(28)
"Oh iya, Raf. Tadi, ada telepon dari Tia atau Thea gitu. Katanya jaket kamu ketinggalan di kamar hotelnya semalam."
--AmelA--
Bibir Raf terbuka, tetapi tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Aku menatapnya dengan sorot terluka. Tidak kupedulikan lagi air mata yang mulai mengalir di pipiku.
Ini memang bukan pertama kalinya aku merasa patah hati. Namun, tetap saja aku tidak tahu cara mengatasinya. Kepalaku serasa berkabut, penuh sesak dengan segala prasangka yang semakin bergerak liar.
"Gue bisa jelasin, Lail. Lo jangan mikir macam-macam dulu," pinta Raf dengan nada bicara yang jauh lebih lembut dari sebelumnya. Dia berusaha menyentuh lengan atasku, tetapi aku segera bergerak mundur untuk menghindarinya.
"Jelasin apa, Raf?" tanyaku dengan suara mendesis. "Jelasin siapa cewek itu? Jelasin kenapa jaket kamu bisa ketinggalan di kamar dia, atau jelasin kenapa kamu nggak bilang sama dia kalau sudah punya istri?"
" Ha? Maksud lo gimana?" Kening Raf berkerut. Dia menatapku heran. "Semua teman gue tahu kok kalau kita sudah nikah. Tempo hari kan lo juga sudah gue kenalin ke teman-teman gue."
"Nggak usah ngeles, Raf! Tadi, Thea kaget waktu aku yang angkat telepon. Dia bilang, kamu nggak pernah cerita kalau sudah nikah. Kenapa kamu sengaja nyembunyiin status pernikahan kita?"
Raf termenung. Dia tampak memikirkan baik-baik ucapanku.
"Ya, ampun. Lo lebih percaya Thea daripada suami sendiri?" Raf justru terkekeh. Aku menepis tangannya yang hendak menyentuh pucuk kepalaku. "Thea itu emang iseng anaknya, Lail. Itu dia sengaja ngerjain lo ... atau lebih tepatnya ngerjain gue. Wong semalam dia nyindir gue terus kok, karena nggak ngundang dia pas nikahan kita."
Aku memperhatikan wajah Raf, berusaha mencari petunjuk sekecil apapun yang menunjukkan bahwa dia sedang mengarang alasan. Akan tetapi, Raf tampak serius dengan perkataannya.
"Terus ngapain kamu ngunjungin dia ke hotel sampai tengah malam? Semalam kamu baru nyampe rumah jam dua, kan?" cecarku sambil berusaha mengatur napas. Dadaku masih terasa sesak karena sedang dikuasai amarah.
Raf menyentuh bahuku dan mendorongku agar duduk di sofa. Sembari berlutut di hadapanku, Raf menggenggam tanganku dengan erat.
"Thea itu dulu anggota tim cewek. Terus dia pindah ke Aussie. Kemarin habis jalan-jalan ke Krakatau, dia mampir bentar ke Jakarta, janjian sama anak-anak gaming," terang Raf. Diambilnya ponsel yang tergeletak di meja. "Lihat, nih, foto-foto semalam. Gue nggak cuma berduaan sama Thea. Ada yang lainnya juga."
Raf menunjukkan layar ponselnya yang menayangkan foto Raf dan rekan-rekan setimnya. Seorang wanita berambut pendek yang belum pernah kutemui terlihat duduk di sebelah Raf.
"Nih, buktinya. Ini Thea," terang Raf sembari mengetuk layar ponselnya dengan telunjuk.
"Cantik ya ... Thea," pancingku. Wanita itu memang cantik. Kulitnya putih bersih dan wajahnya begitu mungil.
"Ya ampun, Lail. Gue beneran nggak ada apa-apa sama Thea." Raf terdengar frustrasi. Jemarinya berulang kali menggaruk kepala dan membuat rambutnya makin kusut.
Aku menyedot ingus. Tangisku mulai reda. Rasa kesalku pun telah surut, tetapi aku masih enggan memaafkan Raf begitu saja.
"Perlu gue teleponin Thea, biar dia jelasin sendiri ke lo?" Raf menekan tombol loudspeaker.
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah bebe--"
"Mungkin dia lagi di jalan. Kalau nggak salah pesawatnya malam ini." Raf memutus sambungan teleponnya. "Tapi, gue nggak bohong, Lail. Nanti, gue akan minta Thea jelasin ke lo kalau tadi dia itu bercanda doang."
"Becanda apanya? Sama sekali nggak ada yang lucu, Raf!"
"Iya, gue tahu. Gue akan tegur dia. Gue juga kesal karena gara-gara becandaan dia yang nggak lucu itu, kita jadinya malah berantem kayak gini."
"Terus, ngapain kamu ganti kode hape?" tanyaku ketus. Masih ada satu hal yang mengganjal hatiku.
"Memangnya tadi lo masukin kode gimana?" Raf menyodorkan ponselnya
Aku meraih ponsel itu dengan kasar, lalu mengusap layarnya hingga membentuk huruf "N". Lagi-lagi muncul notifikasi bahwa kode yang kumasukkan salah. Aku menoleh kepada Raf dan menatapnya tajam untuk meminta penjelasan.
Raf justru menggigit bibir, seolah sedang berusaha menahan tawa. Kedua matanya bersinar jenaka, selalu begitu setiap kali dia tengah mengusiliku. Dia mengambil kembali ponselnya, lalu dengan gerakan lambat mengusap layar membentuk huruf N terbalik. Layar pun bergeser dan menampilkan jajaran ikon aplikasi.
"Gue nggak pernah ganti kodenya, Lail. Kalaupun gue ganti, pasti gue kasih tahu lo." Kini, tawa Raf benar-benar pecah.
Aku bergeming, kehabisan kata-kata untuk diucapkan. Kutundukkan kepala untuk menghindari tatapan Raf, tetapi dia justru menyentuh daguku hingga membuat maka kami kembali bertatapan.
"Maaf, lail. Gue benar-benar minta maaf," ucapnya sembari mengusap pipiku.
"Maaf buat apa?" Aku masih jual mahal.
"Semuanya. Maaf karena terlambat jemput lo. Maaf karena tadi sudah marah-marah sama lo. Maaf karena sudah buat lo cemburu."
"Aku nggak cemburu," bantahku.
"Oh, ya?" Satu sudut bibir Raf tertarik ke atas. Matanya mengerling menggoda, jelas-jelas menunjukkan bahwa dia tidak memercayai ucapanku.
Aku melengos, tidak mau terjebak dalam permainannya. Raf selalu punya cara untuk membuatku melupakan kesalahan-kesalahannya. Sejak menyerahkan diriku sepenuhnya kepada Raf, aku tidak pernah bisa berlama-lama marah kepadanya.
"Lo ngegemesin kalau lagi cemburu gitu, Lail," bisiknya di telingaku.
"Sudah aku bilang, aku nggak cemburu Raf."
"Oke-oke, gue percaya." Raf berdiri sambil mengangkat kedua tangannya di sisi kepala. "Lo pasti lapar kan habis marah-marah kayak tadi. Gue masakin mi rebus, ya?"
"Satu aja. Kamu nggak boleh makan mi lagi. Tadi siang, sudah makan mi goreng, kan?"
"Yah, Lail, hujan-hujan gini kan paling enak makan mi rebus. Masak lo tega biarin gue ngelihatin doang, sih?"
"Salah sendiri sudah bikin aku nangis hari ini."
Tawa Raf berderai serupa melodi paling merdu yang pernah kudengar. Bahkan, suara petir yang menyambar-nyambar di luar sana tidak mampu mengusikku.
"Kalau gitu, izinkan gue menebus kesalahan gue hari ini."
Tanpa permisi Raf mengecup bibirku. Untuk kesekian kalinya, aku hanyut dalam pesona Raf. Untuk kesekian kalinya, aku jatuh cinta kepada Raf. Untuk kesekian kalinya, aku menasbihkan diriku menjadi milik Raf.
--AmelA--
Dalam kondisi setengah sadar, aku berbalik badan. Tanganku menyentuh ruang kosong di sisi kiri tempat tidur. Mataku mengerjap terbuka. Raf tidak ada di sampingku.
Aku duduk bersandar ke tembok, menyisir setiap sudut kamar untuk mencari Raf. Setelah benar-benar sadar, aku bangkit dan berjalan menuju pintu. Kuraih remote AC untuk menaikkan suhu, lalu membuka pintu kamar.
"Tolong jangan pernah ungkit masalah itu lagi, Thea."
Aku mengurungkan niat untuk memanggil Raf. Tampaknya, dia tidak menyadari bahwa aku terbangun. Raf tengah duduk di sofa ruang tamu dengan posisi membelakangiku.
"Gue tahu, The. Tapi, sekarang kondisinya beda. Gue sudah nikah dan gue nggak mau Lail berpikiran macam-macam tentang kita. Gara-gara keisengan lo itu, gue dan Lail sampai berantem tadi."
Raf benar-benar mengomeli Thea. Aku tersenyum lebar karena hal itu. Ternyata, Raf tidak sekadar mengarang alasan. Kecurigaanku benar-benar tidak berdasar.
"Oke. Thanks sudah mau ngerti. Sudah sana, lo buruan istirahat. Pasti capek, kan? Good night."
Entah kenapa, aku menjadi panik saat Raf menutup telepon, khawatir dia sadar bahwa aku menguping sejak tadi. Aku tergesa-gesa kembali ke kamar, tetapi kakiku malah tersandung rak dan membuatku mengaduh.
"Lo kenapa Lail?" Raf bangkit dari sofa dan bergegas menghampiriku.
"I-itu. Rak. Tolong besok kamu geser raknya biar nggak ngehalangin jalan," timpalku sambil memasang ekspresi mengantuk.
"Emangnya lo mau ke mana?"
"Mau ... mau minum. Iya, aku haus, mau ambil minum." Aku mengarang alasan. "Kamu sendiri kok, nggak tidur?"
"Tadi kebangun terus nggak bisa tidur lagi," jawab Raf sambil berjongkok untuk memeriksa kakiku. "Lo tunggu kamar aja. Gue ambilin minum."
Aku menyetujui saran Raf. Sebenarnya, kakiku tidak terlalu sakit, tetapi aku sengaja berjalan dengan langkah pincang. Dengan begitu, kuharap Raf tidak akan curiga bahwa aku menguping pembicaraannya dengan Thea.
Tiba-tiba saja aku merasakan tubuhku melayang di udara. Aku memekik saat Raf membopong tubuhku. Dia mendudukkan tubuhku di tepian tempat tidur.
"What will you do without me, Lail?" kelakar Raf sembari menyampirkan anak rambutku ke belakang telinga sebelum keluar untuk mengambilkan minum.
Aku tidak tahu, Raf. Aku benar-benar tidak tahu.
Kusentuh dada yang masih berdebar. Selama ini, aku telah terbiasa melakukan semuanya sendiri. Aku menjalani hidup sebagai seorang perempuan mandiri yang tidak membutuhkan bantuan siapa pun. Namun kini, aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpa kehadiran Raf.
Saat dulu setuju untuk menikah dengannya, tidak pernah terlintas di pikiranku bahwa aku akan jatuh cinta sedalam ini kepada Raf. Aku pikir butuh waktu lama untuk membiasakan diri dengan keberadaannya. Namun ternyata, Raf berhasil mendobrak gerbang hatiku dengan begitu mudah. Dia telah berhasil menempatkan diri sebagai pusat duniaku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top