(1)
"Lail! Berkas cutimu mana? Kok enggak sekalian ngajuin bareng Mirza?" tanya Bu Wardah ketika aku melewati meja sekretaris.
Aku tidak mengerti maksud pertanyaan wanita paruh baya itu. Cuti? Untuk apa aku cuti? Dan apa hubungannya dengan Mas Mirza?
"Cuti apa, Bu? Saya enggak berencana cuti kok." Kucoba memastikan. Siapa tahu tadi aku hanya salah dengar.
"Lho, bukannya Mirza mau cuti alasan penting buat ni—kah?" Suku kata terakhir terdengar menggantung, tak tuntas diucapkannya.
Laptop yang sejak tadi berada dalam dekapan kuletakkan ke atas meja sekretaris. Tanganku terulur meminta berkas yang tengah dipegang wanita berjilbab biru itu. Aku sadar bahwa cuti Mas Mirza bukan urusanku. Toh kami tidak ada hubungan apa-apa. Namun, tidak mampu kuusir rasa penasaran ini.
Aku memang hanya rekan kerja yang kebetulan sering menghabiskan waktu bersamanya. Hanya seseorang yang pertama kali dia cari saat pulang dinas dari luar kota untuk mendapat oleh-oleh istimewa. Hanya gadis yang seringkali dia kirimi pesan, traktir makan, dan ajak jalan. Saking seringnya kami pergi berdua, seisi kantor pun menggosipkan kami berpacaran.
Hubunganku dan Mas Mirza sulit dijelaskan. Tidak ada pernyataan cinta. Tidak ada janji setia. Tidak ada rencana-rencana masa depan. Akan tetapi, hatiku sudah telanjur terikat padanya. Sikap yang selalu dia tunjukkan membuatku berpikir Mas Mirza pun memiliki perasaan yang sama. Seperti ada kesepakatan tidak tertulis di antara kami, bahwa meski tidak pernah terucap secara resmi, sebenarnya kami saling memiliki.
Ternyata aku salah. SALAH BESAR!
Anggapan itu hanya ada di kepalaku saja. Benar yang dikatakan Bu Wardah. Berkas cuti Mas Mirza menyebutkan bahwa dia mengajukan permohonan cuti selama tiga minggu untuk alasan penting, untuk melangsungkan pernikahan. Dengan siapa? Yang jelas bukan denganku!
Aku tidak dapat menjelaskan perasaan yang tengah berkecamuk di dada. Rasanya campur aduk. Sesak. Ada sesuatu yang mendesak keluar lewat rongga mata, tetapi setengah mati kutahan agar tidak meluber ke mana-mana. Bagiku, menangis di depan orang lain adalah sebuah pantangan besar. Apalagi di depan Bu Wardah. Bisa habis aku jadi bahan gosip di kantor. Aku tidak ingin dikasihani sebagai gadis yang ditinggal menikah oleh lelaki yang selama ini diidolakannya.
"Oalah. Berarti kita tinggal nunggu Mas Mirza bagi-bagi undangan ya, Bu. Ternyata diam-diam dah mau nikah aja dia." Kucoba menutupi perasaan dengan bergurau. Senyum paling manis menghias bibirku untuk menyembunyikan hati yang hancur berkeping-keping.
Bu Wardah sama sekali tidak tertawa. Perempuan itu justru sibuk memandangiku dengan sorot mata yang menyiratkan rasa iba. Entah apa yang dipikirkannya tentangku sekarang.
"Jadi selama ini kalian tuh beneran enggak pacaran?" tanya wanita itu.
Kutarik bibir ke atas untuk membentuk senyum, menyembunyikan luka yang menganga di hati akibat kabar yang mengagetkan ini.
"Enggak, Bu. Kami tuh beneran cuma temenan. Orang-orang kantor aja yang suka gosipin," jawabku sambil tertawa, tentu saja tawa palsu.
Bu Wardah membentuk bulatan dengan mulutnya. Ada suara 'o' panjang yang terdengar.
"Tapi kan kalian dekat banget, Lail. Masak Mirza enggak pernah cerita tentang calon istrinya?"
Aku mengangkat bahu. Bukan Bu Wardah saja yang heran. Pertanyaan yang sama juga terus menggema di kepalaku sejak tadi.
"Kami biasanya cuma bahas kerjaan atau hal-hal sepele, Bu. Enggak pernah bahas masalah pribadi."
Aku separuh berbohong. Hampir di setiap pertemuan aku bercerita tentang masalah pribadi kepada Mas Mirza. Dia memang pendengar yang baik, sesekali juga memberi saran terkait masalah yang kualami. Semua itu membuatku merasa nyaman dan percaya untuk bercerita apa saja kepadanya. Sebaliknya, aku sendiri nyaris tidak tahu apa-apa tentang kehidupan pribadi seniorku itu.
Kini semuanya seperti terpampang nyata di hadapanku. Betapa selama ini aku hanya sibuk menerka dan hanyut dalam asumsi sendiri. Dari kilasan memori yang dimainkan kembali oleh otakku, kini tampak jelas bahwa cintaku memang bertepuk sebelah tangan. Mas Mirza hanya menganggapku sekadar teman saja. Bahkan diri ini tidak pantas mengaku sebagai sahabatnya. Hal sepenting rencana pernikahan tidak akan disembunyikan pada sahabat terdekat kan? Ah, rasanya aku patah hati dua kali.
=-=-=-AmelA-=-=-=
Selesai membereskan ruang rapat, aku buru-buru kabur ke toilet dan mengurung diri di salah satu bilik. Kutumpahkan air mata yang selama dua jam terakhir sekuat tenaga kubendung. Rapat tadi sungguh kacau. Pikiranku sama sekali tidak bisa fokus. Pak Anto sampai harus memberi kode berulang kali untuk membuatku menggeser slide atau menayangkan data yang dia inginkan. Usai rapat atasanku itu menanyakan apakah aku baik-baik saja. Meski dia tidak terang-terangan memarahi, tetap saja aku tidak enak hati dibuatnya.
Aku hanya mengizinkan diri menangis selama lima belas menit. Masih banyak tumpukan pekerjaan yang harus diselesaikan. Nanti saja kulanjutkan meratapi nasib setelah pulang ke kosan. Lagipula aku tidak ingin Mas Mirza tahu bahwa aku telah patah hati karenanya.
Kucoba bersikap seperti biasa. Jemariku sibuk mengetik laporan rapat tadi supaya hari ini aku bisa pulang cepat. Mas Mirza tengah mendampingi bos besar rapat di luar kantor. Jika berhasil pulang lebih awal, aku tidak perlu bertemu dengannya hari ini. Semoga saja Pak Anto tidak tiba-tiba memberi tugas di detik-detik terakhir.
Beberapa pesan darinya masuk sejak tadi. Mas Mirza mengirimkan gambar-gambar lucu padaku. Sepertinya rapat yang tengah dia ikuti membuatnya bosan setengah mati. Biasanya aku akan menanggapi gurauannya dengan emotikon tertawa berderet-deret, tetapi kali ini kuabaikan semua pesannya itu.
=-=-=-AmelA-=-=-=
"Sibuk banget, Lail? Sampai-sampai pesanku enggak ada yang kamu balas."
Suara Mas Mirza mengagetkanku. Jam dinding menunjukkan pukul lima lewat lima belas. Rapat yang dia ikuti ternyata selesai lebih cepat dari dugaanku.
"Iya, Mas." Aku menjawab dengan nada datar. Bagaimana bisa dia masih bersikap santai seperti itu? Tidakkah dia merasa bersalah kepadaku?
Buru-buru kubereskan barang-barang. Kumasukkan laptop, dompet, dan ponsel ke dalam tas dengan sembarangan, padahal biasanya aku selalu menata barang-barangku serapi mungkin.
"Lho? Sudah mau pulang? Bukannya kamu sudah janji mau nemenin aku ke GI?" tanya Mas Mirza sambil mengiringi langkahku yang bergegas menuju mesin absen.
Kuletakkan telapak tangan di atas mesin pencatat presensi. Duh, baru kuingat kalau tadi pagi aku clock in pukul delapan. Harusnya aku baru boleh clock out pukul 17.30, sedangkan sekarang masih pukul 17.20. Sistem akan mencatatku pulang sebelum waktunya. Tunjanganku bulan ini akan kena potongan.
"Lail! Kamu kenapa sih?"
Nada suara Mas Mirza yang cukup tinggi membuat orang-orang divisi hukum yang sedang mengobrol di lobi memperhatikan kami.
"Enggak apa-apa, Mas. Aku mau cepat pulang. Lagi enggak enak badan," ujarku beralasan.
"Oalah. Ya sudah kalau gitu aku antar."
"Enggak perlu, Mas. Aku bisa pulang sendiri," tolakku. Biasanya aku akan menerima tawaran Mas Mirza dengan senang hati, tetapi kini kuputuskan untuk tidak lagi menerima kebaikannya. Bagaimanapun dia sudah menjadi calon suami orang. Aku harus belajar menjaga jarak darinya.
"Tunggu sebentar ya. Aku ambil handphone dulu," pinta Mas Mirza sebelum berlari masuk kantor.
Setelah sosoknya hilang dari pandangan, buru-buru kutekan tombol lift. Aku tidak berminat berboncengan pulang dengannya lalu digosipkan tidak tahu diri karena dekat dengan calon suami orang.
=-=-=-AmelA-=-=-=
Aku baru saja selesai berganti baju, ketika pintu kamarku diketuk dari luar. Wajah bulat telur Mbak Ria menyapaku begitu membuka pintu. Wanita yang bekerja sebagai customer service pada sebuah perusahaan provider telepon seluler itu menyunggingkan senyum khasnya.
"Ada Mirza tuh di bawah. Katanya dah coba telepon kamu tapi enggak diangkat."
Aku mendengkus. Sudah kuduga pria berdarah Sunda itu tidak akan menyerah begitu saja. Kutebak dia telah menunggu di ruang tamu kosan dengan seporsi soto betawi favoritku. Mas Mirza telah hafal betul makanan paling ampuh yang dapat membangkitkan selera makanku kala sakit.
"Kenapa memangnya, Lail? Biasanya kamu paling semangat kalau si Mas datang. Kalian lagi berantem?"
"Enggak kok, Mbak," jawabku singkat sambil menyambar jaket dari gantungan baju di balik pintu. Jangan sampai ada yang tahu bahwa selama ini aku menyimpan cinta untuk Mas Mirza. Biarlah perasaan ini menjadi rahasiaku saja.
Untung saja Mbak Ria tidak bertanya-tanya lebih jauh. Dia kembali ke kamarnya yang terletak tepat di seberang kamarku. Aku berkaca untuk memastikan penampilan. Mataku terlihat sedikit sembab, tetapi tidak ada waktu lagi untuk menutupinya. Lagipula aku tadi kan beralasan sakit. Bukankah wajar orang yang sedang sakit memiliki mata yang terlihat sayu dan wajah yang kuyu?
"Kamu beneran sakit, Lail? Atau cuma pingin ngehindarin aku?" Tatapan Mas Mirza membuatku jengah. Bagaimana bisa dia menunjukkan perhatian seperti ini ketika ada gadis lain yang telah mengisi hatinya?
"Buat apa aku ngehindarin Mas Mirza?" Kubalas pertanyaannya seolah tidak peduli.
"Karena rencana pernikahanku."
Aku tergemap. Apakah sikapku terlalu mudah ditebak? Tidak kusangka Mas Mirza dapat langsung mengetahui alasanku tadi pergi meninggalkannya begitu saja.
"Tadi sebelum pulang aku sempat mengobrol dengan Bu Wardah. Katanya dia sempat salah sangka, dipikirnya kita akan menikah. Dia nggak enak hati karena tadi bertanya langsung ke kamu tanpa konfirmasi ke aku dulu," lanjutnya.
Kupalingkan wajah ke samping. Tidak sanggup rasanya menatap Mas Mirza berlama-lama. Bagaimana bisa aku melupakannya jika wajah teduhnya terus membayang di pelupuk mata?
"Ya. Jujur aku kaget ketika tahu Mas akan menikah. Kupikir selama ini kita teman dekat, tapi untuk berita sepenting itu aku justru harus tahu dari orang lain. Ternyata cuma aku yang nganggap kita bersahabat." Aku berhenti sejenak untuk menarik napas dalam-dalam. "Mungkin buat Mas Mirza aku hanya sekadar teman nongkrong buat ngehabisin waktu luang aja. Nggak lebih dari itu."
Rasa sesak terus menghantam dada seiring dengan kata demi kata yang meluncur keluar dari bibirku. Aku menahan diri untuk tidak mengungkapkan isi hati lebih jauh lagi. Jangan sampai Mas Mirza tahu bahwa aku sempat mengharapkannya memiliki perasaan yang sama denganku..
"Bukan gitu, Lail. Jelas kamu lebih dari seorang sahabat buatku. Kamu salah paham."
"Salah paham gimana, Mas? Apa seorang sahabat akan nyembunyiin kabar pernikahan dari sahabatnya? Enggak, kan? Mas bahkan enggak pernah cerita punya pacar atau dekat dengan perempuan lain, tiba-tiba saja akan menikah." Aku mulai kesal.
"Karena aku memang enggak sedang dekat dengan siapa-siapa, Lail. Kecuali kamu!"
Mataku membulat menatapnya. Sungguh aku tidak mengerti apa yang dia maksud.
"Lalu kabar pernikahan itu bohong?" desisku tajam.
Kepalanya tertunduk. "Sayangnya kabar itu benar."
Harapan yang tadi sempat terkembang langsung layu lagi begitu mendengar kalimat yang diucapkan Mas Mirza. Rasa marah bergulung-gulung datang. Sungguh aku tidak mengerti apa maunya.
"Sampai sekarang aku terus mengusahakan supaya pernikahan ini enggak perlu terjadi, Lail. Itulah kenapa aku belum cerita ke kamu. Berkas cuti itu kuajukan dulu untuk berjaga-jaga kalau usahaku gagal. Rencananya malam ini aku baru akan mengungkapkannya--" Mas Mirza tak melanjutkan kalimatnya.
"Mengungkapkan apa, Mas?"
"Mengungkapkan perasaanku, Lail. Kalau aku sejak dulu suka sama kamu. Aku enggak pingin kehilangan kamu." Suara Mas Mirza terdengar bergetar. "Ta-tapi saat ini aku harus menikahinya."
Terima kasih sudah mampir.
Terima kasih juga sudah meninggalkan vote maupun komentar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top