(27)

Entah sudah berapa kali aku mengecek ponsel. Pagi tadi Raf bilang ingin mengajakku makan malam sekaligus merayakan bulan keenam pernikahan kami. Katanya dia akan menjemputku ke kantor, tetapi sampai sekarang sosoknya belum muncul juga. 

Rentetan pesan yang kukirimkan kepadanya belum juga dibalas. Teleponku pun tidak dia angkat. Sudah hampir tiga puluh menit aku berdiri di pinggir jalan dan stok kesabaranku hampir habis. Tahu begini, aku selesaikan dulu pekerjaanku. Tadi aku buru-buru meninggalkan kantor karena khawatir menunggu terlalu lama.

“Lho. Masih di sini, Lail? Kirain sudah pulang dari tadi.” Wisnu menyapa. Dia menghentikan motornya tepat di depanku.

“Iya. Sebentar lagi. Masih nunggu suamiku,” jawabku sambil tersenyum, berusaha menyembunyikan rasa kesal yang tengah menderu-deru di hatiku.

“Mendung, lho. Sudah kamu telepon suamimu?” tanya Wisnu sambil mengarahkan telunjuk ke atas.

Aku mendongakkan kepala memandang langit. Yang dikatakan Wisnu benar. Mendung tebal menggantung di langit, membuat malam seolah turun lebih cepat, padahal sekarang baru pukul lima sore. Hujan bisa turun kapan saja.

“Suamimu sudah berangkat belum? Kalau belum, biar aku anterin ke halte transjakarta? Takutnya keburu hujan. Nanti kamu malah kena macet. Kata ramalan cuaca, malam ini diprediksi hujan deras sampai pagi.” 

Aku terdiam. Tawaran Wisnu cukup masuk akal. Bisa jadi Raf masih tertidur pulas sekarang. Beberapa hari terakhir, dia selalu latihan sampai dini hari. Sebentar lagi, dia dan timnya akan mengikuti turnamen.

“Enggak usah, Wis. Biar aku tunggu aja," putusku. Meski aku yakin niat Wisnu tulus, rasanya aku tidak pantas berboncengan dengannya. Belajar dari pengalaman, banyak mata dan telinga yang seperti sengaja mencari bahan gosip. Aku tidak ingin ada yang salah paham tentang hubunganku dengan Wisnu. 

“Oke deh kalau gitu.. Semoga kamu nggak sampai kehujanan. Aku nggak bisa ngerjain laporan sendirian kalau kamu sakit,” canda lelaki itu sebelum menarik gas..

Kuperiksa google maps untuk memeriksa rute. Beberapa ruas jalan sudah mulai memerah.

Raf. Aku pulang naik transjakarta aja.
Takut keburu ujan dan macet.
Dinner-nya kapan-kapan aja ya.

Setelah mengirimkan pesan kepada Raf, aku memesan ojek online untuk mengantar ke halte transjakarta terdekat. Sepertinya bukan aku saja yang memilih berganti moda transportasi, apalagi sekarang jam pulang kantor. Bus yang kutumpangi penuh sesak, membuatku terdesak hingga sisi paling belakang. Aku harus berulang kali mengucapkan 'permisi' untuk dapat keluar dari bus.

Hujan telah turun ketika aku sampai di halte dekat apartemen. Karena tidak membawa payung, kuputuskan untuk berlari hujan-hujanan ke apartemen. Raf masih belum bisa dihubungi, sementara halte transjakarta semakin padat.

Kulitku terasa pedas terkena lecutan hujan ketika coba menerobos deras hujan. Mataku pun mulai terasa perih karen kemasukan air. Andai saja tadi aku tidak membuang waktu menunggu Raf, tentu sekarang aku sudah duduk manis di kamar.

Seberapa pun aku mencoba berpikir positif, tetap saja amarahku makin menumpuk. Rasanya bukan hanya langit yang sedang bergemuruh, di hatiku pun ada petir yang menyambar-nyambar. Aku tidak tahu lagi apakah yang tengah mengalir di pipiku ini adalah tetes hujan atau air mata. 

Aku sampai di apartemen dalam keadaan kuyup. Tubuhku mulai menggigil. “Raf. Tolong ambilkan handuk,” teriakku sambil berdiri di atas keset, tidak ingin lantai basah.

Tidak ada jawaban. Aku hanya dapat mendengar gema suaraku sendiri. 

“Raf?” 

Akhirnya, kuabaikan air yang menetes dari tubuhku. Jika terus berdiri di sini, aku bisa masuk angin. Aku langsung menuju kamar mandi dan mengganti pakaian dengan jubah mandi.

Tempat pertama yang kutuju selanjutnya adalah kamar. Ternyata dugaanku salah, Raf tidak ada di dalam sana. Aku kemudian mengintip ke dapur. Kulihat panci dan piring kotor ditumpuk di dekat kompor. Tampaknya, Raf sempat memasak mi instan, bungkusnya masih tergelrtak di dekat kompor. Sambil menggerutu, aku membereskan kekacauan yang ditinggalkan Raf. Kuharap kejengkelanku ini akan segera menguap jika aku menyibukkan diri.

Setelah menunaikan salat Magrib, aku mengeluarkan ponsel dari tas dan coba menelepon Raf lagi. Walau masih kesal kepadanya, tetap saja aku takut terjadi sesuatu yang buruk kepadanya.

Dering telepon justru terdengar dari arah kamar. Kugeser bantal-bantal dan menemukan ponsel Raf berkedip-kedip di salah satu sudut kasur.

Aku memutus panggilan telepon, lalu mengusap layar ponsel Raf. Kumasukkan pola kunci yang pernah Raf beritahukan padaku. Gagal. Kuulang sekali lagi. Masih gagal. 

Aneh. Padahal Raf telah memberitahukan sandi ponselnya kepadaku saat kami pulang dari bulan madu. Kami sepakat untuk selalu terbuka pada satu sama lain. Kenapa Raf mengganti sandi ponselnya?

Ponsel Raf kembali berdering kencang saat aku hendak menaruhnya di atas nakas. Sang penelepon tidak memasang foto diri sebagai gambar profil. Hanya gambar salah satu karakter game dan huruf T yang menjadi identitasnya di daftar kontak Raf. Aku terpaku menatap layar pipih yang terus berkedip itu. Sejujurnya aku bukan tipe orang yang suka melanggar privasi orang lain, termasuk suamiku sendiri, tapi siapa tahu justru Raf sendiri yang menelepon untuk memberiku kabar.

Kusentuh tombol hijau. Untung saja tidak perlu memasukkan sandi untuk sekadar menerima panggilan.

“Hei, Raf!” Suara rianh seorang perempuan langsung menyapaku. “Jaket lo ketinggalan di kamar gue nih semalem. Gue titipin resepsionis ya, soalnya gue mau checkout malam ini.”

Pikiranku langsung melayang ke kejadian semalam. Ketika Raf pulang dini hari dengan wajah lelah dan langsung tidur dengan memunggungiku.

“Raf, are you there? Atau jangan-jangan ini lo lagi ngelindur sambil angkat telepon? Belum ilang juga kebiasaan lo itu.” 

Tawa perempuan itu seperti mengiris telingaku. Dari caranya bicara, perempuan itu terdengar begitu akrab dengan Raf, tapi seingatku Raf tidak pernah menyinggung tentangnya. Teman-teman Raf yang kutahu hanyalah yang pernah kutemui di resepsi pernikahan Maya Angela dan juga rekan satu timnya yang pernah berkunjung ke apartemen.

“Maaf. Saya Lail, istri Raf. Hapenya tertinggal di apartemen. Nanti pesan Mbak akan saya sampaikan.” Aku akhirnya bersuara. Entah kenapa, suaraku seakan tertahan di tenggorokan.

“Eh, istri? Ini beneran nomornya Raf Assegaf, kan?” 

Entah siapa yang lebih kaget, aku atau perempuan itu. Memangnya Raf tidak bercerita kalau sudah menikah denganku?

"Iya benar. Saya istrinya," jawabku sembari menghempaskan bokong ke kasur. Kakiku seperti kehilangan tenaga saat berbagai prasangka meruak di pikiranku.

“Oh maaf. Raf belum cerita. Saya Thea, teman Raf.” Setelah terdiam cukup lama, perempuan itu memperkenalkan diri dengan canggung.

“Salam kenal, Mbak Thea. Pesan Mbak akan saya sampaikan pada Raf nanti.” Aku berkata dengan dingin.

Sepertinya perempuan itu berhasil membaca situasi. Dia mengucapkan terima kasih lalu menutup telepon dengan tergesa.

Kuletakkan kembali ponsel ke atas nakas. Selama beberapa detik, terus kutatap layar benda pipih yang kini gelap itu. Beribu tanya menari-nari di kepala.

Selama ini kuanggap wajar Raf tidak mengumumkan pernikahannya di sosial media, atau mengajakku berkenalan dengan teman-temannya. Kupikir dia hanya tidak ingin privasinya terusik. Benarkah begitu? Atau dia tidak ingin orang lain tahu tentangku?

Perasaanku sungguh campur aduk. Di satu sisi aku merasa marah dan kesal, tapi sisi lainnya penuh rasa cemas karena suamiku tak kunjung pulang. Aku duduk dengan gelisah di ruang tamu, tidak tahu harus berbuat apa.

Dua puluh menit sebelum pukul tujuh, pintu depan terbuka dan Raf masuk dengan terburu-buru.

“Gue sudah nungguin lo di depan kantor lebih sejam, Lail. Gue sampai tanya satpam, tanya resepsionis, katanya nggak tahu lo di mana. Untung aja ada temen sekantor lo yang baru turun dan ngasih tahu kalau lo sudah pulang dari tadi.” omel Raf sembari menghampiriku.

“Aku juga sudah nungguin kamu alama. Telepon kamu bolak-balik, nge-chatt puluhan kali tanya kamu jadi jemput apa nggak. Tapi kamu sama sekali enggak respon!” tukasku. Pandanganku memburam, berselimut air mata yang mengambang di pelupuk mata.

"Gue cuma telat dikit. Jam lima gue sudah sampai di kantor li.” Raf ikut meninggikan suara.

“Kalau kamu ngecek hape sebelum berangkat, tentu kamu bakal tahu kalau hari ini aku bisa pulang lebih awal,” sindirku tidak kalah emosi.

Raf terdiam sejenak. “Gue tadi ketiduran. Begitu lihat sudah lewat jam empat, gue panik dan langsung berangkat jemput lo.” Suaranya terdengar lebih lunak. "Hape gue ketinggalan. Gue baru sadar pas sudah sampai kantor lo.”

“Iya, aku tahu. Tadi aku nemuin hape kamu di kamar," ujarku sinis. Bibirku menyunggingkan senyum masam agar sudut mataku tertarik ke atas. Dengan begitu, aku berharap dapat membendung air mata yang hendak tumpah.

"Oh iya, Raf. Tadi, ada telepon dari Tia atau Thea gitu. Katanya jaket kamu ketinggalan di kamar hotelnya semalam."

Kuperhatikan wajah Raf. Air mukanya berubah dengan begitu kentara.

Rasanya seperti ada yang menusukkan pisau ke dadaku. Pikiran-pikiran buruk yang sejak tadi mengintip di kepalaku kini menyerbu masuk, mengisi kepalaku dengan rasa sesak yang menusuk.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top