(2)

"Mengungkapkan perasaanku, Lail. Kalau aku sejak dulu suka sama kamu. Aku enggak pingin kehilangan kamu." Suara Mas Mirza terdengar bergetar. "Ta-tapi saat ini aku harus menikahinya."

Aku membatu dan menatap lelaki 26 tahun yang tengah duduk gelisah di hadapanku. Rasanya aku tak salah dengar. Mas Mirza memang bilang menyukaiku, tetapi sama sekali tidak ada perasaan senang di hati ini. Jika dia menyukaiku, kenapa dia justru menikahi gadis lain? Sungguh tidak masuk akal!

Pandangan matanya tampak sayu. Harusnya aku yang patah hati karena dia tinggal menikah, kan? Namun, kenapa Mas Mirza tampak lebih menderita?

"Aku enggak ngerti, Mas. Kalau Mas Mirza memang menyukaiku, lalu kenapa Mas justru menikah dengan gadis lain?" Kuhujamkan tatapan padanya, serasa ingin menguliti tiap lapis emosi yang tersembunyi di balik wajahnya.

Bukannya menjawab pertanyaan, Mas Mirza justru mengempaskan punggung ke sandaran kursi. Kepalanya tengadah, seolah sedang berusaha menghindari tatapanku. Dadanya naik turun dengan cepat. Hatiku langsung merasa ciut. Sepertinya, Mas Mirza tidak sedang bercanda. Tapi, untuk apa dia mengungkapkan isi hatinya itu jika pada ujungnya kami tak bisa bersatu?

"Jana—maksudku gadis yang harus kunikahi itu—adalah putri sahabat ayahku. Keluarganya sudah banyak membantu keluargaku. Tanpa mereka mungkin aku enggak akan jadi PNS seperti sekarang." Dia menarik napas panjang. Sorot matanya menunjukkan rasa bersalah yang teramat dalam.

"Jana hamil," sambungnya dengan suara teramat lirih.

Aku melotot padanya. Dadaku terasa panas.

Mas Mirza menggoyangkan telapak tangannya dan buru-buru menambahkan, "Bukan denganku, Lail. Dia hamil dengan pacarnya, dan sekarang pacarnya itu kabur entah ke mana. Keluarga Jana sudah berusaha mencari, tetapi enggak ketemu juga."

"Terus ... apa hubungannya dengan Mas Mirza?" tanyaku sinis.

"Mereka minta bantuanku untuk menikahi Jana sebelum perutnya semakin buncit. Aku enggak mungkin menolaknya, Lail. Selain utang budi yang kumiliki, aku juga telah menganggap Jana seperti adik sendiri. Aku enggak tega. Walau aku tahu Jana sendiri yang salah, tapi aku nggak pingin dia dicibir orang-orang karena hamil di luar nikah."

Lalu bagaimana dengan perasaanku? Kenapa dia harus datang memberi harapan jika akhirnya aku tidak dapat memilkinya?

Entah apa yang membuatku lebih hancur, mendengar penuturan Mas Mirza atau melihatnya tampak begitu rapuh seperti ini. Biasanya dia dapat bersikap tenang, apa pun masalah yang dihadapinya. Tidak pernah kulihat dia mengeluhkan masalah yang sedang dihadapi. Sampai-sampai aku berpikir tidak pernah ada masalah yang mampir di hidupnya.

Kali ini adalah pertama kalinya Mas Mirza bercerita tentang masalah pribadinya kepadaku. Sayang masalah itu pun menyangkut diriku. Apa yang harus kulakukan? Tidak mungkin aku melarangnya menikahi gadis itu. Hal seperti itu harus dia putuskan sendiri, bukan karena permintaanku.

"Kalau begitu aku harap Mas Mirza dan gadis itu bahagia. Mungkin memang sudah seperti ini jalan takdirnya, Mas." Dengan berat hati kuucapkan doa untuknya. Jangan sampai Mas Mirza tahu bahwa diriku tidak kalah hancur darinya.

"Apa kamu mau menungguku, Lail? Setidaknya sampai anak itu lahir. Setelah itu aku akan menceraikan Jana dan kembali ke kamu. Itu pun kalau kamu masih mau menerimaku lagi."

Sungguh aku bingung harus bersikap bagaimana. Pantaskah aku mengharapkan lelaki yang akan menjadi suami orang lain. Meskipun pernikahan mereka dimulai karena keadaan yang memaksa, bagaimana pandangan orang jika Mas Mirza meninggalkan istrinya demi diriku? Tidakkah aku akan dianggap sebagai perusak rumah tangga orang lain?

"Aku nggak bisa menjanjikan apa-apa, Mas. Jika memang Mas memutuskan menikahinya, maka menikahlah. Aku enggak berhak melarang. Yang bisa aku lakukan cuma mendoakan kalian berdua." Kutatap lelaki itu dengan mata berkaca-kaca. "Kalau memang suatu saat Mas memutuskan berpisah dengannya, dan aku belum terikat dengan laki-laki lain, mungkin kita dapat melanjutkan pembicaraan ini."

Kami saling diam selama beberapa menit. Rasanya tidak ada kata-kata yang dapat mendeskripsikan perasaanku sekarang. Aku tidak berani mendiskusikannya karena hanya akan memperkeruh suasana. Sebaiknya segala pemikiran itu kusimpan dalam hati saja.

=-=-=-AmelA-=-=-=

"Wah. Minggu ini pulang lagi ke Sukabumi?"

Suara itu milik Bang Togar, salah satu staf divisi hukum di kantorku. Dengan ekor mata kuperhatikan dia tengah menyapa Mas Mirza yang melintas di depan kubikelnya. Lelaki yang pernah dekat denganku itu tampak membawa ransel besar yang biasa dia pakai jika hendak pulang ke kampung halaman.

Beberapa bulan terakhir kuperhatikan Mas Mirza memang hampir setiap minggu pulang. Kebiasaan yang dia mulai setelah istrinya melahirkan. Setahuku sang istri memang tinggal bersama keluarganya di Sukabumi.

"Iya, Gar. Kalau enggak pulang bawaannya kepikiran Arka terus."

Tawa Mas Mirza begitu renyah di telinga. Dulu tawa itu selalu menghiasi hari-hariku. Kini kami bahkan nyaris tidak pernah bicara lagi. Percakapan kami di ruang tamu kosanku waktu itu seolah tidak pernah terjadi. Kami berdua tidak pernah mengungkitnya lagi.

"Pulang dulu, Lail." Mas Mirza menganggukkan kepala ketika melewatiku.

Aku balas menganggukkan kepala. Tidak ada jawaban yang terlontar dari bibirku. Dulu aku bisa mengoceh tentang apa saja jika bersamanya, kini sekadar bertegur sapa terasa sangat berat. Berbincang dengannya selalu berhasil membangkitkan kenangan masa lalu. Betapa kami pernah begitu dekat, bahkan memiliki perasaan yang sama, tetapi takdir tidak berkenan mempersatukan kami berdua.

Tampaknya Mas Mirza sudah bahagia dengan keluarga kecilnya. Setiap dia bercerita tentang Arka –anak yang dilahirkan istrinya—wajahnya selalu berseri-seri. Sudah tidak ada ruang lagi untukku di hidupnya. Aku pun perlahan menjauh untuk menghindari gosip tidak sedap tentang kami. Bagaimanapun dekatnya kami dahulu, kini Mas Mirza sudah berstatus suami orang. Tidak pantas jika kami masih sering terlihat menghabiskan waktu bersama.

Setahun terakhir adalah saat paling berat bagiku. Meski aku jarang berurusan dengan Mas Mirza dalam pekerjaan, tetap saja kami mengais rezeki di kantor yang sama. Sampai sekarang, luka yang Mas Mirza torehkan belum sepenuhnya sembuh.. Setiap kali berpapasan dengannya, setiap mendengar suaranya, bahkan hanya mendengar seseorang menyebut namanya, hatiku terasa nyeri.

Aku mungkin dapat mengelabui orang-orang, bersikap biasa dan baik-baij saja, tetapi nyatanya aku belum berhasil move on dan melupakan Mas Mirza. Bagaimana bisa lupa jika kelebat bayangannya selalu mengusik, jika janjinya waktu itu terus terngiang di telinga.

Terkadang aku ingin mengajukan permohonan mutasi agar tidak perlu sekantor lagi dengannya, tetapi aku takut orang-orang justru curiga. Lagipula aku menyukai pekerjaan ini. Meski jabatanku hanya sebagai pelaksana, pemikiranku cukup disegani di kantor ini. Orang-orang bilang hanya tunggu waktu saja aku dipromosikan ke jenjang jabatan berikutnya. Akan sangat bodoh jika aku melepaskan posisi sekarang hanya karena masalah cinta.

Aku mengembuskan napas keras-keras, lalu kembali menyibukkan diri dengan laporan yang tengah kusunting. Tidak ada gunanya meratapi nasib. Lebih baik aku fokus bekerja, supaya dapat kubuktikan pada Mas Mirza bahwa aku baik-baik saja tanpanya. Biar dia lihat aku pun bisa bahagia tanpanya.

=-=-=-AmelA-=-=-=

"Kenapa nggak dipaketin langsung aja sih, Ma?" tanyaku sambil menekan sakelar lampu. Setelah menutup pintu kamar, aku langsung merebahkan tubuh ke kasur dan mendengarkan penjelasan Mama tentang bingkisan yang dititipkan Tante Mira kepadaku.

Tante Mira adalah sahabat Mama sewaktu SMA. Mereka baru dipertemukan kembali di Facebook beberapa bulan lalu. Sejak saat itu, setiap kali Mama meneleponku, nama Tante Mira seringkali muncul di pembicaraan. Ketika tahu aku berencana pulang ke Yogyakarta, sahabat Mama itu ingin menitipkan bingkisan untuk kubawa pulang.

Bukannya aku keberatan membawakan titipan itu. Masalahnya, Tante Mira tinggal di Bandung dan aku di Jakarta. Bukankah akan lebih efisien kalau dia langsung mengirimkan bingkisan itu ke Yogyakarta? Untuk apa repot-repot menyuruh putranya menjemput bingkisan ke Bandung, lalu mengantarkannya kepadaku, untuk kemudian kubawa pulang bingkisan itu ke Yogyakarta. Jika Tante Mira mengirimkannya melalui jasa ekspedisi, mungkin bingkisan itu sudah sampai di tangan Mama sekarang.

"Kebetulan Raf, anak Tante Mira, kemarin baru balik dari Bandung. Mama sudah pernah cerita kan, kalau si Raf ini tinggal di Jakarta Barat? Ya jadi sekalian dititipin lah sama Tante Mira ke Raf, biar nanti dia antar ke tempat kamu."

Aku mendesah. Raf lagi, Raf lagi. Nama lelaki itu jadi begitu sering disebut Mama.

"Suruh Raf kirim aja langsung ke Yogya, Ma," usulku.

"Ih, enggak enak lah, Lail."

"Biar Lail yang bayar ongkirnya."

"Bukan masalah ongkir. Mama cuma takut paketnya kenapa-kenapa. Makanya, mumpung kamu mau pulang ke sini, ya sekalian lah titip kamu aja. Nggak berat, kok. Cuma sekardus doang." Mama terus membujuk.

"Ya udah deh kalau gitu. Suruh dia kirim pakai kurir ke kantorku." Aku akhirnya menyerah.

"Kalau hari kerja, Raf sibuk, Lail. Kalian janji ketemuan aja Sabtu besok, sekalian kenalan. Gimana?"

Sekarang, akhirnya aku mengerti alasan Mama begitu ngotot menyuruhku menemui lelaki itu. Aku yakin Mama punya maksud lain.

"Ma. Sudah Lail bilang, Mama nggak perlu repot-repot jodoh-jodohin Lail."

"Ish. Nggak usah geer deh kamu. Yang mau jodoh-jodohin kamu siapa coba?" elak Mama. "Tapi, kalau kamu nanti naksir sama Raf, bilang aja sama Mama. Nanti bisa Mama atur sama Tante Mira."

"Sudah ya, Ma. Lail mau mandi dulu. Daaah. Assalamualaikum."

Aku segera menutup telepon sebelum Mama sempat memprotes. Setahun terakhir ini, Mama memang sering menanyakan apakah aku mempunyai pacar atau tidak. Setiap kali ada anak temannya yang menikah, Mama akan bercerita dengan heboh, lalu memancingku dengan pertanyaan-pertanyaan yang menjurus. Ini memang bukan pertama kalinya Mama ingin mengenalkanku dengan lelaki, tetapi belum pernah sengotot ini, sampai-sampai menyusun rencana serapi ini agar aku tidak punya alasan untuk menolak menemui anak Tante Mira.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top