(30)
Aku menyusun ulang isi koper Raf. Kali ini, aku cukup puas dengan hasilnya. Semua tertata rapi dan sudah kupastikan tidak ada barang bawaan yang tertinggal. Entah kenapa, aku suka sekali dengan kegiatan menata pakaian. Seperti ada kepuasaan tersendiri saat berhasil menyusun pakaian-pakaian itu dengan rapi ke dalam ruang-ruang sempit seperti laci, lemari, dan koper.
"Nanti, juga bakal gue bongkar lagi, Lail. Nggak usah serius begitu natanya," celetuk Raf yang sejak tadi pasrah saja aku membongkar kembali barang-barang yang dia jejalkan ke koper.
"Biar bajunya nggak kusut, jadi bisa langsung kamu pakai. Dan ini sudah kutata sesuai kebutuhan. Sudah ku-matching-in juga warnanya. Kamu tinggal ambil lapisan paling atas kalau mau ganti baju, enggak perlu bongkar-bongkar buat cari celana atau baju yang cocok warnanya," terangku panjang lebar. Aku memeriksa isi koper sekali lagi. "Ini sudah masuk semua, kan? Nggak ada lagi yang ketinggalan, kan?"
"Ada," jawab Raf sembari menutup koper agar aku tidak membongkarnya lagi.
"Apa?"
Rag menatapku dengan raut serius. "Elo, Lail. Andai aja gue bisa bawa lo ke Oslo."
Sebenarnya, Raf sudah menawarkanku ikut, supaya kami dapat berbulan madu kedua di sela-sela jadwal pertandingannya. Namun sayangnya, akhir tahun begini, kerjaanku sedang banyak-banyaknya. Tidak mungkin aku mengajukan cuti hanya untuk alasan remeh seperti itu.
"Kapan-kapan aja kita jalan berdua, tanpa embel-embel lagi kerja, biar bebas. Kalau aku ikut sekarang, palingan aku cuma jadi kacang aja nungguin jadwal kamu yang padat itu."
Raf tampak kecewa. "Kayaknya cuma gue ya yang takut kangen sama lo. Lo sendiri kayaknya nggak masalah gue tinggal pergi jauh."
Aku membalas tatapannya, berusaha untuk tidak menunjukkan bahwa aku juga mengkhawatirkan hal yang sama. "Jangan lebay, ah! Kamu kan bisa telepon atau video call. Lagian kamu kan sudah sering nginep di agensi kalau kemaleman."
"Tapi, kan, jarak agensi ke apartemen cuma lima belas kiloan, Lail. Gue bisa pulang kapan aja kalau gue kangen." Raf menggerutu. "Kalau di Oslo, nggak mungkin kan gue kabur ke Jakarta. Perjalanannya aja makan waktu dua hari."
"Lebay!" Aku terkekeh. "Cuma dua minggu doang, kan? Habis turnamen, jadwal latihan kamu kan nggak bakal sepadat kemarin-kemarin. Kita bakal punya banyak kesempatan buat bayar waktu yang hilang beberapa bulan terakhir ini."
Bibir Raf masih memberengut. Terkadang, dia memang bisa menjadi sangat kekanak-kanakan seperti ini.
"Lo beneran nggak bisa nganter ke bandara besok pagi?" tanyanya masih dengan nada merajuk. Rupanya, dia masih kesal karena aku tidak dapat mengantarnya.
Aku menyelipkan anak-anak rambut Raf yang lolos dari kuciran ke belakang telinga, lalu membelai sisi wajahnya dengan lembut. "I am sorry, Raf. Besok beneran ada rapat yang nggak bisa kutinggal, soalnya aku yang nyiapin semua bahannya."
"Padahal ini bukan pertama kalinya kita pisah ya. Gue sudah sering nginep di agensi. Lo juga beberapa kali mesti dinas ke luar kota. Tapi, kok rasanya berat banget ninggalin lo." Raf bergumam. Sorot matanya terlihat sendu.
"Itu kamu aja yang lebay." Aku berusaha menghiburnya. "Wong aku nggak bakal ke mana-mana juga, kok. Nanti aku usahakan jemput kamu ke bandara deh, dan kita bisa pulang ke apartemen sama-sama."
Sebenarnya, aku pun merasa tidak rela Raf pergi. Entahlah, mungkin karena kepergian Raf kali ini sangatlah jauh. Selama dua minggu ke depan, kami akan terpisahkan jarak ribuan kilometer dan hidup di dua zona waktu yang berbeda. Hal itu membuatku cemas. Seperti ada kerikil yang mengganjal di dadaku setiap kali memikirkan Raf besok akan pergi. Namun, tidak mungkin juga aku melarangnya.
Aku berusaha mengusir bayangan-bayangan buruk yang mengusikku. Tidak ingin menengelamkan diri dalam rasa cemas yang tidak beralasan. Aku bertumpu ke ujung-ujung jari kakiku, berusaha meraih wajah Raf yang menyiratkan rasa khawatir. Biasanya, Raf yang akan mengambil langkah pertama. Namun kali ini, aku lebih dulu menciumnya, berusaha mengusir firasat-firasat buruk yang sejak kemarin berkelebat di kepalaku.
Raf menangkup wajahku dengan kedua tangannya dan balas menciumku. Ribuan kupu-kupu terasa beterbangan di dalam perutku. Tubuhku terasa begitu ringan saat Raf berbisik di telingaku.
"You are everything for me, Lail. Gue nggak akan pernah ngelepasin lo."
Kata-kata yang Raf ucapkan berhasil menghangatkan hatiku. Rasanya begitu lega ketika mengetahui ada seseorang yang begitu mencintaimu seperti ini.
=-=-=-AmelA-=-=-=
Raf Assegaf:
Wish me luck, Lail.
Biar kamu bisa beli kitchen set
yang sudah kamu incar dari dulu itu.
Aku tertawa saat membaca pesan Raf. Kuketik balasannya dengan cepat. Tentu saja aku akan mendoakan Raf. Bukan demi kitchen set yang kerap kujadikan bahan bercanda, tetapi karena aku memang selalu menginginkan yang terbaik baginya.
Siang ini, Raf akan bertanding untuk ke sepuluh kalinya. Sebelum ini, Raf dan timnya telah menang delapan kali dan kalah dua kali. Saat menjelaskan aturan turnamen padaku tempo hari, Raf pernah bilang bahwa tim yang pertama kali meraih kemenangan sebanyak sepuluh kali akan keluar sebagai juara umum.
Meski tak mengerti tentang game, aku memutar siaran streaming pertandingan Raf di ponsel. Sebenarnya aku tak benar-benar menyimak, hanya mendengarkan sang caster alias pembawa acara mengomentari jalannya pertandingan. Sengaja kupasang ponsel pada mode loudspeaker karena aku mendengarkannya sambil membereskan barang-barang yang Raf tumpuk di kamar sebelah.
Ternyata kerapian yang selama ini Raf tunjukkan hanya kamuflase semata. Saat iseng membuka lemari kecil di kamar sebelah, kutemukan barang-barang Raf berjejalan memenuhi lemari. Aku berniat merapikannya hari ini. Mungkin beberapa barang yang tidak terpakai bisa disumbangkan supaya tak memenuhi apartemen.
"Yeah! Rassegaf made a good move in running away and now he is preparing for the ultimate skill while his friends stun the enemy. He is really a good strategist ini this team."
Aku tersenyum ketika mendengar sang pembawa acara memuji permainan Raf. Sambil memilah barang-barang yang baru kukeluarkan dari lemari, aku terus menyimak siaran pertandingan. Tampaknya, performa Raf hari ini benar-benar bagus. Sang pembawa acara berulang kali menyebutkan nama alias Raf dan memuji setiap gerakannya.
"Oh my God! Oh my God! It's really happening. I think this game will end anytime soon. Yes. Congratulations to our Indonesian friends who got their ninth victory. They only need one more victory to win the tournament."
Meski kali ini sang pembawa acara mengumumkan kemenangan tim Raf, senyum di bibirku tertahan. Di tanganku kini ada sebuah pigura yang kutemukan di antara tumpukan barang-barang Raf. Sebuah gambar keping salju yang sama persis dengan liontin Thea terbingkai sempurna di dalamnya. Liontin yang sempat mencuri perhatianku saat Raf menunjukkan foto gadis itu. Kini aku ingat di mana melihatnya. Pajangan keping salju itu menempel di dinding apartemen ketika aku pertama kali berkunjung ke sini.
Tanganku bergetar ketika menyentuh kotak seukuran kertas folio yang tersimpan bersama pigura itu. Ada huruf T tertulis samar di salah satu sudut kotak. Aku berharap intuisiku salah. Semoga isinya hanya barang-barang lama yang tidak terlalu penting.
Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian sebelum membuka penutup kotak itu. Apakah sebaiknya kusimpan saja kotak ini dan tidak perlu membukanya? Aku mulai ragu, tidak siap menghadapi kenyataan yang harus kuhadapi.
Kuusap penutup kotak. Haruskah kusimpan lagi kotak ini ke dalam lemari? Namun, aku tidak bisa melupakan apa yang telah kulihat. Rasa penasaran akan terus menghantuiku, dan mungkin efeknya akan lebih buruk daripada jika aku memeriksa isi kotak ini. Bisa saja tidak ada benda penting di dalam kotak ini. Bukankah otakku memang kerap mengelabuiku dengan rasa cemas yang tidak beralasan?
Akhirnya, kumantapkan diri. Dengan gerakan perlahan, aku mengangkat penutup kotak. Suara pembawa acara yang masih dengan hebohnya memberi komentar perlahan menjauh. Seluruh indraku kini hanya berfokus pada kotak di pangkuanku.
Hatiku serasa retak ketika kulihat foto-foto Raf dan Thea. Berdua saja. Kukeluarkan foto itu satu persatu. Kini aku tahu apa yang mengganjal pikiranku ketika Raf bercerita tentang Thea. Intuisiku benar. Suamiku berbohong. Dia dan Thea jelas bukan sekadar teman biasa. Ada sejarah lain di masa lalu mereka.
Seorang teman tidak mungkin berpelukan semesra itu kan? Juga tidak mungkin berciuman di pinggir pantai seperti dalam foto yang kupegang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top