Upacara Penyambutan

Lonceng berbunyi meninggalkan gema di seluruh penjuru Edealunis, memberi penanda waktu bahwa jam doa sore dimulai.

Masing-masing delegasi dijemput dari menara oleh para misdinar dan dibawa ke hall pertemuan. Dalam sunyi kalian mengekor di belakang para hamba dewa berbaju putih hingga tiba di sebuah ruangan luas berlangit-langit tinggi dengan pilar-pilar menopang di setiap sudut. Kain merah tua menjuntai dari atas bergerak pelan tertiup angin sore yang lolos dari jendela-jendela tinggi.

Para penghuni katedral telah berbaris rapi, terbelah menjadi dua bagian. Delegasi dari ketiga negara berjalan di tengah hingga tiba di depan mimbar, tempat di mana ada barisan kosong yang disediakan khusus bagi kalian.

Tak lama setelah itu, sang Paus masuk dan berjalan ke mimbar diiringi oleh dua kardinal yang terus mendampinginya.

Misa sore itu pun dimulai.

Diawali dengan doa, bacaan kitab suci dan diakhiri dengan devosi sebelum Paus menyapa para tamunya.

"Selamat datang di Edealunis. Salam damai dari Edea untuk Hiryn." Suaranya yang lantang mengkhianati umurnya yang terlihat tua. Bagaimana pun juga, dia telah memimpin misa bertahun-tahun. Sebuah senyum ramah dia edarkan sebelum dia melanjutkan pengantar singkat, memperkenalkan delegasi dan mengucapkan selamat bertanding.

"Semoga damai senantiasa hadir di hati kita semua," ucapnya sebelum mengakhiri acara hari itu.

Dia pun turun dari mimbar untuk menyalami para delegasi.

"Senang sekali, turnamen persahabatan ini dapat dilakukan kedua kalinya di Edealunis. Sebuah kehormatan bagi kami mengadakan sebuah acara membangun persahabatan dari pemuda-pemudi yang menjadi masa depan negara."

Pria dengan rambut berwarna putih itu menyambut para delegasi, menyalami satu per satu mulai dari rombongan Kekaisaran Qasalon. Ribut-ribut sempat terjadi saat peserta dari Qasalon menanyakan perihal Tarikh Daslaenad kepada Paus. Tarikh Daslaenad kembali disebut saat Paus menyapa rombongan dari Kerajaan Isigalla.

Rupanya hal itu menarik perhatian Astrid. Gadis itu sempat bertanya kepada Talon terkait Tarikh yang terus disebut-sebut oleh peserta dari negara lain.

"Kekuatan. Yang akan kita menangkan," jawab Talon dengan penuh keyakinan.

Katha mengorek-ngorek ingatan masa kecilnya, masa di mana sang ayah masih sering mendongeng untuknya dan Maltha sebelum tidur. Beberapa kali Kuri bercerita tentang masa di mana seluruh benua Hyrin disatukan dalam satu panji negara. Nama Daslaenad yang agung kerap disebut, juga tentang Tarikh yang katanya merupakan warisan agung yang ditinggalkan Daslaenad bagi mereka. Selama ini, Katha pikir kisah itu hanya dongeng belaka. Namun kini, Katha jadi bertanya-tanya. Bila orang-orang dari Qasalon dan Isigalla itu tampak begitu penasaran akan keberadaan Tarikh Daslaenad, mungkinkah Tarikh itu benar-benar ada?

"Sebuah kehormatan pula bagi kami dari Qokar, untuk menyambut undangan turnamen persahabatan kali ini." Suara berat Talon memecah lamunan Katha. Rupanya Sri Paus telah tiba di barisan rombongan mereka.

Baru kali ini Katha melihat Talon membungkukkan badan dengan penuh hormat di hadapan orang lain. Tampaknya pria tua yang tadi berpidato di mimbar itu memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Hal itu membuat Katha makin gugup. Apa yang harus dia katakan nanti ketika tiba gilirannya untuk bersalaman dengan Paus?

"Semoga Anda menikmati kunjungan Anda di Edealunis, tempat kami yang sederhana ini. Jika Anda mengalami ketidaknyamanan, para pelayan dewa di sini siap membantu." Pria tua itu menganggukkan kepala, lantas menatap Talon lekat-lekat, sebelum akhirnya bergeser untuk menyapa Batar.

"Terima kasih, atas undangan dan sambutan dari Bapa kepada kami, delegasi dari Qakar, yang telah diizinkan untuk berkunjung di Tanah Suci Edea. Semoga damai selalu menyertai semuanya." Batarich juga membungkukkan badan, bahkan lebih khidmat dari yang Talon lakukan.

Katha mulai panik. Sebentar lagi gilirannya tiba, tetapi dia masih belum tahu apa yang harus dia ucapkan kepada pria tua itu. Berbagai versi ucapan terima kasih melintas di kepalanya, tetapi Katha tak tahu mana yang harus dia pilih.

"Salam damai untuk Qokar dan penghuninya." Sang Paus menerima sambutan dari Batarich dengan senyum dan anggukan.

Katha menyambut jabat tangan sang Paus dengan hati-hati, takut tanpa sadar dia menggenggam terlalu erat mencederai tangan keriput yang terlihat rapuh itu.

Saking terlalu gugupnya, Katha sampai terpeleset lidah. Alih-alih mengucap terima kasih, dia justru berkata, "Sama-sama, Kek."

Pria tua itu tertawa lepas mendengar sapaan dari Katha. "Salam damai bagimu, Maltha dari Qokar. Saya memang sudah waktunya dipanggil kakek."

Muka Katha merah padam. Bisa-bisanya dia memanggil Kakek kepada pria yang paling dihormati di seantero Benua Hyrin. Untungnya Paus dan para pengiringnya tidak membesar-besarkan masalah itu. Meski masih merasa malu, detak jantung Katha berangsur kembali normal begitu Sang Paus beralih menyapa Astrid.

Usai menyalami seluruh tamunya, Sang Paus kembali berseru lantang, "Sebentar lagi kalian bisa menikmati lingkungan katedral, silakan berkeliling. Saya bisa menyarankan taman jika berkenan, Suster Fantine adalah penanggung jawab yang sangat berbakat dalam merawat bunga dan tanaman obat. Namun, taman hanya bisa dikunjungi sebelum matahari terbenam sempurna dan tertutup setelahnya. Atau jika kalian ingin berdoa, mencari petunjuk dari Edea, kalian bisa ke salah satu bilik-bilik doa yang tersedia."

Mendengar kata bunga dan tanaman obat disebut, hati Katha pun bungah. Dia tak sabar untuk berkunjung ke taman katedral. Tadi, dia sempat melntas di sana, mengintip sedikit isi taman dari jendela-jendela kaca. Indahnya sungguh luar biasa.

"Sayang sekali, saya harus pamit undur diri," lanjut Paus. "Selamat menikmati kunjungan Anda di Edealunis dan yang terbaik yang akan menang di turnamen. Salam Damai dari Edea senantiasa ada dalam hati."

Usai berpamitan, Sang Paus pun meninggalkan balairung bersama para pengiringnya. Batar melihat Talon memberi isyarat untuk mengikutinya. Kemudian, Batar menoleh ke arah Astrid dan Maltha.

"Astrid, Maltha." Batar memanggil kedua gadis itu seraya memberi isyarat dengan tangannya. "Kita keluar ruangan."

Katha pun berbalik badan dan membuntuti Batar ke luar ruangan. Sepintas dia melirik ke belakang. Pandangan matanya menyapu sekilas ke arah para perwakilan dari Qasalon dan Isigalla. Mereka terlihat kuat, tetapi Katha rasa mereka tak lebih kuat dari Maltha. Mungkin .. ya mungkin saja .. dia bisa menang melawan mereka. Apalagi, ada Astrid yang akan menjadi rekannya di arena nanti.

=0=

Sesampainya rombongan Qokar kembali ke Menara Delegasi, Batar segera menghampiri Astrid dan Maltha untuk memberi mereka arahan. Batar melipat kedua tangannya. Sembari menatap tajam kedua gadis di depannya, pria paruh baya itu dengan tegas berucap,

"Baiklah, kalian berdua, dengar baik-baik. Setelah ini, kalian boleh berjalan-jalan ke mana saja, asalkan kalian harus kembali sebelum malam hari. Ingat! Kalau kalian terkunci di luar karena terlambat masuk menara, aku tidak akan turun untuk membantu kalian!"

Batar dengan cepat meneruskan 'penatarannya'.

"Juga, jangan sampai aku atau Talon dengar, kalau kalian terlibat hal yang merepotkan kita semua. Aku tidak ingin dengar aduan dari panitia, kalau kalian terlibat perkelahian, bikin onar, atau mabuk-mabukan! Sampai sini paham??"

Maltha mendengarkan nasihat Batarich dengan saksama.

Sebagai putri Kuri Azag-nannar, tentu Katha bertekad untuk menjaga martabat dan nama baik sukunya. Tidak tebersit niat sedikit pun untuk membuat onar di negeri jauh dan asing ini.

"Paham, Paman," kata Katha mantap. Lantas, dia teringat pada beberapa barang yang dilihatnya di festival. Ada sebuah pelindung tangan kulit yang menarik perhatiannya, juga sebuah belati berbentuk bulan sabit yang katanya dapat membabat ilalang lebih mudah saat berladang.

"Tapi kita tetap boleh ikut lomba adu kekuatan, kan?" Astrid tampaknya masih bertekad untuk mengikuti lomba di festival.

Batar menghela napas. Tidak ingin memusingkan hal yang remeh-temeh, Batar pun merestui.

"Asalkan kau tidak bikin ribut saja, terserah. Tapi ingat, kembali ke menara sebelum jam malam diberlakukan."

Dengan sedikit ragu-ragu, Katha merogoh saku dan mengeluarkan beberapa keping koin belulang dan logam. Sedikit uang saku yang didapatkan dari beberapa tetua desa sebelum dia pergi menuju area pertemuan dengan anggota rombongan yang lain.

"Err. Boleh aku bertanya, Paman? A-apakah uangku ini bisa kugunakan untuk membeli barang di festival? Dan delapan Gold itu kira-kira seberapa, ya, Paman?" tanya Katha dengan kedua mata mengerjap penasaran. Koin-koin logam itu adalah barang yang cukup langka di Abgennar, hanya digunakan jika ada kabilah pedagang yang mampir ke desa mereka. Karena itulah, Katha tidak terlalu familier dengan nilainya.

"Hmm ... hanya koin logam yang berlaku di Edealunis, karena selama ini, negara-negara lain juga menggunakan koin itu untuk bertransaksi. Sekeping dihargai lima emas. Sementara untuk koin belulang, itu tidak berlaku di sini," jelas Batar.

Maltha menghitung koin di tangannya. Hanya ada satu yang terbuat dari logam, sisanya terbuat dari gigi dan tulang hewan.

"Yah. Masih kurang tiga emas lagi, ya," ucapnya lirih.

"Sepertinya, kalian membutuhkan sesuatu." Talon yang entah muncul dari mana tiba-tiba ikut bersuara.

"Kita masih akan berada di sini beberapa lama, jadi bijaklah menggunakan uang atau waktu kalian. Untuk sisa waktu hari ini, kalian bebas, seperti kata Pak Lonechair tadi. Tapi besok-besok, tunggu arahan dariku maupun para petinggi," kata Talon sembari mengeluarkan kantong kulit dan merogoh sesuatu.

"Untuk lima hari. Petarung yang baik akan bijak memilih untuk apa menggunakan uang mereka."

Diberinya Astrid dan Katha masing-masing lima keping koin. Dengan mata berbinar-binar, Katha menerima keping-keping uang yang diberikan Talon kepadanya. Belum pernah dia melihat uang sebanyak dan seberkilau itu.

"Te-terima kasih, Paman Talon. Aku berjanji akan menggunakannya dengan baik. Kalau begitu, aku izin pamit pergi."

Kattha lalu menoleh kepada Astrid. "Aku ingin melihat-lihat bunga di taman. Kamu mau ikut?"

Astrid menggeleng. "Aku mau mencari tau soal tempat turnamen nanti."

Ah, turnamen, ya. Alih-alih tentang turnamen, Katha justru lebih tertarik pada tanaman-tanaman yang tumbuh di Edealunis. Mungkin nanti dia akan bertanya kepada Astrid saja tentang turnamen. Kalau ingat.

"Sampai jumpa di festival, Astrid. Mari Paman Batar dan Paman Talon." Kattha pamit pergi sekali lagi. Kali ini, dia langsung melipir keluar dengan sedikit bersenandung riang. Dia sudah tidak sabar untuk melihat tanaman apa saja yang tumbuh di taman katedral itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top