(6)
“Jadi, mana titipan Tante Mira? Enggak ketinggalan di kereta, kan?” tanya Mama usai aku mencium tangannya.
Aku mengerucutkan bibir sebagai bentuk protes. Bukannya bertanya tentang kabarku atau bagaimana perjalananku, Mama justru menanyakan barang yang tempo hari kuambil dari apartemen Raf. Sayangnya, aksi protesku itu gagal mencuri perhatian Mama.
“Itu lagi diturunin sama Fajri dari bagasi,” jawabku sambil menyimpan sepatu di rak. “Lail lapar. Mama masak apa hari ini?”
“Opor ayam sesuai pesanan kamu. Ish, kamu ini sengaja mau mengalihkan pembicaraan, ya?” tuduh Mama.
Aku mengangkat bahu dan pura-pura tidak mengerti. “Ngalihin pembicaraan, gimana? Kan, Lail sudah jawab pertanyaan Mama tadi?”
Kulangkahkan kaki ke dapur, berusaha kabur dari rasa ingin tahu Mama. Aku tahu Mama pasti sudah menyiapkan rentetan pertanyaan untukku. Setelah pertemuanku dengan Raf tempo hari, Mama beberapa kali menelepon, tapi aku selalu berhasil menghindar dengan alasan sedang sibuk. Sekarang, ketika sudah tiba di rumah, aku tidak punya alasan lain untuk mengelak.
Mama membuntuti ke dapur dengan wajah penasaran. Aku berusaha mengabaikan. Berpura-pura tidak tahu bahwa Mama sedang menungguku bercerita tentang Raf.
“Jadi menurut kamu—Raf gimana?” Akhirnya pertanyaan itu terlontar juga dari bibir Mama.
Mama menunggu jawabanku dengan mata berbinar-binar. Sepertinya, memang tidak ada jalan untuk kabur lagi. Mama pasti tidak akan melepaskanku begitu saja.
“Ya enggak gimana-gimana, Ma,” jawabku sambil mengambil botol air dari dalam kulkas lalu menuangkan isinya ke gelas. “Biasa aja. Emang mestinya gimana?”
“Maksud Mama, kesan kamu tentang Raf, gimana?”
“Ya … biasa aja.”
“Ish, kamu ini, kebiasaan kalau ditanyain serius malah jawabnya ngasal.” Mama terlihat kesal.
“Ngasal gimana? Menurut Lail memang biasa aja, kok. Enggak ada yang istimewa dari Raf. Masak, Lail harus bohong dan pura-pura terpesona gitu sama dia?”
“Mama sudah lihat fotonya, Lail. Ganteng begitu kok menurut kamu biasa aja?” Kali ini, Mama menyilangkan tangannya di depan dada. Roman wajahnya berubah serius.
“Menurut Mama ganteng, tapi menurut Lail biasa aja,” ujarku tidak kalah ngotot. “Di Jakarta mah, yang lebih ganteng dari Raf juga banyak kali, Ma.”
“Tapi, belum tentu mereka mau dijodohin sama kamu, Lail.”
Aku nyaris tersedak ketika mendengar gerutuan Mama. “Kata Mama kemarin cuma nitip barang doang. Kan, Lail sudah bilang, Lail enggak suka dijodoh-jodohin, Ma,” protesku. Walau aku sudah mencium ada yang tidak beres di balik permintaan Mama tempo hari, tetap saja aku kaget ketika Mama mengatakannya terang-terangan seperti sekarang.
“Habisnya, kamu enggak pernah kenalin cowok ke Mama. Tiap kali ditanyain, ada aja alasan kamu. Mama itu sudah tua, Lail. Mama pingin ngelihat kamu nikah, punya anak, hidup bahagia, biar kalau sudah waktunya Mama dipanggil Tuhan, Mama bisa tenang karena kamu sudah ada yang jagain.”
Aku memutar bola mata. Baru lima belas menit tiba di rumah, aku sudah mendapat petuah yang tidak pernah bosan Mama ulang-ulang.
“Lail bisa jaga diri sendiri, kok. Lagian kan, ada Fajri.”
“Fajri nanti juga bakal punya keluarganya sendiri, enggak mungkin jagain kamu terus.”
Kuputuskan untuk diam. Semakin didebat, nasihat Mama bisa semakin panjang.
“Eh sebentar,” kata Mama seperti baru teringat sesuatu. “Jadi kamu beneran pingin Mama cepat mati? Mestinya kan kamu jawabnya, Mama itu masih muda, enggak mungkin cepat dipanggil Tuhan.”
Omelan Mama membuatku ternganga. Bagaimana bisa Mama menarik kesimpulan seperti itu? Tampaknya, apa pun jawaban dan pembelaanku, aku akan selalu berada di pihak yang salah. Jadi, kuputuskan untuk mengunci mulut dan mendengarkan Mama dengan sabar.
“Kok, kamu diam aja sih, Lail. Kamu beneran sudah enggak sayang Mama? Enggak masalah kalau Mama cepat mati, ya?”
Tuh, diam pun aku tetap salah.
“Ini Mama tarik kesimpulan dari mana, sih? Masak cuma gara-gara aku nganggep Raf biasa aja, Mama sampai ngelantur ke mana-mana.”
“Habisnya kamu enggak serius gitu. Mama kan penasaran gimana tanggapan kamu tentang Raf, soalnya Raf itu dekat banget ama ummanya. Kemarin, pas teleponan sama Mama, Tante Mira bilang Raf cerita banyak tentang pertemuan kalian. Mama kan pingin dengar juga cerita versi kamu. Sejak kamu pindah ke Jakarta itu, Mama ngerasa makin jauh dari kamu. Enggak pernah lagi kamu curhat sama Mama.”
Mataku membola. Aku buru-buru meletakkan gelas yang kupegang ke atas meja, khawatir gelas itu akan menggelincir jatuh dari tanganku yang tiba-tiba berkeringat.
“Memangnya Raf cerita apa aja ke Tante Mira?” tanyaku dengan nada sedatar mungkin.
Bukan tuduhan Mama yang membuatku panik, melainkan hal yang Raf ceritakan kepada ibunya. Awas saja kalau dia sampai membocorkan masalahku dengan Mas Mirza, juga kejadian saat aku memintanya pura-pura menjadi pacarku. Mama pasti marah besar jika sampai tahu apa yang menimpaku satu setengah tahun lalu. Selama ini, aku memang jarang menceritakan masalah-masalahku pada Mama karena tidak ingin membuatnya khawatir.
“Nah, kan. Kamu penasaran.” Mama justru meledekku.
Aku mengembuskan napas lega. Dari sikap Mama, tampaknya aku tidak perlu cemas. Syukurlah, Raf masih menjaga rahasiaku.
“Enggak, kok. Biasa aja,” kataku seraya bangkit dari kursi dan berjalan menuju kamar.
“Dia bilang kamu sempat mampir ke apartemennya.” Mama kembali membuntutiku. Sepertinya, beliau masih belum puas dengan jawaban-jawabanku.
“Ya itu karena dia yang ceroboh. Barang yang mau dititipin ke aku malah ketinggalan, jadi aku terpaksa ikut dia buat ngambil.”
“Terus, dia nganterin kamu ke kosan.”
“Ya kan sekalian bawa barangnya, Ma. Enggak ada yang spesial dengan semua itu. Cuma nganterin doang.” Sepertinya Mama terlalu banyak nonton sinetron. Entah apa yang sedang beliau bayangkan sekarang.
“Kamu beneran enggak penasaran jawaban Raf waktu Tante Mira tanya pendapatnya tentang kamu?”
Aku ingin bersikap tidak peduli, tetapi seluruh otot tubuhku seperti menolak bekerja sama. Kakiku tiba-tiba berhenti melangkah tepat di depan pintu kamar.
“Dia bilang kamu menarik,” kata Mama sambil menyeringai lebar.
Untung saja, otakku masih bisa berpikir logis. Aku segera sadar bahwa Mama tengah memancingku. Buru-buru aku mengatur ekspresi, bersikap seolah tidak peduli. Aku tidak akan terjebak dalam perangkap Mama. “Mu-mungkin dia bilang gitu buat nyenengin hati Tante Mira aja,” kataku cuek.
“Terus, kamu enggak pingin nyenengin hati Mama?”
“Dengan bilang kalau Raf ganteng?”
Mama menggeleng pelan. “Dengan mau coba lebih mengenal Raf. Mama tahu, Mama enggak bisa maksa kamu untuk menikah dengan dia. Tapi, seenggaknya kasih kesempatan buat Raf. Mama tuh pingin yang terbaik buat kamu, Lail.”
“Bukan karena Mama pingin besanan dengan sahabat Mama?” tanyaku dengan pandangan menyelidik.
Mama terkekeh. “Itu bonus aja, Lail. Seriusan, Mama tuh cuma pingin kamu bahagia. Percaya deh sama Mama, Lail. Coba dulu aja ketemu beberapa kali lagi dengan Raf. Feeling Mama bilang, kalian berdua itu cocok, saling melengkapi. Ya … kalau ternyata memang kamu enggak cocok sama dia, Mama janji enggak bakal jodoh-jodohin kamu lagi.”
=-=-=-AmelA-=-=-=
Ketika aku keluar dari kamar mandi, Mama tengah menata pajangan keramik hadiah dari Tante Mira di ruang tamu. Pantas saja paket itu terasa berat, ternyata isinya satu set pajangan yang terdiri tiga piring keramik. Walau berbeda ukuran, piring-piring itu memiliki motif yang serupa.
Mumpung Mama tidak menyadari keberadaanku, aku buru-buru kabur ke kamar. Dengan rambut masih setengah basah, kulemparkan badan ke tempat tidur. Gelombang nostalgia masa SMA menerjangku. Mama masih menjaga segala isi kamar seperti terakhir kutinggalkan. Bahkan setiap mengecat ulang dinding kamar, Mama selalu memilih warna yang sama, biru muda—warna favoritku.
Kuraih ponsel yang tergeletak di nakas. Terdapat beberapa pesan baru yang masuk. Sebagian dari atasan dan rekan kerjaku. Bahkan saat aku cuti begini, masih saja harus memikirkan pekerjaan. Entah yang sekadar menanyakan progress proyek yang kutangani, letak dokumen yang kusimpan, atau minta aku memperbarahui data untuk bahan laporan.
Setelah membalas semua pesan, aku berseluncur ke dunia maya. Tanpa sadar aku mengetik nama ‘Raafid Assegaf’ di mesin pencari. Beberapa detik kemudian muncul berbagai tautan media sosial dan berita terkait Raf.
Mataku membelalak ketika membaca informasi tentangnya. Bahkan Raf memiliki laman wikipedia sendiri. Pelanggan kanal youtube-nya mencapai sepuluh juta. Ternyata Raf tidak berbohong ketika dia bilang berprofesi sebagai atlet, hanya saja jenis olahraga yang digeluti jauh berbeda dengan bayangan orang tentang seorang atlet. Raf adalah seorang professional gamer yang telah beberapa kali memenangkan turnamen di kancah internasional.
Di antara berita-berita tentang prestasinya itu, terselip satu-dua berita tentang kisah percintaannya dengan Maya Angela—seorang selebgram dan beauty vlogger terkenal. Mereka sempat berpacaran selama tujuh tahun sebelum akhirnya putus dua tahun lalu. Kini Maya dikabarkan menjalin hubungan dengan Daniel Tjandra, putra Rob Tjandra sang raja media yang hartanya tidak akan habis dibagikan tujuh turunan.
Aku ganti menelusuri akun instagram Raf yang penuh foto dirinya. Sebagian besar diambil secara candid saat dia tengah serius bermain game. Pengikut Raf tidak hanya dari kalangan pecinta game, tetapi juga kaum hawa yang tampaknya tak paham seluk beluk permainan yang digeluti Raf. Komentar mereka justru fokus pada penampilan Raf, bukan prestasinya. Bahkan foto yang paling banyak mendapat love justru foto Raf tengah bertelanjang dada di tepi pantai, sama sekali tidak ada hubungannya dengan profesi pemuda itu. Yah, meski harus kuakui, Raf terlihat fotogenik di foto itu. Aku segera menggulir layar begitu menyadari wajahku memanas. Tidak akan pernah aku tertipu pesona palsu lelaki menyebalkan itu.
“Sial!” Aku memaki diri sendiri ketika jempol ini justru tidak sengaja menekan tombol follow.
Buru-buru kubatalkan perintah itu sambil berharap Raf tak menyadarinya. Sayang harapanku itu tidak terkabul. Selang beberapa detik kemudian, Raf mengirimkan pesan melalui fitur direct message.
[Kok diunfollow lagi Lail? Padahal sudah gue follow back lho.]
Mataku melotot ketika membaca pesan darinya. Sial! Bagaimana bisa dia sedang online ketika aku tengah menulusuri akun media sosialnya. Terlihat tanda bahwa Raf sedang mengetik pesan lanjutan.
[Akhirnya penasaran ya sama gue? Gimana, paketnya selamat sampai Yogya?]
Aku melemparkan ponsel ke ujung kasur. Pesan Raf sama sekali tidak kutanggapi. Niat pemuda itu belum dapat ditebak. Kalau aku membalas pesan lalu dia bercerita pada ibunya yang kemudian akan bercerita pada Mama, bisa panjang urusan. Lebih baik aku menjaga jarak darinya. Bahaya kalau Mama sampai berpikir macam-macam tentang aku dan dirinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top