan Max yang begitu kuat. Tiba-tiba Jesse tidak bisa bernapas begitu melihat kepala sekolah mereka, Mrs. Trace berdiri untuk menelaah keadaan yang ada.
Mrs. Trace menatap keadaan Kayla yang tersungkur di lantai, menatap Max dengan kening berkerut, dan melotot ketika pandangannya jatuh pada Jesse.
Sial. Jesse terlihat seperti tersangka utama sekarang.
"Mr. Beverly, Miss Winters, dan Miss McGraw, kalian harus ke kantorku dan menjelaskan apa yang terjadi."
# # # #
Jesse bangun dengan aroma margarin menguar di udara. Baunya seperti panekuk hangat yang siap menyambut paginya. Ini pasti sarapan spesial yang ibunya buat. Meski Jesse sendiri tak bisa mengingat apa yang membuat hari ini spesial. Namun samar-samar, di tengah bau menggoda itu, mulai tercium aroma aftershave yang begitu segar. Membuat Jesse bertanya-tanya apakah ayahnya mengganti parfum seperti anak muda dan Jesse mulai meringis memikirkan krisis paruh baya yang terjadi pada ayahnya.
Namun bukan ayahnya lah alasan mengapa aroma segar itu ada di sini. Ternyata itu Max tengah berbaring di sampingnya dengan wajah segar dan senyum yang begitu lebar. Dan dia ada di ranjang Jesse hingga reflek pertama yang terpikir oleh Jesse adalah menjauh. Harusnya Jesse tidak bisa melihat Max dengan jelas karena Jesse tidak mengenakan kacamatanya, tapi, astaga, bagaimana mungkin Max tidak terlihat kalau pria itu ada di depan hidungnya.
"Selamat pagi, Baby J."
Jesse menatap pintu kamar dan jendelanya yang tertutup. Diam-diam melirik tubuhnya, memastikan ia tidak telanjang. Syukurlah ia masih dengan piyama lengkapnya. Sekarang ia tak yakin apakah ia benar-benar sudah bangun. "Apa yang―kau lakukan di sini, Max?"
Max memindah lengannya dengan santai ke bawah kepalanya. Trisepnya menggembung menampakkan urat-urat yang tak tertutup kaos. Dagu Max terlihat rapi, tapi sepertinya ia sengaja menyisakan cambang tipis. "Menyapamu. Aku mengantarkan sarapan. Buatanku. Mau coba?"
"Darimana kau datang?"
"Tadinya aku berencana melompati jendelamu, tapi kau menguncinya dan kulihat ayahmu sedang jalan-jalan pagi bersama ayahku. Aku masuk dan merayu ibumu, lalu dia mengijinkanku masuk."
Harusnya Jesse tahu bahwa Janice akan selalu jadi sekutu Max. Jesse bangun dan meraih kacamatanya di nakas. Ketika penglihatannya menjadi lebih jelas, ternyata Max memang tampan. "Harusnya kau beri aku waktu untuk membersihkan wajahku dan menyikat gigi," gerutu Jesse. Ini tidak adil. Max terlihat begitu hebat, sementara rambut ikal Jesse pasti menggembung seperti singa. Jesse berharap ia tidak bangun dengan bekas liur di sudut bibir.
"Oh, persetan. Memangnya aku peduli." Kemudian Max menarik tubuh Jesse hingga terjatuh di atas tubuhnya. Membawa bibir Jesse ke bibirnya. Tangan besar meraih ke belakang tengkuk Jesse untuk memperdalam ciuman. Ini sangat... menggairahkan. Ciuman ini begitu... fantastis.
Tangan Max yang lainnya turun ke tubuh Jesse, membawanya lebih dekat, dan Jesse menurut saja. Ia kehilangan fungsi otaknya ketika Max menyusupkan lidah dan melumat bibir bawahnya.
"Ya Ampun, Jesslyn," bisik Max. Ia berhenti dari bibir Jesse untuk mengambil udara seraya menyatukan dahi mereka. Max membuka mata hingga warna biru itu menyeruak dalam hati Jesse. Saat itulah Jesse tahu pertahanannya telah hancur dan ia kalah dari pesona Maxime Beverly.
"Max..." Jesse tidak tahu apa lagi yang akan ia katakan. Ia kehilangan kendali dirinya. Ia hanya menginginkan Max. Jesse meraba dada Max hingga membuat pria itu menggeram dan Jesse berjengit. Tubuh Max begitu panas di balik kaosnya. Jakun Max naik turun. Matanya sayu saat menatap Jesse.
"Katakan sesuatu, Jesse. Mintalah aku melakukan sesuatu. Tapi jangan suruh aku berhenti."
Oh, sial. Max tahu persis bahwa Jesse menginginkannya. Tapi Max begitu menghargai Jesse hingga tak bertindak lebih jauh sebelum Jesse yang meminta. "Aku... ingin―" Apa? Apa yang kuinginkan?
"Beritahu aku," bisik Max di telinganya.
Jesse memejamkan mata ketika merasakan sentuhan Max di lehernya. Ia bahkan tak bisa menahan desahannya, namun ia benar-benar lupa caranya merasa malu ketika mulut Max begitu nikmat.
"Apa kau suka kusentuh di sini?" tanya Max sambil mengusap payudara Jesse di balik piyama dengan ibu jarinya.
Jesse tidak bisa menjawab. Ia tidak yakin masih punya suara selain desahan nikmat itu karena napasnya sekarang mulai berat.
"Kau begitu mungil dalam pelukanku, Baby J. Dan ini membuatku gila."
"Bercintalah denganku, Max." Jesse berkata pada akhirnya. Ia berharap bisikannya tidak kentara. Tapi di ruangan ini, dengan Max yang tak berjarak dari Jesse, tentu saja Max bisa mendengar.
Max menarik wajah Jesse hingga menjauh. Ia menatap mata Jesse dengan sungguh-sungguh. Ia pun mencari kesungguhan. "Kau yakin?"
Jesse mungkin akan menyesali ini, tapi ia berkata, "Ya."
Max mengecup bibir Jesse lagi, lalu memeluk kuat-kuat. "Terima kasih, Tuhan, aku mengunci pintunya."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top