7
Eason melangkah masuk memasuki lift di temani asistennya. Bayangan wajah tak acuh seorang wanita terlitas di pikirannya, entah kenapa wajah yang sebelumnya begitu enggan ia lihat bisa terbayang. Tak terlalu memikirnya Eason segera mengenyahkannya.
Lift berdenting dan terbuka, keduanya bersiap melangkah keluar bersamaan dengan seorang wanita yang bersiap masuk.
Tiga orang yang dulunya saling mengenal kini berpapasan, namun tampaknya tak ada yang berniat untuk saling menyapa, seolah mereka hanya orang asing semata.
Stella menekan tombol, menatap punggung seorang pria yang menghilang di telan pintu yang tertutup. Stella meraba dadanya yang kembali merasakan sesak.
Samar bayangan tentang seorang pria terbayang di pelupuk matanya, dia.. Eason? Ah, Stella ingat sekarang, pantas saja reaksi tubuhnya terasa aneh dari semalam. Mungkin perasaan dari si pemilik tubuh yang masih tertinggal, rasanya begitu sesak sama seperti saat ia mengetahui perselingkuhan Justine dan Aneth dulu. Tak ingin terlalu memikirnya Stella memilih memperhatikan pemandangan di luar sana dari kaca lift yang transparan.
Angin dingin membelai kulit putih mutiara Stella, bulan bersinar dengan terang. Di temani cahaya sang rembulan Stella melangkah dan berhenti di depan pembangunan gedung hotel milik Justine.
Cukup lama Stella berada disana, ia melihat ke arah sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari tempatnya. Lama Stella berada disana sambil memandang ponselnya sampai kemudian terdengar suara-suara aneh dari mobil yang bergoyang-goyang. Stella menggelengkan kepalanya, ia berbalik pergi dengan senyum tipis terukir di bibirnya.
**
Keesokan harinya..
Telepon terus berdering membuat seorang pria yang berada di meja kerjanya menggeram frustasi. Sejak pagi tadi teleponnya tak henti-hentinya berdering. Ia melonggarkan ikatan dasi yang terasa mencekik lehernya. Mencoba mengatur emosinya kemudian memgangkat panggilan tersebut.
"Hallo.."
"Bereskan semua kekacauan yang terjadi atau aku akan mencabut semua investasiku!"
Tut..
Tut..
Dan sambungan pun terputus tanpa menunggu jawaban Justine.
Ya, pria itu adalah Justine. Sejak tadi para investor terus menghubunginya memintanya membereskan kekacauan.
Tiba-tiba saja terjadi kekacauan yang membuat kepalanya serasa ingin pecah. Kabarnya salah seorang pekerja tak sengaja menemukan sepasang pria dan wanita yang hangus terbakar di dalam sebuah mobil di lokasi pembangunan hotel miliknya membuat polisi menutup kontruksi pembangunan hotelnya, membatasinya dengan garis polisi agar tak seorang pun yang mendekati lokasi kejadian.
Para investor menanyakan kinerjanya yang mereka anggap tidak becus. Demi Tuhan, apa hanya satu, dua bulan mereka menginvestasikan uang mereka di perusahaannya. Sudah bukan setahun, dua tahun ia memimpin perusahaan dan ini kali pertama hal seperti ini terjadi. Justine pun tak menginginkannya. Hotel itu adalah puncak mimpi terbesar bagi Justine sendiri. Selama bertahun-tahun ia telah merencanakan membangun hotel impiannya itu.
Ring-ring, telepon kembali berbunyi. Meski malas Justine tetap mengangkatnya. Ia tak bisa menyinggung orang-orang kaya yang menjadi sumber uangnya.
"Hallo."
"Justine! Kenapa kamu tidak mengangkat panggilanku?! Aku..."
"Demi Tuhan Aneth saat ini aku sedang tidak ingin di ganggu! Kau ku hubungi lagi nanti!!"
Tanpa menunggu jawaban dari kekasihnya Justine memutuskan panggilan. Ia memijit pelipisnya, kepalanya berdenyut sakit. Kenapa semuanya tiba-tiba menjadi seperti ini.
Tok..
Tok..
"Masuk!"
Seorang pria berkaca mata yang merupakan asiten Justine memasuki ruangan.
"Selidiki apa yang terjadi dan bereskan semuanya. Aku tidak mau tau!!" Justine memberi perintah.
"Baik pak." Pria itu menundukkan kepalanya kemudian pergi untuk menjalankan perintah Justine.
Justine bersandar sambil memejamkan mata. Tiba-tiba bayangan wajah yang tengah tersenyum muncul di pelupuk matanya. Seketika mata Justine terbuka, ia mengusap wajahnya kasar dan bayangan itu tak mau menghilang. Dulu ia merasa jika senyuman itu terasa memuakan namun entah mengapa kini senyuman itu terasa mengerikan. Apakah Stella mengutuknya dari neraka. Justine menggelengkan kepalanya mengusir pikiran konyolnya.
**
Aneth melemparkan ponselnya hingga hancur ke dinding. Wajah cantiknya terlihat mengerikan. Wanita itu mengusir semua orang yang tengah merias wajahnya, setelah mereka keluar ia melampiaskan kemarahannya dengan melemparkan apa saja yang ada di dekatnya. Seorang wanita yang duduk sambil membaca majalah tak jauh dari Aneth tampak tak terganggu, tampaknya ia telah terbiasa dengan kejadian itu.
"Pria sialan! Berani sekali dia memperlakukanku seperti itu! Dia pikir dia siapa?! Jika bukan karena aku sampai sekarang dia hanya seorang gelandangan! Brengsek!!" Aneth kembali melemparkan barang-barang yang ada di dekatnya.
Sebuah botol kaca melayang hampir mengenai wanita yang wajahnya terlihat datar. Wanita itu menangkap botol tersebut sebelum botol itu membentur jidatnya, ia menurunkan majalah di tangannya menatap Aneth yang masih saja mengamuk.
"Cepat atau lambat kau pun akan berubah menjadi gelandangan jika kau tak merubah sikapmu itu." Wanita berambut sebahu itu menatap Aneth tajam.
Melihat tatapan tajam itu Aneth hanya mendengus. Wanita itu tampak tak puas namun ia tak dapat melakukan apapun. Meski enggan ia harus mengakui bahwa karirnya berada dalam genggaman Betty___ menejernya. Aneth hanya mampu memaki dan mengeluarkan kekesalannya pada wanita itu dalam hatinya.
Betty menepuk kedua tangannya kemudian beberapa orang perias kembali masuk dan kembali melanjutkan tugas mereka merias wajah Aneth. Sapuan terakhir selesai, kini riasan Aneth telah selesai.
"Sekarang ayo kita berangkat." Betty melangkah pergi tanpa menunggu Aneth. Ia bahkan tak peduli dengan Aneth yang kesulitan berjalan di belakang karena gaunnya.
Aneth menatap tajam punggung manajernya seolah ingin melubanginya. Jika saja ia tak membutuhkan bantuan Betty ia pasti sudah membuang wanita itu. Sayangnya wanita sialan itu masih ia butuhkan untuk membantu karirnya. Dan juga Betty memegang banyak kelemahannya jadi ia harus memikirkan cara dengan matang sebelum benar-benar menendangnya. Aneth aebenarnya tak tahan lagi dengan penghinaan yang harus ia tanggung, namun untuk saat ini ia hanya bisa menanggungnya.
Setengah jam kemudian mobil yang di tumpangi Aneth dan menejernya sampai di sebuah hotel bintang lima. Seorang pelayan menuntun mereka ke sebuah ruang VIV yang telah di pesan.
"Silahkan."
Pintu terbuka, aroma alkohol dan asap rokok terasa nyesekan begitu Aneth melangkah ke dalam. Dorongan ingin muntah Aneth rasakan namun cubitan di pinggangnya membuat wanita itu memaksakan senyumnya.
"Oh, kau sudah datang. Kemarilah! Kemari!"
Seorang pria berusia lebih dari 50-han melambai meminta Aneth mendekat. Pria itu menepuk kursi di sampingnya menyuruh wanita itu duduk di sampingnya.
Betty menyesap minumannya dengan santai di sudut ruangan. Ia hanya menatap datar Aneth yang berusaha menahan kekesalan pada pria tua yang menggerayangi tubuh wanita itu dengan tangan nakalnya.
Dalam dunia aktris hal seperti ini biasa terjadi. Jika kau ingin mendapatkan sesuatu maka harus ada yang kau korbankan. Memang tak semua dunia gemerlap di balik layar kaca semenjijikan itu, tapi hey butuh berapa tahun atau puluh tahun yang harus kau lalui jika ingin sampai ke puncak. Lagi pula kau akan lebih dulu terinjak oleh orang lain sebelum mendapatkan popularitas itu. Jika pun kau mendapatkannya tanpa jalan seperti ini dalam hitungan lima, enam bulan karirmu akan kembali meredup.
_____________________
Di tempat lain Stella mengangguk puas dengan foto-foto yang orang suruhannya berikan padanya. Amplop berisi uang beralih tangan dan salinan asli foto pun Stella dapatkan. Stella mengangguk mempersilahkan orang bayarannya pergi.
Ini hanyalah awal. Masih bayak kejutan yang menanti mereka semua.
Stella meletakan beberapa lembar uang di meja untuk membayar makanannya sebelum pergi. Stella merapatkan mantelnya sebelum memasuki mobilnya.
Dari kejauhan Eason yang telah lebih awal berada di tempat itu memperhatikan semuanya. Sudah ia duga mana mungkin wanita itu berubah begitu cepat. Ia mengeluarkan ponselnya menghubungi Fred, asistennya.
"Lindungi Fallen." Tanpa menunggu tanggapan Fred ia memutuskan panggilan.
Fallen adalah teman masa kecil Eason. Kemarin mereka tak sengaja bertemu di hotel setelah sekian lama tak bertemu. Stella pasti akan mencoba melakukan sesuatu pada Fallen mengingat saat itu Fallen mengecup bibirnya karena kebiasan kecil mereka dan tak sengaja berpapasan dengan Stella.
Eaaon tak bisa membiarkan Fallen terluka. Bukan karena ia mencintai Fallen namun ia tak bisa membiarkan ada wanita lagi yang terluka karena ulah Stella dan penyebabnya adalah dirinya. Eason mendengus ketika mengingat kata-kata yang kakeknya ucapkan.
Wanita mengerikan seperti Stella mana mungkin akan berhenti semudah itu. Tak lama kemudian rekan bisnis yang sejak tadi Eason tunggu tiba. Pria itu mengenyahkan semua pikiran yang sebelumnya mengganggunya. Ia memusatkan semua konsentrasinya pada pekerjaannya.
Tbc...
**
Maaf ya buat kalian lama nunggu. Dudaku (duit dadakan 😆) lama cair jadi males nulis aku. Ada pun ide yang nyangkol malah buat cerita lain. Maafken saya ya, hehe..
Oh ya sesuai janji hari ini batas untuk ikutan Give away ya dan 2 hari lagi pemenangnya aku umumkan pas hari lahir aku. Kira-kira siapa pemenangnya ya?? Apa kamu??
Eaaaaaaaaa.
Di tunggu aja pmngumannya 2 hari lagi.
09 September 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top