🌱 Cerita 2 🌱
Cerita ini didedikasikan untuk MovictionTeam
🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘
Seok Jung memotong beberapa tangkai wild rose. Menciumnya sejenak sebelum memasukkannya dalam vas berisi air. Bergabung dengan mawar Pierre de Ronsard yang sudah lebih dulu ada di sana. Lalu menambah daun eucalyptus silver dollar sebagai pemanis.
Hati-hati dibawanya rangkaian bunga itu ke kamar Ae Ri. Berdecak kesal karena membiarkan pintu terbuka saat tidur, Seok Jung meletakkan vas kristal di nakas.
“Dasar ceroboh.” Jemarinya merapikan poni yang menutupi mata. Lekat memandang wajah damai yang tengah terlelap, Seok Jung berkata lirih.
“Yeppeun(1). ”
☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀
Ae Ri menghela napas sangat panjang. Tubuhnya melengkung sangat rendah ke depan. Aura muramnya menarik perhatian Soon Bok.
“Ada apalagi?”
Perempuan itu melirik rekan kerjanya. “Aku kehilangan pekerjaan.”
“Lagi?” Soon Bok tak percaya.
Ae Ri mengangguk murung. Temannya berdecak keras. “Woah, kau benar-benar membuktikan diri jadi manusia tersial di Seoul. Sebulan ini sudah berapa kali kau kehilangan pekerjaan? Tujuh?”
“Delapan,” ralat Ae Ri, “tapi itu bukan salahku. Bos terakhirku kabur karena dikejar rentenir. Padahal upahnya akan kugunakan untuk bayar sewa apartemen.”
“Omo, bagaimana tempat tinggalmu sekarang?” Soon Bok penasaran. Dia sudah tahu temannya itu diusir dari apartemen dan bertemu malaikat baik hati yang mau menampungnya.
“Fantastis,” ucap Ae Ri gembira, “aku sangat bersyukur bertemu dengannya. Dia luar biasa baik. Pagi ini dia memberiku rangkaian bunga indah.”
“Hah? Apa kau yakin induk semangmu bukan seorang perayu cabul?”
“Haish, apa-apaan kau ini?” Ae Ri tergelak. “Dia juga punya toko bunga.”
“Tetap saja aneh memberi rangkaian bunga pada orang yang baru dikenal.” Soon Bok mencubit-cubit dagu. “Kalau bukan perayu, ya, pasti dia memberi tester bunga padamu.”
Tawa berderai. Ae Ri terpingkal-pingkal mendengar lelucon teman kerjanya. Dua tahun bekerja bersama menjadikan hubungan mereka cukup akrab untuk saling melempar banyolan.
“Oh iya, aku baru ingat. Ada temanku yang mencari tenaga paruh waktu di toko sepatu. Kau mau?” Soon Bok menggulir layar gawai lalu menunjukkan pesan salah satu temannya. Ada foto toko sepatu di wilayah Gangnam tertampil di layar.
“Gangnam?” Ae Ri mengerucutkan bibir. “Dan kau bilang itu toko sepatu kecil?”
“Eh, yah, menurut temanku kecil.” Soon Bok meringis. “Bagaimana? Kau mau? Upahnya lumayan. Kau bisa dapat 1.500 won hanya untuk enam jam.”
“Enam jam, ya?” Ae Ri menghitung cepat. Jika tawaran Soon Bok dia ambil, Ae Ri punya dua pekerjaan paruh waktu yang sangat menyita waktu. Di toko buku dan toko sepatu akan menghabiskan harinya. Sementara dia punya tanggung jawab baru di tempat Seok Jung.
“Apa tak bisa kurang dari enam jam?” pinta Ae Ri. “Aku harus membayar biaya sewa tinggalku dengan bekerja gratis di tempat Seok Jung.”
“Omo, enak sekali dirimu? Sudah dapat tempat tinggal, dapat pekerjaan pula.” Soon Bok menampakkan jelas rasa irinya. “Jika dia sampai jatuh cinta padamu, hidup Shin Ae Ri benar-benar akan sempurna.”
“Dia akan tertulari nasib sialku,” kekeh Ae Ri. “Baiklah, aku akan mencoba lowongan itu. Kapan aku bisa memasukkan lamaran?”
🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘
Trio Kim di hadapan Seok Jung kompak menghentikan aktivitas. Ekspresi mereka identik. Sama-sama tak percaya.
“Kau bercanda, kan?”
“Apa kau baru minum anggur lagi?”
“Kau sepertinya terkena demam. Omonganmu jadi melantur.”
Seok Jung menghentikan permainannya dengan morning glory. Bunga biru dengan batang bersulur itu meliuk anggun kembali menempel ke dinding dapur. Sepasang mata keemasan menatap tajam ketiga sepupunya.
“Telinga kalian perlu diperiksa, sekalian otak juga.”
Tawa Hwan membahana di dapur mungil itu. Dari seluruh saudaranya, dialah yang paling berani menghadapi aura dingin seorang Seok Jung.
“Berarti itu benar? Kau mengijinkan seorang manusia tinggal di sini?” Tanpa kesulitan berarti, Hwan melempar nampan perak ke arah rak. Benda logam itu mendarat mulus ke tempatnya.
“Dia hampir mati kedinginan di luar sana.” Seok Jung kembali bermain-main dengan tanamannya. Kali ini anggrek bulan menari lincah mengikuti gerakan jemari.
“Jenderal Yoseong akhirnya takluk pada perempuan,” sindir Yoon.
“Kau mau kubenamkan ke adonan terigu itu?”
Yoon bergidik ngeri. Terakhir kali dia menentang Seok Jung, terpaksa berakhir dengan kejadian sangat memalukan. Berputar-putar di udara dalam keadaan setengah telanjang. Tak sengaja dipergoki dua orang remaja yang baru pulang dari bioskop. Hwan terpaksa memodifikasi ingatan mereka agar keanehan itu tak sampai terekspos publik.
“Tapi, serius, Jenderal. Kau selama ini sangat anti perempuan. Kau bahkan melupakan misi hanya karena fobiamu itu. Sekarang malah menampung satu orang di sini.” Ryung angkat bicara.
“Kau tak takut kedok kita semua terbongkar?” Yoon ikut-ikutan berkomentar.
Seok Jung mengamati ujung kuku. Suaranya datar saat menjawab. “Selama 300 tahun ini, kita berhasil menyamar dengan baik. Para manusia tak pernah ada yang curiga dengan imortalitas kita. Lagi pula,” Seok Jung melirik Hwan, “ada ahli penghapus ingatan di sini. Semuanya akan baik-baik saja.”
“Jika perempuan itu adalah Haima, kekuatan Hwan tak akan berpengaruh,” ingat Ryung.
Hening. Tiga pasang mata memandang si mungil Ryung. Malaikat berwajah kekanakan yang menyaru sebagai seorang patissiere(2) itu mengingatkan mereka pada titik kelemahan masing-masing.
“Belum tentu dia Haimaku.” Seok Jung memecah kesunyian. “Ayo, pergi ke depan. Para tamu sudah menunggu kita.”
Ucapan Seok Jung adalah perintah yang harus dipatuhi. Semuanya otomatis menghentikan percakapan. Sesuai dugaan, kafe yang seharusnya sudah dibuka sejak beberapa jam lalu telah dibanjiri antrean pengunjung.
“Tak kusangka kau rela membuka kafe sangat lambat demi seorang perempuan.” Hwan menjentikkan jemari. Gerendel magis pintu serupa kabut memudar. Tanpa menyentuh daun pintu, dia membuka akses masuk ke kafe hanya dalam satu lambaian tangan.
“Jangan terlalu mencolok. Para tamu kita akan lari ketakutan melihat atraksi sulapmu,” tegur Seok Jung.
“Hah, seolah kau juga tidak,” gerutu Hwan.
Seok Jung tak berkata lagi. Kenyataannya, hari ini dia memang terlambat membuka kafe karena menata kamar untuk Ae Ri, sekaligus berbicara dengan para sepupunya.
“Jam berapa pegawai baru kita datang?” Hwan mengikat apron di belakang punggung dan menyambar buku menu. Satu per satu tamu Prunos mulai memenuhi meja. Waktunya untuk bekerja.
“Seharusnya sekarang dia sudah tiba.” Seok Jung mengamati jam ajaibnya. Serangkaian sulur tanaman yang saling membelit membentuk pola tribal unik. Pola-pola itu selalu berubah sesuai arah pergerakan matahari dan bulan. Hanya Seok Jung seorang yang mampu membaca jam aneh itu.
Pintu berdenting pertanda satu tamu lagi memasuki kafe. Keduanya kompak menoleh. Bagai adegan drama yang diperlambat, dua malaikat tampan itu mengamati datangnya seorang tamu. Wajah kemerahan dan langkah setengah berlari menandakan perempuan itu sedang terburu-buru.
“Itu orangnya?” Hwan tak percaya.
“Ya,” angguk Seok Jung.
Mata emas Hwan mengamati langkah Ae Ri yang tertuju lurus ke arah Sang Jenderal. Ide jahil melintas di otaknya. Tanpa kentara, Hwan memutar pulpen pelan-pelan, sebelum mengayunkan ke pergelangan kaki perempuan itu.
“Ah, Bos, maaf aku terlambat. Tadi ada ... aargghh ....”
Ae Ri memekik kaget. Sesuatu menjegal pergelangan kakinya, membuat langkah perempuan itu oleng. Ae Ri menggapai-gapai udara berusaha mencari pegangan. Hanya saja, jaraknya sudah terlampau dekat dengan Seok Jung. Alih-alih menghantam lantai, tubuh mungilnya justru terjerembap menimpa Seok Jung.
Kesiap kaget terdengar dari seluruh pengunjung kafe. Hwan menyeringai licik. Ae Ri menutup mata. Tak berani melihat akibat perbuatannya.
Ya Tuhan, kenapa aku dilahirkan bernasib sial begini, sih?
🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘
Soon Bok terperangah. Begitu juga selusin pasang mata di dalam kafe. Pose rekannya itu memang sangat dramatis, tapi jadi menyebalkan kala dia sadar Ae Ri terjatuh ke pelukan seorang lelaki luar biasa tampan.
Dan Soon Book – juga selusin pengunjung kafe – seketika dihinggapi rasa iri saat lelaki tampan itu membantu Ae Ri berdiri. Bahkan dia sempat-sempatnya merapikan rambut dan baju Ae Ri yang berantakan. Mereka melongok tak percaya pada keberuntungan Ae Ri yang berposisi sangat dekat dengan salah satu idola mereka.
“Hati-hati kalau berjalan.” Soon Bok mendengar lelaki itu berkata penuh perhatian pada Ae Ri. Dan matanya nyaris terloncat keluar melihat Ae Ri digiring ke arah dapur dalam sebuah rangkulan di bahu.
“Apa Anda sudah siap memesan, Nona?”
Soon Bok menoleh. Lupa mengatupkan bibir. Dan kini bengongnya makin parah. Satu lagi lelaki luar biasa tampan berdiri tepat di hadapannya. Mengenakan kemeja krem dan celana cokelat tua, lengkap dengan apron yang makin menegaskan keberadaan perut rata nan seksi, lelaki itu menyapa Soon Bok ramah. Air liur di wajah bulat itu hampir menetes melihat ketampanan seraut wajah yang terbingkai kacamata.
“Eh, aku menunggu temanku,” jawab Soon Bok gugup.
“Anda yakin? Ae Ri mungkin masih lama di belakang.”
“Kau mengenal Ae Ri?” Mendadak perempuan sintal itu didera cemburu mendengar nada akrab si lelaki saat menyebut nama Ae Ri. Matanya jelalatan mencari identitas pegawai berapron seksi ini. Kim Hwan.
“Tentu saja, Nona. Ae Ri pegawai di sini, sama seperti saya.”
“Dia tinggal di sini juga, kan?”
Tatapan Hwan terasa aneh. Soon Bok tak peduli. Saat lelaki itu memamerkan senyumnya, kaki Soon Bok berubah selembek agar-agar.
“Mari, silakan duduk. Teman Ae Ri adalah teman kami juga. Nah, apa Anda ingin mencoba brownies margarita kami? Resep khusus yang dibuat oleh chef terbaik Prunos. Sangat cocok dimakan saat cuaca dingin seperti sekarang.” Alih-alih menjawab, Hwan justru menggiring perempuan itu duduk.
Bak kerbau dicocok hidung, Soon Bok patuh. Dia bahkan tak menyadari meja dadakan yang ditempatinya muncul secara tiba-tiba. Karena notabene meja di dalam sudah penuh sementara antrean di luar masih mengular panjang.
Sementara di balik pintu dapur, Ae Ri sama bengongnya dengan Soon Bok. Berniat membuat temannya terpesona dengan Sang Induk Semang, nyatanya dia sendiri justru dibuat meleleh oleh tiga orang sekaligus. Makhluk ciptaan Tuhan dengan tingkat ketampanan setara malaikat. Begitu rupawan hingga Ae Ri tak yakin bagaimana manusia sebening itu bisa terlahir ke bumi.
“Ganti bajumu!” Suara dingin Seok Jung otomatis membuyarkan keterpesonaan Ae Ri. Perempuan itu menghela napas panjang. Ternyata di dunia ini memang tak ada yang sempurna. Ketampanan Seok Jung luntur seketika oleh nada menyebalkan yang keluar dari bibirnya.
“Kau terlambat hampir sepuluh menit. Upahmu akan kupotong.”
“Aku, kan, tak berupah, Seok Jung.” Ae Ri menerima apron yang disodorkan lelaki itu.
“Kau akan mendapat ekstra pekerjaan setelah kafe ini tutup,” seringai Seok Jung kejam. “Menata pasokan di gudang belakang.”
Ae Ri terbelalak. “Nanti malam? Di gudang dingin sekali,” rengek Ae Ri.
“Jangan pernah terlambat jika tak ingin mendapat tambahan pekerjaan.”
“Dasar tiran!” gerutu Ae Ri.
“Kamarmu masih bisa kusewakan ke orang lain.”
Ae Ri melotot kaget. Sedetik kemudian dia menggoyang ujung lengan kemeja Seok Jung. “Tuan, maafkan kelancangan hamba. Semua perintah Tuan akan hamba patuhi, asal jangan usir hamba dari kasur empuk di atas.”
Ryung dan Yoon saling melempar pandang. Senyum mereka tertahan. Berbisik pelan, Ryung bertanya pada saudaranya yang tengah mengaduk putih telur. “Apa perempuan itu adalah Haima milik Seok Jung?”
Yoon balas berbisik. “Kuharap begitu, karena aku sudah bosan setengah mati tinggal di Bumi.”
☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top