(12)


Lagi-lagi Max hanya bisa memandang Jesse dari jauh saat di kafetaria. Jesse sedang dikelilingi anak-anak junior yang membawa buku-buku tebal. Mereka sedang sibuk mendiskusikan sesuatu. Max sangat ingin menghampiri Jesse. Makan siang bersama pacarnya dan mengikuti apapun obrolan yang dilakukan Jesse. Tapi tidak. Max tidak mungkin bisa mengikuti obrolan soal buku-buku, astronomi, trigonometri, atau apapun itu. Max memang tidak sepintar itu.

"Max?" panggil Kayla Winters yang selalu berusaha mengambil tempat di depannya. Tidak mungkin itu hanya perasaan Max. Kayla memelototi siapapun yang berusaha mengambil tempat itu. "Aku di sini."

"Maaf," gumam Max sambil memperbaiki posisi duduknya. Berusaha keras supaya tidak berbalik dan memandang ke belakang punggungnya. "Kau bilang apa tadi?"

"Kau datang ke pestaku 'kan?" tanya Kayla.

"Pesta apa?" tanya Max.

"Apa kau bahkan mendengarku?" ujar gadis itu dengan gusar. Teman-teman Kayla, yang sama-sama anggota pemandu sorak seperti Kayla menatap Max seolah Max baru saja kembali ke bumi dengan antena di kepalanya.

"Bung, pestanya akan seru. Akan ada alkohol," jelas Baxter si negro yang menjadi pemain belakang di timnya. "Kau tak mungkin melewatkannya."

"Kita bahkan baru menginjak delapan belas tahun ini," ujar Max heran. Ia memang sering mendengar pesta liar semacam itu diadakan, tapi akhir-akhir ini Max tidak ikut serta karena lebih banyak menghabiskan waktu bersama Jesse saat malam.

"Ada abangku yang mengatur segalanya," kata Kayla.

"Kau sudah melewatkan banyak yang seperti ini," ujar Caleb, teman satu timnya juga. "Bersenang-senanglah sesekali. Banyak barang bagus di sana."

"Atau kau berubah menjadi sangat... rumahan setelah berpacaran dengan anak rumahan," kata Baxter seraya melirik ke belakang. "Jangan jadi pengecut."

"Kita bisa terkena masalah kalau polisi sampai datang. Kalian tahu, kan?" kata Max. Ia tidak mau membuat ayahnya kecewa dengan menemukannya di kantor polisi. Tidak. Itu artinya mempertaruhkan nama baiknya juga agar bisa diterima untuk beasiswa ke Boston. Max selalu ingin menjadi bagian tim futbol New England. Satu catatan di kantor polisi akan merusak segalanya.

"Sudah kubilang, segalanya diatur kakakku," ulang Kayla.

"Aku tidak ikut." Max lebih memilih membuka jendela dan ngobrol dengan Jesse. Itu lebih baik daripada mencari masalah. "Dan aku bukan pengecut."

Caleb mengendik. "Apapun yang dikatakan kapten."

"Serius, Max. Apa yang kau lihat dari dia?" tanya Kayla ketus.

Max menyipit menatap Kayla. Dari cara gadis itu memamerkan belahan payudara di balik tanktopnya, ia tahu apa yang Kayla pikirkan. "Namanya Jesslyn, Kayla. Dan kalau-kalau kau belum melihat, aku melihat segalanya dari dia."

Baxter berdecak. "Dan kau tiba-tiba jadi puitis," gumamnya.

"Kenapa dia tidak pernah mau bergabung bersama kita?" tanya Caleb. "Apa dia takut pada kami atau sesuatu?"

"Dia..." Max melirik ke belakang. Ia sering mengajak Jesse bergabung, tapi gadis itu selalu menolak dan Max tidak bisa memaksa dengan cara apapun. "Sibuk. Dia anak olimpiade. Kalian tahu itu 'kan?"

"Bagaimana mungkin kami tidak tahu?" tukas Caleb. "Waktu dia menang, wajahnya bersama medali dipajang besar-besar."

Yeah. Dengan begitu mudah saja orang-orang mengenali siapa Jesse ketika Max berjalan bersamanya. Sungguh hebat bintang futbol bisa menarik hati bintang olimpiade sains. "Dia memang hebat." Max merasa beruntung memiliki Jesse yang manis dan pintar. Tidak mungkin ada orang lain yang bisa Max lihat seperti ia melihat Jesse.

"Dia hebat kalau bisa mengerjakan PR matematikaku," kata Baxter.

Max mengendik. "Dia bisa."

"Kau bercanda? Kenapa kau tidak minta bantuannya saja?"

"Aku melakukannya," ungkap Max. Jesse memang belum mendapatkan materi pelajarannya, tapi Jesse tahu dasar matematika. Ketika Max memperlihatkan apa yang ada di buku, Jesse bisa dengan mudah menjelaskan. "Itu sebabnya sekarang aku dapat negatif A."

"Dasar brengsek," cetus Caleb sambil terkekeh. "Jadi itu rahasiamu."

Max bisa saja dapat positif A, tapi ia menolak membenarkan seluruh jawabannya. Guru akan curiga jika ia mendadak jenius di setiap PR tapi kesulitan saat maju ke depan kelas, terutama saat ujian akhir. Jesse perlu mengulang dengan sabar sampai Max paham. Jadi Max tidak mungkin mengandalkan Jesse setiap saat.

"Mendengar itu... membuatku penasaran," kata Kayla. "Kenapa kau tidak ajak dia ke pesta? Dia mungkin menikmati pesta dengan musik disko."

Max tidak yakin. "Jesse tidak bisa keluar malam."

Baxter dan Caleb jelas-jelas mengerang sementara Kayla dan teman-temannya mendengus geli. "Kenapa dia begitu... misterius?" tukas Kayla.

"Ya. Dia memang tidak mau dekat-dekat dengan kita," kata Caleb. "Mungkin dia punya alergi pada orang-orang tolol."

"Kalau kalian lupa, aku juga tolol," imbuh Max. "Tapi dia pacarku. Tidak, bukan itu alasannya. Dia hanya... sibuk. Itu saja." Sebenarnya, Max juga tidak yakin seberapa sibuknya Jesse sampai tidak pernah mau ia tarik ke lingkaran pertemanannya. Max sesekali ingin memperkenalkan Jesse pada teman-temannya.

"Jadi kenapa kalian tidak pernah terlihat berkencan atau berjalan bersama selain saat berangkat dan pulang sekolah?" tanya Kayla. "Apa hubungan kalian nyata?"

"Ya," sahut Baxter. "Menurutku, dia harus terlihat di lapangan sesekali."

"Atau dia juga alergi lapangan karena terbiasa di perpustakaan," kata Caleb.

Max melirik Jesse lagi. Kali ini Jesse menaikkan pandangannya dan bertemu mata dengan Max. Gadis itu terlihat malu-malu saat teman-teman semejanya mendorong bahunya sekedar main-main untuk menggoda Jesse. Pacar Max yang cantik itu hanya menaikkan kacamata dan melambai singkat.

"Polos sekali," komentar Baxter ketika melihat arah pandangan Max. "Harus kuakui, dia imut."

"Aku akan bicara dengannya." Max bangkit dan meranselkan tasnya. Menghampiri meja Jesse hingga Max bisa merasakan beberapa mata tertuju padanya. Bahkan teman-teman semeja Jesse yang berkacamata dan selalu membawa buku mulai berbisik-bisik pada Jesse. "Hai, babe."

Rona di wajah Jesse sudah Max duga. "Hai." Seorang teman laki-laki Jesse beranjak dari sebelah Jesse untuk memberi Max tempat.

Di meja yang penuh anak kutu buku ini, Max begitu mendominasi karena ia jangkung dan punya otot. Meja Jesse mendadak senyap seolah semua orang menunggu Max bicara.

"Uh... kalian sedang apa?"

"Ada tes yang harus kami jalani untuk mendapatkan posisi di olimpiade. Kami sedang bersekongkol," jawab teman Jesse yang sepertinya separuh keturunan India. "Aku Sara, kalau kau belum tahu."

Max mengangguk. "Hai, Sara."

"Aku akan pergi karena lima menit lagi kelas dimulai," kata Sara, yang lalu beranjak bersama teman laki-laki Jesse. "Aku akan menunggu Jesse di kelas."

Max melambaikan tangan saat dua orang itu pergi meninggalkan kafetaria. Jesse mulai membereskan buku-bukunya. Sungguh ajaib ada anak yang mau bersiap lima menit sebelum kelas. "Aku merindukanmu."

Jesse tersenyum geli. "Kita bertetangga, kita bertemu setiap hari, tapi kau merindukanku."

Max tergelak. "Nah, aku saja bingung kenapa bisa begitu. Apa rencanamu siang ini?"

Jesse menaikkan alisnya. "Pulang. Mengerjakan PR. Kau bukan akan mengajakku keluar 'kan? Kupikir kau bilang kau punya jadwal latihan hari ini."

"Memang. Aku mau mengajakmu ke lapangan. Bagaimana menurutmu?"

Jesse menggigit bibirnya. Max tidak tahu apakah gelagat itu direncanakan, tapi Max memang sudah mengetahui jawaban Jesse. "Aku tidak yakin, Maxime."

"Kumohon? Sekali ini saja? Aku ingin... mengajakmu minum milkshake setelahnya."

"Bagaimana kalau aku akan menunggumu di rumah dan selesai latihan kita bisa minum milkshake?"

"Aku ingin mentraktir anggota timku. Aku ingin kau di sana."

Jesse terlihat gugup dan mulai menghindari tatapan Max. "Kenapa aku harus di sana?"

"Karena ini bulan jadi kita yang ketiga."

Jesse memicing. "Kau menghitungnya?"

"Aku menghitungnya," aku Max. Ia tidak pernah repot mengingat atau merayakan, tapi sepertinya kali ini perlu. "Kumohon?"

"Aku punya PR, Maxime," cicitnya Jesse. Ia mendongak menatap Max. "Bagaimana kalau acara milkshake kita adakan kapan-kapan saat PR-ku sudah selesai?"

"Kau tahu sekolah tidak pernah berhenti memberi PR 'kan?"

Jesse tertawa. "Tidak ketika kau mengerjakannya di awal waktu. Ada alasan kenapa aku masih sempat membaca buku meski aku punya banyak PR."

Max mendesah kalah. Memangnya kapan ia bisa menang mendebat seorang sejenius Jesse? "Tapi aku ingin kau hadir di lapangan," katanya dengan desah putus asa.

"Aku akan di sana," kata Jesse seraya bangkit dari tempatnya. Selanjutnya, yang tak diduga Max, Jesse mencubit pipinya dengan gemas hingga Max terkejut. Jesse tidak pernah melakukan hal semacam itu di depan umum. "Aku akan menontonmu sore ini."

Max tidak bisa menahan senyumannya. "Serius?"

"Tentu saja. Sampai jumpa di lapangan, Cowok Besar." Kemudian Jesse mengecup pipinya hingga Max mematung seketika. "Selamat hari jadi ketiga bulan!"

Max masih terpekur di tempatnya. Mengusap pipinya yang baru saja dicium Jesse. Max tidak menyangka Jesse mau memulai. Selama ini selalu Max yang meminta ciuman di pipi, meminta Jesse melakukan hal-hal lazim yang dilakukan pasangan remaja. Tapi gadis itu memang penuh kejutan, hingga Max tak pernah bosan.


# # # #


Jesse sengaja datang agak terlambat. Ia berusaha menyibukkan diri di perpustakaan sebelum menyusul Max ke lapangan. Ketika Jesse tiba, Max sudah mengenakan seragam tim dan permainan sudah dimulai. Mudah saja mengenali Max karena ia adalah cowok paling mencolok di antara siswa di sekolahnya. Belum lagi ketika Max meneriakkan perintah dan semangat mengingat ia menjadi kapten tim tahun ini.

Jesse meneliti tribun. Berusaha menemukan tempat duduk yang tidak dipadati anak-anak lain, terutama para anggota pemandu sorak yang tidak dikenalnya. Akhirnya Jesse mengambil tempat di bagian teratas tribun namun masih memungkinkan Max untuk melihatnya.

Jesse mengeluarkan buku-bukunya. Ia tidak berbohong bahwa ia punya PR. Well, PR untuk minggu depan, tapi Jesse sudah terbiasa menyelesaikan segalanya lebih awal. Ia tidak terlalu suka menunda-nunda.

Max menemukannya. Ia mendongak dan Jesse bisa merasakan senyum manis Max karena melihat kehadirannya. Max melambaikan tangannya pada Jesse ketika babak tersebut berakhir. Hal itu membuat beberapa pasang mata tertuju ke arah Jesse hingga Jesse merasa agak gugup.

Ada yang berbisik-bisik di depan sana tapi Jesse berusaha mengacuhkannya. Ia punya PR fisika yang butuh perhatiannya. Jesse sudah lebih dari terbiasa untuk mendengar bisik-bisik itu sejak ia berpacaran dengan Max.

"Hei," sapa seseorang yang tiba-tiba berdiri di depan Jesse. Cewek itu mengenakan rok jins yang sangat pendek, sementara kaos berkerahnya tidak bisa menutupi betapa besarnya payudara yang dimilikinya. Jesse bertanya-tanya apakah payudara sebesar itu normal untuk remaja yang usianya tidak lebih dari delapan belas.

"Hai." Kendati masih banyak kursi yang kosong, bahkan tidak ada siapapun di sampingnya, Jesse tetap menggeser tubuhnya. Jesse tahu gadis ini adalah senior dan Jesse sudah seharusnya menghormati. "Kau... um... mau duduk?"

Gadis itu tersenyum lebar. Senyumnya sangat manis. Bibirnya penuh dan dipulas lipgloss dengan begitu apik. Ia punya tulang pipi yang tinggi. Kulit cerah tanpa bekas jerawat atau apapun. Rambut kecokelatannya tergerai membingkai wajah tirusnya. Indikasi jelas, gadis ini anggota pemandu sorak.

Gadis itu mengulurkan tangan. "Aku Kayla. Teman Max."

Jesse membalas dengan ragu-ragu. "Jesse. Um... pacar... Max."

"Apa yang kau kerjakan?"

"Fisika."

"Mrs. Lloyd yang mengajarmu?"

Jesse tersenyum. "Ya."

Kayla meringis. "Aku tidak pernah menyukainya."

Jesse mengangguk meski ia tidak sependapat. Wanita paruh baya itu guru favorit pertamanya di SMA. "Sebagian besar murid juga tidak suka."

"Kau tahu, kan. Maksudku, fisika. Siapa yang mungkin menyukainya?"

Yah, Jesse menyukai fisika meski kehidupan organisme tidak termasuk di dalamnya. "Mungkin kau benar." Karena Jesse merasa dirinya berbeda dengan gadis-gadis lainnya. Semua anak-anak olimpiade merasakan hal yang sama pula. Mereka bukan hanya hidup untuk mengetahui, tapi mereka hidup untuk menciptakan pengetahuan.

"Sudah berapa lama kau bersama Max?" tanya Kayla.

"Tiga bulan." Jesse mengingat perkataan Max siang ini. Merasa bahagia bahwa Max mengingat hubungan mereka seintens itu.

"Belum terlalu lama, ya?"

Jesse mengendik seraya menatap ke depan. Max melambaikan tangan dan Jesse membalasnya.

"Menurutmu, dengan perbedaan usia kalian saat ini―kau tahu Max akan segera pergi kuliah, kan? Apa yang kau pikirkan tentang itu?"

Jesse mengernyit dengan topik yang diangkat Kayla. Ia tidak pernah memikirkan tentang itu. Max masih harus melewati tahun ini sebelum pergi kuliah. Mereka berusaha menikmati waktu yang ada dan Jesse berusaha supaya Max mendapatkan nilai yang baik untuk membawanya ke universitas impiannya.

"Max akan pergi kuliah. Aku akan di sini menyelesaikan SMA. Memangnya apalagi yang mungkin terjadi?"

Kayla menyeringai. "Sebenarnya, Max akan pergi kuliah, kau akan tetap di sini dan ditinggalkan olehnya."

Jesse mulai bersikap defensif. Sekarang penilaian dangkalnya tentang pemandu sorak memang terbukti. Pemandu sorak memang terkadang menjahati para kutu buku. "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan."

Kayla menatap ke lapangan di mana Max tengah berlari secepat kilat dan menghasil skor sempurna setelah melewati pemain belakang bertubuh besar. Teriakan Max menggema dan pria itu melambai lagi ke arah Jesse. "Kau tahu Max adalah bintang bersinar, kan? Suatu saat nanti, ia akan menginginkan lebih. Ia akan pergi kuliah ke kota besar, bertemu dengan banyak gadis di sana. Bukan hal mustahil bahwa ia akan melihatmu sebagai masa lalu yang ia tinggalkan. Menurutku, kau harus bersiap-siap untuk hal itu."

Jesse tidak tahu siapa Kayla dan mengapa gadis itu mengatakan hal buruk padanya. Jesse menyukai Max. Jesse menikmati hubungannya dengan Max. Jesse tidak butuh diberitahu apa yang harus ia lakukan oleh orang yang―Jesse berani bertaruh―nilai intelegensinya tidak lebih tinggi daripada Jesse.

"Yah, terima kasih atas sarannya... um... siapa namamu tadi? Kyle?"

Kayla menyipit tak suka. "Kayla. Kayla Winters."

Jesse memang sengaja berpura-pura supaya dia gusar. "Wuah! Aku harus mengingatnya. Namamu tidak terkenal."

Kayla tertawa masam. "Yang benar saja. Aku kapten pemandu sorak. Tidak mungkin tidak ada yang mengenaliku."

Jesse mendengus geli. "Sayang sekali wajah kapten pemandu sorak tidak dipajang besar-besar di depan sekolah, di kafetaria, dan di brosur karena... kau tahu... piala pemandu sorak tidak terlalu... besar karena dibagi oleh orang banyak. Tidak seperti... pemenang tunggal olimpiade sains. Oh, ya, ups. Itu aku." Jesse tertawa melihat wajah tak percaya Kayla. "Aku sering lupa kalau aku menang dan sepintar itu."

Wajah Kayla sepenuhnya memerah namun ia masih mempertahankan harga dirinya dengan mengangkat dagu. "Kau tahu kau sangat sombong, kan?"

Jesse memutar mata. "Yah, bukan aku yang tiba-tiba duduk dan memberi nasehat seolah ia tahu segalanya. Menurutku, itu pengertian sombong. Omong-omong, aku bahkan hampir tidak mengenalimu sebelum beberapa menit yang lalu. Kau memang tidak seterkenal itu―tunggu dulu, apa aku sudah mengatakan itu tadi? Yah, aku mengatakannya lagi. Kau tidak terkenal, Kyle Winters."

Kayla bangkit dengan wajah merah padam. Tangannya mengepal dan ia menatap marah pada Jesse. Sesaat Jesse khawatir ia akan kalah jika harus saling menjambak atau apapun itu, tapi mengingat Max sedaritadi mengamatinya, Jesse merasa agak lega. "Kau akan menyesal karena merendahkanku."

"Maaf? Kalau kau punya kaca di kantongmu, keluarkan. Demi Tuhan. Kau yang merendahkanku lebih dulu. Hubunganku dan Max sama sekali bukan urusanmu."

Dengan itu Kayla berbalik dan Jesse tak sadar ia sempat menahan napas sampai ia melepaskannya. Kayla masih memandang penuh amarah di kejauhan. Namun Jesse berusaha tersenyum, setiap kali Max tersenyum padanya di bawah sana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top