(13)
Ketika Jesse tak kunjung membalas ciumannya, Max mengulurkan tangannya ke belakang leher Jesse dan membawa wanita itu mendekat padanya. Ia menahan Jesse dan memperdalam ciumannya. Jesse sama sekali tidak membuka bibirnya. Max sebisa mungkin tidak berliur atau ia akan merusak segalaya. Meski dalam benak Max ia masih mengingat betapa Jesse begitu antipati soal ciuman bibir ke bibir, tapi demi Tuhan, Max tidak lagi bisa menahan dirinya ketika Jesse terus menghindar darinya dan tak pernah menyerah untuk berdebat dengannya.
Lantas kenapa ia tidak membungkamnya sekalian? Mereka sama-sama dewasa dan bukannya berumur sepuluh tahun lagi untuk menganggap ciuman penuh hasrat itu menjijikkan. Ini adalah cara satu-satunya yang terlintas di benak Max untuk menunjukkan keputusasaannya.
Namun sepertinya, Max memang begitu putus asa hingga ia menyadari dirinya berusaha seorang diri. Karena setelah beberapa waktu lamanya, Max tidak merasakan balasan dari bibir dan lidahnya yang mendesak Jesse.
Max memundurkan wajahnya ketika tak mendapat respon apapun. Bibir Jesse terkatup dan basah. Wajah Jesse menunjukkan keterkejutan―sama sekali tidak terlihat habis menikmati sebuah ciuman. Seketika Max merasa bersalah karena menarik Jesse tanpa ijin apapun.
Meski begitu wanita ini masih begitu cantik. Max mengusap bibir Jesse yang berkilau karenanya. Hasratnya masih begitu besar untuk mencicipi bibir itu lagi, namun ia ragu Jesse memang menginginkannya.
"Sudah selesai?" tanya Jesse dengan emosi yang tak bisa Max pastikan. Jesse jelas-jelas mengambil langkah mundur meski ia tidak bisa melarikan diri ke manapun dengan mobil di belakangnya dan Max yang menghimpitnya. Tangannya menyentuh dada seolah ingin melindungi diri.
"Jesslyn... aku―"
"Biarkan aku pergi, Max," potong Jesse.
Max menghela napas dengan kasar. "J, aku menyesal. Sungguh."
"Ya, aku tahu kau akan menyesalinya," potong Jesse lagi. "Aku sudah tahu. Aku... aku memang tidak berpengalaman soal―soal... yang tadi itu. Kau pasti... punya pembanding yang lebih bagus daripada yang tadi."
Apa yang ia bicarakan? Ciuman itu menggairahkan. Max menginginkannya. Ia hanya menyesal karena melakukan itu dengan cara bajingan. "Aku tidak minta maaf soal ciumannya!"
Jesse mengerjap seolah kata berciuman memang baru saja terdengar olehnya. "Yah, kalau begitu kau menyesal untuk apa, Max? Karena memang itulah yang terjadi sekitar lima belas detik yang lalu. Kau menerjangku dan aku tidak punya persiapan, atau pengalaman―"
"Pengalaman apa?"
Namun Jesse terus bicara tanpa menghiraukan selaan Max. "Dan omong-omong, aku juga tidak minta untuk dibandingkan―"
"Aku bahkan tidak membandingkanmu!" tegas Max.
"―aku pasti akan memperingatkanmu lebih dulu kalau kau tidak mendapatkan kenikmatan apapun dari bibirku seperti yang kau bayangkan." Jesse menutup mulut tiba-tiba dan menyumpah. Kemudian ia meralat kalimatnya. "Maaf. Lupakan. Aku besar kepala. Kau bahkan tak mungkin pernah membayangkanku."
"Kau sangat konyol, J. Kau tak tahu seberapa besar aku menginginkanmu."
"Yah, tak perlu menghiburku." Jesse melarikan tangan ke belakang punggung untuk membuka pintu mobilnya, namun Max menyentak tangan itu dan kembali menghimpit Jesse. "Apa yang kau lakukan?"
"Apa maksudmu kau tidak punya pengalaman?" tanya Max serius.
"Pengalaman apa? Aku punya banyak pengalaman. Aku berwawasan."
Brengsek, pembicaraan ini tidak mungkin lebih mudah lagi. "Berhenti menghindari semua pertanyaanku. Berapa pria yang sudah menciummu?"
Jesse mendorong dada Max tanpa hasil yang berarti. "Itu pertanyaan tidak sopan, Mr. Beverly!"
"Kenapa tidak kau jawab saja?" desak Max.
"Kehidupanku jelas bukan urusanmu!"
"Oh! Ha ha!" Max tertawa datar, hampir-hampir merasa menang. Sedikit lagi―sampai Jesse mengakui yang sesungguhnya ia pikirkan. "Aku tahu sekarang! Tidak ada pria itu. Tidak ada empat tahun keparat! Tidak ada ciuman juga kalau begitu. Semuanya hanya omong kosong."
"Kau salah!" bantah Jesse. "Memang ada seorang pria. Kami... hubungan kami bagus. Dan aku tidak memerlukan penilaianmu."
Max tahu ini semua hanya omong kosong. Apapun sejarah mereka, betapa Jesse terus menghindarinya. Kenapa Jesse terus melakukan ini padanya? Max tidak tahu apa motif Jesse. "Oke, jika memang ada pria. Apakah dia menciummu?" tantang Max.
"Tentu saja!" tukas Jesse tanpa pikir panjang.
"Lalu kenapa kau bahkan tak bisa membalasku? Kau tak tahu caranya? Jesslyn McGraw yang berwawasan tidak tahu cara membalas ciuman?" ejek Max.
Jesse mengerjap dan perlu beberapa detik sebelum menjawab. "Aku tahu caranya membalas ciuman, Maxime!"
Max mendekatkan wajahnya pada Jesse hingga mata wanita itu melebar. "Coba saja balas ciumanku."
"Aku tidak mau menciummu," desis Jesse.
Max menyeringai puas. "Kau hanya membuktikan dirimu sebagai pembual kalau begitu. Semuanya. Adalah. Omong kosongmu. Aku bertanya-tanya apakah kau akan lelah dengan segala omong kosong itu―"
"Aku tidak―"
Namun Max telah memotongnya. "Kau menggunakannya saat kita putus. Kau menggunakannya untuk menghindariku. Kau bahkan tak punya cukup keberanian untuk membalas ciumanku. Sungguh, Jesslyn, apakah kau memang orang yang nyata? Aku mulai berpikir kau begitu palsu dan aku tak tahu siapa yang telah kucintai selama ini."
Suara Jesse mengecil. "Aku bukan orang yang palsu. Aku tidak pernah berpura-pura."
"Salah besar," jawab Max. "Kau bahkan tak membuktikan apapun."
Itu kebenarannya. Max memang selalu mencintai Jesse. Tapi Jesse selalu mendorong Max keluar dari hidupnya. Max sudah siap jika Jesse akan meninggalkannya lagi kali ini. Mungkin Jesse memang tidak menginginkan hubungan ini kembali. Setidaknya Max sudah mengatakan apa yang ada dalam pikirannya. Jesse yang membuatnya jatuh cinta memang telah menghilang begitu saja dari hidupnya. Ketika sosoknya hadir kembali, seolah gadis milik Max itu telah digantikan wanita baru yang begitu kosong dan tak pernah mau memandangnya.
Tak ada cara lain. Max siap untuk kalah. Lagi. Kekalahan bukan hal tak lazim dalam hidupnya. Ia berada di lapangan untuk menjadi pemenang namun juga ditakdirkan untuk mencicipi dan bangkit dari kekalahan. Meski ia tak tahu bagaimana caranya mengobati hatinya setelah Jesse mencampakkannya kali ini, tapi Max pasti akan menemukan caranya.
"Itu memang omong kosong. Aku benar, bukan?" ujar Max ketika Jesse bergeming.
Max baru akan menarik mundur tubuhnya dan membiarkan Jesse pergi dengan kebungkamannya, namun kedua tangan Jesse tiba-tiba merengkuh lehernya dan bibirnya mencapai bibir Max. Alih-alih Jesse, kini Max yang begitu terkejut ketika lidah Jesse yang begitu lembut membelainya. Hal itu sudah cukup membuat Max kehilangan kendali. Jesse memejamkan matanya kuat-kuat seolah berusaha meredam rasa malunya demi membuktikan diri pada Max.
Ini tidak mungkin nyata. Tapi Jesse memang tengah memeluk dan menciumnya.
Tidak mungkin Max menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia memejamkan mata, membuka mulutnya dan membalas belaian Jesse. Satu tangan besarnya meraih pinggul Jesse mendekat, satu tangannya lagi memenjarakan tengkuk Jesse supaya tetap berada dalam jangkuan mulutnya.
Tangan Jesse bergerak ke belakang, meremas lengan Max yang tengah meremas pantatnya, lalu meluncur ke kenop pintu dan membuka mobil. Max perlu melepaskan ciuman mereka ketika udara makin menipis. Namun ia tidak menunggu lebih lama untuk mencicipi Jesse lagi. Max membuka pintu belakang mobil Jesse dan menarik wanita itu dalam pelukannya. Memberikan belaian lagi di mulutnya, memberanikan diri untuk turun ke leher Jesse dan memanjakan daerah sensitif itu. Napas Jesse menjadi berat dan Jesse sama sekali tidak berontak ketika Max mendorongnya ke bagian belakang penumpang.
"Max..." desah Jesse.
"Kumohon. Jangan hentikan ini. Kumohon, Jesslyn." Max membenamkan kepala ke leher Jesse. Menghirup aroma wanita itu seperti kokain. Max memberi gigitan ringan hingga wanita itu menggelinjang. "Jangan suruh aku berhenti. Aku begitu menginginkanmu. Aku sudah memimpikan ini lama sekali."
Jesse meraih wajah Max lagi dan mencium lagi. Wanita yang mengatupkan bibirnya saat Max menciumnya mendadak bisa membakar gairah Max hingga begitu panas. Max melarikan tangannya ke kain tipis nan lembut yang jatuh di kaki Jesse. Bergerilya di antara rok gaun itu dan menemukan kulit yang begitu lembut di bawah tangannya.
"Oh, Tuhan!" erang Jesse ketika Max meremas bokongnya dari balik gaun. "Max... kita... tidak mungkin melakukannya di sini. Akan ada seseorang yang melihat."
Memangnya aku peduli? "Kau akan lari dariku begitu aku menghentikan ini."
Jesse bahkan tidak menutupi jawabannya untuk menyenangkan Max. "Ya."
Tidak. Max tidak mau kehilangan momen ini sedetikpun. "Jadi bersiaplah ditonton seseorang karena aku lebih memilih menjadi bintang porno yang dipermalukan daripada kehilanganmu," kata Max sebelum menerjang Jesse lagi.
"Kumohon, Max." Jesse bergetar ketika Max membelai dari luar celana dalamnya. "Di dalam mobil, di manapun―demi Tuhan, jangan biarkan pintunya terbuka."
Max mengangkat kedua kaki Jesse dan mendorong wanita itu ke dalam mobil. Ia masuk ke SUV Jesse dan menutup pintu belakang. Tidak menunggu waktu lebih lama lagi untuk mencicipi Jesse lagi.
"Pintu satunya..." bisik Jesse.
"Sialan! Biarkan saja, J. Aku hanya ingin merasakanmu."
"Max!" jerit Jesse ketika Max dengan cepat membawa Jesse ke pangkuannya. Max kembali mencium Jesse, memeluk, membelai wanita itu dengan ibu jari dan lidahnya. Kepala Jesse menengadah ketika Max menjelajahi leher beraroma tumbuh-tumbuhan yang membangkitkan gairahnya. "Aku... tak pernah merasa seperti ini dalam hidupku."
Mau tidak mau Max merasa puas. "Aku juga." Kini Max tidak hanya membelai dada Jesse dari balik gaunnya, ia menangkupnya dengan tangan besarnya, sementara lengan gaun Jesse ia turunkan dengan giginya.
"Oh Tuhan," desah Jesse saat Max menurunkan lidahnya untuk membelai bahunya.
"Kau begitu manis, J." Ini adalah mimpi remajanya. Ini adalah mimpi setiap malamnya. Max tidak mungkin lebih beruntung lagi daripada malam ini.
Jesse menggigit bibirnya seolah berusaha menutupi gairahnya. Tapi Max sangat tahu bagaimana cara membuat Jesse menyerah dan akhirnya mendesah.
"Aku begitu ingin merasakanmu," bisik Max.
"Ya," erang Jesse.
"Tidak di sini. Brengsek, aku tidak mau memerawanimu di mobil."
Jesse membuka matanya yang sedaritadi terpejam. Max bisa melihat kelopak mata sayu di balik kacamata itu. "Aku... tidak perawan, Max."
Jawaban itu membuat Max menarik mundur tubuhnya demi menatap wajah Jesse. Sial, wanita itu benar-benar menatapnya. Ini bukan omong kosong. "Kau bercanda?"
Jesse menggeleng pelan. "Sudah kubilang, memang ada seorang pria."
Mengingat ciuman payah Jesse saat menerjangnya pertama kali, membuat Max bertanya-tanya. "Lalu pemanasan macam apa yang kalian gunakan?"
Bola mata Jesse mulai menghindarinya kali ini. "Pemanasan?"
"Oke, jawab ini. Berapa banyak pria yang bersamamu? Berapa banyak pria yang menciummu?"
"Ditambah yang terjadi beberapa menit yang lalu―um..."
"Mari sisihkan itu ke lain tempat. Aku sudah menunggu ini bertahun-tahun dan baru mendapatkannya di belakang mobil, di tempat parkir. Aku bahkan rela melepas celana dalamku sekarang juga."
Jesse memejamkan mata dan menghembuskan napas. Max tidak mengerti mengapa Jesse perlu melakukan itu sampai mendengar jawabannya. "Satu. Nol."
"Apanya?"
Jesse memicing ketika membuka matanya. "Kau bertanya berapa banyak pria yang bersamaku―jawabannya satu. Berapa banyak pria yang menciumku―nol."
Brengsek.
"Aku sudah mengesampingkanmu, Mr. Quarterback. Puas sekarang?"
Max menegakkan tubuhnya dan menghindari Jesse―yang menatapnya. Sungguh-sungguh menatapnya. Jadi Max tahu tidak ada kebohongan ketika ia hampir tak percaya. Max orang pertama yang mencium Jesse! "Aku orang pertama yang menciummu?"
Jesse mendengus. "Terima kasih sudah mengingatkan betapa tidak berpengalamannya aku."
"Brengsek, Jesse, kenapa tidak kau jawab saja?"
Jesse memutar mata dan menegakkan tubuhnya setelah terhimpit tubuh Max. "Yap."
"Satu orang itu. Siapa?"
"Itu bukan urusanmu."
Benar, Max juga tidak ingin tahu siapapun dalam hidup Jesse yang mengurus biji-bijian. Mengingat kenyataan bahwa pria itu bisa menjadi pria pertama Jesse membuat Max merengut tak suka. "Apakah kau mengenalnya? Atau kau tidur dengannya karena―" Bagaimana Max mengatakan hubungan sambil lalu tanpa menjurus soal wanita murahan?
Namun Jesse memang mengerti maksudnya. "Tentu saja aku mengenalnya. Empat tahun itu memang sungguhan. Aku sudah berhubungan dengannya selama itu. Aku bukan tipe orang yang mau berakhir di ranjang orang yang tidak kukenal."
Bagus. Ada harapan bagi Max untuk berakhir dengan Jesse di ranjang. Max sudah mengenal Jesse sejak lahir. Itu pasti lebih dari sekedar kenal.
"Tapi dia tidak menciummu," gumam Max.
Jesse mendesah dan menaikkan lengan gaunnya yang melorot akibat ulah Max. "Kuberitahu padamu lagi. Itu bukan urusanmu."
Apakah jawaban itu lebih baik daripada Jesse menghindarinya dan memberikan omong kosong padanya?
"Bisa kau jelaskan bagaimana hubungan kalian?"
"Sekali lagi, itu bukan urusanmu. Tapi seperti kataku, hubungan kami baik."
"Hubungan macam apa?"
Jesse menatap Max. "Serius. Apakah kita akan membicarakan ini?"
"Tentu saja!" tukas Max. "Kau merasakan daya tarik itu juga, kan? Aku menginginkanmu. Kau juga―dan jangan bilang padaku sebaliknya." Max memotong ketika Jesse hampir membuka mulut dan membalasnya dengan omong kosong lainnya. "Kenapa tidak kita coba lagi, J?"
"Max―"
"Tidak. Diam. Tolong. Biarkan aku menyelesaikan ini." Max menghela napas dan segera menambahkan ketika Jesse sepenuhnya memberikan perhatian. "Beri aku waktu seminggu. Hanya seminggu untukku membuktikan diri lagi, bahwa kita memang cocok, bahwa hubungan kita pantas diperjuangkan, bahwa hubungan ini adalah hal terbaik yang akan terjadi pada kita. Seminggu. Setelah itu, apapun keputusanmu, aku akan mengambilnya. Kau ingin aku pergi, aku akan pergi." Brengsek, Max tidak tahu apakah ia benar-benar akan melakukannya. "Aku... tak akan mengganggu hidupmu lagi. Aku akan... menganggap hubungan kita sebagai... yah, masa lalu. Aku tidak akan mengungkitnya lagi."
"Kau tahu aku tidak punya waktu seminggu," kata Jesse pelan. "Dan... aku punya... um... dia."
Itu mungkin akan menyempitkan peluang Max. "Beri saja aku kesempatan, Jesse. Aku akan mengambilnya dan menggunakannya sebaik mungkin. Aku... bisa lebih baik darinya. Jika tidak, kau bisa... menyuruhku pergi."
"Aku tidak akan menjanjikan apapun padamu," kata Jesse. "Ini mungkin akan sia-sia."
Max melarikan jemarinya ke wajah Jesse dan membelai di sana. Jesse mengangkat wajah dan menatap Max. "Ini bukan tentangmu. Kau hanya perlu memutuskan. Apapun, J. Aku akan menghargainya. Hanya saja, beri aku kesempatan itu. Jangan dorong aku. Biarkan aku masuk ke hidupmu lagi. Biarkan aku menyentuhmu seperti ini."
Jesse diam beberapa waktu lamanya. Max tahu ada kemungkinan Jesse menolaknya. Kemungkinan itu begitu besar. Tapi Max tidak bisa menyerah untuk mencoba. Max menarik Jesse mendekat dan mendekatkan wajahnya pada Jesse. Napas Jesse berubah kasar akibat sentuhannya, sementara Max sengaja menghentikan bibirnya di depan bibir Jesse untuk meminta ijin.
Ketika Jesse memberikan bibirnya, Max tidak memikirkan hal selain betapa ia ingin menyentuh Jesse. Max bertanya-tanya bagaimana selama hubungan mereka dulu, Max sanggup menahan diri, sementara saat ini Max tidak yakin bisa berhenti. Jesse begitu memabukkan untuknya.
Jesse melepas ciumannya dan mereka berdua berusaha keras untuk bernapas setelah saling merenggut udara. "Hanya sampai pesta pernikahan ini selesai."
Pesta akan dimulai lusa. Max hanya punya dua hari. Ia mengambil angka aman, tiga hari. Terlalu singkat, pikir Max. Namun Max tidak pikir panjang saat menjawab. "Dan itulah yang kubutuhkan." Sebelum akhirnya mencium Jesse lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top