(22)
"Semoga acaranya lancar ya, Lail."
Aku menoleh dan menemukan Pak Anto berdiri di sampingku, menunggu lift sepertiku. Hanya Pak Anto, Farah, dan Kepala Bagian Tata Usaha yang tahu alasanku cuti. Seperti rencana awal, aku tidak ingin merayakan pernikahan dengan besar-besaran. Nanti, setelah kembali dari cuti, baru akan aku umumkan bahwa aku telah menikah.
"Maaf, kamu baru bisa pulang jam segini," ucap atasanku itu ketika kami telah berada di dalam lift.
"Nggak apa-apa, Pak. Saya juga bakal kepikiran kalau laporan piloting program kita belum selesai. Lagian, saya memang berencana untuk langsung ke stasiun."
"Saya janji nggak akan ganggu kamu selama cuti. Enjoy your honeymoon."
Kami berpisah di lobi. Pak Anto langsung menuju ke area parkir motor, sedangkan aku berjalan ke gerbang samping. Kata-kata Pak Anto masih terngiang di kepalaku. Honeymoon? Rasanya semua ini masih seperti mimpi. Dalam hitungan hari, aku akan menjadi Nyonya Raafid Assegaf. Sudah tidak ada jalan untuk kembali lagi.
Suara klakson mengagetkanku. Jendela mobil yang berhenti di hadapanku perlahan turun.
"Sorry, Lail. Masih keburu, kan?" tanya Raf sembari membukakan pintu dari dalam.
Saking seringnya Raf datang terlambat, aku sudah bosan untuk marah. Untung saja aku sudah memperhitungkan jam karet Raf sehingga tidak perlu khawatir tertinggal kereta.
Aku duduk di kursi penumpang tanpa berkata apa pun. Raf sekali lagi meminta maaf kepadaku.
"It's okay, Raf. Asal kamu nggak telat pas hari pernikahan kita." Aku mencoba bercanda.
"Nggak usah khawatir, Lail. Umma sudah ngancem bakal nyeret gue ke rumah lo apa pun yang terjadi." Raf tertawa keras, tetapi terdengar canggung di telingaku.
Kuperhatikan wajah Raf. Dia tersenyum seperti biasa, tertawa seperti biasa, tetapi seperti ada suatu hal yang berbeda. Raf terlihat berusaha menutupi sesuatu.
Ah, jangan berpikir macam-macam, Lail! Itu hanya bisikan setan yang sengaja membuat waswas.
"So, see you on our wedding day?" ucap Raf saat akan melepasku di gerbang keberangkatan Stasiun Gambir.
Aku membalas tatapannya sembari tersenyum. Hari ini memang pertemuan terakhir kami sebelum hari pernikahan. Meskipun lusa Raf dan keluarganya akan menyusul ke Yogyakarta, sesuai adat, kami tidak diperbolehkan bertemu sampai usai akad nikah.
"Take care, Raf."
Setelah melewati pos pemeriksaan, kusempatkan berbalik badan untuk melambaikan tangan kepada Raf. Lelaki gondrong itu masih berdiri di ruang tunggu dengan ponsel menempel ke telinganya. Entah dengan siapa dia berbicara. Raf tampak sangat serius. Tidak ada raut riang yang tadi dia tunjukkan kepadaku.
Raf melangkah cepat, makin jauh, lalu hilang dari pandanganku. Andaikan saja tidak terdengar pengumuman bahwa kereta yang akan kutumpangi telah stand by di peron, rasanya aku ingin kembali keluar menemui Raf.
=-=-=-AmelA-=-=-=
Entah kenapa jantung ini berdebar sejak tadi. Pernikahan ini harusnya hanya formalitas biasa, tapi kenapa aku merasa segugup ini? Kurasakan telapak tanganku begitu dingin, untung saja ada Mama dan Tante Mira yang menggenggam tanganku. Kedua wanita bersahaja itu duduk di sisi kanan dan kiriku.
"Tenang, Lail. InsyaAllah semua akan berjalan lancar. Fajri sudah sering latihan, kok," bisik Mama berusaha menenangkanku.
Mau tidak mau, aku jadi teringat bagaimana seminggu terakhir Fajri sering menggodaku dengan membaca teks akad nikah yang sedang coba dia hafalkan.
"Mbak. Ini teksnya walau pendek, tapi berat dihafalnya. Coba beliin aku handphone baru dulu. Siapa tahu aku jadi lebih gampang ngapalinnya."
Aku tertawa pelan. Perkataan Fajri berhasil meredakan rasa gelisahku. Kadang-kadang adikku itu memang bisa bertingkah konyol. Tidak kusangka, kini dia akan menjalankan peran yang teramat penting dalam salah satu bagian hidupku.
Rangkaian kenangan masa kecil terus melintas di ingatanku. Waktu kami kecil, Fajri sering membangunkanku tengah malam hanya untuk menemaninya ke kamar mandi. Masih jelas di memoriku, Fajri kerap berteriak dari dalam kamar mandi untuk memastikan bahwa aku tidak meninggalkannya. Dahulu, dia begitu penakut. Namun sekarang, Fajri telah menjadi lelaki dewasa yang akan menjalankan tugas sebagai wali nikahku.
Kini dia tengah di ruang tamu, berhadapan dengan Raf yang akan segera menjadi suamiku. Fajri terdengar melafalkan basmalah dengan lantang. Suaranya terdengar bergetar, begitu pun hatiku.
"Muhammad Raafid Assegaf bin Muhammad Khalid Assegaf, saya nikahkan dan kawinkan kakak kandung saya, Laila Kirani binti Jatmiko, dengan mas kawin seperangkat alat salat dan cincin emas seberat 5,5 gram dibayar tunai."
Aku lega, Fajri berhasil mengucapkannya dengan lancar tanpa kesalahan sedikitpun.
Tarikan napas Raf terdengar melalui pengeras suara. "Saya terima nikah dan kawinnya Laila Kirani binti Jatmiko dengan mas kawin seperangkat a-alat sa-salat...."
Suara Raf tersendat, lalu terputus begitu saja. Jantungku mencelus. Di luar perkiraanku, justru Raf yang kesulitan mengucapkan kalimat qabul.
"Silakan diulang lagi," perintah seorang pria yang sepertinya bertindak sebagai penghulu.
Fajri mengulang kembali kalimatnya dengan lancar. Detik-detik yang terlewat terasa berjalan berkali lipat begitu lama. Aku berasa meraup oksigen sebanyak-banyaknya, berharap dapa meredakan detak jantungku yang berpacu kencang.
"Saya terima nikah dan kawinnya Laila Kirani binti ... binti ... Jat-jatmiko."
Lagi-lagi Raf gagal mengucapkannya dalam satu tarikan napas. Mataku mulai panas. Aku menoleh ke arah Tante Mira. Wajahnya terlihat begitu pucat.
Mama melepaskan genggaman tangannya, lalu meletakkan telapaknya di atas punggung tangan Tante Mira. Kini, aku lebih mengkhawatirkan calon mertuaku yang telah berurai air mata dan dengan lirih terus meminta maaf kepadaku.
Aku sendiri hanya bisa terpaku tanpa bisa berkata-kata.
"Jangan grogi, Mas. Coba minum dulu. Istigfar dulu." Suara penghulu kembali terdengar dari pengeras suara..
Beberapa menit kemudian. Suara Fajri kembali terdengar lancar menjalankan tugasnya sebagai wali nikah.
"Saya terima nikah dan kawinnya Laila Kirani binti Jatmiko dengan..." Raf tak menyelesaikan kalimatnya. Entah apakah aku yang salah dengar atau Raf memang tengah terisak di depan sana.
Ucapan istigfar bersahut-sahutan di ruang tamu, membuat tubuhku membeku.
Ke mana sosok Raf yang penuh percaya diri? Apakah ini artinya pernikahan kami memang seharusnya tidak pernah terjadi?
Seminggu terakhir aku dan Raf dilarang berkomunikasi. Apakah terjadi sesuatu yang membuat Raf ragu menikahiku?
"Baik. Sudah tiga kali gagal ya, Mas. Silakan Mas Raafid ambil wudu dulu. Nanti bisa diulang sekali lagi, tidak perlu menyebutkan jenis mas kawinnya secara lengkap." Sang penghulu menasihati.
"Bo-boleh saya bertemu dengan ibu saya dulu?" Pertanyaan Raf sayup-sayup terdengar.
"Silakan, Mas."
Tirai yang menutup kamarku tersibak. Raf terlihat tampan dengan tunik panjang hingga semata kaki dan turban menutupi kepalanya. Akan tetapi, wajahnya terlihat kuyu. Dia langsung berlutut di hadapan Tante Mira. Dibenamkannya wajah di pangkuan sang ibu.
"Umma, maafkan saya. Tolong maafkan saya."
Melihat Raf terisak seperti itu membuat hatiku patah. Belum pernah kulihat Raf begitu rapuh seperti itu.
Tante Mira melepaskan genggaman tangannya padaku. Tangan kurus itu kini membelai lembut pucuk kepala putranya.
"Istigfar, Raf. Tenang. Berdoalah pada Allah," bisik wanita itu penuh kelembutan. Dia mengusap air matanya dengan punggung tangan dan menyimpul senyum.
Aku menatap Raf dengan nanar. Dia telah gagal melafalkan ijab kabul sebanyak tiga kali. Yang kutahu, jika Raf gagal sekali lagi, maka akad nikah harus ditunda di lain hari.
"Kalau saya gagal sekali lagi bagaimana, Umma? Tentu Abah dan Umma, juga keluarga besar Lail akan sangat malu."
"Kalau masih gagal. Mungkin memang belum takdir kita untuk menikah hari ini. Kita bisa coba besok lagi." Entah mendapat keberanian dari mana, aku bersuara.
"Betul, Raf. Tidak perlu memikirkan keluarga kami. Apa pun yang nanti terjadi, kami tidak akan mempermasalahkan." Mama ikut menanggapi.
"Umma tidak akan pernah malu karena kamu, Raf. Semua yang terjadi pasti ada hikmahnya. Kamu sudah dengar apa kata Lail. Tegarkan hatimu, dan cobalah lagi. Ikuti saran penghulu. Ambillah wudu dulu."
Begitu Raf kembali menghilang ke balik tirai. Tubuhku terasa sangat lemas. Seolah ketegangan yang Raf rasakan menular padaku. Kepalaku terkulai bersandar ke pundak Mama. Tante Mira kembali menggenggam tanganku.
"Maaf ya, Lail. Yang sabar ya, Sayang," bisik Tante Mira
"Iya, Tante. Saya hanya kasihan pada Raf. Dia tadi terlihat begitu tertekan."
Jemari Tante Mira mengusap pipiku. "Terima kasih atas pengertianmu. Dan jangan lupa, Lail. InsyaAllah hari ini kamu pun akan jadi anak Umma. Jadi berhentilah memanggil Tante. Panggil Umma seperti Raf dan Noura."
"Iya Tan-... Umma."
Bisik-bisik kembali terdengar dari ruang tamu. Tidak lama kemudian salah seorang sepupu memanggilku.
"Mbak Lail. Kata Bapak Penghulu, coba Mbak di depan juga, menemani Mas Raf."
Aku menoleh pada Mama. Wanita terkasihku itu mengangguk lalu turut menemani keluar kamar. Mama dan Tante Mira mengantarkanku ke meja akad, tempat Raf, Fajri, dan sang penghulu menunggu. Wajah Raf terlihat begitu tegang. Tidak ada seringai tengilnya yang biasa.
"Tolong doakan calon suaminya ya, Mbak. Supaya lancar mengucap ijab kabul." Pria berkopyah hitam itu tersenyum santun. Beberapa detik kemudian dia menoleh pada Raf yang duduk di sampingku.
"Nanti tidak perlu merinci mas kawinnya, Mas. Sebutkan saja 'dengan mas kawin tersebut dibayar tunai,' supaya tidak terlalu panjang." Penghulu itu berbicara kepada Raf.
Raf mengangguk. Penghulu menyentuh tangan Fajri untuk mengulang kembali prosesi ijab kabul. Adik semata wayangku itu mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Raf.
"Bismillahirrahmanirrahim. Muhammad Raafid Assegaf bin Muhammad Khalid Assegaf, saya nikahkan dan kawinkan kakak kandung saya, Laila Kirani binti Jatmiko, dengan mas kawin seperangkat alat salat dan cincin emas seberat 5,5 gram dibayar tunai."
Raf menarik napas dalam-dalam. "Saya terima nikah dan kawinnya Laila Kirani binti Jatmiko dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
Raf menyentak jabatan tangannya begitu selesai mengucap lalu menariknya. Tangannya kini mengepal ke atas dan menghentak beberapa kali sebagai bentuk luapan kegembiraan. Bibirnya terus mengucap kalimat tahmid berkali-kali.
Aku menoleh pada anggota keluarga yang lain. Kelegaan menghampiri hatiku ketika melihat wajah Mama dan Tante Mira yang berseri bahagia.
"Bagaimana para saksi, sah?" Sang Penghulu bertanya.
Tanpa perlu dikomando lagi, semua orang di sekitarku serempak menjawab. "Saaaaah!"
Raf menoleh padaku. Aku tak bisa mengartikan tatapan matanya. Aku tak bisa mendefinisikan perasaan apa yang tengah membuncah di dada. Aku tak bisa memahami kenapa bibir ini ingin sekali membalas senyum Raf dengan tulus. Aku tak mengerti kenapa ada kabut haru yang membayang di mataku.
"Terima kasih, Lail." Bibirnya berbisik tanpa suara.
Rupanya, hari ini aku ditakdirkan untuk menjadi istri Raf.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top