(25) +

Hai. Bagian cerita yang ini nggak cocok dibaca anak di bawah umur. Walau rasanya pembaca saya nggak ada yang di bawah umur, tapi saya ngerasa perlu ngasih peringatan ini.

Jika kamu melewatkan bagian ini, kamu tetap dapat mengikuti ceritanya kok. InsyaAllah weekend nanti saya akan update lagi.

#####
####
###
##
#

Seiring dengan langkah Raf yang semakin dekat, oksigen di sekitarku seakan menipis. Rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutku.

Sh-should I close my eyes?”

Raf tidak memberi jawaban. Mataku refleks menutup ketika bibirnya menyentuh bibirku.

Aku tidak bisa mendeskripsikannya dengan baik. Rasanya sungguh campur aduk. Yang pertama kurasakan adalah wangi mentol pasta gigi. Cambang halus di wajah Raf menggelitik pipi, sedikit gatal, tapi bibirku seolah terkunci tidak ingin Raf melepaskan pagutannya. Sentuhannya yang lembut membuatku ingin semakin menenggelamkan diri dalam peluknya.

Setelah beberapa detik yang terasa panjang, Raf menarik wajahnya. Lensa cokelat itu menatapku seolah meminta persetujuan. Aku mengangguk mengizinkan. 

Rencana awalnya memang hanya satu ciuman, tetapi rupanya kami berdua tidak mampu menahan diri. Ciuman kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya bertubi-tubi datang. Entah sudah berapa ciuman, aku sudah berhenti menghitungnya.

Seiring dengan ciuman-ciuman yang semakin panjang, tanpa sadar gelombang panas membakar sekujur tubuh, memancing rasa penasaran yang kian lama kian terus tumbuh. Setiap satu ciuman diakhiri, bukannya tuntas, dahaga kami justru semakin menjadi-jadi.

Pada suatu titik, Raf menarik tubuhnya menjauh. Dipalingkannya wajah dariku.

"Sorry, Lail. Gue keterusan." Dia berdiri dan menyambar jaket yang tadi dia lemparkan ke sofa. "Gue perlu dinginin kepala dulu. Gue takut nggak bisa nahan diri kalau terus kayak gini. Lo tidur dulu aja."

Aku tidak ingin dia pergi.

Aku seakan melayang saat berusaha menyusul Raf yang hendak membuka pintu. Kusentuh telapak tangannya yang lebar. Raf pun menoleh kepadaku.

Entah dari mana kudapatkan keberanian seperti ini. Kujinjitkan kaki untuk dapat menggapai wajah Raf. Kali ini, aku yang menciumnya lebih dulu.

Mata bulatnya  menatapku bingung kala kami mengambil jeda untuk menarik napas. Aku mungkin tidak tahu semua hal tentang Raf. Seperti apa masa lalunya, dan bagaimana masa depan kami berdua. Yang aku tahu, lelaki yang tengah berdiri di hadapanku ini adalah suamiku.

"Gue takut nggak bisa berhenti, Lail."

"Then, don't stop, Raf."

"Are you sure? Lo bilang, lo pingin jatuh cin--"

Aku memutuskan mencium Raf lagi sebagai jawaban atas pertanyaannya. Tidak ada kata yang dapat menggambarkan perasaanku sekarang. Ketika Raf melabuhkan ciuman pertamanya tadi, dia telah berhasil menyusup ke hatiku dan mengambil tempat di sana. 

Jika boleh jujur, aku memang belum sepenuhnya yakin apakah yang kurasakan ini adalah cinta. Yang jelas, aku tidak ingin dia berhenti.

Aku tidak tahu siapa yang lebih dulu memulai. Lembar-lembar kain terlepas begitu saja dari tubuh kami serupa kelopak mawar yang berguguran. Raf membaringkanku dengan lembut. Sekali lagi dia menatapku untuk memastikan. Aku mengangguk sebagai bentuk persetujuan.

-Amela-

Biasanya saat terbangun tengah malam begini, aku dapat mendengar debur ombak di kejauhan. Namun sekarang, suara gemericik air dari kamar mandi mengisi telingaku penuh-penuh. Hal itu membuatku mau tidak mau membayangkan kembali apa yang baru saja terjadi.

Aku menggelung tubuh dan memeluk lutut seperti bayi. Seperti ada yang hilang dalam diriku, tetapi sebuah perasaan yang asing bagiku hadir menyapa dan mengisi lubang yang ditinggalkan itu.

Beberapa jam lalu, hatiku belum yakin apakah mencintai Raf atau tidak, pun aku tidak tahu apakah Raf mencintaiku atau tidak. Namun ketika kuserahkan diriku seutuhnya untuk Raf, di saat bersamaan telah kuizinkan hatiku untuk jatuh kepadanya.

Saking meluapnya emosi yang melanda, aku hanya bisa menumpahkannya dengan menangis. Tangis ini bukanlah tangis penyesalan.  Mungkin memang begini perasaan semua pengantin wanita setelah menghabiskan malam pertama. Wajar 'kan jika aku menangis ketika kehilangan sesuatu yang selama ini kujaga dengan segenap jiwa?

Raf akhirnya keluar dari kamar mandi dan langsung menyadari isakanku. Tangannya menyentuh pipiku dan mengusap air mataku yang tidak mau berhenti mengalir. Dengan gerakan yang teramat lembut, dia membuatku balas menatapnya.

“Maafin gue, Lail." Raut wajahnya menunjukkan rasa bersalah. 

Dengan suara lirih, aku menyela, “Enggak perlu minta maaf, Raf. Kamu nggak salah apa-apa.”

“Terus kenapa lo nangis? Apa … lo nyesel?”

Aku bmenyeka air mata. “Bukan, Raf. Aku juga enggak ngerti kenapa nangis. Sepertinya aku lagi berusaha memahami apa yang terjadi.”

Raf berbaring di sampingku. Dia menarikku ke dalam pelukannya yang begitu hangat. Dapat kurasakan detak jantungnya yang tidak kalah kencang dari milikku.

Bisakah waktu berhenti di sini saja? Aku tidak ingin malam ini berakhir. Aku ingin Raf terus memelukku seperti ini.

“Saya terima nikah dan kawinnya Laila Kirani binti Jatmiko dengan mas kawin tersebut dibayar tunai,” bisik Raf di telingaku.

“Lo tahu enggak, Lail? Begitu gue berhasil mengucap kalimat itu, gue ngerasa sangat-sangat bahagia. Awalnya gue pikir, gue hanya ngerasa lega karena enggak jadi mempermalukan keluarga kita, tapi setelah kejadian malam ini, gue sadar bahwa kebahagiaan waktu itu berasal dari rasa lega karena akhirnya lo menjadi istri gue. Gue janji, gue nggak akan ngecewain lo. Pernikahan ini bukan hanya hadiah buat Umma, tapi hadiah terindah buat gue juga.”

Jemari Raf menyisir rambutku. Bibirnya melabuhkan satu ciuman di keningku.

“Terima kasih, Lail. Terima kasih menjadi yang pertama buat gue, dan membiarkan gue menjadi yang pertama buat lo. Maaf kalau semua ini terjadi lebih cepat dari yang lo bayangin. Gue sendiri enggak ngerti kenapa bisa begini jadinya. Tapi gue enggak nyesal Lail. Gue enggak akan pernah menyesali kejadian malam ini.”

Aku memperat pelukan ke tubuh Raf, seakan tak ingin melepasnya.

=-=-=-AmelA-=-=-=

Raf terus mengenggam tanganku sejak tadi. Betapa semua berjalan begitu cepat. 24 jam lalu, aku dan Raf hanya teman seperjalanan biasa. Kini kami seolah tidak terpisahkan. Dalam hitungan jam, kami benar-benar menjelma pasangan pengantin baru yang tengah berbulan madu. Benarkah kami telah saling jatuh cinta, atau ini hanya efek euforia kejadian semalam?

Kami tiba lebih awal di bandara. Lebih baik begitu, daripada harus berlari-lari mengejar pesawat, lebih baik kami menunggu saja di bandara.

Raf tengah sibuk bermain game melalui ponselnya. Aku sendiri menyibukkan diri membaca novel yang kubeli di bookstore beberapa waktu lalu. Namun, pikiranku tak bisa fokus. Kejadian semalam terus berkelebat di kepalaku.

Betapa semua terjadi begitu cepat, tapi aku mengingatnya dalam setiap gerakan lambat. Ada desiran hebat mengalir di tubuhku. Belum kurasakan rindu yang begitu menggelegak seperti ini, padahal orang yang dirindu tengah bersamaku.

“Lo sakit, Lail?” Raf telah kembali mengubah panggilannya padaku.

Aku menggeleng pelan. Melihat gerakan bibir Raf, rasanya aku ingin dia menciumku lagi. Ya Tuhan, kenapa aku jadi berpikiran mesum begini? Kami sedang ada di tempat umum, tapi aku justru memikirkan hal-hal yang terjadi semalam.

“Muka lo merah banget.” Raf menyentuhkan telapaknya ke kening. “Tapi suhu tubuh lo normal kok.”

Kucoba mengalihkan perhatian pada buku di tangan, berusaha menyembunyikan wajahku yang terasa makin panas akibat sentuhan Raf tadi. Sebuah usaha yang sia-sia karena dia justru menyimpan ponselnya di saku dan justru terus mengamatiku. Jemarinya kembali terulur, kini menyampirkan anak rambutku ke belakang telinga.

“Stop, Raf!” Aku akhirnya bersuara. Jantungku berpacu semakin kencang seiring dengan sentuhan-sentuhan Raf yang mampir ke kulitku.

“Muka lo makin merah, Lail.” Kini Raf tak menyembunyikan lagi seringainya itu. Jelas-jelas dia tengah menggodaku. 

Pemilik alis tebal itu pun mendekatkan bibirnya ke telingaku. Embusan napasnya yang menyapu tengkuk sungguh tidak membantu. Kini aku menjadi teringat bagaimana dia menyusuri tiap senti garis leherku semalam.

“Apa lo lagi mikirin kejadian semalam?” Dia menarik wajahnya dan tertawa pelan. “Gue juga, Lail. Dari tadi gue penasaran, apa lo bakal marah kalau gue cium lo di sini.”

“Jangan coba-coba, Raf!” tegasku.

“Iya. Gue setuju. Belajar dari pengalaman semalam, gue takut enggak bisa berhenti begitu menciummu. Bisa repot jadinya. Nanti kita harus reschedule jadwal terbang dan cari kamar hotel.”

Kulayangkan pukulan ke lengannya. “Sudah kubilang jangan bercanda tentang hal ini.”

“Gue enggak sedang bercanda, Lail.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top