(38)

Siang ini udara Jakarta panas membara. Pendingin ruangan yang menyala di sudut-sudut ruang tunggu stasiun seakan tidak berfungsi maksimal. Mungkin karena ruang tunggu ramai diisi orang, baik para calon penumpang maupun rombongan pengantar. Mungkin juga karena suara sember pengeras suara yang menghentak-hentak setiap beberapa menit sekali, membuat udara terasa lebih pengap daripada yang seharusnya.

Umma merengkuhku ke dalam pelukannya. Seerat yang bisa dia lakukan tanpa membuat perut buncitku tergencet di tengah. Dapat kurasakan kasih sayang kedua mertuaku bertambah berkali-kali lipat semenjak mereka tahu aku tengah hamil. Setiap bulan, Umma dan Abah rutin mengunjungi kami di Jakarta. Kata Umma, lebih baik mereka yang datang daripada aku harus kecapekan menempuh perjalanan Jakarta-Bandung.

Pertemuan kali ini adalah pertemuan terakhir kami sebelum aku bertolak ke Yogyakarta. Minggu depan, aku sudah mulai menjalani cuti melahirkan, dan aku berencana melahirkan di kampung halamanku. Raf dan aku sepakat, melahirkan dengan didampingi Mama adalah pilihan terbaik bagi kami.

"Selalu kabari Umma ya, Lail," pesan Umma sambil mengurai pelukannya. "Hati-hati di jalan. Salam buat mamamu kalau sudah sampai Yogya minggu depan, ya. Umma pulang dulu ke Bandung, ya  Nanti, kalau sudah dekat HPL, insyaAllah Umma akan nyusul ke Yogya."

Aku tersenyum penuh haru saat mendengar janji yang Umma ucapkan. "Iya, Umma. Umma juga hati-hati di jalan."

Umma kembali memelukku. Kali ini, lebih singkat. Dia kemudian mengelus perutku  sambil membisikkan doa-doa bagi calon cucunya. Suara, sorot mata, dan sentuhan Umma menggambarkan ketulusan. Rasa hangat perlahan merayap hatiku, mengisi dadaku penuh-penuh dengan rasa bahagia yang sulit dijelaskan. Aku benar-benar beruntung memiliki mertua yang sangat menyayangiku. Menikah dengan Raf mungkin memanglah keputusan terbaik yang kubuat sepanjang hidupku.

"Jaga Lail baik-baik, Raf. Jangan bikin dia kesal. Ibu hamil harus selalu dibuat bahagia." Umma beralih pada Raf yang sedang mengantri jatah dipeluk.

Gerutuan Raf terdengar. Dia memprotes karena Umma memperlakukannya seperti anak tiri dan lebih menyayangiku. Mau tidak mau aku tertawa geli karenanya.

"Baik-baik, ya, Lail." Abah memelukku sekilas. Meski gestur Abah masih saja terasa canggung, tapi dapat kurasakan sorot mata penuh perhatiannya. Abah memang tipe pria yang tidak bisa mengungkapkan perasaanny, makanya tidak jarang dia akan berselisih paham dengan Raf.

"Abah juga jaga kesehatan," ucapku. Dapat kulihat mata Abah berkaca-kaca saat aku menatapnya. Umma memang beberapa kali bercerita bahwa Abah sering diam-diam menangis sambil melihat foto-foto masa kecil Raf. Kata Umma, Abah masih tidak menyangka Raf dapat menjadi sosok pria yang dapat diandalkan semenjak kehadiranku.

Setelah mencium kedua pipi Umma, Raf mengulurkan tangan untuk menyalami Abah. Tidak ada satu kata pun yang terucap dari bibir kedua lelaki itu. Abah hanya menepuk pelan bahu Raf, lalu mengajak Umma menuju peron. Petugas announcer memang telah memanggil para calon penumpang kereta Argo Parahyangan untuk segera bersiap di peron.

Aku melambaikan tangan sampai sosok kedua mertuaku menghilang di tengah kerumunan. Melihat Abah dan Umma yang bergandengan tangan begitu mesra membuatku terharu, sampai-sampai tanpa sadar air mataku menitik di pipi. Ah, hormon hamil membuatku jadi jauh lebih cengeng.

"Sudah. Nanti juga ketemu lagi. Nggak usah pake nangis." Raf meledekku sambil mengacak-acak rambutku.

"Siapa yang nangis? Ini aku lagi kelilipan," elakku sambil menyambar lengan Raf sebagai pegangan. Dia membiarkanku berjalan dengan setengah menyandarkan tubuh kepadanya. Sejak kehamilanku memasuki trimester ketiga, berat badanku meningkat drastis. Berjalan kaki menjadi aktivitas yang teramat berat dan melelahkan bagiku karena harus membawa beban tambahan.

"Raf," ucapku ketika mobil kami telah kembali membelah jalanan Jakarta. Bayangan kedua mertuaku yang bergandengan kembali muncul di ingatan. "Bisa nggak ya, kita mesra terus kayak Umma dan Abah?"

Raf melirik sekilas kepadaku, terlihat heran dengan pertanyaanku yang tiba-tiba. "InsyaAllah bisa, Lail," jawabnya beberapa saat kemudian.

Aku memberengut. Di telingaku, jawaban Raf seperti sebuah pertanda keraguan. Apa dia tidak yakin kami dapat terus bersama hingga usia tua?

"Kok, cuma 'InsyaAllah', bukan 'pasti' atau 'iya'? Kamu nggak yakin kita bisa bareng-bareng terus?" protesku. 

Raf mengesah, mungkin dia sedang memupuk rasa sabar supaya tetap dapat menanggapiku dengan kepala dingin. "Yakin, Lail. Tapi, kan, tetap saja semuanya harus dibalikin ke Allah. Aku sama kamu nggak tahu gimana takdir kita ke depannya. Yang bisa kita lakukan ya cuma berdoa dan berusaha sebaik mungkin. Selebihnya cuma bisa pasrahkan aja, kan, sama Allah?"

Aku berhenti mendebat. Raf benar. Apa pun bisa terjadi di masa depan. Bisa saja salah satu dari kami tidak berusia panjang, atau akan tiba suatu masa di mana kami berdua tidak bisa berkompromi lagi. Seperti kata pepatah, manusia hanya bisa berencana, sisanya Tuhan yang akan menentukan.

Di tengah lamunanku, selarik kegelisahan yang kerap menghantuiku beberapa hari terakhir kembali menyeruak. Seiriing dengan usia kandungan yang makin tua dan hari perkiraan lahir yang makin dekat, aku makin sering membayangkan skenario terburuk yang dapat terjadi saat persalinan nanti.

"Raf." Aku membuang napas panjang karena belum juga menemukan kata-kata yang tepat untuk disampaikan. Namun, aku perlu membagi keresahanku ini supaya tidak terus-terusan menghantui. Memendamnya sendiri hanya akan membuatku semakin stres.

"Hmmm," gumam Raf. Jalanan yang agak lengang memberi celah kepadanya untuk menambah kecepatan.

"Kalau aku mati duluan, kamu boleh nikah lagi, kok. " Akhirnya kumuntahkan juga pemikiran yang telah sering berseliweran di kepalaku selama ini. "Asal bukan sama Thea," tambahku cepat-cepat.

Mobil berguncang pelan saat Raf tiba-tiba mengerem. Hampir saja kami menabrak mobil di depan kami yang tengah berhenti di lampu merah.

"Jangan pernah ngomong kayak gitu, Lail!" desis Raf tegas. Dia menoleh kepadaku. Tatapan matanya begitu tajam, mengisyaratkan bahwa dia serius dengan permintaannya.

"Tapi, kan, kamu sendiri yang bilang kalau kita nggak akan pernah tahu apa yang bakal terjadi."

"I know, Lail." Ra meraih tanganku dan mengusapnya lembut. "Tapi, bukan berarti kita harus membicarakan hal sesuram itu, kan? Gue nggak mau membayangkan hal-hal buruk yang belum tentu terjadi. Mending, kita fokus pada hal-hal baik yang kita punya."

Ketika lampu lalu lintas kembali hijau, Raf melepaskan genggaman tangannya dan kembali fokus menyetir.

Sepanjang sisa perjalanan pulang, aku tidak melepaskan tatapan dari wajah Raf. Rasa-rasanya, aku tidak mampu membayangkan dapat jatuh cinta kepada laki-laki selain dia. Raf memang tidak sempurna. Aku pun juga tidak sempurna. Namun, saat kami berdua bersama, segalanya terasa sempurna dan lengkap. Asalkan Raf ada di sisiku, aku merasa dapat melewati masalah sebesar apa pun.

Raf benar. Tidak ada gunanya menghabiskan waktu memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk. Lebih baik kami mengusahakan yang terbaik bagi satu sama lain dan berdoa supaya hal-hal baik yang kami punya akan terus kami miliki.

Halo.
Terima kasih ya sudah mengikuti cerita ini. Bagi yang sempat membaca versi sebelumnya, pasti menyadari banyak yang berubah di versi ini.

Saat menulis ulang kisah Raf dan Lail ini, saya memang meniatkannya untuk menjadi sebuah cerita yang lebih ringan, baik dari segi konflik maupun penyelesaian.

Akhirnya bulan Januari 2022 ini, cerita ini bisa tamat. Ke depannya, saya mungkin akan sedikit lebih santai dalam menulis. Jadi, sampai jumpa kapan-kapan lagi, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top