(17)

Senyum lebar terkembang di wajah wanita yang sering kulihat di foto-foto masa muda Mama itu. Memang sudah beberapa kali kulihat foto terkini Tante Mira, tetapi melihatnya dari dekat menimbulkan kesan yang berbeda. Kecantikan Tante Mira sama sekali tidak memudar meski banyak keriput yang menghiasi wajahnya. Usianya sebaya Mama, tetapi terlihat beberapa tahun lebih tua. Mungkin karena penyakit yang dideritanya.

"Akhirnya ketemu juga dengan Laila. Ya ampun, Laila, kamu mirip banget dengan Mamamu waktu masih muda." Tante Mira langsung menarikku ke dalam pelukan usai kucium punggung tangannya.

"Lail, Umma. Lail. Dia lebih suka dipanggil Lail." Raf mengoreksi ucapan ibunya sambil mengedipkan sebelah mata padaku.

"Iya, Lail. Maaf ya, Lail." Tante Mira terlihat merasa bersalah.

"Enggak apa-apa, Tante." Aku membalas senyumnya dengan tulus.

Tante Mira melepaskan pelukan dan menciumi kedua pipiku penuh sayang. Aroma kenanga dari parfumnya mengingatkanku pada Mama. Dalam beberapa hal, Tante Mira memang memiliki banyak kesamaan dengan Mama. Pantas saja mereka bersahabat dekat dan meski sempat putus kontak bertahun-tahun, mereka dapat langsung akrab lagi.

"Gantian dong, Umma. Raf kan juga kangen." Dia memberi kode agar aku segera menyingkir.

Tidak kusangka lelaki bertampang tengil itu berubah jadi anak manja ketika berhadapan dengan sang ibu. Begitu terbuka celah untuknya, dia langsung mendekap erat Tante Mira untuk melepas rindu. Benar-benar tidak seperti Raf yang selama ini kukenal.

"Perkenalkan. Aku Noura, kakaknya Raf." Seorang wanita cantik berjilbab lebar mengulurkan tangan padaku. Wanita itu terlihat seperti versi feminin Raf. Mata lebar dan hidung bangir mereka begitu serupa.

"Lail, Kak."

"Gimana selama perjalanan? Raf nggak usil, kan?" tanya Kak Noura saat kami berjalan menuju area parkir.

Aku melirik Raf yang berjalan di depan. Tangannya menggandeng sang ibu. Aku seolah bisa melihat pancaran kehangatan dari pasangan ibu dan anak itu.

"Nggak, kok, Kak." Aku menggeleng.

Tampaknya, Kak Noura menyadari bahwa aku tengah memperhatikan Raf. Bibirnya menyimpul senyum tipis saat dia berkata, "Raf memang dekat sama Umma. Apalagi sejak Umma sakit. Kalau saja nggak Umma larang, Raf pasti dah balik ke Bandung dan bantu Baba ngurusin percetakan. Waktu dia mau berangkat turnamen ke Macau pakai drama nangis-nangis segala si Raf."

"Kak! Nggak usah ngelebih-lebihin gitu." Raf mengerling kepada sang kakak. Bibirnya melengkung ke bawah sebagai bentuk protes. Ternyata sejak tadi, dia menguping pembicaraanku dengan Kak Noura.

"Iya, Noura." Tante Mira ikut menimpali. "Jangan bikin Lail ilfil sama Raf, dong."

Kak Noura mengiakan permintaan sang ibu. Dilemparkannya kunci mobil kepada Raf sembari berkata, "Kamu aja nih yang nyetir!"

Raf berhasil menangkap kunci itu, lalu segera menekan salah satu tombol di gantungan kuncinya. Suara klik pelan terdengar dari mobil SUV hitam yang terparkir tak jauh dari kami. Kakak Raf langsung membuka pintu depan untuk menempati kursi di samping pengemudi, sedangkan aku dan Tante Mira duduk di belakang.

"Kalian beneran pacaran, Lail?" tanya Kak Noura ketika mobil mulai bergerak.

"Eng-enggak sih, Kak. Kami sepakat untuk coba temenan dan saling mengenal dulu," elakku. Tidak kusangka akan mendengar pertanyaan itu secepat ini. Kami bahkan belum meninggalkan area stasiun.

"Lail enggak mau diajak pacaran, Kak. Dia maunya langsung diajak nikah."

Aku mendelik ke arah Raf yang sedang menyetir. Bukan seperti ini skenario yang kami sepakati tadi.

"Umma setuju." Tante Mira menyentuh punggung tanganku sambil tersenyum lembut. "Kalau memang sudah cocok, ngapain ditunda-tunda, kan, Lail? Lebih enak pacarannya setelah nikah aja. Noura dulu juga gitu. Cuma beberapa kali ketemu, Ali langsung ngelamar dan habis itu mereka langsung nikah."

Aku hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala, tidak tahu harus merespons apa. Rasanya seperti udara di sekelilingku menjadi semakin padat. Meski diucapkan dengan santai, kalimat-kalimat Tante Mira menunjukkan seberapa besar wanita itu berharap aku berjodoh dengan putranya. Seperti ada beban yang memberati pundakku. Aku takut akan menghancurkan harapan-harapan Tante Mira.

"Tapi, kami nggak harus secepat itu juga, kan, Umma?" Suara Raf memecah keheningan.

"Oh ... iya." Tante Mira seperti baru tersadar dari lamunan. "Jangan dijadikan beban, ya, Lail. Itu cuma angan-angan Tante saja. Kalaupun Lail nggak berjodoh dengan Raf, Tante tetap akan sayang dengan Lail, kok. Bagi Tante, Lail itu sudah seperti anak sendiri."

Aku menatap ke dalam mata Tante Mira. Kupikir ucapannya barusan hanyalah sekadar basa-basi. Kami baru saja bertemu, dan selama ini hanya beberapa kali sempat berbicara melalui telepon, mana mungkin Tante Mira menyayangiku sedemikian rupa. Namun ternyata, yang kutemukan hanyalah sorot mata penuh ketulusan. Aku seperti dapat merasakan aliran hangat dari telapak tangan Tante Mira yang menangkup di atas tanganku.

=-=-=-AmelA-=-=-=

"Ini dulu kamarku, tapi sekarang difungsikan jadi kamar tamu. Anggap saja rumah sendiri ya, Lail," jelas Kak Noura ketika mengantarku ke kamar yang akan kutempati. "Rumahku dua blok dari sini. Besok pagi insyaAllah kuajak kamu main ke rumahku," lanjutnya.

Aku meletakkan tas di meja yang terletak di dekat pintu.

"Umma senang banget lho waktu kemarin Raf bilang kamu ikut ke sini. Semua hidangan untuk acara nanti malam disiapkan sendiri sama Umma. Beliau sampai enggak bolehin aku buat bantu-bantu di dapur. Katanya, biar kamu ngerasain masakan asli beliau."

"Aduh, aku jadi enggak enak dengan tante, Kak. Beliau jadi repot begini," ucapku penuh rasa bersalah. Raf bilang ibunya tidak boleh terlalu capek. Jangan sampai kondisi Tante Mira drop karena sibuk menyambutku seperti ini.

"Enggak repot kok, malah beliau terlihat sangat bahagia. Umma juga sekalian masak makanan kesukaan Raf. Dia kan jarang pulang."

Sejenak kutangkap ekspresi ragu dari wajah wanita yang beprofesi sebagai dokter gigi itu.

"Omongan Umma tadi jangan terlalu dipikirkan ya, Lail. Mungkin Raf sudah cerita kalau Umma sakit. Beliau memang pingin sekali melihat Raf menikah, makanya berusaha jodohin Raf sama kamu. Tapi jangan merasa enggak nyaman dengan hal itu, ya. Umma paham kok kalau jodoh itu enggak bisa dipaksakan."

Kuanggukkan kepala untuk membuatnya tenang. "Iya, Kak. No pressure kok. Aku dan Raf memang sempat mendiskusikan hal itu, tetapi masih banyak yang perlu kami pertimbangkan."

Kak Noura tersenyum hangat lalu berpamitan untuk pulang ke rumahnya sebentar. Aku mengeluarkan sabun cuci muka dari tas dan bergegas menuju kamar mandi yang tadi ditunjukkan kakak Raf itu.

Setelah menunaikan salat duhur yang sempat tertunda aku membongkar isi tas dan mengeluarkan kado yang kusiapkan untuk Tante Mira. Kado ini kubeli mendadak semalam di sebuah pusat perbelanjaan. Untung saja Mama kenal baik ibu Raf itu. Sesuai saran Mama, aku membeli buku terbaru karya penulis favorit Tante Mira sebagai hadiah.

Kuletakkan bingkisan itu di meja lalu memeriksa ponsel. Mas Mirza mengirimkan pesan lagi. Entah apa yang lelaki itu inginkan. Setelah berbulan-bulan tidak memberi kepastian, tiba-tiba dia kembali ingin memperbaiki persahabatan. Sayang semuanya sudah terlambat. Sikap abainya selama ini sudah telanjur menyakiti hatiku, pun menegaskan bahwa dia bukan tipe lelaki yang dapat dipegang janjinya.

Tanpa ragu, kuhapus semua pesan Mas Mirza. Biar dia paham bahwa perkataanku tempo hari benar-benar serius. Aku tidak ingin berurusan dengannya lagi, apalagi Pak Anto sudah menasihatiku untuk menjaga jarak.

Apa kata orang jika melihat kami bersama di tengah prahara rumah tangganya? Tuduhan yang dilontarkan Jana membuatku di posisi terjepit. Meski kelak tidak terbukti, kalau sampai aku dipanggil untuk dimintai keterangan saat mediasi, orang-orang tetap akan bergosip tentangku.

Dengan pikiran yang masih mengawang, aku berjalan menuju jendela lebar dan menyibak tirai yang menutupinya. Jendela itu mengarah langsung ke luar. Kulihat Raf tengah sibuk menyiapkan alat pemanggang di halaman belakang sendirian. Sepertinya ini kesempatan yang tepat untuk berbicara berdua dengannya dan meluruskan permasalahan.

Aroma rempah-rempah yang menguar di udara menuntunku ke dapur. Seorang perempuan tua bertubuh mungil sedang mengelapi alat makan, sedangkan Tante Mira terlihat sibuk di depan kompor. Kak Noura sepertinya masih belum kembali. Sosoknya tidak terlihat di manapun.

"Permisi, Tante," sapaku sopan.

Senyum lebar merekah di wajah Tante Mira, membuatku teringat pada Mama yang selalu terlihat antusias saat memasak untuk anak-anaknya.

"Lewat aja, Lail. Mau ke Raf, kan?" tanya Tante Mira.

Aku mengangguk.

"Dia lagi Tante suruh siapin panggangan di belakang. Keluar aja lewat pintu itu terus belok kiri." Tante Mira menunjuk ke arah pintu kayu di sisi sebelah kanan.

Kuikuti arahan Tante Mira dan menemukan Raf yang sedang berusaha menyalakan api. Angin yang cukup kencang membuat usahanya beberapa kali gagal. Sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku. Dengan langkah mengendap-endap, aku mendekat, hendak mengagetkannya.

"Percuma ngagetin gue, Lail. Bayangan lo kelihatan di situ." Dia menunjuk alat pemanggang dengan dagu. Benar katanya. Pantulan diriku terlihat jelas di penutup alat pemanggang yang terbuat dari stainless steel.

"Katanya kalau ngomong sama aku enggak pakai lo-gue, pakainya aku-kamu biar mesra," sindirku. Selama di mobil tadi, Raf memang mengubah gaya bicaranya kepadaku."Apa perlu kulaporin ke Tante Mira kalau kamu sudah nggak sopan kepadaku?" Aku mengancam.

Raf buru-buru memasang wajah manis. "Jangan, Lail Sayang! Jangan ngadu sama Umma ya," rayunya dengan nada suara yang sengaja dibuat mendayu.

Kucebikkan bibir ke arahnya. "Sekarang aku tahu kryptonite-mu. Kalau nanti kamu buat aku jengkel, langsung aku aduin ke Tante Mira."

"Wah. Kayaknya calon istri gue ... eh aku ... ini sudah akrab dengan calon mertua ya." Raf tertawa senang ketika melihat ekspresiku yang menyiratkan rasa dongkol.

Aku menyilangkan tangan di depan dada dan menatap Raf penuh kekesalan. "Tadi perjanjian kita enggak gini, Raf. Kamu bilang kan, kita cuma pedekate, nggak perlu ngasih label apa-apa sama hubungan kita ini.."

Dia menempelkan telunjuk di depan bibir, memintaku memelankan suara. Aku menoleh ke arah pintu dapur. Semoga saja suaraku tadi tidak terdengar sampai sana.

"Aku juga enggak bilang kita akan menikah kan? Tadi gue cuma bilang lo maunya langsung nikah, enggak pakai pacaran," jawab Raf dengan santai.

"Tapi kata-kata kamu tadi sudah bikin Tante Mira berharap macam-macam, Raf. Kamu nggak lihat apa tadi Tante Mira beneran antusias waktu membicarakan kemungkinan kita menikah?"

"Gue lihat, Lail. Malahan, itu yang selalu gue lihat setiap kali Umma menanyakan lo. Makanya, gue memutuskan buat menjalani ini. Lo pikir, gue tipe cowok yang mau-mau aja dijodoh-jodohin begitu?" tanya Raf sembari mendekatkan wajah kepadaku. Lensa cokelatnya seolah membiusku. Aku hanya bisa terpaku di tempat. Belum pernah kulihat Raf bicara seserius sekarang.

"Gue tahu, terlalu banyak perbedaan di antara kita. Tapi, kalau menikahi lo bisa bikin Umma senang, gue rela melakukan kompromi apa pun." Raf menundukkan kepalanya hingga hidung kami nyaris bersentuhan. Dapat kurasakan embusan napasnya di pipiku.

"Me-memangnya, kamu nggak masalah menikah tanpa cinta, Raf?" tanyaku dengan suara mencicit. Bibirku terasa berat untuk digerakkan.

"Nggak sulit buat jatuh cinta sama lo, kok, Lail. Masalahnya, lo mau nggak ngasih gue kesempatan buat bikin lo jatuh cinta sama gue?"

Bibir Raf mengulas senyum, tetapi tatapannya terlihat begitu sedih. Dia kemudian melangkah ke dapur, meninggalkanku sendirian di taman. Kata-kata Raf terus menggema di kepalaku. Sungguh, saat ini, aku tidak tahu apa yang sedang terjadi di dalam hatiku. Rasanya, begitu gemuruh di dalam sana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top