Bab 1: Seorang gadis dan keluarganya
Gadis itu melangkah ringan pulang menuju satu tempat bernama rumah. Senyum gadis empat belas tahun itu terulas lebih lebar kala mendapati ayah, ibu, juga kakak laki-lakinya menyambutnya sepulang sekolah dengan berondongan pertanyaan seputar pelajaran tadi. Aru menjawab satu per satu pertanyaan dengan bersemangat menceritakan pencapaian yang telah ia capai, juga teman-teman dekatnya yang menyenangkan dan selalu kompak bersamanya.
Janu--kakak lelaki yang terpaut dua tahun dengannya--selalu berhasil mendatangkan tawa oleh sifat menyenangkannya dan Aru menyukai keramaian di ruang keluarga yang silih bersahutan dengan suara televisi. Prestasi gemilang, masakan ibu yang enak, ayah yang penyayang, kakak yang selalu membantunya saat kesulitan belajar, juga teman-teman dekat yang selalu ada disampingnya membuat gadis itu berada dalam limpahan kebahagiaan.
Janu menghentikan tawa meledeknya yang ditunjukan pada Aru karena gadis itu memakan dua semangka sekaligus dengan rakus dan ekspresi Kakanya itu berubah dingin. "Aku harus bekerja sambilan. Aku akan bersiap dulu."
Pemuda jangkung itu beranjak menuju kamarnya di lantai dua. Meninggalkan suasana hangat yang baru saja tercipta dari keluarga kecil itu. Aru ikut menyusul kakaknya dengan alasan menanyakan pekerjaan rumah.
"Kakak, kenapa kau harus bekerja menjadi pelayan setiap pulang sekolah? Kupikir gaji ayah sudah lebih dari cukup untuk membiayai sekolah dan kebutuhan kita sehari-hari." Aru memegangi kaus kakaknya sebelum pemuda itu hendak melepaskannya. Tanpa Janu pedulikan kehadiran adik perempuannya itu, ia memasukan sarung tangan pencuci piring dan dompet kulit ke tas selempangnya, menyiapkan barang sebelum bekerja. Aru memutar bola matanya malas. "Hei, kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa mau bekerja? Menjadi tukang cuci piring di restoran kan kotor dan menjijikan."
"Jangan menganggap pekerjaan apa pun itu kotor dan menjijikkan. Selagi pekerjaan itu baik-baik untuk ditekuni, tidak ada masalah untuk kaupandang sebelah mata. Aku memang baru sebulan ini merangkap jadi pencuci piring di restoran itu dan aku mengambil waktu pulang sekolah menggantikan pegawai lain. Soal Ibu, aku sudah bilang dan ia mengijinkan," balas Janu yang sudah siap pergi bekerja.
Aru mengangkat sebelah alisnya heran. "Kenapa kau hanya menyebut Ibu? Kau tidak meminta ijin Ayah? Kupikir, hubungan dua lelaki di rumah ini sedang tegang karena kau tak pernah lagi mencium tangannya atau meminta bekal sebelum berangkat sekolah. Memangnya apa yang membuatmu tak acuh pada Ayah selama ini menyayangimu? Apa salahnya sampai kau--"
"DIAM!" Janu mencengkeram pundah adiknya. Aru tersentak kaget karena selama ini, Janu tak pernah berlaku kasar dengan sifatnya yang selalu menghiburnya. "M... maaf, aku kelewatan. Itu hal yang tidak perlu anak kecil sepertimu tahu. Aku berangkat."
Aru menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Kenapa aku tidak boleh tahu? Kata Ayah, sesama keluarga harus saling terbuka 'kan?" tanyanya pada udara hampa berselang kakaknya turun ke lantai bawah dan pergi bekerja. Ia mengangkat bahu. Turun ke bawah dan hendak membantu ibunya melipat pakaian di ruangan semula mereka berkumpul. Netranya bergerak menyisir ruangan sederhana dengan kipas angin di sudut ruangan, televisi, serta kasur tipis di tengah ruangan keluarga tempat bersantai selain kamar. "Eeh... di mana Ayah, Bu?"
"Pergi sebelum Janu turun. Sini bantu Ibu."
Gadis itu mengangguk dan segera menuruni sisa anak tangga. "Apa Ibu tahu alasan Kakak membenci Ayah?"
Alis ibunya bertaut, ekspresi wajahnya heran. "Ibu tidak tahu dan baru tahu mengenai hal ini."
"Ya... Kakak terlihat menjauhi Ayah akhir-akhir ini. Dia bahkan tak pernah meminta uang jajan dari Ayah lagi dan memutuskan bekerja untuk membiayai diri. Tidakkah itu aneh?"
"Mungkin Janu hanya ingin hidup mandiri." Ibunya membalas dengan telunjuk teracung seperti seorang guru yang menasihati muridnya.
Aru melipat pakaian terakhir sebelum teringat akan satu hal. "Ibu, soal formulir pendataan siswa, sepertinya formulir yang semalam diisi Ayah sebagai perwakilan orangtua ada yang keliru."
Wanita empat puluh tahun itu kembali dibuat bertanya. "Apanya yang keliru?"
"Di kolom nomor lima, ada pertanyaan mengenai pekerjaan orangtua dan besaran gaji. Tapi Ayah sepertinya lupa menuliskan. Aku di suruh guru mengisi kembali dengan lengkap, tapi aku tak tahu berapa gaji ayah sebagai karyawan. Benar, kan Ayah bekerja di pabrik?"
Ibunya mengangguk. "Centang saja kotak tulisan gaji nomor tiga."
Gadis itu meraih bolpoin di atas meja belakang ibunya, mencentang kotak yang sudah ibunya arahkan. "Lumayan besar ya gaji Ayah. Sayang sekali Kakak tidak mau menerima lagi uang dari Ayah. Padahal Ayah sudah bekerja keras. Kakak seperti sudah tak menganggap Ayah lagi. Apa Ibu lihat tadi saat berkumpul dia tak melirik Ayah sama sekali?"
"Pasti ada penjelasannya kenapa Janu bisa bertindak seperti itu belakangan. Dan rasanya, kita perlu meminta penjelasan Janu dan meluruskan ini supaya mereka berbaikan." Ibunya mengangkat keranjang berisi pakaian, memijak tangga tiga langkah berikutnya, meninggalkan gadis itu dalam lamunannya.
.....
Sepeda merah itu baru saja diperbaiki di bengkel. Setelah empat hari yang lalu menabrak pohon kelapa saat balapan sepeda dengan Kakaknya, Aru menjajal kembali sepeda merah kesayangannya itu. Catnya yang semula sedikit terkelupas sudah berganti menjadi cat merah yang mengkilap diikuti ban baru yang sehitam jelaga. Mengingat kerusakan sepeda yang tak seberapa namun perbaikan yang tampak seperti baru membuat gadis itu berhutang terimakasih pada montir kenalan ayahnya yang ramah dan dikenalnya.
Ia mengayuh pedal sepedanya seperti biasa yang gadis itu lakukan pada sore hari. Sangat beruntung jika Janu masih seperti dulu, tidak bekerja dan selalu ada mengisi waktu-waktu balapan sepeda bersama, bukan hanya hari libur atau luang jika Kakaknya itu ingat akan permainan konyol mereka dulu.
Dengan kecepatan kayuhan yang sengaja dilambatkan, Aru membiarkan rambut sebatas pinggangnya yang dibiarkan tergerai menampar-nampar wajahnya dan melayang ringan terempas angin. Ibu dan teman-temannya selalu berkata jika rambutnya panjang dan cantik baik diikat, kepang, dibiarkan tergerai atau diapakan selalu cocok untuknya--membuat gadis itu tersipu malu.
Ia terlalu banyak melamun sepanjang perjalanan singkat dan tahu-tahu saja, tempat yang ditujunya sudah terlihat. Sebuah bengkel sepeda kecil di depan kompleks rumahnya. Aru memarkirkan sepedanya dan langsung masuk ke bengkel sepeda yang sibuk. Matanya menerawang, mencari sosok montir baru yang bisa dibilang sebagai temannya itu.
"Kak Saga!" sahutnya pada lelaki tamatan SMK yang menjalani hari-hari dengan membantu kakak sulungnya menjalankan bengkel.
Lelaki yang dipanggilnya Saga itu menoleh setelah menepuk-nepuk telapak tangannya yang belepotan oli berbalutkan sarung tangan. Di sebelah bengkel sepeda kecil itu juga ada bengkel motor yang menyatu dengan bengkel sepeda itu, dipisahkan pembatas dinding yang catnya banyak terkelupas. Setelah merapikan peralatan dan menyimpannya di kotak pojok dinding, lelaki delapan belas tahun itu menghampiri Aru dengan senyum hangatnya, seperti biasa. "Kupikir kau kemari dengan Janu."
Aru menggeleng kuat seakan menyangkal jika datang bersama Kakaknya itu tidak mungkin. "Sibuk bekerja. Apa aku mengganggu?"
"Aku baru selesai memperbaiki sepeda tua Kakek Panji. Tidak ada pekerjaan lain, belakangan ini memang minim pengunjung. Tentu saja tidak setiap saat orang-orang datang dan memperbaiki sepeda. Ada yang bisa kubantu?"
"Tidak juga. Aku hanya berterimakasih atas sepeda yang diperbaiki. Padahal, Ayah hanya membayarmu untuk memperbaiki rantai dan bannya, tapi kau membuatnya jadi seperti baru." Sambil memegangi dagu, Aru merasa ada yang lupa ia sampaikan setelah beberapa saat ia mengingat kembali. "Ah, ya... ada yang ingin kutanyakan."
"Silahkan, Nona Kecil."
"Berhenti memanggilku seperti itu!" Aru mengacungkan telunjuknya seraya mengembungkan pipi. Disusul gelak tawa Saga, gadis itu melanjutkan, "kau kan temannya Kak Janu, aku ingin bertanya. Apa Kakak pernah kemari dan mengobrol banyak tentang hubungannya dengan Ayah. Rasanya, kalian dulu sangat dekat saat kecil. Pasti kau adalah teman baik yang selalu mendengarkan keluh kesahnya, kan?"
Lelaki itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Topi biru yang terkena bercak oli--sedikit menutupi matanya--dilepas dari kepalanya, dibiarkan netranya memandang gadis itu dengan keheranan. "Tiga minggu lalu."
"Ha? Dia datang."
"Tidak. Aku yang melihatnya. Dia lewat sini tapi tidak melirik bengkel ini sama sekali. Aku ingin menyapa tapi kupikir ia sedang buru-buru. Penampilannya juga masih pakai seragam SMA, tapi sangat lusuh dan berantakan. Kalau kuingat lagi... matanya seperti menahan tangis. Dan seragam putihnya sedikit terkena bercak berwarna merah, mungkin saja itu cat. Wajahnya juga lebam tapi tidak terlalu parah. Saat aku melihatnya dengan penampilan kacau seperti itu, aku sudah memanggilnya dan bertanya apa yang terjadi. Dia malah abai dan melanjutkan jalannya setengah berlari."
Kaki Aru pegal. Ia langsung duduk di bangku depan bengkel dan menepuk sisi kursi sebagai tanda untuk Saga duduk di sisinya. "Eeh... um. Tapi aku tak pernah tahu perihal Kakak menangis dan lebam. Tiga minggu lalu itu adalah saat Kakak pulang dengan tergesa dan mengunci diri di kamar, baik Ibu atau aku tak memperhatikan. Ah, aku baru ingat jika ia membolos sekolah satu hari. Ibu sangat cemas dan terus bertanya dari balik pintu, sementara Ayah sedang ada tugas di pabrik cabang kota sebelah selama dua hari. Sehari setelah itu, Kakak keluar kamar dan bersikap seperti biasa--tidak, saat itu ia memutuskn untuk mulai mencari kerja sambilan."
"Kau tak bertanya padanya apa yang terjadi?"
"Sudah. Tapi dia malah membentakku saat kutanya kenapa ia memaksakan diri untuk bekerja sambilan. Hubungannya dengan Ayah juga terlihat sangat renggang," balas Aru seraya menyelipkan anak-anak rambut ke belakang telinganya. "Menurutmu, apa yang sudah terjadi?"
"Entahlah.... Tapi memang ia jadi jarang mampir ke bengkel dan mengobrol bersamaku. Saat itu aku menganggap dia sudah melupakanku sebagai teman dekat yang sudah ia anggap sebagai Kakaknya. Sepertinya memang ada satu alasan."
"Begitu ya."
Aru menghembuskan napas pasrah saat kembali mengayuh pedal sepedanya dengan lambat dan terasa berat. Gadis itu hanya ingin hubungan Kakak dan Ayahnya kembali baik. Seperti saat dulu Ayahnya menggendong Aru dan lari mengejar Janu dalam permainan kejar-kejaran, atau saat kakak beradik itu menonton acara televisi kesukaan dengan tertawa sekeras-kerasnya. Ia ingin tawa itu kembali lagi, bukan tawa terpaksa yang sudah Aru sadari keluar dari mulut Kakaknya tanpa perasaan sudi melirik Ayahnya sama sekali.
Penyelesaian terbaik baginya hanya satu: bertanya pada Ayahnya apa yang sebenarnya Janu benci dari Ayahnya hingga membuatnya seperti itu.
Aru tak mau keluarganya saling bermusuhan. Karena baginya, keluarganya itu sangat berarti dari apa pun di dunia ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top