Tarikh Daslaenad


Begitu memasuki area taman katedral, mulut Katha menganga lebar. Saat melintas tadi, dia tahu bahwa taman di tempat itu indahnya luar biasa. Namun, sensasi yang dia rasakan ketika benar-benar memasuki taman jauh lebih menakjubkan.

Jika surga itu ada, mungkin wanginya seperti taman katedral itu. Mata Katha berbinar-binar memandangi bunga aneka rupa yang belum pernah dilihatnya sebelum ini. Dalam hati, dia bertanya-tanya apakah bunga-bunga itu dapat tumbuh jika ditanam di Abgennar. Katha teringat sebuah area tersembunyi di sudut lembah yang tampaknya cocok untuk disulap menjadi taman bunga seperti ini.

Ingin sekali Katha menyentuh bunga-bunga itu, tetapi saat mendengar salah seorang biarawati yang tengah mengomel pada gadis petarung dari Qasalon--kalau tidak salah namanya Esme--dia menjadi takut melakukannya. Akhirnya, Katha memutuskan untuk melihat-lihat saja sambil sesekali sedikit mencondongkan wajah pada bunga yang tengah mekar untuk menghidu wanginya. Ah, dia jadi penasaran apakah bisa magang di taman itu untuk belajar cara bercocok-tanam ala warga Edealunis.

"Oh, ya, kami dari Qasalon. Aku Esmeralda!" Suara gadis dari Qasalon itu terdengar jelas dari tempat Katha bersembunyi.

Rupanya Katha tidak salah ingat. Gadis yang akan menjadi lawannya dari turnamen itu benar-benar bernama Esme.

Sebenarnya Katha penasaran apa yang tengah diperdebatkan Esme dengan Nona Biarawati yang tampak kesal itu, tetapi Katha rasa tak sopan jika dia tiba-tiba menyela. Jadi, dia menguping saja dari balik rumpun mawar sambil mengamati tanah yang gembur dan subur. Sayangnya, rumpun-rumpun mawar itu tidak cukup untuk menyembunyikan sosoknya. Si Nona Biarawati rupanya menyadari keberadaan Katha.

"Selamat datang di Edealunis, Nona Esmeralda dan siapa pun yang bersembunyi di balik rumpun mawar, cepat tunjukkan dirimu!" katanya.

Mau tak mau, Katha menampakkan diri. Sudah disindir begitu, tidak sopan jika dia terus bersembunyi. Kalau Katha tidak salah ingat, Kakek Paus tadi menyebut-nyebut nama Suster Fantine sebagai biarawati yang bertanggung jawab atas taman katedral. Melihat cara biarawati lain yang menunduk hormat setiap melintas di hadapan si Nona Biarawati yang sedang marah-marah itu, sepertinya dialah si Suster Fantine itu.

"Wah ada tambahan satu lagi," celetuk Esme. "Kalau bunganya tidak boleh dikembalikan, ya sudah, nanti Esme kasih satu ke dia."

"Ya, ya, ya. Bunga yang sudah dipetik lebih berguna diberikan kepada orang lain daripada memaksa untuk ditanam kembali."

Tatapan Esme masih tertuju ke Nona Biarawati itu, "Nona belum memberikan nama, atau Esme boleh panggil Nona saja? Lalu, apa Esme boleh bertanya-tanya pada Nona, kebetulan ada Nona di sini?"

"Saya adalah Nun Fantine, suster yang bertanggung jawab untuk merawat taman ini."

Nah, benar, kan, tebakan Katha.

"Anda ingin bertanya tentang apa?" Nun Fantine balik bertanya kepada Esme, sambil sesekali mengerling kepada Katha yang masih diam seribu bahasa.

Dengan muka merah padam karena malu, Katha akhirnya memperkenalkan diri."Sa-saya Maltha dari Qokar. Err ... sebenarnya saya tidak ingin bertanya apa-apa. Saya hanya sedang mengagumi bunga-bunga di taman ini. Di tempat saya tidak ada bunga-bunga seperti ini."

Katha terdiam sejenak. "Oh. Sebenarnya ada yang ingin saya tanyakan. Di-di mana saya bisa membeli bibit bunga seperti ini, ya? Dan apakah ada tempat bagi saya untuk belajar cara menanam dan merawatnya?"

Sudut mulut Fantine berkedut pelan, seperti sedang menahan senyum. Namun, raut wajahnya masih membiaskan sikap tegas, membuat Katha bingung apakah harus was-was mendapat teguran keras seperti Esme atau tidak.

"Salam damai dari Edea, Nona Maltha. Saya adalah Nun Fantine yang bertanggung jawab akan taman ini. Saya bisa memberikan Anda beberapa bibit untuk mencoba Anda tanam, sementara untuk cara menanam dan merawatnya sebenarnya tidak sulit. Tanaman ini hanya perlu sinar matahari yang banyak dan air yang secukupnya, jangan biarkan dia tumbuh di tanah yang terlalu lembab."

Ah, rupanya Nun Fantine tidak seseram yang Katha bayangkan. Rasa gugup Katha perlahan surut begitu mendengar Nun Fantine bersedia memberi bibit bunga secara cuma-cuma.

"Be-benarkah itu Nona Biarawati?" tanya Maltha dengan mata mengerjap gembira layaknya anak domba. "Anda tampaknya memiliki pengetahuan yang sangat luas tentang tanaman. Bolehkah saya sering-sering mampir ke sini untuk belajar? Saya bersedia membantu jika diizinkan. Di Abgennar saya sudah terbiasa kerja di ladang. Kebetulan saya membawa beberapa biji-bijian khas kampung halaman. Jika Anda bersedia, saya akan memberikannya kepada Anda."

Katha yang beberapa hari terakhir sedikit bicara tiba-tiba mencerocos tanpa henti. Jika Maltha yang asli selalu bersemangat saat membicarakan tentang pertarungan, Katha justru lebih suka membicarakan tanaman. Di Abgennar, dialah yang bertanggung jawab mengurus ladang dan ternak. Daripada menghabiskan waktu di arena duel, sebenarnya Katha lebih suka bermain dengan tanah dan pupuk.

"Baik kalau begitu, Maltha sayang," Esme mendekat kepada Katha dan menyematkan satu bunga lavender di telapak tangan gadis Qokar itu. "Ini untukmu. Jangan bilang-bilang Einar kalau bunganya kubagi-bagi ke orang, ya~"

Kedua mata Katha melebar dan wajahnya pun makin merona malu. Bunga ungu yang kini berpindah ke tangannya itu memiliki wangi lembut yang menenangkan. Dalam sekejap, sikap waspadanya pun lenyap.

"Ah, te-terima kasih, Nona Esme," kata Katha malu-malu. Sosok Esme tak lagi dilihatnya sebagai lawan, tetapi sebagai kawan baru yang baik hati karena telah memberinya bunga.

Esme sendiri tampak tak peduli dengan reaksi Katha. Dia kembali berfokus pada Nun Fantine dan bertanya tentang Tarikh Daslaenad.

"Esme cuma penasaran soalnya semua ribut soal Tarikh Daslaenad ini, Tarikh Daslaenad itu lah. Ada yang tidak paham lah. Ada yang tidak peduli, lah. Nona Biarawati tahu sesuatu?" ujar gadis Qasalon itu dengan gayanya yang cuek.

Alis Fantine berkerut memandang Esmeralda. "Apa yang ingin Anda ketahui tentang Tarikh?" Setelahnya, dia menoleh ke arah Katha. "Tentu saja. Saya sering berada di sini, jika tidak sedang misa atau jam doa. Datanglah sewaktu-waktu dan saya bisa mengajari Anda beberapa tips menanam."

Sambil memainkan lavender di tangannya, Esme menjawab, "Sebenarnya, Tarikh itu sudah ada di Edealunis atau nggak sih? Kenapa semua orang bilang Tarikh tidak berbentuk tapi katanya ada, apa karena semua orang di sini sudah tahu Tarikh itu 'apa'?"

Lagi-lagi tentang Tarikh. Entah kenapa para delegasi dari negara lain selalu ribut-ribut tentang Tarikh sejak tadi. Maltha yang awalnya tidak tertarik mau tidak mau jadi penasaran juga.

"Ma-maaf Kak .. eh ...maksudku Nona Esme. Tarikh itu sebenarnya apa, sih? Kenapa selalu dibahas sejak tadi?" tanya Maltha dengan tampang polos.

Ayahnya memang sempat membahas mengenai Tarikh Daslaenad dalam beberapa dongengnya. Tapi, Maltha tidak terlalu memperhatikan karena dipikirnya benda itu hanyalah dongeng sebelum tidur saja.

"Esme juga tidak tahu apa itu Tarikh makanya Esme nanya," ucap Esme sambil mengedikkan bahu. "Soalnya semua orang komentarnya beda-beda! Kakek Pope saja cuma bilang itu bisa jadi sumber perpecahan. Tapi banyak orang yang tidak peduli juga misal itu memecah kedamaian, jadi Esme harus percaya apa?"

Mendengar penjelasan Esme yang sebenarnya tidak menjelaskan itu Katha hanya manggut-manggut saja. Lantas, dia ikut-ikutan menatap Nun Fantine dengan raut ingin tahu, menunggu biarawati yang sudah menjadi idola barunya itu menjawab pertanyaan Esme.

"Lebih baik kalian fokus pada turnamen. Bukankah itu adalah alasan kalian dikirim ke sini oleh negara kalian?" Fantine mengibaskan tangan tanda pembicaraan absurd ini sudah selesai. "Tarikh bukanlah sesuatu yang berhak kalian pikirkan untuk saat ini."

Setelah itu, Fantine mengeluarkan kantung kecil dari balik jubah susternya dan memberikannya pada Katha. "Ini adalah benih yang kujanjikan. Rawatlah dengan baik dan datanglah kemari jika kau ada pertanyaan."

Senyum lebar langsung terkembang di wajah Katha. Dia seperti baru mendapat hadiah berharga dari langit. Nun Fantine kini terlihat seperti malaikat di matanya.

"Terimakasih, Nona Biarawati," ucap Maltha lantang. "Saya akan menjaganya dengan baik. Nanti, saya akan mampir ke sini untuk membawakan biji-bijian dari kampungku."

"Yah, baiklah, kalau begitu, Nona Biarawati," Esme menunduk tanda hormat. "Boleh aku ambil satu bunga lagi sebelum aku pergi? Maltha sayang, apa masih mau di sini ngobrol sama Nona Biarawati?"

Katha menoleh kepada Esme yang entah kenapa sejak tadi selalu menyematkan panggilan 'sayang' kepadanya. "Err. Sepertinya Nona Biarawati sedang sibuk."

Gadis berambut merah itu kemudian melirik takut-takut kepada Nun Fantine. "Oh, Nona Biarawati. Apakah benar saya bisa mendapatkan tarikh -tarikh itu kalau memenangkan turnamen?"

Mendengar pertanyaan Katha, gerakan tangan Fantine yang sedang memetikkan bunga untuk Esme berhenti. "Tidak ada tertulis bahwa Tarikh menjadi hadiah turnamen," katanya sambil menatap Katha tajam.

Angin dingin seolah menyapu tengkuk Katha saat tatapan tajam sang biarawati tertuju kepadanya.Tampaknya Fantine sangat tidak suka jika ada yang menyinggung-nyinggung masalah Tarikh Daslaenad. "Ah, iya. Anda benar, Nona Biarawati. Sebaiknya saya memang tidak terlalu memikirkan hadiah yang belum pasti. Bisa kembali ke Qokar dengan selamat saja sudah menjadi sebuah berkat bagi saya."

Katha membungkuk hormat, meniru apa yang dilakukan Batar saat acara penyambutan tadi. "Terima kasih atas bibit bunganya dan juga karena sudah berkenan menjawab pertanyaan saya." Kali ini Katha memastikan lidahnya tidak salah ucap seperti saat bertemu Paus.

Biarawati itu mengangguk ketika Maltha pamit. " Sama-sama. Salam damai dari Edea senantiasa menyertai Anda."

Selepas meninggalkan area taman, Katha kebingungan mencari jalan keluar. Lorong katedral itu seperti labirin saja baginya yang lebih terbiasa berada di tempat lapang.

Suara melengking Esme menggema di lorong, memanggil seorang lelaki berpakaian biarawan yang berada tak jauh di sana.

Sungguh, Katha tak berniat membuntuti Esme, tetapi di tempat asing itu, dia tidak tahu lagi harus bertanya ke mana. Jadi, akhirnya dia ikut bergabung dengan si gadis Qasalon dan menghampiri biarawan muda yang berjaga di lorong katedral itu.

"Tuan Biarawan lebih suka mawar putih atau lavender? Kebetulan Esme punya beberapa tangkai," tanya Esme sambil menunjukkan bunga-bunga di tangannya. "Dan oh, aku Esmeralda dari Qasalon. Di belakangku ada Maltha dari Qokar."

Biarawan itu sempat terperangah ketika disodori bunga oleh Esme. "Terima kasih," ucapnya sambil mengangguk, dia juga sempat tersenyum ramah kepada Katha. "Saya rasa bunga itu lebih sesuai di tangan Anda untuk menghias kamar. Saya terima niat baik Anda saja. Apakah ada yang bisa saya bantu?"

Ditatap begitu, pipi Katha bersemu. "A-anu Tu-tuan. Saya sedang tersesat. Kalau ingin ke luar katedral lewat mana, ya? Saya ingin berkunjung ke festival."

"Boleh saya bertanya-tanya soal Edealunis?" tanya Esme pada saat yang nyaris bersamaan.

Mendengar permintaan Katha, biarawan itu mengangguk. "Tentu saja, silakan ikut saya untuk kembali ke gedung utama katedral." Biarawan itu memperkenalkan dirinya sebagai Father Josue. Tatapannya lalu teralih ke Esmeralda. "Anda ingin bertanya tentang apa? Selama saya bisa menjawab, saya akan membantu."

"Baik, Tuan. Mohon maaf sudah merepotkan," ujar Katha lega. Dia pun berjalan di sisi sang biarawan. Sesekali dia melirik kepada Esme. Jujur saja, Katha juga penasaran pada apa yang akan si gadis Qasalon tanyakan.

"Gedung utama itu ada di dekat menara para perwakilan, kah? Ya sudah, Esme juga ikut kalian saja. Kalau soal pertanyaan, hmm ..." Esme terdiam sebentar. "Di Edealunis ini apa semua pemuka agama atau pemuja Edea percaya betul akan kuasa Edea? Apa ada yang pernah mencoba mengusik Edea, seperti, Tarikh Daslaenad, misalkan?"

Lagi-lagi Tarikh Daslaenad kembali disebut. Sepertinya benda itu benar-benar penting dan berharga, sampai-sampai perwakilan dari negara lain terus bertanya tentangnya.

Alis si biarawan berkerut sekilas, menyatakan ketidaknyamanannya. Namun senyum ramahnya tak hilang sedikit pun. "Kami mempercayai Edea sebagai pencipta tunggal dan sejauh yang saya ketahui, Tarikh tidak memiliki sangkut pautnya dengan Edea ...."

"Lalu kenapa semua orang membicarakan Tarikh, ya? Apa Tuan Biarawan tahu sesuatu?" Esme menelengkan kepala. "Soalnya mungkin bukan Tuan saja yang bingung, Esme juga bingung kenapa semua seperti ingin Tarikh, butuh Tarikh, atau Tarikh akan mendatangkan bencana, Kakek Pope juga bilang Tarikh menimbulkan perpecahan, jadi yang mana yang harus dipercaya?"

"Hampir semua orang percaya bahwa Tarikh berada di Edealunis, tapi sejujurnya, saya sendiri tidak pernah tahu apa itu Tarikh dan bagaimana bisa orang-orang mengira itu ada di Edealunis." Biarawan muda itu tersenyum lemah seraya menggeleng.

"Kalau bisa mendatangkan bencana, lalu kenapa masih ada orang-orang yang mencari dan ingin memilikinya?" celetuk Katha. Sungguh dia jadi ikut bingung masalah Tarikh yang terus disebut-sebut itu.

"Saya bukanlah orang yang tepat untuk ditanyai tentang Tarikh. Namun yang pasti saya tahu, saya tidak pernah melihat sesuatu yang tampak seperti Tarikh itu di Edealunis, setidaknya di ruangan-ruangan yang biasa saya kunjungi."

"Mungkin mereka berharap era Daslaenad kembali terjadi," lanjut si biarawan menjawab celetukan Katha.

"Kalau bukan Anda? Siapa yang orang tepat untuk ditanyai masalah Tarikh ini, Tuan Biarawan?" tanya Katha penasaran.

Ketika pertanyaan berikutnya terlontar, senyum pemuda itu menghilang. Terlihat jelas dia berusaha menghindari pembahasan terkait Tarikh.

Katha memang sempat beberapa kali mendengar cerita para tetua tentang era Daslaenad yang katanya penuh kesejahteraan dan kejayaan. Tapi ... kejayaan apa yang dimulai dengan sebuah bencana? Bukankah bencana hanya akan mendatangkan kesengsaraan?

"Saya masih tidak mengerti, Tuan. Apa pentingnya menemukan kejayaan kalau hanya mendatangkan kesengsaraan? Selama ini saya hidup di desa yang terpencil dan serba kekurangan karena bencana alam yang sering terjadi. Kalau keberadaan Tarikh justru mendatangkan bencana dan takdir membawa saya kepadanya, saya akan menyembunyikannya saja supaya tidak ada yang menyalahgunakan," kata Katha menyuarakan isi hatinya. Dia masih tidak habis pikir kenapa orang-orang tampak ingin memiliki Tarikh.

"Tapi, saya ini hanya gadis bodoh yang tidak tahu apa-apa. Bahkan saya baru tahu bahwa Tarikh itu bukan dongeng belaka saat tiba di Edealunis ini. Saya justru takut karena ketidaktahuan ini, saya jadi tanpa sadar mengusik keberadaan Tarikh. Makanya saya bertanya kepada Tuan. Seperti apa ciri-ciri Tarikh ini," gumam Katha menyuarakan kebingungannya. Bagaimana kalau dia tanpa sengaja mengaktifkan kekuatan Tarikh, lalu mendatangkan bencana?

Father Josue menghela napas dalam. Sorot matanya terlihat sedih, tetapi kemudia dia tersenyum penuh kasih pada Katha. "Anak muda, niat hatimu begitu mulia. Saya ingin meminta Anda untuk menolong salah satu teman saya. Father Rolland. Dia adalah salah satu romo yang menyelidiki tentang Tarikh. Mungkin jika Anda berbicara dengannya, Anda bisa mendapatkan informasi tentang Tarikh dan tolong, agar dia tidak lagi terobsesi pada itu."

"Di manakah saya bisa bertemu dengan Father Roland ini, Tuan?" Belum sempat Father Josue menjawab, teriakan Astrid membahana memenuhi lorong. 

=======

Sekilas info. Selain akan berlaga di turnamen, para peserta juga harus mencari informasit terkait Tarikh Daslaenad ini. Nah, buat dapat info harus gacha. Kalau sukses, barulah dapat info dari NPC (di part ini Nun Fantine dan Father Josue)

Katha keburu ciut buat tanya ke Nun Fantine. Apalagi sebenarnya dia ga punya skill persuade. Tapi, pas ketemu Father Josue, karena ramah dia beraniin diri tanya. Ga terlalu berharap banyak sih, karena sebenarnya skill persuade Katha cuma 15% kemungkinan suksesnya. Eh, tapi ternyata Katha si anak kicik berhasil, makanya dia dapat info tentang Father Roland.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top