(25)
Selama aku memejamkan mata, waktu seakan bergulir dengan teramat lambat. Dadaku terasa akan meledak. Saking tegangnya aku sampai menahan napas, mengantisipasi apa yang akan Raf lakukan kepadaku.
"Sudah malam. Kayaknya mending kita tidur aja."
Aku membuka mata dan melihat Raf telah berdiri. Entah kenapa, ada perasaan kecewa yang menyusup di hati. Beberapa waktu lalu, dapat kurasakan wajah Raf mendekat ke wajahku. Embusan napasnya yang beraroma mentol bahkan sempat menyentuh sisi wajahku.
"Sorry, Lail," ucap Raf dengan nada menyesal. "Harusnya gue nggak bercanda kayak tadi. Gue kan sudah janji buat ngasih lo waktu."
Raf mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri. Senyumnya menyiratkan ketulusan. Aku menyambutnya dengan enggan. Sebenarnya apa yang kuharapkan? Kenapa aku kecewa ketika Raf tidak melanjutkan aksinya?
Begitu masuk vila, aku langsung menuju kamar mandi untuk berganti pakaian. Kupandangi pantulan wajahku di cermin. Rona merah di pipiku masih terlihat jelas. Bahkan dentuman di dadaku pun belum surut. Apakah aku benar-benar berharap Raf menciumku?
Rasanya ada dua suara di kepalaku. Satu suara berteriak memperingatkanku untuk tidak mudah tergoda dengan rayuan Raf. Meski aku berharap pernikahan kami dapat bertahan hingga kami menua bersama, masih ada setitik keraguan di hatiku. Aku masih belum sepenuhnya percaya pada Raf. Bagaimana kalau dia kelak akan meninggalkanku seperti Mas Mirza?
Di sisi lain, sebagian diriku terus berbisik bahwa aku tidak perlu berlebihan memikirkan hal-hal yang di luar kuasaku. Toh, aku dan Raf sudah menikah. Apa gunanya menunda hal yang sudah pasti akan terjadi? Siapa tahu aku justru akan lebih mudah membuka hati kepada Raf jika segera kutunaikan kewajibanku sebagai istri, kan?
Aku cukup lama mengurung diri di dalam kamar mandi, sibuk berdebat dengan diriku sendiri. Ketika aku keluar, Raf telah berbaring di lantai beralaskan bed cover.
"Kamu boleh tidur di atas, kok, Raf," kataku dengan suara lirih.
Raf bergeming di tempatnya. Matanya tetap terpejam. Ingin kubangunkan Raf, tetapi tampaknya dia sudah begitu lelap.
Aku pun merebahkan tubuh ke atas kasur, di sisi ranjang dekat tempat Raf tidur. Dengan berbantalkan lengan, aku berbaring miring menghadap Raf.
"Maaf, Raf. Tolong bersabar sedikit lagi," gumamku sebelum ikut memejamkan mata.
-AmelA-
Tidak terasa telah lima hari kami lewati di Gili Trawangan. Lusa, kami sudah harus pulang ke Jakarta dan kembali ke rutinitas kami masing-masing.
Hari ini, kami mengunjungi Gili Air agar Raf bisa surfing seperti yang telah direncanakannya sejak awal. Untung saja, cuaca hari ini mendukung.
Sambil menunggu Raf, aku duduk di tepi pantai beralaskan tikar kecil yang kami bawa dari hotel. Sejak Papa meninggal, aku tidak pernah lagi berenang di laut.
Kuarahkan kamera ke tengah laut, berusaha mengintip Raf melalui lensa kamera. Rambut yang tadi dia gelung rapi kini berantakan tertiup angin. Kuatur lensa agar dapat melihat wajah Raf lebih jelas. Senyumnya terkembang lebar seiring dengan ombak yang mengayunnya.
Aku pun ikut mengukir senyum. Kebahagiaan Raf seolah menular kepadaku.
Tiba-tiba ombak yang lebih besar mengintainya dari belakang. Dalam hitungan detik, ombak itu mendorong Raf hingga terjatuh dari papan selancarnya.
"Raf!" pekikku.
Aku refleks berdiri dan berlari ke arah laut. Mataku terus mencari, berusaha menemukan sosok Raf. Rasa cemas merayapiku dan membuat tubuhku gemetar hebat. Bayang-bayang jenazah ayahku melintas di kepala. Aku khawatir laut kembali mengambil orang yang penting bagiku.
Kuabaikan bagian bawah rok yang basah tersapu ombak seiring dengan kakiku yang menapak semakin jauh.
Langkahku berhenti saat kutemukan sosok Raf berenang mengambil papan selancar yang mengapung-apung di laut. Lelaki itu menoleh ke arahku dan melambaikan tangan penuh semangat. Buru-buru kuusap pipiku yang basah. Saking khawatirnya, tanpa sadar aku menangis.
"Jangan pernah kayak gitu lagi!" hardikku ketika Raf berjalan menghampiriku dengan mengapit papan selancar.
"Ha? Kayak apa?" Dia terlihat kebingungan.
"Bikin aku khawatir!" Aku membentak. Tangisku kembali pecah. Tadi, aku benar-benar takut kehilangan Raf. Kusembunyikan wajahku di balik kedua tangan. Seberapa keras pun aku berusaha, tangisku tidak mau berhenti juga.
"Maaf, Lail. Gue nggak bermaksud bikin lo khawatir." Raf meraih kedua tanganku dan menariknya lepas dari wajahku.
"Aku tahu, Raf. Aku ... aku cuma takut kamu tenggelam seperti papa," ujarku sambil berusaha mengatur napas. "Aku nggak mau jadi janda dalam waktu secepat ini."
Derai tawa Raf terdengar berhasil menenangkanku. Dia menuntunku kembali ke bibir pantai. "Lo gemesin banget sih, Lail. Kalau aja gue nggak lagi basah kuyup, pasti sudah gue peluk, deh," celetuknya sambil menggenggam tanganku makin erat.
Sebagian diriku masih dikuasai rasa cemas, sampai-sampai aku tidak punya energi untuk menimpali candaan Raf. Namun, harus kuakui aku benar-benar bersyukur lelaki itu baik-baik saja.
-AmelA-
Hampir seluruh agenda bulan madu telah kami laksanakan. Tentu saja masih ada satu yang belum. Acara inti yang dengan sengaja kami lewatkan karena aku belum siap.
"Jalan di pinggir pantai dulu, yuk, biar makanannya turun dulu, baru balik hotel," usulku begitu kami selesai wisata kuliner di Pasar Malam Gili Trawangan.
"Oke bentar, beli minum dulu, siapa tahu nanti haus di tengah jalan."
Raf berlari ke salah satu kios. Aku menunggunya sambil memeriksa ponsel. Rentetan yang Umma kirimkan menunjukkan rasa senangnya akan foto-foto yang kami kirimkan di grup keluarga.
"Ayo." Raf kembali dengan kantung plastik berisi dua botol air mineral.
Kusambut uluran tangan, Raf. Jari-jari kami bertaut sepanjang kaki melangkah. Kami seperti dua orang anak muda yang baru pacaran. Rasa takutku kemarin rupanya berhasil memangkas jarak antara aku dan Raf. Uluran tangannya selalu kusambut dengan riang. Aku juga tidak lagi bersikap defensif setiap kali dia meledekku. Sejak sadar bahwa aku takut kehilangan Raf, kucoba untuk lebih jujur pada perasaanku.
"Jadi ... lo sudah mulai jatuh cinta sama gue enggak, Lail?" tanya Raf tiba-tiba.
"Jangan mancing-mancing, deh, Raf," Kucoba menyembunyikan semburat merah jambu dengan memperhatikan sekeliling kami.
"Namanya juga usaha, Lail. Mumpung ini malam terakhir bulan madu kita." Tawa Raf bersahutan dengan debur ombak yang menyapa bibir pantai. Rambutnya yang sengaja diurai menari seirama dengan angin laut yang bertiup. Mataku tidak bisa lepas mengamatinya. Apakah benar aku sudah mulai jatuh cinta? Secepat ini?
"Wow. I found another couple, Lail."
Kalimat Raf membuatku refleks mengikuti arah pandang matanya. Kutemukan sepasang kekasih tengah bercumbu di pinggir pantai. Bibir mereka saling melumat tanpa peduli sekitar, padahal terang purnama seolah menyorot aksi mereka. Semua orang yang lewat dapat melihatnya.
Buru-buru kupalingkan muka ke arah lain. Bagaimana mungkin mereka tidak malu melakukan hal semacam itu di area terbuka? Aku yang hanya menjadi penonton saja sudah malu sekali rasanya.
"Kok muka lo yang merah sih, Lail?" Raf malah ganti menertawakanku.
"Ya masak ngelakuin hal kayak gitu di tempat umum. Apa mereka enggak punya duit buat nyewa kamar gitu. Biar enggak jadi tontonan," omelku.
Telapak Raf mengacak rambutku. "Ya karena beda, Lail. Kalau di tempat terbuka begitu, lebih menantang Lail."
Aku menghentikan langkah. "Kamu pernah ciuman di tempat umum?" Kulayangkan tatapan sinis pada Raf.
Lelaki itu mengangkat bahu. "Lo mau gue jujur apa bohong?"
"Ya jelas jujur dong. Kan kamu sudah janji enggak akan pernah bohong ke aku." Aku mendengkus, lalu mengambil langkah cepat menjauhi Raf untuk melampiaskan kekesalan, tapi Raf dengan mudah menyusulku.
"Pernah. Biasanya sih karena kebawa euforia kayak kalau pas lagi nonton konser."
"Biasanya? Berarti enggak cuma satu kali dong!" Entah kenapa hatiku terasa panas. Suasana hatiku memburuk dengan cepat.
"Ya waktu itu gue lagi nakal-nakalnya. Lagian Maya dulu juga lumayan agresif dan gampang penasaran. Gue takut dia cari cowok lain, jadi gue ya berusaha ngimbangin. Sebucin itu gue dulu. Benar-benar masa jahiliyah dan salah pergaulan pokoknya."
Aku menempelkan kunci ke gagang pintu. Kulemparkan sandal ke sudut kamar dengan sembarangan begitu pintu mengayun terbuka..
"Wait! Jangan bilang lo enggak pernah ciuman, Lail?"
Kupelototi Raf dengan jengkel. "Pernah ciuman bukan sesuatu yang bisa dibanggakan, Raf!" Aku berusaha menghindari pertanyaannya.
"Gue tahu, Lail. Gue sama sekali enggak bangga kok, karena gue tahu itu sesuatu yang salah. Tapi ... seriusan lo sama sekali belum pernah ciuman?"
Bagaimana mau ciuman kalau pacaran aja belum pernah? Cinta pertamaku adalah Mas Mirza, dan bertahun-tahun kuhabiskan dalam hubungan tanpa status dengannya. Di luar itu, aku tidak pernah dekat dengan laki-laki.
"Kamu dan Maya ... sudah pernah berbuat sejauh apa?" Aku sengaja balas bertanya agar tidak perlu menjawab pertanyaan Raf.
"Sejauh pernah ciuman di tempat umum. Kalau yang lebih dari itu, gue masih punya otak buat mikir konsekuensinya, Lail." Raf menahan tawa ketika lanjut bertanya, "Dari tadi lo menghindar terus. Lo beneran belum pernah ciuman?"
Aku menyilangkan tangan di depan dada. Kutatap Raf dengan kesal.
"Jadi, kalau tempo hari gue beneran cium lo, itu beneran bakal jadi ciuman pertama lo?" Raf masih tidak bosan meledekku.
"Bukan urusanmu, Raf!"
Kini Raf membiarkan tawanya pecah. "Sudah lama gue enggak dengar kalimat itu. Tentu itu urusan gue, Lail. Itu artinya gue cowok yang beruntung karena bisa jadi yang pertama nyium lo."
"Kepedean! Siapa juga yang mau dicium kamu!" sergahku sambil membuka lemari untuk mencari baju ganti.
Raf duduk di tepi kasur. "Berarti kalau gue sekarang minta izin buat cium lo, enggak bakal lo kasih, Lail?"
Pertanyaan Raf menahan langkahku yang hendak masuk ke kamar mandi untuk berganti baju. "Kamu sudah janji enggak bakal becanda tentang hal semacam ini lagi, Raf!"
"Gue enggak lagi bercanda, Lail. Suasana romantis di pantai tadi sempat bikin gue pingin nyium lo kayak di film-film, cuma takut lo ngamuk di tengah jalan. Kalau ngomong di sini kan seenggaknya gue enggak perlu takut lo gampar di depan umum."
Aku memperhatikan wajah Raf lekat-lekat, menunggunya mentertawakanku seperti biasa. Namun, dia justru balas menatapku dengan raut serius.
"Lupain yang gue omongin barusan, Lail. Sudah sana cepat ganti baju. Besok kita mesti berangkat pagi-pagi ke bandara." Dia membaringkan tubuhnya di atas kasur. Sejak malam kedua di tempat ini, memang kubiarkan Raf tidur di ranjang denganku. Tentu saja aku membangun barikade dengan guling dan bantal supaya dia tidak mencuri-curi kesempatan.
Aku masuk kamar mandi tanpa bicara satu patah kata pun.
Dasan Raf licik! Kini aku tidak bisa berhenti membayangkan Raf menciumku. Dia sungguh pandai memanipulasi pikiranku untuk menuruti kemauannya.
Kunyalakan kran dan memulai ritual sebelum tidurku. Cuci tangan, kaki, dan muka, dilanjutkan dengan sikat gigi, lalu berganti pakaian. Meski telah berulang kali membasuh wajah dengan air dingin, wajahku tetap terasa panas.
Aku membuang napas dan meraih makeup pouch yang tergeletak di sisi wastafel. Kuraih lip balm rasa stroberi dan mengoleskannya ke bibirku.
Ah. Raf memang menyebalkan. Kini aku tidak bisa berhenti memikirkannya!
Kubuka pintu kamar mandi dengan kasar. Raf telah berganti pakaian dan kini tengah bermain game online di ponselnya.
"Oke. Just one kiss. Tapi kamu harus sikat gigi dulu. Aku enggak mau ngerasain ikan bakar yang tadi kamu makan!" cetusku.
[You have been slained!]
Sepertinya hero yang dimainkan Raf berhasil dibunuh lawan.
"Lo enggak lagi bercanda kan, Lail?"
"Aku bukan kamu yang bisa dengan santai bercanda tentang hal seperti ini, Raf."
Raf meletakkan ponselnya tanpa peduli pada game yang sedang dia mainkan. Lelaki itu langsung memelesat ke dalam kamar mandi.
Jantungku berdetak semakin kencang. Aku duduk menunggunya di tempat tidur dengan gugup. Sudah terlambat untuk menarik kata-kataku tadi. Baru lewat tiga menit, tapi rasanya waktu bergulir lama sekali.
Aku benar-benar belum pernah berciuman sebelumnya, jadi aku sungguh tidak tahu apa yang harus dilakukan. Bagaimana kalau aku membuat kesalahan, misalnya menggigit bibirnya atau batuk ketika tengah berciuman. Apa aku pura-pura tidur saja supaya aku tidak perlu memenuhi janji yang telanjur kuucapkan tadi?
"Done. Jangan ingkar janji, Lail."
Suara Raf membuatku terperanjat. Sekarang benar-benar terlambat. Aku harus menanggung konsekuensi ucapanku tadi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top