Bab 2: Tuan Pembunuh
Dingin, pekat, dan lembap mendominasi situasi.
Bangunan tua itu dilahap tanaman rambat serta semak belukar. Jendela tanpa kaca yang dindingnya menghitam entah sudah jadi sarang binatang apa. Pemilik yang menelantarkannya entah karena kebanyakan uang atau tanah yang tidak pernah laku. Yang jelas, sepetak tanah dan bangunan tua yang bisa roboh kapan saja di pinggiran kota itu--bukan tempat yang bagus untuk sebuah pertemuan dan negosiasi.
"Apa yang kau mau setelah semua ini?"
"Melaporkanmu ke polisi," jawab bocah laki-laki itu dengan senyum miring di wajahnya, seakan telah menemukan kucing pencuri yang telah mencuri ikan di rumahnya.
Lawan bicaranya membalas dengan tatapan tajam yang nyalang, seorang lelaki empat puluh tiga tahun berjaket kulit kusam yang menganggap remeh semua omong kosong bocah itu. "Tidak. Polisi tidak akan bergerak."
"Kenapa?"
"Yang membayarku adalah kaki tangan pemerintah. Dunia bawah tanah yang Perdana Menteri buat dan pekerjaan kotor yang dirahasiakan dari penduduk sipil."
"Cih, menjijikan. Mau apa pun itu, membunuh tetap saja membunuh. Kau bukan Tuhan yang dengan mudahnya merampas nyawa orang." Tiada gentar yang tersirat dari tindak tanduk pemuda itu sekali pun yang dihadapinya sendiri tidak lain adalah pria kotor tanpa kemanusiaan.
Tidak. Orang itu bukan lagi manusia, melainkan iblis pembunuh yang gemar mencabut nyawa.
Lelaki paruh baya itu naik pitam mendengar nada bicara bocah itu yang merendahkannya. Diraihnya kerah baju bocah itu dan siap dilayangkan tangan guna menamparnya. "Bicara apa kau ini?! Kaupikir ini semua untuk siapa? Tentu dirimu dan keluargamu!"
"Sayangnya aku tak butuh uang hasil menghabisi nyawa orang lain, Tuan Pembunuh. Lebih baik, kau berhenti bermain-main dengan kematian!" Bocah itu susah payah menelan ludah. Menatap lelaki paruh baya itu dan telapak tangan kasar itu berhasil mengenai pipinya dengan keras hingga ia terpojok beberapa langkah ke belakang. "Kalau kau keberatan, silahkan bunuh aku di sini dengan tangan kotormu itu. Kuyakin kau sudah biasa menghabisi nyawa-nyawa sebagai bagian dari pekerjaanmu."
Lawan bicaranya memalingkan wajah ke sudut ruangan penuh debu. Menghela napas panjang, ia membalas, "Kalau saja anak orang lain, tak akan kubiarkan kau pulang hidup-hidup. Sayangnya ... kau anakku dan aku tak bisa melakukan itu."
Dari semua rasa yang bercampur dalam lubuk hatinya, lebih memuakkan baginya untuk mendengar kata-kata yang keluar dari mulut iblis yang pernah diaku sebagai ayahnya itu. "Berhenti mengatakannya! Aku muak mendengar kata-katamu, Tuan Pembunuh. Mau bagaimanapun, aku pernah menganggapmu sebagai ayah meski kini kau tak lebih dari sampah menjijikan dalam hidupku, enyahlah."
Bocah itu mendapat pukulan lagi, kali ini bertubi-tubi pada wajah, punggung, dan perutnya. Ia mengerang kesakitan hingga memuntahkan darah dari mulutnya. "Begini caramu membunuhku?"
"Anggaplah ini pelajaran bagi anak yang kurang ajar!"
Dalam netra si bocah laki-laki, pria paruh baya yang selalu tersenyum hangat itu berubah menjadi iblis yang mengerikan. Menancapkan taringnya pada mangsa yang tersudut berupa pukulan dan tendangan yang meremukkan badan. Dalam sela napas yang tak beraturan, ia bertanya dalam nalar, akankah ia mati di tangan ayahnya yang tak punya rasa manusiawi?
Pria paruh baya itu berhenti menyerang juga. Setelah melihat kondisi bocah itu yang kesulitan berdiri dan mengerang kesakitan, ada secercah rasa iba yang tiba-tiba muncul di matanya. Dia terkejut seakan lupa dengan apa yang diperbuatnya barusan. Sebuah perasaan gairah membunuh yang tergantikan oleh rasa prihatin atas putra sulungnya. "Perlukah kubawa ke rumah sakit?"
Kedua telapak tangannya yang semenit lalu dipakai menghajar terulur menyentuh pundak bocah itu. Berakhir ditepis dengan pandangan geram bercampur tak sudi. "Jangan menyentuhku, sinting! Harusnya aku menyadarinya sejak dulu jika kau tak lebih dari seorang kepribadian ganda yang menafkahi keluarganya dengan hasil membunuh."
Tatapan lelaki itu berubah tanpa bisa diperdiksi. Ekspresi dan suasana hatinya tak bisa terbaca, kadang menjelma menjadi iblis pembunuh dan kadang berubah menjadi sosok ayah jelmaan malaikat yang hangat. Rahangnya mengeras hingga bicaranya tergagap-gagap. "K-ka-kalau saja kalian m-mengerti. Ini demi kebaikan--"
"MANA ADA MEMBUNUH DEMI KEBAIKAN!"
"Kebencianmu sudah terlampau besar. M-maaf soal tadi, aku tak pantas menjadi ayah yang baik. Aku ... hampir membunuhmu."
"Cih. Dengan perubahan ekspresi serta tingkah lakumu seperti itu tak bisa membuatku luluh dan memberi maaf. Kau bukan lagi ayahku yang kukenal. Aku tetap akan mencari bukti pembunuhanmu dan--"
"Tidak akan ada gunanya kau melaporkan ayahmu sendiri! Sudah kubilang, aku yang dipilih oleh kaki tangan pemerintah. Polisi tak akan bisa bergerak atas kasus yang telah kubuat. Ingatlah, ini juga demi mereka."
"Hal bodoh katamu? Sudah berapa banyak nyawa yang kauhabisi?! Tak pernah kau terpikir untuk menebus dosa-dosamu? Selama enam belas tahun aku baru menyadari jika uang yang kauberikan berasal dari pekerjaan kotormu, dosa-dosamu yang ikut kami nikmati tanpa bisa kami sadari asal darimana uang tersebut. Pikirkan betapa terpukulnya mereka saat menyadari kebejatanmu!"
Ayahnya diam. Lututnya bergetar hingga terlihat tak sanggup menopang tubuhnya. Lelaki yang dianggap bocah lelaki itu hebat kehilangan kata-katanya. Bocah itu terdiam, menatap ayahnya yang semula beringas menjadi luruh dan tertekan. Seraya menahan sakit yang teramat atas pukulan di punggungnya, bocah itu mencoba bangkit dan mendekati ayahnya yang masih membisu. Ia menghela napas panjang."Karena mereka sangat mempercayaimu dan kepercayaan itu kepalang kauhancurkan, aku membiarkanmu lolos dan tak akan mencari bukti, demi mereka, demi keutuhan keluarga tempatku bernaung.
"Dengar, aku tidak memaafkanmu, aku hanya mengulur waktu untuk saat yang tepat. Ini semata-mata demi mereka dan hidupku yang tenang lantas kauhancurkan. Terserah mau berhenti atau tidak, aku tak akan terima lagi uang saku darimu, aku yang akan biayai hidupku sendiri, dan mulai detik ini aku tak akan sudi memanggilmu dengan sebutan ayah lagi. Percayalah, mereka masih membutuhkanmu dan aku tak mau merusak kebahagiaan mereka dengan melaporkanmu. Kaubilang, melapor tak ada gunanya, kan?"
"Januari Aksata...." Pria paruh baya itu menarik lengan bocah, membantunya untuk berdiri meski pada akhirnya, puteranya menepis tangannya dengan cepat. "...Terimakasih. Sekali lagi, maaf sedalam-dalamnya. Aku menyayangimu."
Bocah itu menarik lengannya dan berlari keluar dari bangunan itu. Diiringi isak tangis menjadi-jadi yang sejak tadi sudah dia tahan. Benar, dia ia sudah menahan tangisannya itu dalam dada yang penuh sesak.
Tangisan seorang anak laki-laki yang membenci ayahnya, dan sebuah kenyataan yang menjungkirbalikkan keluarga bahagia miliknya.
***
Malam yang merangkak naik disusul hujan deras membuat gadis itu malas keluar dari kamarnya. Sejak pulang dari bengkel sepeda, awan di langit sudah kelabu, puncaknya malam ini. Air hujan yang tak dapat dibendung lagi tumpah ruah bersama hawa dingin yang membuatnya bergulung-gulung di balik selimut, padahal semestinya ia harus meluruskan hubungan dua lelaki di rumahnya. Ayahnya belum pulang dan kakaknnya masih belum pulang kerja, sepertinya lelaki itu menambah jam kerjanya, pikir Aru. Mengingat wajah kakaknya teramat kentara sekali malas berlama-lama di rumah jika ada ayahnya.
Sahutan dari ibunya di lantai bawah membuatnya membuka mata meski ia tidak tidur. Mengikuti panggilan ibunya, ia menyeret langkah yang sangat berat meninggalkan kasur serta selimutnya di musim hujan begini. "Aku datang."
"Ah, Ayah sudah pulang, ya?" Serta merta gadis itu menuruni beberapa anak tangga terakhir. Mencium telapak tangan ayahnya yang basah karena hujan-hujanan. Rambut dan separuh tubuh pria empat puluh tiga tahun itu basah. Seraya menerima handuk dari ibu Aru, Aru mencium aroma makanan yang berasal dari plastik tentengan ayahnya. "Uwah, apa ini martabak telur?"
"Tentu saja. Kau dan ibu 'kan sangat menyukainya. Untuk kakakmu Ayah juga membelikan rasa cokelat kesukaannya agar kita bisa menyantap bersama-sama ketika dia pulang nanti."
"Ayah ...." Aru menatap ayahnya dengan sedih setelah mengingat bagaimana perilaku Janu akhir-akhir ini yang tampak menjaga jarak dengan sang ayah.
"Ya?"
"Kau hujan-hujanan dan selalu membeli makanan jika pulang bekerja. Ayah bahkan masih memikirkan Kakak padahal yang kulihat hubungan kalian sedang tidak baik. Ayah memang yang terbaik!"
Ayahnya tersenyum hangat, mengacak rambut putrinya lantas menjawab, "Kau dan Janu sama-sama kebanggaan Ayah. Hubungan kami baik-baik saja, jangan memandang rendah Kakakmu seakan dia yang bersalah. Semuanya pasti akan kembali normal. Nanti, akan tiba saatnya kita pergi berpiknik bersama, saat Aru dan Janu sudah libur sekolah. Kita pasti bersenang-senang."
"Terima kasih, Ayah. Aku sangat menunggu piknik bersama kita. Tapi, dia itu sudah berubah. Dia tak peduli pada Ayah lagi dan terlihat membenci--"
Ibunya menggelengkan kepala, menarik lengan Aru dan meraih bungkus makanan ke arah dapur. "Sudahlah, kau terlalu cerewet. Ayahmu baru pulang bekerja dan kelihatan lelah. Ayo bantu Ibu menyiapkan makanannya."
"... Baik."
....
"Aku pulang." Pemuda enam belas tahun itu menaruh alas kakinya di rak sepatu. Dengan tatapan malasnya itu, ia menembuskan napas panjang kala melihat sepatu kulit hitam di sisi tempat ia menaruh alas kaki.
Dia pulang lebih awal, ya?
Janu melangkah ke depan pintu dan mengetuk-ngetuk hingga sahutan adiknya terdengar.
"Kau pulang larut sekaliii," ucap adiknya yang sudah memakai piyama biru. Aru menghalangi langkah kakaknya dan meneruskan, "Ayah membelikanmu makanan. Kami sudah menunggumu sejak tadi, tapi kau lama."
Pemuda itu, dengan penampilannya yang semraut mengambil shift hingga malam. Ia berdecak kesal, lantas membalas dengan suara tinggi yang ditahan. "Aku lelah. Menyingkirlah."
Ia melangkah memasuki rumah dengan bahu yang luruh. Pikiran serta fisik lelah memikirkan sekolah sekaligus pekerjaan di waktu bersamaan. Di umurnya yang ke-16 ini, dia bekerja keras dengan menjual tenaganya di restoran, memeras otaknya di sekolah, juga memendam perasaan bencinya di rumah.
Langkah berat itu menaiki tangga setelah meneguk air di atas meja sisi ruang tamu hingga tandas dan melawati pria paruh baya yang tengah menonton televisi, tanpa melirik sekali pun.
"Kau mau ke mana?" tanya Aru yang langsung ikut duduk di sisi ayahnya setelah mengunci pintu.
Janu menjawab, "Sudah jelas. Ke kamarku dan beristirahat."
Gadis itu menggertakkan gigi. Tatapan matanya menantang dan berdiri dengan cepat menarik lengan Janu yang terperenyak. "ADA APA DENGANMU! Apa kau tak mencium telapak tangan Ayah dan terus menganggapnya seperti udara hampa padahal ia ada di ruangan ini?! Apa yang terjadi padamu hingga kau begitu membenci Ayah?!"
"Berisik bodoh! Kau yang tak tahu apa-apa hanya bisa menyalahkanku. Aku tak pernah punya Ayah dan aku memang tidak merasa punya," gertak Janu pada adiknya hingga mata Aru berair, gadis itu menatap ayahnya yang hanya terdiam diam menonton televisi dan pasrah saja pada keadaan. Seakan pertengkaran kedua anaknya sudah lumrah terjadi. Pikir Aru, ayahnya akan menghentikan sifat kakaknya yang sangat tidak biasa membentaknya dengan kasar. Aru pikir lagi, ada sesuatu yang terjadi pada keduanya hingga hubungan keduanya tak bisa merekat seperti dulu dan berdampak besar bagi Janu, juga keluarga ini.
Janu menarik tangannya. Seperti biasa, sudah sewajarnya sikap seorang kakak yang mengalah pada adiknya, kali ini ia melangkahkan kaki dengan keras-keras hingga terdengar seperti bentuk protes, juga membanting pintu kamarnya sendiri dengan keras.
Gadis itu menghela napas kasar. Mengusap kedua pelupuk matanya yang basah, ia rasakan sesuatu yang hangat mendarat di atas kepalanya: telapak tangan ayahnya yang hangat dan senyuman yang menenangkannya. "Sudah, sudah. Ayah tidak apa-apa."
"Kenapa Ayah diam saja? Kakak sudah keterlaluan."
Ayahnya hanya mengembuskan napas seolah pasrah dengan keadaam. "Kau anak yang baik. Tapi, akankah sikapmu berubah suatu saat nanti?"
"Apa maksudnya, Ayah?" Aru mengerutkan alisnya. Dia tak paham dengan maksud ayahnya.
"... Bukan apa-apa."
***
Gadis itu menutup matanya rapat-rapat meski tidak merasa ingin tidur. Ia ingat betul cerita yang kakaknya sampaikan. Ia ingat betul kapan peristiwa itu terjadi dan membuat kebahagiaan dalam hidupnya lari tunggang langgang menjauhinya, harapannya, teman-temannya, juga keluarganya yang porak-poranda dihajar serentetan perkara tak berujung. Aru paham, jika memang seharusnya pada malam itu ayahnya menanyakan tentang sikapnya sudah pasti suatu akan berubah.
Benar.
Sikapnya sangat berubah. Gadis itu bukan lagi anak baik yang dulu selalu ingin dimanja ayahnya. Gadis itu sangat bersyukur ayahnya telah mati dalam peristiwa malam itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top