Bertemu Sang Saintess

Sekilas Info:

Hai, kalian mungkin menyadari kadang ada paragraf-paragraf panjang yang saya italic padahal itu masih 1 timeline. Nah, itu karena paragraf-paragraf tersebut adalah narasi dari GM.

Di bab ini, akan ada interaksi antara Katha, Astrid, dan Esmeralda dengan Sienna, Sang Wanita Misterius yang digerakkan oleh GM. Karena narasi batin Sienna ini menyimpan clue penting dan belum ada kepastian apakah GM akan buat rekap versi beliau, jadi aku akan copas aja part-part RP Sienna. Jadi, kalau ada paragraf panjang yang aku italic, itu artinya dari POV Sienna ya. Semoga ga bikin bingung.

Selamat membaca.

=0=0=

Tidak mudah menyelinap dari penjagaan ketat para pengawal yang bersiaga di sekitar menara. Untungnya, Astrid sudah tahu jalan mana yang aman untuk dilewati. Katha hanya perlu membuntuti rekannya itu.

"Ayo, Maltha." Astrid memintanya bergegas.

Tanpa banyak protes, Katha mempercepat langkah. Bukan hal yang sulit juga untuk dilakukan, karena dia lebih lincah dari Astrid. Lagipula, dia sudah tidak lagi merasa lemas dan pusing. Entah apa karena ramuan yang diminumnya sudah bekerja atau semua ini karena efek adrenalin yang memenuhi tubuhnya.

Suasana taman di malam hari nyaris gelap, hanya ada sihir api yang terkurung dalam balok-balok kaca setiap sepuluh meter yang menyala redup, sekadar memberi petunjuk jalan agar orang tak tersesat.

Suasana hening. Sesekali terdengar suara serangga, sementara keriuhan terdengar dari kejauhan, melebihi tembok katedral. Entah itu adalah pesta rakyat atau bukan, kalian tidak bisa menangkap.

Di salah satu sudut taman, Katha dan Astrid melihat siluet samar seorang wanita berkerudung sedang duduk di tengah gelap, membuatnya seakan melayang di udara.

Katha terpana. Lidahnya mendadak kelu saat melihat keindahan di depannya. Wanita itu seperti malaikat. Terasa jelas aura keagungannya. Tidak salah lagi, wanita ini lah sosok yang dilihat Maltha kemarin malam.

"Kamu lihat itu?" tanya Astrid sambil menunjuk sosok yang dimaksud.

Katha mengangguk, lalu seperti orang terhipnotis dia berjalan ke arah sosok misterius itu. Katha berusaha menyentuh wanita itu. Namun, jemarinya terhenti beberapa senti dari kerudung yang membalut tubuh wanita itu. Dia merasa tidak pantas menyentuh sang wanita cahaya. Gadis itu kemudian justru bersimpuh di depan wanita itu.

"Ma-maafkan sa-err-kami yang mengusik Anda. Kami hanya ingin bertanya tentang beberapa hal," katanya dengan nada penuh hormat seperti para cleric dan nun saat berbicara dengan Sang Paus.

"Ah. Jadi ini, sosok 'hantu' yang beberapa sempat lihat. Cantik sekali."

Tanpa perlu menoleh ke belakang, Katha dapat mengenali suara Esmeralda. Rupanya tuan putri dari Qasalon itu benar-benar ikut menyelinap ke taman.

Menyadari bahwa ada sosok-sosok yang mendekat, wanita itu mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah para tamunya di malam hari.

"Salam damai Edea menyertai kalian. Apakah ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan senyum sementara dia mengangkat kerudungnya agar bisa melihat lebih jelas, senyum lembut terlukis jelas di wajahnya.

"Kamu ... Siapa?" tanya Astrid tanpa basa-basi.

Pertanyaan takjub yang terlontar dari salah satu tamu belianya membuat wanita itu tertawa. "Namaku Sienna, Saintess dari Edealunis."

"Saya Mal--" Katha terdiam. Rasanya terasa salah untuk berbohong di hadapan sosok seagung Sienna. Dia memang tak terlalu paham apa itu Saintess. Tapi dari apa yang dia lihat, Katha tahu Sienna bukan orang biasa.

"Saya ... err... Katha dari Qokar." Katha menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan perkataan. Keputusannya ini mungkin akan menyulitkannya, tetapi Katha benar-benar merasa harus memperkenalkan diri dengan sejujurnya di hadapan Sienna.

"Saya sebenarnya datang ke sini untuk misi perdamaian antar negara. Namun, beberapa hari terakhir saya mendengan simpang siur pembicaraan mengenai Tarikh," lanjutnya. "Beberapa bilang Tarikh dapat mendatangkan bencana, dan saya khawatir karena ketidaktahuan saya, saya justru melakukan kesalahan yang mendatangkan bencana. Karena itu saya ingin bertanya tentang Tarikh itu, agar tidak berbuat hal bodoh yang dapat mengusik kedamaian Edealunis."

Sienna memandang Katha yang selama ini mengaku bahwa dirinya adalah Maltha seakan dia telah mengetahui rahasia itu sejak lama, namun tanpa sedikit pun tatapan menuduh.

"Tarikh .... " Sienna tampak berpikir sejenak. "Bisakah kalian menjelaskan lebih lanjut tentang itu?"

"Kamu bukan Maltha?"

Katha tidak menjawab pertanyaan Astrid. Dia hanya menatap Astrid dengan sorot sedih penuh permohonan maaf.

Untungnya, Astrid kembali fokus pada Sienna dan kembali menyinggung masalah Tarikh. "Nun Fantine mengatakan kalau Turnamen kali ini tidak mendapatkan Tarikh kalau menang."

"Jujur saya nyaris tidak tahu apa-apa tentang Tarikh. Selama ini saya kira hal itu hanyalah dongeng saja." Katha menoleh pada Esme. "Mungkin Nona Esme tahu lebih banyak."

Esmeralda ikut bersimpuh tanda kehormatan ksatria di hadapan Sienna dan turut memperkenalkan diri. "Esmeralda Noelle Qasalon, putri keenam Kekaisaran. Nona Saintess."

Gadis mungil itu lalu kembali berdiri, bibirnya tersungging senyum tipis. "Esmeralda tidak tahu banyak tentang Tarikh. Tarikh Daslaenad sekiranya bisa membawa kehancuran dan menarik mereka yang fanatik, itu bisa dilihat di kekacauan hari ini. Yang Esme tahu, Tarikh tersembunyi di ketidaktahuan, tapi Esme tidak tahu siapa yang harus ditanyai mengenai itu."

Sekilas Esmeralda menoleh kepada Katha sambil lanjut bertanya, "Apakah Edealunis menyembunyikan Tarikh? Atau Anda-lah perlambang 'pengetahuan' yang disembunyikan Tarikh?"

"Tarikh ... Daslaenad ...." Nama sang pendiri kekaisaran membuat Sienna melembutkan ekspresinya. "Sudah lama sekali saya tidak mendengar nama itu."

Pandangannya kembali terarah pada ketiga gadis belia di hadapannya. "Saya tidak tahu tentang Tarikh, tapi jika kalian ingin tahu tentang Daslaenad, saya bisa menceritakan sejauh yang saya ketahui."

Dia terdiam sejenak.

"Bagaimanapun, Daslaenad adalah kawan lama saya dan berbicara tentang masa lalu selalu menyenangkan. Apa yang ingin kalian ketahui?" tanyanya dengan senyum lebar yang tak kehilangan kelembutannya.

"Kawan lama?" Katha tertegun. Dia berusaha mengingat-ingat penggalan kisah yang didongengkan ayahnya. "Bukankah Raja Daslaenad sudah wafat ratusan lalu?"

"Sebenarnya ... berapa usia Anda, Saintess? Apakah Anda ... malaikat?" Wajah Katha memerah. "Maaf, di kampung saya, kami jarang membahas agama. Kami percaya kepada Tuhan, tapi tidak menjalankan ritual tertentu seperti di Edealunis sini."

Wanita itu tertawa kecil mendengar pertanyaan anak muda di hadapannya yang beruntun sebelum ekspresinya berubah menjadi senyum sedih.

"Benar, demikian yang saya dengar bahwa ratusan tahun telah berlalu sejak kematian Daslaenad ...."

Katha melirik kedua gadis lain yang masih terdiam. Rasa penasaran membuatnya tak sabar untuk melemparkan pertanyaan selanjutnya. Pesona Sienna seolah menghilangkan rasa gugup Katha. "Jadi ... apakah warisan yang ditinggalkan Raja Daslaenad itu? Apakah Tarikh atau apa pun itu sebaiknya dibiarkan terus tersembunyi atau keberadaannya justru dapat menyatukan kembali Hiryn seperti dulu?

Esmeralda melipat tangannya dan ikut melempar rentetan pertanyaan. "Atau misalkan bukan warisan berupa harta, apakah Daslaenad teman anda ini punya sesuatu yang bisa memantik perang kembali di bumi Hiryn? Kenapa semua sampai terobsesi?"

Pertanyaan yang terus terlontar membuat Sienna senang. Sudah lama sekali dia tidak bertemu dengan orang baru .... Tidak, sebelum ini, dia telah bertemu dengan orang lain.

Seorang pemuda. Dia mengingat-ingat walau tak sempat mengetahui namanya.

"Daslaenad meninggalkan berbagai kebijaksanaan yang tidak akan lekang dimakan waktu walau yang kudengar, saat ini kekaisarannya telah runtuh .... Benarkah demikian?"

"Anda benar, Saintess. Daslaenad telah lama wafat, sekarang kekaisarannya tidak ada dan terpecah menjadi Edealunis, lalu negara-negara seperti Kekaisaran Qasalon, Aliansi Qokar, dan Isigalla," jelas Esmeralda. "Anda mungkin lebih tahu, Nona Saintess, apa yang saat itu terjadi setelah kekaisaran Daslaenad terpecah, saya cuma bingung saja, setelah ratusan tahun berlalu, mengapa sekarang nama Daslaenad kembali dan menjadi puncak obsesi dengan nama 'Tarikh'?" dahi Esme berkerut.

Kesedihan terlihat jelas dalam guratan wajahnya. Mata coklat keemasannya basah, tapi dengan satu tarikan napas, dia kembali tersenyum.

"Walau saya ingin membantu menjawab pertanyaan kalian tentang apa yang terjadi setelah kematian Daslaenad, yang saya ingat hanyalah kejadian sebelum saya tertidur. Pada saat itu Daslaenad masih hidup dan bernapas."

Mata wanita itu menerawang jauh. "Dia berhasil menyatukan seluruh kekuatan di Hiryn dengan idealisme dan kharismanya."

Sienna tersenyum, membayangkan saat itu. Kawan-kawannya di saat itu pasti juga telah tiada dan momen itu hanya tersisa dalam ingatannya.

Ingatan Katha terbang pada nasihat-nasihat para nenek pengasuhnya. Dari kecil, Kuri--ayah kata--hanya fokus melatih Maltha yang secara fisik memang lebih kuat dari Katha. Sementara Katha hanya dipanggil jika Maltha sudah kehabisan lawan tanding. Karena itulah Katha lebih sering menghabiskan waktu di ladang dan tempat penggembalaan, sambil mendengarkan petuah para tetua.

Salah satu dari mereka kerap mengulang-ngulang pepatah lama. Pengetahuan di tangan orang yang tepat dapat menjadi senjata yang paling kuat. Pepatah itu memberikan Katha sedikit ilham.

"Apa mungkin ..." Katha berbicara dengan nada hati-hati. "Pengetahuan Anda-lah Tarikh itu. Anda tampaknya mengenal dekat Sang Raja Agung, dan mengetahui hal-hal yang ikut hilang bersama wafatnya beliau."

Lagi-lagi Katha merasa malu. Dia hanya anak kampung yang tidak pernah mengenyam pendidikan resmi seperti Nona Esme, atau selalu percaya diri seperti Astrid. Dia merasa tidak pantas membuat asumsi semacam itu. Namun, rasa penasaran yang meletup-letup di dadanya berhasil menyuntikkan semangat dan keberanian.

"Sebentar, Maltha sayang," ujar Esmeralda, masih bersikukuh memanggil Katha dengan nama Maltha.

"Andai Saintess adalah yang memegang Tarikh, bukankah artinya semua orang di Edealunis akan berlomba ingin memiliki dia? Terutama mereka yang ada di lingkungan Katedral," sambung Esmeralda.

"Nama asliku adalah Katha, Nona Esme. Maltha adalah saudari kembarku yang kini sedang terbaring tidak sadarkan diri karena tertimpa reruntuhan tebing. Aku berpura-pura menggantikannya agar tetap ada perwakilan dari suku Abgennar di turnamen ini."

Esme sekedar mengangguk pelan mengiyakan, "Baiklah. Kamu dan rahasiamu, sayang." ucapnya.

Katha terdiam sejenak untuk memikirkan ucapan Esmeralda baik-baik. Lalu, setelah dia dapat menyusun kata-kata, barulah dia menjawab. "Mungkin karena itulah keberadaan Saintess seperti sengaja dirahasiakan oleh para biarawan dan biarawati. Agar tidak ada yang mengusik keberadaan beliau."

"Atau ternyata Saintess mengetahui sesuatu yang seharusnya tabu dan sengaja ditidurkan sekian tahun lamanya, dan dijaga ketat di Katedral, itu maksudmu?"

Astrid yang sejak tadi terdiam akhirnya ikut membuka mulut. "Jika aku boleh menebak, apakah Tarikh ada hubungannya dengan perdamaian yang diinginkan melalui Turnamen ini?"

Pengetahuan di tangan orang yang tepat dapat menjadi senjata yang paling kuat. Pepatah itu kembali terngiang di telinga Katha. Bagaimana jika pengetahuan itu jatuh di tangan orang yang salah?

Sebelum Sienna sempat menjawab, Katha lebih dulu menimpali pertanyaan Astrid. "Tapi, jika Tarikh jatuh di tangan orang yang salah, bisa jadi bencana dan perpecahan lah yang akan datang."

Astrid menaikkan kedua bahunya. "Itu hanya tebakanku. Tidak mungkin Tarikh jatuh ke tangan orang yang salah. Siapa tahu dengan Turnamen ini, mereka bisa menentukan siapa yang layak." Astrid kemudian terdiam beberapa saat. "Yah, meskipun Nun Fantine mengatakan pemenang Turnamen tidak mendapat Tarikh."

Ah, lagi-lagi gaya bicara Astrid mengingatkan Katha kepada kembarannya yang keras kepala dan terkadang bisa sekolot para orang tua. "Bukankah kamu yang dari kemarin menyuruhku berhati-hati saat berinteraksi dengan peserta dari negara lain? Kamu takut Nona Esme menggunakan trik licik melalui bunga yang diberikannya kepadaku, kan? Apakah kamu akan menerima kalau Tarikh jatuh ke tangan Qasalon, entah secara legal ataupun tidak?"

"Aku tidak mengatakan bahwa diriku ingin Tarikh jatuh ke Qasalon. Meskipun aku tidak percaya kepadanya, kita tidak bisa mengatakan bahwa pilihan mereka itu salah," ucap Astrid.

Ah, lagi-lagi dia kelepasan. Entah kenapa sejak berpura-pura jadi Maltha, dia juga membawa sedikit kepribadian kembarannya itu. Gampang tersulut emosi dan meledak-ledak. Tiba-tiba Katha mendapat firasat buruk. Maltha baik-baik saja, kan?

Saat sadar bahwa dia hampir menyulut pertengkaran lagi, Katha akhirnya meminta maaf. "Maaf, aku tidak bermaksud menyudutkanmu. Maksudku, seperti yang Nona Esme sempat jelaskan, banyak orang yang pasti ingin mendapatkan Tarikh. Kamu lihat sendiri reaksi orang-orang di koloseum dan kericuhan yang terjadi. Bagaimana kalau Tarik jatuh bukan orang yang dipilih tapi oleh orang licik yang menghalalkan segala cara untuk merebutnya."

Katha lalu memandang Sienna lagi. "Jadi, Saintess, berilah kami petunjuk. Apa yang harus kami lakukan untuk tetap menjaga kedamaian di benua ini?"

Tiba-tiba saja seorang wanita tua muncul dari balik semak-semak dan langsung mendekati Esmeralda. Katha tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang dibisikkan wanita itu kepada Esmeralda, tetapi dari respons si tuan putri, tampaknya dia diminta untuk segera kembali ke asrama.

"Sudah kalian berdua, tidak usah bertengkar di depan Esme. Esme saja masih tidak tahu Tarikh itu apa dan kenapa semua orang isi kepalanya jadi Tarikh." ucap Esme berusaha menengahi pertengkaran Katha dan Astrid.

Katha mengangguk pelan dan kembali menatap sang Saintess.

Sienna sendiri tak langsung menyela perdebatan kecil yang terjadi di depannya. Melihat para remaja ini membuatnya bernostalgia kembali ke masa-masa dia dan teman-temannya saling berjuang bersama menyatukan Hiryn.

Perbedaan pendapat selalu terjadi tapi di akhir hari mereka tetap saling menjaga punggung satu sama lain, dan di antara segalanya, betapa dia merindukan Daslaenad, sang ksatria yang selalu menjadi pemersatu mereka dengan kebijaksanaan dan kekuatannya.

Ketika adu mulut mereka mereda, baru akhirnya Sienna menjawab. "Jika yang dimaksud dengan Tarikh Daslaenad adalah diriku, maka benar, Tarikh itu berhubungan dengan perdamaian Hiryn."

Dia terdiam sejenak ketika hendak menjawab pertanyaan kedua.

"Dan yang bisa kalian lakukan untuk menjaga kedamaian benua ini adalah dengan ... menghancurkan aku." Kalimat terakhir itu dikatakan dengan lembut bagaikan belaian kain sutera yang menyentuh kulit, dengan senyum tenang seperti air yang tak terganggu.

Penjelasan Sienna membuat Katha terheran-heran. Matanya membelalak tak percaya saat mendengar dua kata terakhir yang diucapkan wanita itu.

"Apa maksud Anda dengan menghancurkan Anda ... Bukankah itu berarti ka-kami ha-harus mem--" Katha tak sanggup melanjutkan kalimatnya.

Dia teringat pada ibunya yang terbaring lemah sebelum menyerah pada sakit yang diderita. Dia terbayang Maltha yang terbalut perban di sekujur tubuh saat terakhir kali dilihatnya. Juga pada tubuh-tubuh kurus anak-anak Abgennar yang kelaparan. Tidak ada kematian yang tidak menyedihkan. Gadis itu memang terbiasa dengan pertarungan penuh darah dan luka, tetapi tak pernah sekali pun menghilangkan nyawa seseorang. Lebih tepatnya, tidak mau. Jika boleh memilih, dia lebih suka menghabiskan waktu di taman seperti ini daripada saling adu senjata dengan musuh di arena.

Katha kembali jatuh bersimpuh. Pundaknya terasa dijatuhi beban yang teramat berat. Apakah datang ke taman ini adalah sebuah pilihan yang salah? Apakah memang lebih baik dia tidak tahu apa-apa tentang Tarikh Daslaenad itu?

"Maltha benar," ucap Astrid. Seperti Esmeralda, tampaknya gadis itu masih enggan menyebut Katha dengan nama aslinya. "Kenapa harus membunuh jika ingin mencapai kedamaian?"

"Membunuh anda, Saintess? Haruskah?" Esmeralda rupanya juga sependapat dengan mereka. "Apa ada jaminannya bila salah satu dari kami membunuh anda sekarang, akan ada perubahan yang seketika terjadi di Hiryn?"

Esmeralda menaikkan alisnya skeptis. "Dari kami sepertinya juga tidak ingin membunuh orang tanpa alasan jelas, apalagi karena semua pihak di Katedral ini menjaga anda, dan keberadaan anda tidak pernah mengusik kedamaian Hiryn ... hingga semua orang menginginkan Tarikh Daslaenad."

"Saya setuju dengan mereka berdua," ujar Katha dengan suara lebih mantap karena merasa mendapat dukunga. "Sejauh ini, sepertinya belum ada orang lain yang tahu tentang keberadaan Anda. Bisakah kami menemui Anda lagi di hari lain? Mungkin kita bisa memikirkan jalan keluar lain tanpa harus ada pertumpahan darah."

Jawaban yang seharusnya mereka terima terpotong oleh hiruk pikuk di luar benteng Katedral.

Suasana taman yang hening membuat kalian menangkap bahwa teriakan-teriakan itu bukanlah jeritan sukacita tapi amarah. Beberapa kali kalian mendengar suara benda dihancurkan dan umpatan.

Wajah Sienna berubah muram dan memandang ke arah sumber suara.

Dari kejauhan kalian mendengar para penjaga dikerahkan untuk bergerak menuju gerbang katedral, dan tentu saja melewati taman yang terletak di tengah bangunan tersebut.

Wanita tua yang dipanggil Nyonya Avolance oleh Esmeralda itu pun menarik tangan sang tuan putri. Kali ini, Esmeralda manut dan langsung berlari menuju arah menara Qasalon bersama sang mentor.

"Maltha, kita harus kembali." Astrid terlihat panik.

Katha mengangguk. Dia pun bangkit berdiri. Namun, sebelum pergi dia menyentuhkan tangannya ke dada dan membungkuk takzim ke arah sang wanita cahaya.

"Semoga kedamaian selalu menyertai Anda, Saintess." Sejak kemarin, Katha menemukan kedamaian saat mendengar dan mengucapkan kata-kata yang selalu menjadi salam para penghuni katedral.

"Sampai jumpa lagi," ucap Katha sebelum berlari menyusul Astrid.

Sienna mengangguk ketika Katha memberikan salam damai kepadanya. Hatinya tersentuh oleh keramahan dan ketulusan gadis itu.

Ketika mereka semua pergi dan taman kembali sepi, Sienna memandang ke arah kerusuhan di balik tembok Katedral dengan gelisah, sebelum dia memutuskan untuk melipat tangan di depan wajah dan berdoa.

Fantine benar, benua Hiryn terluka terlalu parah oleh perang selama ratusan tahun. Wanita itu berdoa agar mereka diberi lebih banyak waktu.


=0=0=

Okeh, cuma mau ngingetin kalau mau baca POV dari Astrid silakan mampir ke tempat chocoryx .

POVnya Esmeralda juga ga kalah seru karena banyak celetukan lucu khas Esmeralda di narasi yang ditulis frixasga. Silakan tengok langsung di sana ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top