(5)
Kusentuh pipi gembil bayi satu tahun itu. Wajahnya sungguh terlihat menggemaskan. Mungkin dialah alasan Mas Mirza bertahan dengan pernikahannya dan melupakan janjinya kepadaku.
“Hai. Ini pasti yang namanya Arka ya? Ya ampun sudah gede ya sekarang. Lucu banget. Kayaknya Arka mirip dengan Mamanya ya, enggak ada mirip-miripnya sama Mas Mirza,” ucapku dengan nada seriang mungkin.
Kalimat itu sengaja kuucapkan untuk menyindir Mas Mirza dan Jana. Jika waktu itu Mas Mirza berkata jujur, berarti Arka bukanlah darah dagingnya.
Kuperhatikan wajah Jana yang memerah. Perempuan itu tampak gelisah. Dia membuang muka dan pura-pura sibuk mencari sesuatu di dalam tasnya, sedangkan Mas Mirza terlihat salah tingkah.
“Oh ya, Jana. Perkenalkan ini Laila, dulu kami sempat sekantor.” Mas Mirza berusaha mengalihkan pembicaraan.
Aku mengulurkan tangan untuk mengajak wanita itu bersalaman. Dia balas menjabat tanganku dengan enggan. Meski bibirnya tersenyum, dari sorot matanya aku tahu bahwa dia terusik dengan kehadiranku.
“Senang akhirnya bertemu dengan Mbak Jana. Maaf ya waktu pernikahan kalian waktu itu saya enggak bisa datang. Maklum Mas Mirza bagi undangannya mepet banget, saya sudah keburu ada agenda lain.” Kulontarkan sindiran kedua.
Jana mengangguk. "Enggak apa-apa," katanya lirih, lalu kembali mengaduk isi tasnya, seperti sengaja menghindar dari tatapanku.
"Semua orang di kantor pada kaget pas Mas Mirza tiba-tiba nyebar undangan. Soalnya Mas Mirza enggak pernah kelihatan punya pacar, tiba-tiba mau nikah," lanjutku.
Mas Mirza menatapku, seolah memohon pengertianku. Entah apa yang sedang dipikirkannya sekarang. Menyesal? Malu? Marah? Terserahlah, aku tidak peduli. Untuk apa aku peduli pada orang yang tidak memedulikanku lagi?
Sebenarnya, yang membuatku sakit hati bukanlah keputusannya untuk bertahan dengan perempuan itu. Toh, aku dulu tidak mengiakan permintaannya, pun tidak menjanjikan apa-apa kepadanya. Yang membuatku terluka justru sikapnya yang mengabaikanku, seolah tidak ada yang terjadi di antara kami, seolah sore itu dia tidak menemuiku dan memohon agar aku mau menunggunya.
Raf yang berdiri di sebelahku berdeham, membuatku kembali teringat niatku sebenarnya menyapa Mas Mirza. Aku buru-buru menoleh dan tersenyum mesra kepada Raf.
“Oh, iya. Perkenalkan Mas, ini Raf," kataku. "Dia pacarku."
Mungkin hanya di pikiranku saja, tetapi sempat kulihat luka di mata Mas Mirza.
“Mirza." Mas Mirza menjabat tangan Raf.
Setelah berbasa-basi sebentar dengan Mas Mirza, Raf menoleh kepadaku dan berkata, “Aku ke kasir dulu ya, Sayang?”
Lelaki itu menelengkan kepalanya ke kanan, seperti menunggu respons dariku. Tatap matanya terlihat begitu lembut, membuatku terpaku dan kehilangan kata-kata, hingga lupa dengan rencanaku memintanya berpura-pura jadi pacarku.
Andai saja Arka tidak merengek, mungkin aku masih terus mematung di tempat seperti orang bodoh.
Mas Mirza langsung sibuk menenangkan Arka. Tidak kulihat lagi ekspresi terluka di wajahnya. Atau memang sebenarnya tidak pernah ada? Apakah yang tadi terjadi hanya bayanganku saja, sebuah upaya untuk menghibur diriku sendiri. Mungkin kenyataannya, Mas Mirza sama sekali tidak peduli siapa Raf, seperti selama ini dia tidak lagi peduli kepadaku. Bukankah dia sudah bahagia dengan keluarga kecilnya itu? Entahlah, aku tidak lagi yakin dengan persepsiku.
"Kamu masih mau ngobrol-ngobrol di sini?" tanya Raf.
Aku menatapnya dengan bingung. Tadi, aku berniat untuk membuat Mas Mirza cemburu dengan memperkenalkan Raf kepadanya. Namun sekarang, justru dadaku yang terasa sesak. Untuk sejenak, aku tidak tahu apa yang ingin aku lakukan.
"Lail? Aku ke kasir dulu ya?" ulang Raf.
Aku tidak mungkin melanjutkan mengobrol dengan Mas Mirza. Berbicara dengannya lebih lama lagi justru akan meruntuhkan pertahananku. Bukannya membuat Mas Mirza menyesali keputusannya, aku justru menambah luka di hatiku. Harusnya tadi aku tidak menjalankan rencana bodoh ini. Harusnya aku pura-pura tidak melihat Mas Mirza dan keluarganya. Harusnya aku memaksa Raf untuk pindah restoran agar tidak perlu terjebak dalam situasi ini.
“Bareng aja, Raf,” jawabku dengan sedikit tergagap, seperti baru terbangun dari sebuah mimpi yang sangat absurd.
Buru-buru kulangkahkan kaki ke arah kasir. Namun, sialnya, tali tas yang kukenakan tersangkut ke pojokan meja, membuatku tersandung dan nyaris terjatuh. Jika saja Raf tidak sigap menangkap lenganku, aku mungkin sudah terjerembab dengan memalukan, lalu menjadi bahan tertawaan.
"Lail, are you okay?" tanya Mas Mirza.
Aku menoleh kepada Mas Mirza yang sedang berdiri sambil menggendong Arka. Wajahnya menyiratkan kekhawatiran.
Dadaku semakin sesak. Aku memang membencinya, tetapi aku masih belum bisa berhenti merindukannya. Ekspresinya saat ini membuatku teringat tahun-tahun yang kami lewati bersama. Jika melihatnya lebih lama lagi, aku khawatir tangisku akan meledak.
"She is okay. She is with me. Kami pamit dulu, ya." Raf menjawab mewakiliku. Dia kembali menggenggam tanganku, lalu menarikku menjauh.
Aku mengikuti Raf tanpa menoleh sedikit pun kepada Mas Mirza. Saat kami sedang mengantri di depan kasir, Raf mendekatkan wajahnya ke telingaku.
"Lo memang seceroboh ini atau tadi saking groginya ketemu mantan pacar lo itu?" bisiknya sambil tersenyum jahil.
"Dia bukan mantan pacarku," desisku. Aku berusaha mengurai tautan jemarinya, tetapi dia justru mempererat genggaman.
"Dia masih ngelihatin kita." Raf mengerling ke arah papan akrilik yang terletak di depan mesin kasir.
Aku dapat melihat pantulan bayangan Mas Mirza di papan itu. Benar yang dikatakan Raf, Mas Mirza masih melihat ke arah kami. Dengan terpaksa, kubiarkan Raf terus menggenggam tanganku.
Raf menyelesaikan pembayaran dengan cepat. Dia mengajakku keluar restoran melalui pintu samping supaya tidak perlu melewati meja Mas Mirza lagi.
Begitu sampai di halaman parkir, aku langsung melepaskan genggaman tangan Raf. Kutarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya dengan keras.
"Thanks, Raf," ucapku. "Hati-hati di jalan."
"Jangan terima kasih dulu, titipan umma kan belum gue serahin ke lo."
"Oh, itu. Nanti aku japri alamat kosanku. Kamu kirim pakai kurir aja."
"Kita ambil sekarang aja. Nanti, gue sekalian antar lo pulang."
"Aku pulang sendiri aja, Raf."
“Kalau mau pura-pura pacaran, totalitas dong. Kalau kita pulang sendiri-sendiri, mantan pacar lo bisa curiga.”
“Dia bukan mantan pacarku!” kelitku untuk kesekian kalinya.
“Ya, ya, ya. Terserah lo,” timpal Raf dengan cuek. "Mau dia mantan lo apa bukan, enggak ada urusannya sama gue. Tapi, gue serius mau nganterin lo pulang. Buat mastiin di mana lo tinggal, biar kalau tiba giliran gue nagih utang, lo enggak bisa kabur seenaknya."
Belum sempat aku menanggapinya, seseorang memanggil namaku. Kulihat Mas Mirza berlari mengejar dan memintaku menunggu.
"Gantungan kuncimu jatuh. Sepertinya tadi copot waktu tasmu nyangkut di meja," teriaknya.
Aku memeriksa retsleting tasku. Tidak kutemukan gantungan kunci berbentuk kucing yang biasanya menggantung di sana.
Raf memberikan isyarat agar aku tetap diam di tempat. Sebagai gantinya, dialah yang menghampiri Mas Mirza dan mengambilkan gantungan kunci itu. Mereka terlihat mengobrol, tapi aku tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan.
"Kalian ngomongin apa?" tanyaku ketika Raf telah kembali ke sisiku.
"Gue cuma bilang terima kasih doang," jawab Raf santai.
Aku menatapnya dengan curiga. Tidak percaya begitu saja pada perkataannya. "Bilang terima kasihnya kok lama bener?"
"Terserah kalau enggak percaya. Ngomong-ngomong, Mirza masih ngeliatin kifa tuh. Jangan galak-galak, nanti dia curiga."
Aku menoleh ke arah Mas Mirza yang masih berdiri di dekat pintu masuk. Entah kenapa dia tidak langsung masuk ke dalam restoran.
"Ayo pulang." Lagi-lagi, Raf meraih tanganku. "Kalau lo enggak mau mantan pacar lo itu curiga, nurut aja sama gue."
Sekali lagi, aku melirik ke arah Mas Mirza. Kami sempat bersitatap sebentar, tetapi aku segera berbalik badan dan menarik Raf menjauh. Kali ini, aku yang berinisiatif menggenggam tangannya lebih dulu. Raf benar. Jika ingin totalitas, aku harus memainkan sandiwara ini sampai selesai.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top