(10)
Jesse resmi berpacaran dengan Max. Hanya dibutuhkan waktu seminggu sejak Max mengajaknya berkencan dan mengajaknya pulang bersama―yang sekarang selalu dilakukan Max setiap kali ia tidak mempunyai jadwal latihan.
Kejadiannya pada Minggu pagi ketika Jesse punya banyak daftar belajar yang harus ia penuhi karena di hari Senin ia harus menghadapi ujian semester. Ia berusaha membatasi hubungannya dengan Max, membiarkan cowok itu fokus belajar untuk ujian, tapi bukan Maxime namanya kalau tidak keras kepala dan menyerah begitu saja. Karena Jesse sengaja tidak membalas SMS, mengangkat telepon, atau bahkan membuka jendela setelah Max melempari jendelanya dengan kerikil (Max mendapat masalah dengan James McGraw karena bisa menyebabkan kaca jendela Jesse pecah), akhirnya Max menggunakan cara lainnya. Ketika Jesse terbangun di Minggu pagi itu, ia telah menemukan beragam tangkai bunga di depan jendelanya. Max tersenyum lebar sambil duduk di bingkai jendela. Kaki panjangnya terjuntai, hampir mencapai tanah. Ia terlihat segar seperti baru mandi, mengenakan kaos berkerah dan celana jins―itu pemandangan aneh, karena Max selalu bangun siang.
"Selamat pagi, Baby J."
Jesse mengamati rak sepatu yang telah dibersihkan dan dihias dengan banyak pita, diletakkan di antara jendela kamarnya dan Max yang hanya berjarak lima kaki. Ada banyak gelas yang diisi air untuk meletakkan berbagai macam bunga. Masing-masing bunga mendapat satu gelas. Ada mawar dalam berbagai warna, tulip, dahlia, anggrek, sedap malam, matahari, dan masih banyak lagi. Jesse merapikan penampilannya yang masih mengenakan piyama, rambutnya berantakan, dan wajahnya pasti pucat. Bahkan Jesse belum sempat mencuci muka.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Jesse.
"Aku memberimu bunga."
Max memang selalu berhasil membuat Jesse merona. "Aku bisa melihatnya. Kenapa kau memberiku bunga?"
"Karena aku menyukaimu," jawab Max. Pemuda itu sudah berkali-kali mengatakan itu, tapi Jesse tetap saja merasakan jantungnya yang berdebar. "Aku tidak tahu bunga apa kesukaanmu, jadi... aku membeli setiap tangkai yang ada di toko satu-satu. Coba saja aku tahu apa kesukaanmu, aku pasti membelikan satu ember."
Jesse tergelak. "Aku suka semua bunga, Maxime. Sebenarnya, aku suka semua jenis tanaman."
"Jadi... aku tidak salah?"
"Tapi aku lebih suka yang ada di pot. Aku suka yang masih hidup."
"Yah, sial," gumam Max.
Jesse tertawa akhirnya. "Tidak apa-apa. Semua ini cantik. Terima kasih."
Max tersenyum lagi. Lesung pipinya muncul. Jesse selalu gemas ingin menyentuh lesung imut itu, tapi Jesse tak pernah punya keberanian seperti Max yang selalu membelai rambutnya, mengusap pipinya, kadang menyentuh dan memperhatikan bibirnya. Max melakukan apapun yang bisa membuat Jesse berdebar karena sikap manisnya, tapi Jesse hanya berani membalas genggaman tangan Max sejauh ini.
"Aku akan membelikanmu banyak bunga pot nanti," janji Max.
"Dan aku akan merawatnya. Aku janji."
Max mengusap tengkuknya dan warna merah mulai menyebar di wajahnya hingga Jesse heran. "Kau tidak membalas pesanku. Kupikir aku melakukan kesalahan. Tapi kau sama sekali tidak terlihat marah hari ini, Baby J. Apakah aku memang melakukan kesalahan kemarin Kamis? Sepertinya semuanya baik-baik saja sampai kita makan burger. Kau tiba-tiba tidak membalas pesanku saat malam. Kau tidak membuka jendelamu."
Jesse meringis. "Aku belajar. Kau juga harus belajar."
"Kau pikir aku bisa belajar karena khawatir kau marah padaku?"
"Aku tidak marah padamu."
"Yah, tadinya aku tidak tahu. Kupikir kau marah padaku."
"Baiklah. Aku tidak marah, oke? Aku ingin kau belajar dan aku juga harus belajar supaya bisa masuk SMA-mu."
"Kau bercanda, ya? Kau 'kan tidak perlu belajar lagi. Kau punya tiket masuk instan ke SMA itu mengingat kau berada di satu SMP yayasan yang sama dan kau adalah pemenang olimpiade sains tahun lalu. Kau bahkan bisa mengajukan beasiswa dan sekolah bisa menyanggupi berapapun biayanya."
"Aku tidak menginginkannya, Maxime. Ayahku sangat mampu membiayaiku sampai kuliah. Ada anak-anak seperti Rick yang lebih membutuhkan beasiswa itu."
Max menyandarkan kepalanya ke bingkai jendela seperti biasa. Sikap santai itu, sementara mata biru itu mengamatinya, membuat Jesse berdesir. Ia sangat menyukai cowok ini.
"Jadi aku harus tetap belajar. Kau juga, oke?"
"Sepertinya aku tidak bisa belajar, Baby J. Aku... butuh bantuan."
"Bantuan apa? Kau butuh sesuatu supaya bisa belajar? Apa menurutmu aku bisa membantumu belajar? Aku... mungkin tahu sedikit dasar-dasar yang berhubungan dengan pelajaran SMA." Jesse berusaha berhati-hati supaya tidak terdengar menyombongkan kepintarannya. Tapi ia begitu ingin Max berhasil dan mendapatkan nilai yang baik.
"Oh, aku yakin kau bisa membantuku. Aku sangat gelisah menjelang ujian. Aku khawatir dengan nilai-nilaiku kalau begini terus."
Dan Jesse tidak bisa tidak bersimpati. "Sungguh, Maxime. Jika ada yang bisa kulakukan untukmu, katakan saja."
Max berdeham. "Sebenarnya... kau bisa membantu dengan menerimaku jadi pacarmu."
Mata Jesse melebar dari balik kacamatanya. Ia perlu mengerjap beberapa kali dan mengulang kalimat Max. Ya Ampun! Max memintanya Jesse jadi pacarnya.
"Kau gadis cerdas, cantik, dan penuh semangat, Jesslyn McGraw. Aku jatuh cinta padamu. Aku bukan bermaksud membuatmu takut. Aku hanya ingin menyatakan perasaanku. Aku tidak bisa berkonsentrasi saat kau mengabaikanku. Aku... ingin menjadi pacarmu, yang melindungimu. Aku ngeri membayangkan kau mengabaikanku dan kemungkinan kau berhubungan dengan pemuda lainnya."
"Tidak ada pemuda lainnya." Jesse tidak tahu kenapa perlu menjelaskan itu. Sudah pasti ia tidak sadar saat menyambar Max dengan jawaban itu.
Max tersenyum. "Jadi maukah kau jadi pacarku?"
Jesse tidak bisa menjawab dengan kata apapun karena begitu malu. Ia hanya mengangguk, lalu Max tersenyum begitu lebar. Pemuda itu juga merona. Jesse begitu ingin memeluk Max, tapi sepertinya mereka berdua menahan diri supaya tidak melompat keluar jendela.
"Begitu saja?" tanya Max kemudian. "Kau tidak punya syarat apapun? Seperti, kau akan menerimaku kalau nilai matematikaku bagus? Padahal aku sudah siap-siap memikirkan cara supaya nilaiku meningkat."
Jesse menggeleng. Ia tidak perlu berpikir lebih lama. Ia menyukai Max dan pemuda itu berkata jatuh cinta padanya. Itu saja sudah cukup untuk menjadi alasan mereka akhirnya memutuskan berpacaran. Lagipula tidak adil memberikan syarat semacam itu. Jesse tahu kelemahan Max di bidang akademik dan Jesse berpikir syarat semacam itu konyol. Jesse menyukai Max yang selalu membuatnya tersipu meski nilai di rapornya tak terlalu bagus. Semua orang punya kelemahan.
Siapa yang mengira hal itu akan terjadi? Jesse tidak pernah berpikir bahwa punya pacar itu perlu, tapi kini ia dan Max berpacaran.
Kini sudah berminggu-minggu mereka berpacaran. Jesse dan Max memanfaatkan libur akhir semester dengan memperjelas hubungan mereka. Kadang Max membantu Jesse berkebun, kadang Max mengajak Jesse menyeberang Conneticut hanya untuk makan es krim, kadang mereka menghabiskan waktu di taman, atau dermaga, atau pantai. Keluarga Beverly dan McGraw juga mengadakan pesta barbekyu di belakang rumah, tapi kedua keluarga itu tidak terlihat mempermasalahkan kedekatan Jesse dan Max. Lagipula, Jesse selalu menaati peraturan ayahnya dan Max tidak pernah mengeluh meski tidak bisa membawa Jesse keluar di malam hari.
Max selalu siap membuka jendela kamarnya jika merindukan Jesse. Ada malam-malam ketika Max harus pergi bersama teman-temannya dan Jesse tidak mau mengganggu Max. Meski berpacaran, Jesse sangat tahu diri bahwa mereka di lingkaran pertemanan yang berbeda. Jesse juga punya waktu sendiri bersama teman-temannya di klub buku. Kegiatan biasa saat liburan dan mereka harus bertemu di luar, alih-alih perpustakaan sekolah, seperti ke toko buku, ke kedai untuk membahas bacaan. Max tidak akan menyukai kegiatan semacam itu dan Max juga tidak keberatan tidak diikutsertakan. Jesse tak mengira toleransi dalam hubungan bisa seintim ini.
Saat hari pertama masuk sekolah, Jesse tidak mau terlihat mencolok mengingat ia baru saja memasuki tahun junior di SMA yang sama dengan Cara dan Rick, sementara Max adalah senior paling populer tahun ini. Max mengantar Jesse dan Cara dengan mobilnya. Max juga memberi kecupan di puncak kepala Jesse sebelum ke kelasnya sendiri. Tapi lebih dari itu, Jesse tidak ingin menjadi bayangan Max. Jesse menghindari jenis berpacaran seperti yang Cara dan Rick lakukan, yang selalu bersama kapanpun dan di manapun seolah keduanya tak bisa terpisah satu sama lain sedetik saja.
Hubungan Jesse dan Cara agak mengendur karena Cara sengaja mengambil jadwal yang sama dengan Rick. Cara menjadi sangat lengket dengan Rick dibanding yang sudah-sudah. Bahkan sudah bisa dipastikan, Rick dan Cara akan selalu berada di kelompok yang sama. Cara pasti berpikir Jesse seharusnya menghabiskan lebih banyak waktunya bersama Max. Tapi kenyataannya tidak demikian. Terkadang Max bersikeras mengenalkan Jesse pada teman-temannya yang populer, namun Jesse ngeri membayangkan dirinya masuk ke lingkaran para pemuda tubuh besar di tim futbol. Jesse juga selalu dengan halus menolak ajakan Max datang ke pesta anak senior. Lagipula, ayahnya bisa saja merantainya kalau tahu Jesse sekarang bisa datang ke pesta bersama laki-laki. Untungnya, beberapa teman Jesse di grup olimpiade dan klub buku memasuki SMA yang sama dengannya. Jesse memang kadang pendiam dan sulit menyesuaikan dengan lingkungan baru, tapi dengan adanya teman-teman yang ia kenal baik―meski tidak terlalu baik, pasti memudahkan segalanya.
"Jadi, kau memang berpacaran dengan Maxime Beverly?" tanya Sara Manners yang baru saja menelan pisangnya. Di antara banyak teman lama Jesse, Sara selalu berada di kelas yang sama dengannya. Jadi, ia selalu makan siang bersama Sara seperti saat ini. "Lihat, dia melirik ke arah kita terus."
"Biarkan saja, Sara. Dia hanya melirik. Ia pasti mengirimiku SMS atau menghampiri kalau butuh sesuatu."
"Di mana Samuel?" tanya Sara, menanyakan teman mereka yang lain, yang hari ini memiliki jadwal berlainan. "Dia berkata akan menunjukkan catatan kimianya padaku."
"Kita akan tahu apa yang dicatatnya besok. Besok 'kan jadwal kita."
"Aku mau bersiap-siap sebelum guru kita―yang entah siapa namanya, aku lupa, karena belum genap sebulan kita di sini―menjelaskan pelajaran besok."
Jesse ingin menuduh Sara mencuri start, tapi ia tidak menghakimi teman seperjuangannya di olimpiade sains dulu. Sara adalah gadis manis berdarah India, dengan kacamata tebal, dan rambut berpotongan bob. Cara selalu menyindir Sara di belakang, betapa culunnya gadis itu padahal cewek India bisa saja menarik. Cara pasti lupa kalau Jesse sama culunnya. Sara ada di urutan kedua, persis setelah Jesse. Meski Sara temannya, pasti ada persaingan. Jesse mengira Sara berusaha mengejarnya di SMA. Yah, Jesse tidak khawatir. Ia bisa mempertahankan prestasinya.
"Bagaimana rasanya?"
"Apanya?" tanya Jesse heran pada Sara.
Sara memutar mata di balik kacamatanya. "Menjadi populer."
Jesse mengernyit dan batal mengigit roti isinya. "Aku tidak populer."
"Kau populer di klub buku, tahu? Dalam beberapa generasi, pasti tidak ada cewek buku yang memacari cowok futbol. Itu hanya ada dalam novel."
"Yah, kau melihat yang bukan novel sekarang. Aku dan Max."
"Apakah dia menciummu? Apakah ciuman cowok futbol memang hot seperti yang ada di novel?"
Sara berhasil membuat Jesse memerah. "Aku... masih lima belas tahun. Baru genap enam belas beberapa minggu lagi dan... tidak. Aku masih berpikir pertukaran liur itu menjijikkan."
Sara sepertinya tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan. "Sayang sekali. Meski aku tahu ciuman mulut ke mulut itu menyebarkan bakteri, tapi aku tidak bohong, bahwa aku mulai penasaran."
Jesse juga penasaran, tapi ia tidak mau mengakui. Apalagi saat berduaan dengan Max di mobil, Max tidak lagi hanya mencium pelipis dan puncak kepala. Max mulai mencium pipinya, lalu kini merambat hingga mendekati sudut bibirnya. Jesse bertanya-tanya apakah Max juga ingin merasakan bibirnya, apakah Max juga penasaran.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top