Kericuhan Setelah Pertandingan

Beberapa cleric langsung menggiring Katha dan Astrid kembali ke menara. Di sana Talon dan Batarich sudah menunggu mereka.

Saat melihat wajah garang kedua mentornya, ingatan amarah Talon dan Batar tadi pagi sukses membuat nyali Katha menciut. Juga malu akan kegagalan beruntun saat berusaha menyerang Archer tadi. Namun, rasa penasaran akan penampakan gadis bercahaya yang dilihatnya dari jendela kamar membuat Katha memantapkan hati untuk bertanya. Dia harus mencari tahu apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan Tarikh Daslaenad. Katha yakin, wanita bercahaya yang dilihatnya itu ada hubungannya dengan Tarikh yang dielu-elukan oleh para penonton di koloseum tadi.

"Boleh aku menyelinap ke taman, Paman? Ada hal yang harus kutanyakan kepada Nun Fantine." Sudah terucap. Katha tidak bisa menarik kata-katanya lagi.

Alih-alih menjawab, Talon justru menghela napas. Hal ini justru membuat Katha kian tegang. Jantungnya berdetak lebih kencang, hampir menyamai debaran yang ditimbulkan pompaan adrenalin saat dia bertarung di arena tadi.

"Menyelinap, katamu? Mau menyelinap dari siapa? Jangan pergi sekarang. Kita masih harus bicara." Akhirnya, Talon bersuara.

Katha menegarkan diri. Firasatnya mengatakan ada suatu hal besar yang menanti. Dia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Menyelinap dari para cleric yang mengurung kita di sini Paman," kata Katha.

Sebenarnya gadis Abgennar itu sedikit kesal. Dia tak habis pikir kenapa para orang dewasa bisa menjadi sangat kolot dan suka sekali melarang. Padahal, dia sudah menjadi anak baik yang tidak merepotkan, bahkan membawa kemenangan dalam pertarungan pertama Qokar di turnamen, tapi masih saja Talon mencurigainya.

Biasanya, jika sudah diomelin begini, Katha akan terdiam dan menurut saja. Namun, perjalanannya ke Edealunis seolah membuka matanya. Pertemuannya dengan Astrid, Esmeralda, bahkan dengan Isolda dan Archer yang tadi menjadi lawannya seolah membuka mata Katha. Jika menginginkan sesuatu, dia harus berani memperjuangkannya. Karena itulah, Katha memutuskan untuk tidak menyerah begitu saja.

"Aku yakin Nona Esme sudah mencari tahu tentang Tarikh, aku tidak melihatnya di tribun penonton dari Qasalon. Paman mau kita ketinggalan informasi? Bukankah Paman juga ingin membawa pulang Tarikh ke Qokar?" lanjut Katha, sedikit meniru cara Esmeralda bermain kata saat menghadapi Nun Fatine dan Father Josue kemarin.

"Nah, itu. Kamu belum cerita apa yang terjadi kemarin, sudah main kabur-kabur saja. Kaupikir sementang sudah berkeliaran satu hari, kamu jadi sudah mengenal seluk-beluk dan perilaku semua orang di sini? Jangan gegabah, Maltha. Ceritakan dulu semuanya, dan jangan buat masalah yang tidak perlu. Aku akan menilai boleh tidaknya setelah itu," nada bicara Talon sedikit lebih lunak, meski wajahnya tetap menyiratkan rasa kesal. Sepertinya taktik Katha berhasil, pria itu mulai mendengarkannya.

Katha menarik napas dalam-dalam sembari sedikit mengulur waktu agar bisa memilih kata-kata yang tepat.

"Jadi kemarin aku mengikuti Nona Esme yang sedang mencari informasi tentang Tarikh Daslaenad. Kami bertemu dengan Father Josue di hallway. Menurut penuturan Father Josue, salah satu romo yang bernama Father Roland terobsesi pada Tarikh dan mungkin mengetahui sesuatu tentang Tarikh. Kemarin, aku juga sempat bertemu Nun Fantine di taman, yang memberiku bibit untuk ditanam. Aku berniat membalas budinya dengan memberikan bibit tanaman khas Abgennar kepadanya. Selain itu aku perlu ..."

Tangan Katha merogoh buntalan kain di balik mantelnya untuk menunjukkan bibit yang sudah siapkan bagi Nun Fantine. Gerakannya terhenti sejenak ketika dia teringat pada penampakan yang dilihatnya semalam.

Awalnya, Katha sedikti ragu untuk bercerita. Apa yang dilihatnya bisa saja dianggap hanya khayalan atau mimpi belaka. Namun, kericuhan yang terjadi di koloseum tadi. Sikap aneh para pengurus katedral yang mengurung mereka di menara. Katha yakin apa yang dilihatnya semalam bukan sekadar mimpi. Karena itulah, dia memilih untuk jujur saja kepada Talon.

"Semalam aku terbangun tengah malam dan mengintip ke luar jendela. Aku melihat seberkas cahaya berwarna putih dari arah taman dan ada sebuah siluet seorang wanita berambut panjang di tengahnya. Aku ingin mengonfirmasi hal itu kepada Nun Fantine untuk memastikan siapa wanita itu."

"Cahaya putih," gumam Talon dengan tangan terlipat di depan dada. "Lalu ... sepertinya, Esme sudah cari tahu duluan selama kalian bertanding. Kaubilang tidak melihatnya di tribun penonton? Soal Father Roland itu. Lain kali, kalau bertanya soal tarikh, jangan ketika sedang bersama delegasi negara lain."

Talon menarik napas panjang, seperti sedang berusaha mengendalikan emosi. Katha menghargai usaha pria itu, sehingga dia pun menyimak setiap kata-kata yang diucapkan oleh Talon dengan tampang serius.

"Dengar, Maltha. Aku tidak melarang kamu berteman dengan siapa saja, aku juga tidak menyuruh untuk membenci atau memusuhi pihak lawan. Tapi, ada kehormatan yang harus dijaga, dan rahasia yang tidak boleh sampai terdengar siapa-siapa. Qasalon itu pemenang turnamen sebelum ini, camkan itu. Kalau kamu bisa mengorek info dari Esme, itu bagus. Tapi, anak-anak Qasalon itu agak mengerikan. Kamu tidak tahu apa yang ada di benak mereka."

Talon kembali menatap Maltha. "Sebenarnya, boleh saja kamu menemui Nun Fantine untuk melakukan yang kamu bilang tadi, tapi cleric dan para penjaga sedang menjaga ketat tower ini. Aku tidak yakin kamu tidak akan ketahuan lalu jadi masalah baru."

"Cahaya putih, katamu?" Tiba-tiba saja, Batar ikut bersuara.

Katha menoleh kepada Batarich. Dia nyaris lupa kalau Batarich juga ada di sana karena pria itu tak berbicara sedikit pun sejak tadi. Tampaknya pria tua itu lebih tertarik pada wanita misterius yang Katha lihat daripada tentang Tarikh itu sendiri.

"Maltha ... bisa kauceritakan lagi tentang apa yang kaulihat tadi malam? Apakah 'cahaya putih' yang kaulihat itu bersuara?" pinta Batarich.

"Cahaya itu hanya berpendar sebentar, lalu kembali menghilang dalam hitungan detik," tutur Katha. "Tapi, aku yakin cahaya itu berasal dari taman. Aku sempat melihat siluet pepohonan dan semak-semak berkilauan tertimpa cahaya."

Batarich tak segera menanggapi penjelasan Katha. Dari raut wajahnya, pria yang telah kehilangan satu kakinya itu terlihat sedang berpikir keras.

"Ketika kamu melihat cahaya itu, apa kau tengah memikirkan sesuatu?" tanya Batar sekali lagi. Namun, perhatiannya teralihkan kepada Astrid. Sepertinya, pria itu menyadari gelagat Astrid yang ingin kabur dari tempat itu. "EHEM, mau ke mana, Trid? Kurasa, kau sepertinya juga ingin mengatakan sesuatu. Kau juga melihat cahaya misterius seperti Maltha?"

Astrid berkata bahwa dia tidak tahu-menahu tentang cahaya misterius yang diceritakan Katha.

Setelah Astrid selesai bicara, barulah Katha menjawab pertanyaan Batarich.

"A-aku rasa aku tidak memikirkan sesuatu yang khusus. Aku hanya terbangun tengah malam dan seperti ada dorongan untuk mengintip ke luar jendela." Katha tertegun. "Dan saat melihat siluet wanita itu yang terpikir olehku hanyalah'bagaimana kalau Tarikh itu bukanlah suatu benda, tapi seseorang'. A-apakah Paman paham maksudku?"

"Ah, satu hal lagi. Maltha. Astrid." Batarich melipat kedua tangannya. "Sejauh ini, permainan kalian di pertandingan pertama sudah cukup bagus. Sekarang ... kalian berdua, sudah semestinya kalian berdua melakukan rekonsiliasi atas apa yang telah kalian perbuat sebelum lomba."

"Aku tahu aku sering terlalu tergesa-gesa hingga seranganku meleset. Aku akan lebih berkonsentrasi lagi pada pertandingan selanjutnya," janji Katha sembari melirik Astrid. Sejujurnya rasa kesalnya kepada Astrid sudah menguap. "Serangan Astrid jauh lebih kuat dariku, tetapi jangkauan serangannya juga lebih pendek. Selanjutnya aku akan menjadi umpan dan menggiring lawan ke arah Astrid."

Talon ikut menimpali, "Dalam ruangan ini terlalu riskan untuk jadi tempat berlatih. Kalau bisa keluar, aku bakal menggiring kalian berdua ke training ground."

"Tapi, kalau sekadar berlatih serangan jarak pendek, kurasa masih bisa, Paman," ujar Katha sambil meraih pedangnya. Namun, baru saja memasang kuda-kuda, Katha langsung sempoyongan. Dia memang sudah meminum ramuan yang diberikan pihak katedral untuk memulihkan tenaga dalamnya, tetapi sepertinya ramuan itu belum bekerja dengan sempurna. Matanya masih sedikit berkunang-kunang dan kantuk tiba-tiba menyerangnya.

Batar yang menyadari kondisi Katha pun berkomentar, "Wah, ini mah sudah kena. Besok masih ada pertandingan lagi, jangan kaupaksakan tubuhmu yang sudah di ambang batas itu."

Astrid ikut membalas tatapan Katha, lalu beralih kepada Batarich. "Biarkan aku sendiri dulu, Batarich. Tapi aku sudah tidak marah dengannya."

Batar menghela napas, seperti sadar tak ada gunanya menghalang-halangi remaja keras kepala yang sedang murung itu. "Haaah ... baiklah."

Sebenarnya Katha masih ingin membantah. Dia benar-benar ingin bertemu lagi dengan Nun Fantine. Namun, dia juga tidak bisa menyangkal bahwa sekarang badannya sedang menuntut jatah istirahat. Kalau memaksakan diri menyelinap ke taman, bisa-bisa dia tidak sanggup berdiri di arena besok pagi. Dia masih punya tanggung jawab untuk memenangkan pertandingan melawan Qasalon besok.

Akhirnya, setelah berpikir masak-masak, Katha mengeluarkan kantong kain berisi benih dari Abgennar dan mengulurkannya kepada Astrid.

"Kalau kamu sempat mampir ke taman dan bertemu dengan Nun Fantine, tolong berikan bibit ini kepadanya dan sampaikan salamku. Mungkin kamu juga bisa bertanya kepadanya tentang cahaya dan sosok wanita yang kulihat semalam, tapi jangan sampai membuatnya marah. Nun Fantine sangat peka dan protektif terhadap tanaman-tanamannya," mohon Katha dengan tatapan memelas. "Dan ... aku minta maaf atas perilakuku kemarin. Aku tahu kamu tidak bermaksud buruk."

"Tidak janji." Astrid mengambil kantung itu kemudian menepuk pelan pundak Maltha. "Asal kamu sudah menyadari kesalahanmu, tidak apa. Lagi pula aku juga gampang tersulut emosi."

Katha pikir Astrid akan langsung pergi, tetapi gadis itu justru melemparkan pertanyaan yang berhasil membuat jantung Katha nyaris lompat dari rongga dadanya. "Omong-omong, sejak duel kamu berlatih? Aku sempat terkejut dengan kemampuan larimu."

Selama sekian detik, air muka Maltha terlihat pucat. Dia takut penyamarannya ketahuan. Secara fisik dia memang sangat mirip dengan saudari kembarnya, tetapi gaya bertarung mereka berdua memang sangat berbeda.

Maltha yang asli jauh lebih kuat, tetapi Katha tidak terkalahkan masalah kecepatan.

"I-iya. Ten-tentu saja," jawab Maltha sedikit gugup. "Lawan kita lebih lihai dengan serangan jarak jauh, jadi aku harus memastikan mereka ada dalam jangkauan pedangku."

"Biasanya kamu lebih suka menubruk lawan hingga menyerah," imbuh Astrid, "Tapi tak masalah, kemampuan barumu cukup mengejar mereka."

Sepertinya dia percaya. Katha sedikit lega.

"Salah satu dari kita harus ada yang menjadi umpan, bagian menubruk lawan biar kamu saja, seperti yang kamu lakukan pada gadis penyihir tadi. Ayunan kapakmu benar-benar keren. Sekali kena lawanmu tidak berkutik,"puji Katha sepenuh hati. Tentu saja dia tidak mengungkit-ungkit bagian Astrid terjerembab mencium tanah. Mereka baru saja berdamai, tidak usah lah cari masalah baru.

Astrid hanya tersenyum tipis mendengar pujian Maltha. Dia kemudian menoleh ke arah Batarich dan Talon. "Aku boleh pergi?"

"Selain mencoba menemui Nun Fantine, kamu mau ke mana lagi?" tanya Talon.

Astrid hanya mengangkat bahunya. "Tidak tahu. Tenang, aku tidak akan melakukan kericuhan."

Talon meminta pendapat Batarich. Pria yang lebih senior itu sepakat dengan Talon.

"Silakan saja kalau kauingin keluar menara, Tapi ...." Batarich berhenti sejenak sebelum melanjutkan penekanann, "Ketika kau keluar dari menara, berarti kau harus bertanggung jawab penuh atas segala tindakanmu sendiri. Jangan. Bikin. Ribut."

Meski kecewa karena tidak bisa bertemu dengan Nun Fantine secara langsung, Katha cukup puas dengan hasil yang didapat. Dia dan Astrid berbaikan. Talon dan Batarich juga mendukung rencananya. Dia harap, Astrid tidak curang dan mau berbagi informasi dengannya.

=0=

Begitu mendengar suara pintu ditutup dari kamar Astrid, Katha langsung memelesat ke sana. Dia tidak sabar menginterogasi Astrid tentang "kunjungan" singkatnya ke taman. Semoga gadis itu tidak lupa menyerahkan benih tanaman yang dititipkannya.

Katha mengetuk pintu kamar Astrid sepelan mungkin, lalu berbisik melalui lubang kunci, "Astrid, kau ada di dalam?"

"Ya." Terdengar jawaban singkat dari dalam kamar.

Katha pun membuka pintu kamar Astrid dengan senyum berseri-seri. Dia sudah tidak sabar mendengar cerita Astrid.

"Tidak di sini, Maltha." Astrid keluar dari kamar, kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. "Talon! Batarich! Di mana kalian?"

"Ada apa?" sahut Talon dari dalam kamarnya, yang kemudian disusul dengan kehadirannya di hadapan mereka. "Cara bicaramu seperti mau menyampaikan sesuatu. Bukan karena habis membuat keributan, kan?"

Sebenarnya, Katha ingin berdiskusi berdua dulu dengan Astrid. Tapi, dasar Astrid tidak pernah berpikir panjang. Gadis itu justru langsung memanggil kedua mentor mereka.

Batarich ikut bergabung dengan mereka. Lengkap sudah.

"Apa lagi sekarang?" gerutu Batarich,

"Ada kabar baik dan juga kabar buruk," timpal Astrid.

Astrid berjalan mendekati kursi lalu mendudukinya. Dia terdiam sejenak sebelum mulai bercerita. "Kabar baiknya, Nun Fantine menyuruhku untuk pergi ke taman katedral malam ini. Sepertinya dugaan Maltha benar, perempuan itu tahu siapa sosok perempuan yang dilihat Maltha tadi malam."

Mendengar penjelasan Astrid, Katha langsung menatap Batarich dengan sorot memelas. "Bolehkah aku menemani Astrid menemui perempuan itu, Paman? Aku janji tidak akan berbuat keributan."

"Masalahnya ..." Astrid kembali menghela napas. "Perempuan Qasalon itu hadir di taman, dan ... sepertinya dia akan hadir juga di taman, malam ini."

"Tapi kalau kita tidak ke sana. Nanti hanya dia yang akan dapat petunjuk," sahut Katha tak sabaran.

Astrid memicingkan matanya dan menatap Katha penuh curiga. "Kamu masih percaya dengannya?"

"Errr ... Aku tidak tahu. Ta-tapi, yang aku tahu, kita tidak punya pilihan lain kalau mau mendapat informasi tentang sosok yang disebut-sebut Nun Fantine," jawab Katha dengan sedikit memberengut.

Astrid menoleh ke arah Talon dan Batarich yang belum berkomentar. "Bagaimana?" tanyanya.

"Ah, cahaya putih semalam," gumam Talon, lalu dia menoleh kepada Batarich. "Pak Lonechair lebih tahu soal hal-hal gaib seperti itu. Biar Anda yang putuskan."

Katha ikut-ikutan menoleh kepada Batarich. Seperti yang sudah-sudah, dia melemparkan tatapan memelas kepada pria itu, seperti anak anjing yang sedang memohon kepada tuannya untuk diizinkan berlari-lari di tanah lapang.

Batarich terlihat tenggelam dalam pikirannya. Entah apa yang sedang dipikirkan pria itu, tapi yang jelas hasilnya berhasil membuat Katha melonjak girang.

"Pergilah," ujar Batarich memberikan persetujuannya.

=0=0=

Sekilas Info:

Kalau mau tahu serunya perdebatan antara Astrid dan Esmeralda di hadapan Nun Fantine, silakan cek langsung di lapaknya chocoryx ya. Kalian juga bisa ngintip rekap cerita versi om Talon di tempat zzztare.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top