(34)

Lagi-lagi aku terbangun karena merasakan hawa dingin merambat di dahiku. Hal pertama yang kulihat adalah raut cemas yang membayang di wajah Raf. Dia masih menggunakan kain sarung, tampaknya baru kembali dari mushola di basement unit apartemen kami.

"Lo sudah nggak demam lagi," kata Raf. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman yang entah kenapa terlihat sendu. "Bangun dulu. Lo belum salat Asar kan?"

Aku menumpukan separuh berat badanku ke tangan, lalu mendorong tubuhku hingga ke posisi duduk. Seperti kemarin, seharian ini Raf hanya menungguiku. Tentu saja aku tersentuh dengan sikapnya yang penuh perhatian itu, tapi aku masih merasa ada yang mengganjal di hati. Apakah hubungan kami tidak bisa kembali seperti dulu lagi?

"Lo mau makan malam apa? Biar gue pesenin."

"Terserah kamu. Aku ngikut kamu aja," jawabku sambil mengambil gelas di atas nakas.

Raf memperhatikanku yang sedang minum, seakan bersiaga jika sewaktu-waktu aku batuk atau muntah seperti kemarin. Namun hari ini, kondisiku memang sudah membaik. Badanku pun terasa lebih bertenaga. Aku berhasil menandaskan isi gelas tanpa merasa mual.

"Lo perlu bantuan ke kamar mandi?" tawar Raf sambil mengambil gelas yang telah kosong dari tanganku.

"Nggak usah. Aku sudah sembuh, kok. Besok, kayaknya aku mau masuk kantor."

"Yakin?" Hanya itu yang Raf ucapkan, tapi tatap matanya menyiratkan keberatan.

"Masih banyak kerjaan yang harus aku beresin di kantor, Raf. Kamu juga nggak mungkin terus-terusan nungguin aku di rumah, kan? Bukannya harusnya minggu ini kamu sudah mulai latihan lagi?"

"Gue nggak ngelarang, kok, Lail. Gue cuma nggak mau lo memaksakan diri."

"I know, Raf. Thank you for your concern." Tanpa kusadari, nada bicaraku terdengar sinis. Aku pun memilih tidak lanjut berbicara, khawatir kata-kata yang kuucapkan justru akan memperkeruh suasana.

Aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Ketika aku kembali ke kamar, sosok Raf telah menghilang. Walaupun saat ini kami telah melakukan gencatan senjata, masih ada rasa canggung yang membuat kami menjaga jarak dari satu sama lain. Raf masih tetap tidur di kamar tamu, sedangkan aku pun masih enggan memintanya kembali tidur bersamaku di kamar utama. Entah sampai kapan kami akan bersikap seperti ini. Aku sendiri tidak yakin.

-AmelA-

Mataku terpejam kala air hangat mengguyur wajah. Penat yang kurasakan karena dua hari terakhir hanya berbaring di kamar perlahan luruh, ikut larut dalam derai air yang jatuh ke lantai kamar mandi. Seiring dengan pikiran yang makin jernih, kabut prasangka yang menggelayut di pelupuk mataku berangsur pergi.

Perasaan marah, cemburu, dan curiga yang kemarin membutakanku kini terasa begitu remeh. Ketulusan yang ditunjukkan Raf selama aku sakit berhasil mengikis tembok yang kubangun untuknya. Dia dengan telaten dan sabar merawat dan menemaniku meski aku lebih banyak mengabaikannya.

Begitu aku keluar dari kamar mandi, kudapati Raf tengah berkutat di dapur. Helai-helai rambut jatuh menutupi sisi wajahnya. Raf menyisir rambutnya dengan tangan, lalu memperbaiki gelungan rambutnya.

Beberapa detik kemudian, Raf menoleh. Selarik senyum terbit di bibirnya kala dia melihatku. "Lo yakin hari ini mau ngantor?" tanyanya sembari meletakkan teflon ke atas kompor.

Aku mengangguk pelan. Karena menolak ke dokter, tentu saja aku tidak memiliki surat dokter sebagai syarat mengajukan cuti sakit. Dua hari kemarin, aku menggunakan jatah cuti tahunan. Rasanya sayang untuk menambah cuti hanya untuk bermalas-malasan di rumah.

"Aku siap-siap dulu, Raf," ucapku sebelum menghilang ke dalam kamar. Sebelum aku menutup pintu, sempat terdengar suara desisan yang cukup keras dari arah kompor yang kemudian disusul aroma mentega. Tampaknya Raf sedang memasak telur orak-arik andalannya. Mau tidak mau, aku menyimpul senyum karena teringat saat-saat kami masih baru menikah. Padahal, semua itu baru terjadi kurang dari enam bulan lalu. Akan tetapi, kenapa rasanya sudah begitu lama berlalu?

Alih-alih merias wajah, aku justru melamun di depan meja rias. Tingkah laku Raf yang begitu manis dan hangat membuatku takut. Aku takut jatuh cinta lebih dalam lagi kepadanya. Kejadian kemarin menyadarkanku bahwa jatuh cinta selalu membuatku lebih rentan terluka. Saat membayangkan akan kehilangan Raf, hatiku sakit bukan main. Aku benar-benar takut suatu saat aku menjadi terlalu bergantung pada Raf, sampai-sampai tidak bisa bangkit jika dia memilih meninggalkanku.

"Kenapa? Masih pusing?" Entah sejak kapan, Raf telah berdiri di pintu kamar. Matanya memindaiku dengan sorot khawatir.

"Nggak, kok." Aku mengambil tabir surya dan mulai menotolkannya ke wajah.

Raf membelai rambutku. "Rambut lo masih basah." Dia kemudian meraih pengering rambut dan sisir dari atas meja rias. "Biar gue bantu keringin."

Dia mulai menyisir rambutku, membuatku berjengit dan merebut sisir dari tangannya. "Aku bisa sendiri, Raf." Aku berusaha berbicara normal, tapi suara yang keluar justru terdengar ketus.

Dapat kulihat ekspresi kaget Raf, tapi dia langsung menyembunyikannya dengan seringai lebar yang telah menjadi ciri khasnya. "Sorry. Gue pikir biar lebih cepat, sudah jam segini, takutnya lo telat."

"Maaf," gumamku dengan suara yang teramat lirih. Aku tidak yakin Raf mampu mendengarnya karena dia telah berjalan keluar kamar.

Aku menatap balik ke sepasang mata sayu dalam cermin. Heran. Kenapa aku jadi serapuh ini? Aku benar-benar tidak memahami diriku sendiri. Dalam lubuk hati yang terdalam, aku ingin hubunganku dengan Raf kembali seperti semula. Aku sudah memaafkan Raf, tapi ternyata semua itu belum cukup. Hatiku telanjur retak dan aku tidak bisa memperbaikinya.

Rasa-rasanya, aku ingin kembali berdiri di bawah shower dan membiarkan air hangat kembali membilas perasaan resahku sampai habis tak tersisa.

--AmelA--

Raf Assegaf:
Jangan lupa bekalnya dimakan, Lail.

Pesan dari Raf baru saja masuk. Meski aku belum membukanya, isi pesannya dapat kubaca dari notifikasi yang muncul di layar ponsel. Pagi tadi, Raf memang menyiapkan bekal untukku. Dua porsi sekaligus, untuk sarapan dan makan siang. Katanya, dia khawatir aku terlalu malas untuk membeli makanan di kantin.

"Cie. So sweet banget sih suami kamu, Lail."

Celetukan Farah membuatku menoleh. Dia berdiri sambil sedikit membungkukkan badan di belakang kursiku. Tampaknya dia barusan ikut mengintip isi pesanku.

"Bukannya pacar kamu juga sering ngingetin makan?" sindirku tanpa berusaha menyembunyikan rasa kesal. Meski Farah adalah teman dekatku, tingkahnya barusan jelas-jelas pelanggaran privasi.

"Kalau masih pacaran mah biasa, mesti perhatian biar nggak diputusin. Tapi, kalau sudah nikah, masih mesra kayak gitu, itu sesuatu banget, Lail. Coba deh tanya sama cewek-cewek yang sudah nikah, kebanyakan pasti pada ngeluh suaminnya nggak seromantis dulu lagi " Farah terkekeh sambil mengempaskan bokong ke kursi di sebelahku.

"Sok tahu kamu, Far!" ketusku dengan bersungut-sungut. Aku meletakkan kembali ponsel ke atas meja tanpa membalas pesan dari Raf. Selain karena sedang tidak mood, aku tidak ingin Farah lebih gencar meledekku.

"Walau masih belum nikah, aku kan sering dengar curhatan teman-teman yang sudah nikah, Lail. Jadi, kesimpulanku itu berdasarkan hasil survei ke narasumber yang credible."

Aku mengabaikan ocehan Farah dan lanjut mengetik. Selama beberapa saat, hanya terdengar suara ketukan jari-jariku dengan tuts keyboard. Farah pun berhenti menggangguku dan mulai menyibukkan dirinya dengan pekerjaan. Kupikir siang itu, aku dapat lanjut bekerja dengan tenang. Ternyata aku salah.

Ponselku kembali berdenting. Aku melirik ke arah layar ponsel yang berkedip menyala. Sebuah nomor asing mengirimkan pesan yang cukup panjang, jadi hanya dua baris pertama saja yang dapat ditampilkan dalam pop-up notifikasi. Namun dua baris itu saja sudah cukup mengacaukan hatiku.

+62857-8888-xxxx:
Lail. Ini Thea.
Bisa kita ketemu?


Halo, apa kabar?
Maaf ga saya setahun menghilang, hehehe.
Semoga saja setelah ini bisa kembali update rutin lagi. Target saya sih cerita ini bisa tamat di bulan Januari ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top