🌱 Cerita 3 🌱

“Tidak, tidak, jangan kerjakan lagi!”

Ae Ri seketika mengangkat tangan tinggi-tinggi. Wajah putihnya yang bercoreng minyak wijen dan kecap terlihat bingung. Mata bulat itu mengerjap-ngerjap. Melirik bergantian antara adonan daging sapi di baskom stainless steel dan raut putus asa lelaki berambut perak di seberang meja.

“Kim Yoon-ssi, aku salah apalagi?” tanya Ae Ri heran. “Aku mengerjakannya sesuai petunjukmu.”

Aigoo, bisa mati berdiri aku nanti.” Lelaki itu memijat pangkal hidung mancungnya. Jemari kurus teracung lurus ke baskom berisi rendaman daging sapi dan bumbu. “Kau pernah masak tidak, sih?”

“Tentu saja pernah!” protes Ae Ri tersinggung. “Aku pernah merebus air juga menghangatkan makanan. Meski sering lupa dan jadi gosong,” aku gadis itu tersipu.

Yoon kembali melotot. “Itu kau sebut memasak? Pantas saja kau tak bisa bedakan minyak wijen dan saus tiram. Aku memintamu merendamnya dengan minyak wijen, Ae Ri. Bukan mengguyurnya dengan saus tiram.”

“Botolnya sama. Mana aku tahu isinya beda.” Ae Ri membela diri. “Lagi pula, yang terpenting kan, saus.”

Yoon mengerjap cepat. Ekspresinya sudah serupa banteng mengamuk. “Teksturnya saja sudah beda, Ae Ri! Rasanya juga beda jauh!”

Ae Ri mulai merasa bersalah. Lirikannya tertancap ke adonan cokelat gelap dalam baskom. Tiga kilogram daging untuk japchae teronggok tak berdaya. Lemas karena brutalisme Ae Ri mengaduknya dengan pasangan saus yang salah.

“Kim Yoon-ssi, maafkan aku.” Tubuh mungil itu membungkuk dalam-dalam.

Sayang seribu sayang, Ae Ri tak memprediksi jarak bungkukannya dengan meja dapur. Saking semangatnya meminta maaf, kepala Ae Ri membentur meja. Saking kerasnya benturan – yang membuat perempuan itu juga langsung pusing berat – mangkuk stainless steel berisi adonan pajeon milik Ryung bergoyang. Yoon dan Ae Ri memandang ngeri goyangan mangkuk itu. Detik demi detik serasa merontokkan jiwa bagi dua orang itu. Hingga teriakan Yoon terdengar sangat kencang seiring mangkuk yang akhirnya terguling. Menumpahkan seluruh isinya ke meja dan lantai dapur. Sebagian cairan turut menyiram udang kupas yang diletakkan Yoon di samping mangkuk pajeon.

“Shin Ae Ri!”

Ae Ri berlari lintang-pukang keluar dapur. Menabrak tempat payung. Isinya berhamburan ke mana-mana. Panik Ae Ri merapikan ala kadarnya payung-payung yang berantakan. Lalu terbirit-birit kabur ke gudang belakang.

“Yoon, ada apa?”
Saudara kembarnya, Ryung, memasuki dapur dengan bingung. “Teriakanmu kencang sekali.”

“Bereskan kekacauan itu,” tunjuk Yoon ke meja dan lantai yang basah.

Ryung ternganga sebelum tawa gelinya terdengar. “Ae Ri lagi?”

“Dia baru seminggu di sini tapi sudah membuat kekacauan masif,” gerutu Yoon. Kejengkelannya nyaris memuncak. Sejam lagi dia bersama Ae Ri, lelaki itu tak yakin kemurnian jiwa malaikatnya akan terjaga.

Ryung hanya mengulum senyum. Matanya mengamati tumpahan adonan. Lumayan banyak. Bibir manisnya mulai bersenandung lirih. Kejengkelan Yoon mereda. Seirama dengan nyanyian Ryung, adonan kental yang berceceran mulai terangkat perlahan dan kembali masuk ke wadah.

“Kau selalu marah-marah pada Ae-Ri.” Ryung membuang adonan kotor ke tempat sampah lalu mulai membuat yang baru.

“Dia tak akan bertahan lama jika terus ceroboh seperti itu.” Yoon menyenderkan panggul ke tepian meja. “Perempuan itu punya garis nasib sial yang kuat.”

Ryung melirik saudaranya. Kemampuan Yoon meramal dan membaca nasib sangat hebat. Selama berada dalam pasukan Imoogi, kemampuan Yoon selalu diandalkan dalam merancang strategi.

Dan kini lelaki itu membicarakan takdir seorang manusia. Yoon yang dingin, angkuh, dan sulit didekati mendadak jadi sosok yang berbeda saat bersama Ae Ri. Bahkan saudaranya itu mau repot-repot mengamati manusia yang sudah tinggal bersama Seok Jung seminggu ini. Hal yang belum pernah terjadi selama hampir 300 tahun mereka tinggal di Bumi.

“Bagus kalau begitu. Jika Ae Ri memang benar Haima Seok Jung, mereka bisa dipastikan sangat cocok.” Ryung kalem.

Yoon bengong. Alisnya terangkat sebelah, menyadari maksud ucapan Ryung. Lalu tawanya meledak. “Kau benar. Mereka berdua bisa saling melengkapi. Yang satu punya kendali diri sangat tinggi, satunya lagi super ceroboh.”

Ryung mesem. Saat itulah Hwan masuk dengan setumpuk piring bersih di tangan. Sorotnya penuh tanda tanya melihat dua malaikat itu berwajah ceria.

“Nah, kebetulan Hwan datang. Kau pindahkan saja Ae Ri ke depan membantu dia. Daripada tegangan tinggi terus di dapur,” usul Ryung.

Hwan memucat. “Kalian membicarakan Ae Ri?”

“Dia baru merusak makananku,” adu Yoon.

“Masih bisa kuperbaiki. Akan kuambil saus yang salah,” tawar Ryung.

“Kau juga akan mengeringkan jus dagingnya,” Yoon menolak.

Ryung terkekeh. Hwang menata piring-piring di rak. “Aku tak mau dia bergabung denganku. Lihat piring-piring ini?” Hwan menunjuk deretan alas makan secerah mutiara yang baru dibawanya masuk ke dapur.

“Dia menghancurkannya?” tebak Ryung.

Hwan mengangguk lemah. “Aku memintanya membawa masuk piring baru ke dapur. Tak tahu bagaimana koordinasi kakinya, semua piring baruku harus berakhir pecah berantakan. Aku terpaksa memesan yang baru lagi.”

Yoon dan Ryung bertukar pandang prihatin. Hwan menggeleng-geleng. “Apa dia bisa selamat menghadapi hidup ini dengan segala kecerobohan itu?”

“Dia harus punya pelindung,” komentar Ryung.

“Bicara soal pelindung, menurutku Seok Jung adalah kandidat terbaik,” celetuk Hwan. “Mereka berdua bisa saling melengkapi. Sikap disiplin Seok Jung bisa mengatasi kecerobohan Ae Ri.”

Ryung mengerling saudaranya. Yoon tampak berpikir. Lelaki itu mengerti jika kembarannya tengah meramal nasib dua orang itu. Kemampuan Yoon dalam mencari gambaran masa depan sangat mumpuni. Namun, Ryung sedikit mengernyit kala memergoki kemuraman di wajah saudaranya.

“Ae Ri akan membawa nasib buruk pada Jenderal,” gumam Yoon setelah terdiam cukup lama. “Namun, kita patut nencoba ide Hwan.”

“Kau bilang Ae Ri hanya bawa sial untuk Seok Jung?” Hwan tak mengerti. “Bukankah harusnya kita menjauhkan mereka berdua? Ah, lupakan saja ideku itu.”

“Tidak, idemu memang ada benarnya. Ke mari.” Yoon melengkungkan telunjuk, menggoyangkannya agar kedua saudaranya mendekat. “Tempo hari aku memergoki Jenderal kesakitan.”

Ryung dan Hwan terperangah. “Karena racun amare?”

“Ya, Jenderal terus memuntahkan darah di rumah kaca. Kupikir ini sudah waktunya kita membantu dia. Masa 300 tahun hampir berakhir, tapi Jenderal sama sekali belum menemukan Haimanya.”

“Kalau begitu, kita harus bergerak cepat,” putus Hwan. “Aku punya ide lain. Kalian harus membantuku.”

🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘

Ae Ri menangis di gudang. Sepertinya karena dimarahi Yoon.”

Sepotong kalimat pendek itu sudah cukup membuat Seok Jung meninggalkan rumah kaca dan melesat ke gudang. Kewaspadaannya menurun, tak menyadari raut muka Ryung yang penuh makna melihatnya pergi begitu saja. Lelaki itu bahkan tak menyadari langkah kakinya sendiri dan terheran-heran mengapa bisa begitu saja termakan omongan sepupunya.

Namun, setiba di gudang, yang ada di benak Seok Jung hanya Ae Ri yang menangis. Seminggu tinggal bersama sudah cukup membuat jantung lelaki itu nyaris copot karena kecerobohan Ae Ri.

“Ae Ri?” panggil Seok Jung.

Hening. Tak terdengar suara manusia, kecuali desau angin di luar. Seok Jung yang biasanya sangat teliti mendadak lalai. Dia melangkah masuk begitu saja. Tak melihat segel magis serupa kabut yang mengambang di daun pintu gudang.

Begitu Seok Jung berada di dalam, kabut itu perlahan menyatu. Membentuk lapisan pengunci yang tak bisa dibuka oleh manusia. Bahkan Seok Jung harus mengeluarkan energi malaikatnya jika ingin merusak segel itu dengan paksa.

“Ae Ri?” panggil Seok Jung lagi.

“Ya, aku di sini.” Ae Ri muncul dari balik rak tepung. Kedua tangannya memondong kantong tepung berat.

Seok Jun bergegas menghampiri. “Kau tak menangis?”

“Aku? Menangis? Kenapa?” Ae Ri bingung.

“Ryung bilang ....” Seok Jung tak melanjutkan ucapannya. Kesadaran datang dengan cepat. Lelaki itu sejenak terpana oleh ketololannya, sangat mudah mempercayai perkataan orang lain jika menyangkut Ae Ri.

“Seok Jung, kau tak apa-apa?” Ae Ri sedikit cemas. “Jika kau ke sini untuk memarahiku karena insiden dapur Hyungnim, tolong tunda dulu. Aku masih harus membereskan tepung-tepung ini.”

Seok Jung mengekori Ae Ri. Dia turut membantu menata tepung. “Kupikir kau menangis karena Yoon.”

“Sengatan kata-kata Hyungnim tak akan menjatuhkan diriku dalam tangis,” jawab Ae Ri puitis.

“Kau kebal dimarahi, ya?” Seok Jung geli.

“Aku selalu bernasib sial sejak kecil.” Ae Ri membereskan kantong tepung terakhir lalu duduk selonjor di lantai. “Perundungan sudah jadi makananku sehari-hari.”

Seok Jung tertarik. Fakta bahwa perempuan itu menjalani hidup yang mengenaskan membuat hatinya serasa dicubit. Sakit.

“Hanya saja, mau sesial apapun aku, sesulit apapun hidupku, sekeras apapun perundungan yang kuterima, aku tak akan menyerah.”

“Kau kuat juga, ya?” puji Seok Jung.

“Tentu saja. Aku, kan, pejuang. Karena aku menghargai hidup yang Tuhan berikan padaku.”

Seok Jung tertegun. Ucapan Ae Ri terngiang kembali di telinganya. Seorang manusia yang sangat menghargai hidup. Kepercayaan Ae Ri menohok hati malaikat itu.

“Jadi Yoon tak berpengaruh padamu?” Seok Jung menghalau rasa tak nyamannya dengan mengajukan pertanyaan.

Ae Ri meringis, “Aku berkali-kali dipecat karena ceroboh. Kupikir sederet mantan pekerjaanku adalah latihan mental yang baik untuk menghadapi Hyungnim.”

Seok Jung terbahak. Namun, dua detik kemudian, tawanya langsung berhenti. Tertegun ditatapnya Ae Ri. Seok Jung kebingungan.

Apa yang terjadi padanya? Sudah sangat lama dia tak tertawa selepas ini. Seok Jung mengerjap, dunianya yang rapi dan teratur mendadak terdistraksi hanya karena seorang Ae Ri.

“Seok Jung?”

“Kau memanggilku Seok Jung, tapi memanggil para sepupuku dengan sangat sopan?” Entah mengapa lelaki itu merasa perlu merajuk pada perempuan di depannya.

Ae Ri bengong, “Kau sendiri yang minta dipanggil begitu.”

“Sekarang aku berubah pikiran. Panggil aku formal juga.”

Ae Ri mengulum senyum, “Aigoo, kau benar-benar bayi besar yang lucu.” Jemarinya menjawil puncak hidung mancung Seok Jung.

Tangan ramping lelaki itu menangkap cepat pergelangan tangan Ae Ri. Sepasang netra cokelat perempuan itu terbeliak. Seok Jung menariknya mendekat hingga tubuh mereka hampir bersentuhan.

“Tak ada yang berani menyentuh diriku selama ini.” Suara Seok Jung sedingin es. “Apalagi sampai sedekat ini.”

Ae Ri merona. “Seok Jung ....”

“Oppa,” potong lelaki itu tegas.

“Apa?”

“Bukannya itu yang biasanya kekasih perempuan panggil?”

Seok Jung mencondongkan diri. Memangkas jarak di antara mereka. Dalam satu gerakan lembut, dia membuka mulut, dan melahap bibir merekah Ae Ri.

☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘

Terima kasih sudah meninggalkan jejak. 😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top