🌱 Cerita 1 🌱
Seok Jung menyeret kantong sampah besar penuh sampah anorganik. Sedikit bersungut karena lupa hari membuang sampah dan harap-harap cemas semoga dia tak mendapat denda. Tangannya yang bebas membuka pintu belakang. Macet.
“Salju sialan,” makinya jengkel. Dari jendela dia bisa melihat tumpukan tinggi salju menutupi semua tempat. Berhubung pintu kafenya tak berjenis geser, salju tebal itu sangat efektif memblokir pergerakan si pintu.
Seok Jung merapatkan mantel. Giginya gemeletuk menahan dingin. Sudah sangat lama berada di sini, tetap saja lelaki itu tak bisa membiasakan diri dengan cuaca ekstrem musim dingin. Seok Jung pecinta cahaya matahari, bukan kepingan pembeku berwarna putih yang mampu membunuh makhluk hidup dengan suhu dinginnya.
Kali ini, dia sedikit mengerahkan tenaga untuk membuka pintu. Papan tebal dari kayu mahogani itu terkuak sedikit dan macet lagi. Kening Seok Jung berkerut dalam. Sepertinya pengganjal pintu itu bukan tumpukan salju, tapi sesuatu yang lain. Mungkin anjing yang hipotermia atau malah gelandangan.
Mengeluh kesal akhirnya dia berputar arah. Tak lupa menyambar sarung tangan dan tetap membawa sampah, Seok Jung berlari keluar mengitari kafe. Dilemparnya begitu saja sampah anorganik dalam tong dan buru-buru memeriksa pintu belakang. Benar dugaannya. Bukan salju yang mengganjal pintu itu begitu berat. Tapi sosok manusia yang meringkuk seperti bola.
“Halo, Tuan, kau tak bisa tidur di sini. Kau bisa mati beku.” Seok Jung menggoyang-goyang bola manusia itu. Tak ada reaksi. Dia menggoyang makin keras. Si bola manusia terurai dan menampilkan wujudnya yang jauh dari persangkaan Seok Jung.
“Ya Tuhan!” Seok Jung terperanjat kaget. “Kenapa hariku bisa sesial ini, sih?”
Lelaki itu menghela napas panjang. Dalam satu gerakan tangkas, dia menggendong tubuh mungil itu masuk melalui pintu belakang yang sempat macet. Langkahnya tertuju ke lantai atas kafe. Di satu-satunya kamar tidur yang tersisa, Seok Jung membaringkan tubuh itu.
“Aigoo, berapa lama kau berada di luar? Bajumu basah begini. Maafkan aku karena lancang menyentuhmu. Tapi kau bisa membeku jika tak ganti baju.”
Seok Jung mengoceh sendiri. Setelah menaikkan suhu pemanas, dia melucuti satu per satu pakaian tamunya. Tanpa rikuh Seok Juga juga melepas pakaian dalam di tubuh dingin itu. Lalu melapisinya dengan kemejanya sendiri dan membungkus dengan dua lapis selimut tebal. Setelah memastikan kondisi tamunya aman dan nyaman, Seok Jung mematikan lampu samping tempat tidur.
“Selamat malam, Gadis Kecil. Tidur yang nyenyak.”
🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘
Bangun pagi tak pernah jadi sesuatu yang sulit untuk seorang Shin Ae Ri. Bahkan setelah melewati ancaman kematian dalam wujud badai salju hebat semalam, perempuan itu tetap bisa membuka mata tepat pukul enam pagi.
Namun, terbangun di ranjang super empuk yang sangat asing, ditambah tatapan tajam dari sepasang mata keemasan, baru kali ini dialami Ae Ri. Perempuan itu menjerit sangat keras begitu pandangan mereka bertemu.
“Siapa ... siapa kau?” Ae Ri menunjuk-nunjuk lelaki jangkung di ujung tempat tidur.
“Apa ini balasanmu pada orang yang telah menyelamatkanmu dari kematian?” Lelaki itu berkata dingin.
“Menyelamatkan aku?” Ae Ri bingung.
Lelaki itu berdecak. Dia mendekati Ae Ri. Perempuan itu baru sadar nampan perak yang berada di tangan si lelaki. Aroma sosis goreng dan roti bakar menyiksa indra penciumannya. Perut Ae Ri bereaksi sangat jujur.
“Semalam kau pingsan di belakang kafeku. Tubuhmu hampir beku. Beruntung kau bertemu denganku. Jika tidak, pagi ini aku pasti harus mengurus pemakaman seseorang yang tak kukenal.”
Ae Ri hanya mampu mengamati gerak-gerik lelaki itu. Anggun dan elegan. Perempuan itu seolah tengah melihat pergerakan jaguar yang tengah bersantai. Entah mengapa dia merasa aura berbahaya dari lelaki yang tengah menata nampan di atas kasur.
“Makan ini. Perutmu berisik sekali.”
Ae Ri terbelakak. Refleks dipeluknya perut. Memang gemuruh sejak tadi. Tersipu malu dia meraih sumpit logam. Wajahnya berseri-seri demi melihat roti bakar dan sosis yang telah dipotong kecil-kecil. Juga segelas jus jeruk segar dengan sedotan berpayung ala kepulauan tropis.
“Tuan, Anda baik sekali.” Ae Ri tak malu memuji.
“Cepat makan!”
Perempuan itu patuh. Dia mencomot roti bakar. Begitu potongan roti bertemu dengan lidah, Ae Ri seketika tertegun. Kehangatan membanjir deras di hatinya. Tak sadar mata itu berkaca-kaca.
“Tuan, ini enak sekali.” Setulus hati Ae Ri memuji.
“Kafeku menyediakan roti dan selai yang dibuat sendiri. Bahan-bahannya khusus, tak bisa disamakan dengan produk pabrikan.”
“Oh, Anda seorang artisan bakery?”
“Kau tahu artisan bakery?”
Ae Ri mengangguk sambil sibuk mengunyah. “Aku pernah bekerja paruh waktu di sebuah toko roti kecil. Pemiliknya memberitahuku soal metode pembuatan roti yang mementingkan kualitas dibanding kuantitas.”
Ae Ri mengangkat sepotong roti. “Ini roti multigrain, bukan? Dan selai jeruk ini bercita rasa sangat lezat. Aku seperti terbang ke angkasa.”
“Apa kau biasanya selalu menjilat seperti ini?”
Ae Ri mengerucutkan bibir. Pandangannya galak. “Ya, aku memang menjilat. Lihat saja, sekarang aku sedang menjilat selai jeruk yang rasanya kelewat enak ini.”
Lelaki itu tertawa. Suaranya dalam dan empuk. Menggelitik kuping Ae Ri. Perempuan itu kembali menekuni isi piringnya. Setelah licin tandas, baru dia tersadar hal yang sangat penting.
“Bajuku!” Ae Ri panik saat menyadari tubuhnya berbalut pakaian yang asing.
“Masih kujemur. Bajumu basah karena salju.”
“Anda mengganti bajuku?” Ae Ri terperanjat kaget. Pasalnya dia tak merasakan pakaian dalam di balik lapisan selimut dan kemeja katun ini.
“Maafkan aku mengecewakanmu, Gadis Kecil. Aku tak punya pelayan yang bisa membantuku mengganti bajumu.”
Sontak wajah Ae Ri merah padam. Kepalanya yang berambut hitam tebal tertunduk dalam-dalam. Rasa malu menyerang telak. Perempuan itu menggeleng-gelengkan kepala sangat cepat. Mengusir bera yang mengganggu perasaan.
Mereka berdua terdiam. Ae Ri mencuri-curi pandang keadaan sekitar. Kamar ini tak terlalu luas, tapi sangat nyaman. Sepertinya ini adalah sebuah loteng yang disulap menjadi ruang tidur. Atap miringnya tampak jelas. Bentuk ruangan yang tidak presisi memberikan kesan artistik. Temboknya dilapisi kertas dinding hijau muda. Lantainya dari kayu yang dipernis mengilap. Sehelai karpet tebal membentang tepat di samping ranjang besi bergaya minimalis.
“Tuan?” panggil Ae Ri begitu saja.
“Ada apa?”
“Apakah kamar ini kosong?”
“Ya, kenapa?”
“Tuan punya kekasih yang akan cemburu jika ada perempuan lain tinggal di sini?”
Kening lelaki itu berkerut. “Apa pertanyaan itu tak terlalu berlebihan untuk pertemuan pertama kita?”
“Oh, tidak, tidak! Anda salah paham.” Ae Ri buru-buru melambaikan tangan tanda ketidaksetujuan. “Aku tak sedang ingin merayu Anda.”
Lelaki itu mendengus, “Bagus, karena aku juga tak suka dirayu seorang bocah.”
Ae Ri meringis. Sadar diri dengan ukuran tubuhnya yang memang tak seimbang dengan lelaki jangkung ini. “Tubuhku memang kecil, Tuan, tapi umurku sudah 22 tahun. Anda tak bisa terus-terusan memanggilku gadis kecil.”
“Kau tak punya nama.”
“Tentu saja aku punya,” Ae Ri sewot. “Namaku Shin Ae Ri. Usiaku 22 tahun dan nasibku memang selalu sial. Tapi aku bukan orang yang bisa seenaknya Anda panggil bocah.”
☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀
Perkenalan diri macam apa itu?
Seok Jung tertawa geli dalam hati. Bernasib sial tapi pantang menyerah? Ah, Shin Ae Ri seperti cabai setan. Kecil tapi pedasnya sangat menggigit. Perempuan ini bahkan tak ada takut-takutnya sama sekali padanya.
“Namaku Kim Seok Jung, pemilik kafe dan florist Prunos.” Seok Jung memperkenalkan diri. Dia tertarik pada mata bulat yang melebar itu saat mendengar identitasnya.
“Anda pemilik Prunos yang terkenal itu?” Ae Ri bertanya tak percaya.
“Terakhir kali aku melihat surat pajakku, ya, aku memang pemilik aslinya.”
Seok Jung kaget mendapati perempuan itu menggenggam tangannya erat-erat. Ekspresi anak kucing terang-terangan diperlihatkan Ae Ri.
“Tuan, aku mohon ijinkan aku tinggal di sini.” Ae Ri mengedip-ngedipkan mata.
“Apa?” Seok Jung kaget.
“Anda punya kamar kosong dan tak ada kekasih. Tolong, ijinkan aku tinggal di sini.”
“Hei, jangan asal bilang aku tak punya kekasih,” elak Seok Jung kecut. Namun, lelaki itu tahu perempuan bermata indah ini tak akan pernah bisa mempercayai penyangkalannya. Juga orang lain di luar sana.
“Baiklah, baiklah, jika kekasih Tuan datang, aku akan mengungsi. Tolong, Tuan, perbolehkan aku tinggal di sini.” Ae Ri masih pantang menyerah membujuk.
Seok Jung memijat pangkal hidung. Dia harus menolak permintaan perempuan ini. Kafenya bukan tempat yang sesuai untuk manusia seperti Shin Ae Ri.
“Aku tak bisa menerimamu di sini, Nona Shin,” tolak Seok Jung. Lalu lelaki itu tertegun.
Biasanya dia tak pernah ada masalah dengan penolakan. Dia selalu menolak, bahkan sering dengan kejam. Tak ada sebersit pun rasa bersalah melihat orang lain terluka karena penampikannya. Namun, mengapa kali ini hatinya jadi tak tega melihat Shin Ae Ri?
“Keluargaku sering menginap di sini. Mereka semua laki-laki. Kau tak bisa terus mengungsi setiap mereka datang,” ucapan itu keluar begitu saja. Membuat Seok Jung terhenyak. Mengapa dia menjelaskan hal ini pada perempuan yang baru dikenalnya?
Kala melihat wajah kecewa Ae Ri, hati lelaki itu sontak tak nyaman. Ada sesuatu yang mencubit perasaannya. Sesuatu yang dibenci oleh Seok Jung selama eksistensi hidupnya yang panjang. Simpati.
“Kenapa kau ingin tinggal di sini?” Kesalahan fatal dilakukan Seok Jung. Dia tak ingin berurusan dengan orang seperti Ae Ri. Tunawisma yang sering memancing rasa iba orang lain, lalu memanfaatkan kebaikan sang penolong habis-habisan.
Perempuan ini pasti menggunakan pesonanya sebagai perempuan untuk mendapatkan belas kasih. Seok Jung menelan ludah. Teringat tubuh hangat dan lembut yang sempat disentuhnya saat mengganti baju.
Tidak, tidak boleh! Aku tak akan jatuh dalam jebakan perayu seperti ini.
“Aku baru diusir dari apartemenku,” jawab Ae Ri pelan. “Kemarin aku sedang mencari tempat tinggal yang murah, dan belum berhasil mendapatkannya.”
“Lalu kau pingsan di belakang kafeku,” imbuh Seok Jung.
Ae Ri merona. “Maafkan aku, Tuan. Aku belum memakan apapun sejak pagi. Aku harus berhemat jika ingin mencari tempat tinggal baru. Seharusnya kemarin lusa aku menerima upah dari tempat kerja lamaku. Tapi pemiliknya kabur sebelum aku tiba di sana.”
“Kabur? Memangnya kau bekerja sebagai apa, sih?” Seok Jung penasaran.
“Pembagi pamflet,” jawab perempuan itu pendek.
Seok Jung mengangguk paham. Pekerjaan rendah bergaji kecil. Dia mendongak melihat Ae Ri turun tempat tidur. Pupil matanya melebar melihat sepasang kaki jenjang menapak lantai. Kemejanya memang kebesaran di tubuh itu, tapi tak cukup panjang untuk menutupi kaki Ae Ri dengan sopan. Seok Jung menelan ludah.
“Terima kasih untuk pertolongannya semalam, Tuan Kim.”
“Panggil Seok Jung saja." Lelaki itu menikmati raut terkejut, lalu tersipu, milik perempuan di depannya. Menggemaskan.
Ae Ri mengangguk, “Terima kasih, Seok Jung. Sekarang aku harus pergi. Bolehkah aku meminta bajuku kembali?”
“Mau mencari tempat tinggal?”
Lagi-lagi Ae Ri mengangguk, “Sebelum badai datang lagi, aku sudah harus mendapat rumah baru.”
Saat itulah Seok Jung tahu pertahanannya telah runtuh. Membayangkan perempuan itu terlunta-lunta di jalanan karena belum mendapat rumah, mengusik hati Seok Jung.
“Kau bilang harus berhemat. Kau akan bayar pakai apa jika tinggal di sini?”
Mata Ae Ri melebar. “Aku akan bekerja untuk Anda. Apa saja. Tanpa dibayar.”
Seok Jung mendengus. Seluruh keluarganya pasti akan menertawakannya habis-habisan setelah ini.
“Kau akan bekerja shit malam di sini. Jam kerjamu mulai pukul lima sore. Jangan lupa bersihkan kafe sebelum tidur,” putus Seok Jung akhirnya.
Senyum Ae Ri merekah lebar. Perempuan itu meloncat begitu saja. Memeluk Seok Jung erat-erat.
“Tuan, terima kasih.”
Suara riang Ae Ri tak urung membuat Seok Jung tersenyum. Lengannya spontan terangkat membalas pelukan itu. Dan Seok Jung meringis.
Jantungnya berdenyut tak nyaman. Lelaki itu mengernyit. Sensasi yang sudah lama tak dirasakannya. Pandangannya menunduk menatap puncak kepala berambut gelap. Pikirannya dipenuhi pertanyaan.
Siapa kau, Shin Ae Ri?
🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘🍀☘
Hola, apa kabar?
.
.
Seok Jung kembali menyapa para Readers.
.
.
Tinggalkan jejak, ya. Karena setelah cerita ini tamat, akan ada bingkisan menarik untuk Readers teraktif yang telah berjejak di sini. 😉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top