(16)

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruang tunggu dengan ponsel menempel di telinga. Sosok jangkung Raf belum terlihat di mana-mana. Lelaki itu belum juga mengangkat teleponku. Kebiasaan Raf datang terlambat sudah kelewatan. Kereta akan berangkat dua puluh menit lagi dan dia belum tiba di stasiun.

Seiring dengan waktu yang bergulir, wajahku semakin ditekuk. Andai dia membalas pesan dan memberitahu kode booking tiket, tentu aku tak perlu menunggu-nunggunya seperti ini. Bisa kucetak sendiri boarding pass dan langsung masuk kereta tanpa perlu menanti kedatangannya.

Aku berjanji, jika lima menit lagi dia belum muncul, aku akan pulang ke kosan saja. Biar nanti kujelaskan ke Tante Mira bahwa aku batal berkunjung karena putranya membuatku menunggu terlalu lama tanpa kabar berita.

Raf akhirnya muncul tiga menit kemudian. Penampilannya hari ini lebih berantakan dari saat kami pertama kali bertemu. Rambutnya dikucir serampangan, sedangkan kaos oblong putih yang dikenakannya terlihat kusut di beberapa bagian. Untung saja tercium wangi sabun dari tubuhnya. Setidaknya dia masih sempat mandi, aku tidak akan terganggu dengan bau badannya selama tiga jam duduk bersebelahan nanti.

"Don't say sorry if you don't mean it!" ketusku sebelum dia sempat berkata-kata.

"Ya ampun, Lail. Siapa juga yang mau minta maaf?" Raf malah balik bertanya dengan santainya sambil berjalan santai ke arah mesin cetak boarding pass. Seringai menyebalkannya itu merekah tanpa rasa bersalah, membuat kadar sebalku bertambah berkali-kali lipat.

"Jadi kamu sama sekali enggak ngerasa bersalah udah datang telat dan buat aku nunggu lama?" semprotku penuh kekesalan. Aku berdiri di sampingnya dengan kedua tangan terlipat di dada. Kupelototi Raf biar dia sadar kesabaranku telah menipis.

Raf justru terkekeh. "Ya elah, gue enggak telat. lo aja yang datang kecepatan. Jadwal keretanya kan masih lima belas menit lagi."

"Ya kan lebih enak kita nunggu di peron dengan tenang daripada lari-lari ngejar kereta, Raf!" bentakku. Ya, sekesal itu aku kepada Raf, sampai-sampai aku tidak peduli lagi jika orang-orang yang mengantri di sekeliling kami menoleh dan memperhatikan.

"Gaya lo sudah persis kayak emak-emak lagi ngomelin suaminya. Seriusan lo enggak pertimbangkan tawaran gue kemarin?" godanya sambil nyengir lebar. "Mungkin setelah kenal gue lebih dekat, lo berminat jadi istri gue sekalian."

Tidak kuacuhkan pertanyaan Raf. Begitu boarding pass keluar dari mesin pencetak tanganku langsung menyambar lembaran kertas itu. Saking cepatnya gerakan tanganku, sisi kertas yang tajam menggores kulit. Aku mengaduh ketika perih merambat dari buku-buku jari.

"Ck. Enggak sabaran sih. Kegores kaan." Raf meraih tanganku lalu mengusap bagian jariku yang berdarah.

Bara api seakan menjalar ke wajahku. Buru-buru kutarik tangan dan bersikap tidak peduli. Kutinggalkan dia dengan langkah-langkah cepat. Sayangnya, kaki Raf lebih panjang dariku. Dia dapat membayangi langkahku dengan mudah.

"Siapin KTP kamu! Kalau sampai kita ketinggalan kereta, jangan pernah harap tawaran itu aku terima," cetusku galak, berusaha menyembunyikan debaran jantung yang entah kenapa tidak mau kembali normal sejak Raf menyentuh tanganku tadi.

Aku gegas menuju gerbang check in. Raf berjalan di sampingku sambil merogoh saku celana. Begitu sampai di meja pemeriksaan, segera kuulurkan boarding pass dan KTP kepada petugas pemeriksa. Raf menyusulkan KTP-nya beberapa detik kemudian.

"Maksud lo, kalau kita enggak ketinggalan kereta, ada kemungkinan lo menerima tawaran gue?" Raf mengonfirmasi ucapanku di atas eskalator menuju peron satu.

Aku membelalak. Bisa-bisanya dia menggodaku di saat kami sedang terburu-buru mengejar kereta.

Suara bel panjang menyelamatkanku dari pertanyaan Raf. Tidak lama kemudian terdengar suara announcer melalui pengeras suara.

"Penumpang yang kami hormati, sesaat lagi, kereta api Argo Parahyangan akan diberangkatkan dari Stasiun Gambir menuju stasiun akhir Ban--dung...."

Raf menyambar tasku dengan tergesa. "Sini tas lo, biar gue yang bawa. Lo fokus lari saja, Lail," teriaknya panik.

Aku memutar bola mata. Kenapa baru sekarang dia panik? Sejak tadi aku sudah meneriakinya agar bergegas, tetapi Raf hanya menganggap omelanku sebagai angin lalu.

Kubiarkan ranselku berpindah ke tangan Raf, lalu mulai mendaki eskalator untuk segera sampai di peron yang terletak di lantai paling atas. Tanpa beban yang memberati pundak, aku dapat berlari lebih cepat. Sesekali aku menoleh kepada Raf untuk memastikan dia tidak tertinggal, tetapi rupanya dia dapat mengimbangi langkahku tanpa kesulitan.

Begitu kami menginjakkan kaki ke atas gerbong, kereta mulai bergerak meninggalkan stasiun. Untung tadi kami langsung masuk saja ke gerbong terdekat. Meski masih harus menyusuri lorong menuju gerbong kami, setidaknya kami tidak ketinggalan kereta.

Aku melirik Raf. Keningnya basah oleh keringat. Tasku memang cukup berat karena aku membawa laptop, berjaga-jaga jika nanti ada tugas kantor yang harus segera kukekerjakan.

"Kita gerbong empat," ucap Raf.

Aku bersiap mendengar ledekannya tentang tasku yang berat, tetapi tidak kudengar satu keluhan pun darinya. Dia memanduku tanpa banyak bicara. Aku mengikutinya sambil berpegangan ke sandaran kursi yang kami lewati agar tidak terjatuh.

"Lo mau duduk di dekat jendela apa lorong?" tawar Raf begitu sampai di deretan kursi kami.

"Jendela!" ketusku masih dengan napas terengah-engah. Aku benci duduk di lorong karena gampang terusik oleh penumpang lain yang lewat.

Raf meletakkan barang-barang kami di rak atas, sedangkan aku langsung melempar tubuh ke kursi di sisi jendela.

"Coba kamu datang lebih awal. Enggak perlu kita lari-lari kayak tadi." Kutumpahkan kekesalan ketika pemuda gondrong itu duduk di sebelahku.

"Oke. Gue ngaku salah. Sorry. And I really mean it." Mata berbulu lentik itu menatapku tajam. "Sekarang bisa kita lanjutin pembicaraan yang terputus tadi? lo benar-benar mempertimbangkan tawaran gue kemarin?"

Aku gelagapan. Semalam aku memang sempat memikirkan kembali tawaran Raf untuk memberi kesempatan pada hubungan kami, tetapi rasanya aku belum siap membahas hal itu sekarang.

"Bisa kita bahas nanti aja? Aku masih ngos-ngosan gara-gara ngejar kereta." Kucoba berkelit. Sekilas kulirik pantulan wajahku di jendela. Kenapa wajahku merah sekali? Ini pasti karena aku habis berlari mengejar kereta, kan? Bukan karena senyum tipis yang menghias wajah Raf itu, kan?

"Tapi lo beneran mempertimbangkannya?" Raf mengulang pertanyaannya. Wajah kami begitu dekat sampai-sampai aku dapat membaui napasnya yang beraroma mentol.

Aku menatapnya dengan kesal. "Mungkin ... mungkin nih ya, kalau kamu bersikap manis dan enggak nyebelin selama di Bandung, aku akan mempertimbangkannya. Meskipun nanti hubungan kita cuma sekadar simbiosis mutualisme seperti katamu, aku tetap harus menghabiskan banyak waktu denganmu, kan? Jadi yakinkan aku bahwa kamu seenggaknya bisa jadi teman yang baik buatku."

Dengan penuh percaya diri, Raf tersenyum lebar dan berkata, "Memangnya gue kurang baik apa sama lo? Gue sudah bersedia pura-pura jadi pacar lo di depan cowok lo itu bahkan di saat kita belum saling—"

"Raf." Aku memotong ocehannya. "You want me to say yes, right? Jadi berhenti sok kepedean seperti itu. Kamu baru aja kehilangan satu poin dariku."

Raf terlihat menahan diri untuk tak tertawa. "As you wish, My Lady," ucapnya dengan badan sedikit dibungkukkan.

"Sekarang aku mau tidur. Jangan berisik!" Kusandarkan kepala ke jendela. Meski mataku terpejam, otakku enggan beristirahat. Entah kenapa, wajah Raf terus terbayang di kepalaku.

Raf menyebalkan. Sifat kami sungguh bertolak belakang. Mau selama apa pun kami coba, tetap saja kami tidak akan cocok. Itulah kesimpulan yang kuambil dari perkenalan singkat dengan Raf. Akan tetapi, entah kenapa, garis nasib kami seolah terus bersinggungan. Seperti kata Raf tempo hari, kami layaknya dua kutub magnet berlawanan yang saling tarik menarik ketika berdekatan.

=-=-=-AmelA-=-=-=

Aku tersentak ketika kereta bergoncang. Segera kutarik kepala yang entah bagaimana caranya bersandar ke bahu Raf, lalu kuusap sudut bibir dengan punggung tangan. Aku melirik ke sebelah. Raf tampak serius memainkan game di ponselnya. Sebuah headphone wireless berwarna hitam menempel di kepalanya. Jemarinya bergerak lincah mengarahkan karakter yang dia mainkan bertarung dengan musuh.

"Sudah puas tidurnya?" tanya Raf dengan mata tetap terarah ke layar ponsel. Rupanya, dia sadar aku diam-diam memperhatikannya.

Aku tidak menjawab. Melalui bayang-bayang di kaca jendela, kupastikan wajah baru bangun tidurku tak terlihat memalukan. Kulihat Raf mengalungkan headphone-nya ke leher.

"Kok rank kamu masih kecil, Raf?" tanyaku ketika mengintip layar ponselnya.

Karena penasaran, aku sempat mencari tahu tentang jenis-jenis game online yang sedang populer. Ternyata banyak sekali macamnya. Yang biasa Raf mainkan adalah jenis game pertarungan yang melibatkan banyak pemain. Masing-masing pemain dapat mengendalikan satu karakter dan dapat menyerang pemain lawan dengan jurus-jurus yang mereka miliki. Tim yang menang bukan ditentukan oleh berapa jumlah karakter musuh yang berhasil dibunuh, melainkan siapa yang dapat menghancurkan pusat pertahanann musuh lebih dulu.

"Ini akun fake. Baru gue buat beberapa bulan lalu dan jarang gue mainin juga. Buat main santai aja kalau pas enggak bisa main game PC." Dia mengulurkan ponsel kepadaku. "Mau nyobain main?"

"Enggak. Buang waktu aja," jawabku sambil membongkar tas tangan untuk mencari tisu basah.

Begitu menemukan benda yang dicari, aku berdiri dan menatap galak pada Raf. "Geser dulu kakimu! Aku mau lewat," ujarku seraya menendang pelan sepatunya.

Tanpa banyak protes, pemuda itu merapatkan kakinya ke kursi untuk memberi celah. Aku melangkah tergesa bertepatan dengan goncangan kereta yang cukup keras. Tubuhku mendadak kehilangan keseimbangan dan rubuh ke depan. Tanganku menggapai sandaran kursi untuk berpegangan, tetapi itu saja tidak cukup untuk mengembalikan keseimbanganku. Untung saja tangan Raf cepat menyambar, dia menahanku agar tidak sampai tersungkur menimpa penumpang yang duduk di deretan kanan.

Jantungku serasa lepas dari rongga dada. Aku melirik ke bawah.  Ponsel Raf tergeletak di dekat kakiku, tampaknya benda itu tadi meluncur jatuh saat Raf berusaha meraih tubuhku. Lengan kokoh Raf melingkar tepat di pinggangku.

"Hati-hati."

Bisikan Raf menyadarkanku. Aku pun melepaskan diri dari tangannya lalu pergi menuju toilet tanpa berkata apa-apa.

Pantulan wajahku di cermin toilet tampak begitu merah. Jantungku masih berpacu tidak terkendali. Masih dapat kurasakan bagaimana lengan Raf memelukku tadi. Aku tahu, tadi dia hanya refleks menolongku. Namun, tetap saja hal itu membuatku bingung bagaimana harus bersikap saat berhadapan dengannya.

Andaikan saja tidak ada orang yang menggedor pintu, rasanya aku ingin bersembunyi terus di dalam toilet sampai tiba di Bandung.

Aku mengucap maaf kepada wanita yang menunggu di depan toilet. Masih dapat kudengar gerutuannya sebelum dia membanting pintu toilet di depan wajahku.

"Lo nggak enak badan? Mabok perjalanan?" Wajah Raf menyambutku di balik pintu gerbong. Tampaknya dia mengkhawatirkanku hingga berniat menyusul ke toilet.

"Aku nggak apa-apa," jawabku sembari memiringkan badan untuk melewati celah sempit antara Raf dan kursi penumpang.

"Habisnya, lo lama banget di dalam."

"Aku nggak apa-apa, Raf," tegasku sembari melemparkan bokong ke kursi. Kucoba menghindari tatap mata Raf dengang memandangi area persawahan di luar jendela.

"Oke. Syukurlah kalau gitu. Itu ada teh anget buat lo."

Aku melirik gelas kertas yang terletak di rak. Uap panas masih mengepul dari gelas. Tampaknya, Raf baru membelinya dari petugas kereta yang berkeliling menawarkan makanan dan minuman. Aku menyesap teh pelan-pelan sambil sesekali melirik kepada Raf yang telah kembali bermain game. Walau selalu punya cara untuk membuatku kesal, sejauh ini Raf terlihat tulus. Entah apa istilah yang tepat untuk menyebut status hubungan kami selanjutnya, tetapi sepertinya aku dapat memberi kesempata kepada kami berdua. Jika memang tidak ada yang dapat diharapkan, kami dapat mengakhirinya baik-baik seperti yang Raf usulkan.

"Ayo kita coba, Raf," ucapku lirih.

Raf menggeser headphone hingga salah satu telinganya terbuka.

"Apa? Lo ngomong apa?" tanyanya sambil sesekali melirik ke layar ponsel.

"Kita bisa coba jalan bareng dulu."

"Maksud lo dengan 'jalan bareng' itu ...," Raf membentuk tanda kutip dengan jarinya. "pacaran? Atau cuma hubungan tanpa status?"

Layar ponsel Raf menampilkan notifikasi bahwa karakter yang dia mainkan baru saja terbunuh, tetapi Raf tidak peduli. Kedua mata bulatnya justru menatapku lekat-lekat.

"Terserah kamu mau nyebut apa." Aku mendengkus. "Intinya, aku nggak keberatan dengan rencana kamu waktu itu."

"Oke. Kalau gitu nanti gue sudah bisa bilang ke umma kalau kita sudah pacaran." Raf menarik sudut bibirnya hingga membentuk seringai lebar.

Aku meninju lengannya. "Kata kamu cuma pedekate aja."

"Kata lo tadi terserah? Lagian nggak ada bedanya, kan? Mau cuma pedekate atau pacaran, intinya kita akan menghabiskan lebih banyak waktu bersama?"

Aku membuka mulut, bersiap untuk membantahnya, tetapi tidak menemukan kata-kata yang tepat.

"Oke, we don't need put a label on our relationship. Nanti, gue bisa bilang ke umma kalau kita memang lagi 'dekat' dan coba saling mengenal." Raf lagi-lagi membentuk tanda kutip dengan jarinya. Dia kemudian mengulurkan tangannya ke arahku, mengajak bersalaman.

"Mohon kerja sama dan bimbingannya, Nona Laila Kirani," ucap Raf ketika aku menyambut tangannya.

=-=-=-=-=-=-=

Amela's note:

Halo, terima kasih ya sudah menemani perjalanan Raf dan Lail.

Buat yang sudah pernah baca cerita ini, semoga masih sabar karena belum sampai-sampai juga ke adegan intinya, dan jangan spoiler ya. 

 Saya memang menambahkan beberapa detail cerita, makanya jadi lebih panjang. Semoga nggak bikin bosan ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top