12
Stella berjalan menyusuri lorong di temani Teddy di sampingnya. Pria setengah baya itu ingin bertanya apa alasan Stella memberikan uang sebanyak itu pada sopir itu. Tadi Stella sudah sedikit menjelaskan jika pria itu merupakan salah satu dari pekerja di proyek baru mereka dan baru saja mengelami kecelakaan. Bukankah dengan menolongnya keluar dari penjara saja sudah cukup? Teddy bertanya-tanya mungkinkah nonanya telah di peras.
Melihat wajah tua Teddy yang terus berkerut Stella hanya terkekeh pelan. "Anaknya sakit dan harus segera di operasi. Aku hanya ingin membantunya, apa itu salah?" Stella memiringkan kepalanya menatap Teddy yang juga menatapnya.
"Tapi uang itu terlalu besar nona." Teddy menghela nafas, ternyata alasan Stella memberikan jumlah uang yang begitu banyak pada pria itu karena kasihan.
"Jika aku hanya memberinya uang sedikit itu tidak akan cukup untuk membiayai pengobatan putrinya sampai sembuh. Bukankah jika ingin membantu orang jangan setengah-setengah? Hasilnya pun belum tentu maksimal jika kita melakukannya setengah-setangah seperti itu.
Lagi pula ia sudah bekerja lebih dari 10 tahun di bawah perusahaan kakek. Meski dia hanya kariyawan rendah tapi dia layak di beri imbalan atas kerja kerasnya." Stella tersenyum tipis mengakhiri ucapannya.
Teddy kembali menghela nafas mendengar penuturan Stella. Pada akhirnya nonanya ini memang terlalu baik.
Langkah kaki Stella terhenti di depan sebuah ruang UGD. Dari para dokter yang terlihat sibuk di dalam sana dan lalu lalang para suster yang keluar masuk, terlihat mereka tengah menangani pasien gawat darurat yang tak lain wanita yang Stella awasi keluar dari mini market. Stella menatap pemandangan itu dari celah pintu yang terbuka, tatapan matanya berubah dalam.
Jeritan si wanita terdengar nyaring membuat alis Teddy berkerut. Ia merasa tak nyaman berada di sana lebih lama lagi. Teddy pun mengajak Stella untuk kembali berjalan dan mereka pun pergi ke kantor.
**
Beberapa hari berlalu, terlihat beberapa pasien baik yang sakit biasa, kronis, kecelakaan terus mendatangi rumah sakit tersebut.
Seorang suster memasuki sebuah ruangan dengan nampan berisi makanan pasien di tangannya. Ia merasa sangat tak nyaman bila berlama-lama berada di ruang rawat pasien itu. Tatapan tajam si pasien yang selalu mengikuti kemana pun langkahnya membuatnya bertanya-tanya apakah ia melakukan kesalahan pada pasien ini. Setelah memeriksa botol infus masih penuh dan berjalan normal ia pun bergegas keluar.
Magie, wanita itu berdecih sinis melihat suster itu segera keluar dari ruangannya. Sekilas saja ia tau jika suster itu adalah wanita penggoda berkedok seorang perawat dari pakaian ketat yang memperlihatkan lekukan sempurna tubuhnya dan kancing teratas yang terbuka membuat para pasien dapat melihat payudaranya jika ia menunduk.
Magie meraba wajahnya yang terbalut perban kemudian mengambil cermin yang ada di nakas samping ranjang rawatnya. Matanya berair mengingat wajah cantiknya kini berubah buruk karena kecelakaan beberapa hari lalu melukai wajahnya. Padahal belum seminggu ia baru saja memperbaiki hidungnya yang sebelumnya bengkok karena terkena panas terik matahiri saat terlalu lama bertugas di lapangan.
Magie menagis kemudian melempar cermin itu. "Kenapa? kenapa kau memperlakukanku seperti ini?" Ia berteriak dan memarahi sang Tuhan yang menurutnya selalu memperlakukannya tidak adil.
Magie membuka belitan perban dan mengambil pecahan cerimin di lantai. Tangannya gemetar meraba luka panjang dan cukup dalam yang menghiasi dari pipi hingga ke dagunya.
Magie pun kembali melempar pecahan kaca itu hingga kini menjadi pecahan kecil. Ia meraung dan menangis sejadinya.
Magie berpikir ia harus menjalani operasi plastik kembali untuk mengembalikan kecantikannya, setelah sebelumnya ia pun sudah menjalani operasi sebanyak tiga kali untuk mendapatkan kecantikan yang begitu di idamkannya.
Megie tak peduli dengan rasa sakit yang harus di tangungnya. Yang terpenting adalah mendapatkan wajah cantik impiannya kembali. Namun ia tak lagi memiliki uang, semua uangnya telah habis ia pakai untuk membiayai operasi sebelumnya. Untuk biaya rumah sakit pun di tanggung asurasi dari pekerjaannya. Magie segera mengambil ponselnya, ia berniat menghubungi kekasihnya.
Telepon tersambung namun tak di angkat, setelah panggilan ke empat kekasihnya__Billy baru mengangkatnya.
"Magie, jangan sekarang! Saat ini aku tengah bersama istri dan anakku."
Magie tau jika Billy akan memutuskan panggilan segera ia berteriak mengancam Billy. "Jika kau mematikan panggilan aku akan menghubungi istrimu!"
Terdengar geraman dari seberang sana namun Magie tak peduli, yang terpenting adalah ia membutuhkan uang dan Billy harus memberikannya.
Setelah lama hening suara Billy terdengar kembali, tampaknya pria itu berjalan terlebih dahulu menjauhi istri dan anaknya.
"Ada apa? Katakan dengan cepat!"
"Aku membutuhkan uang!"
"Apa? Magie, seminggu lalu aku sudah memberimu uang. Yang benar saja kau meminta lagi?!"
Dari suaranya Magie tau jika Billy sangat marah. "Aku tidak peduli. Beri aku uang 10.000 dollar atau aku akan membeitahukan hubungan kita pada istrimu." Magie mengancam Billy. Ia tak memiliki pilihan lain. Bagaimana pun caranya ia harus kembali cantik.
_______________
Di ruangannya Stella mendengarkan percakapan Magie dan kekasihnya. Ia bersandar dengan santai, memutar-mutar pena di tangannya.
Panggilan itu terputus. Stella pun melepas headsfree di telinganya. Magie, Stella teringat dengan wanita itu. Jika bukan karena kerja keras orang-orangnya ia takkan mungkin mengenali wanita itu sebagai sipir wanita yang telah membunuhnya.
Magie tampaknya menggunakan uang yang Aneth berikan dengan baik. Mewujudkan impiannya sejak dulu yang ingin memiliki paras cantik. Tak peduli seberapa banyak ia harus menanggung rasa sakit akibat operasi demi operasi yang harus di jalaninya.
Stella tersenyum kecil, ia ingin melihat sekeras apa tekad yang Magie miliki demi kecantikan impiannya itu. Tangan Stella mengetik sebuah pesan via email yang berisi. Lusa wanita itu akan datang padamu. Lakukan sesuai kesepakatan jika kau tak ingin aku memebeberkan kejahatanmu pada polisi! Send. Dan pesan pun terkirim.
Stella kembali sibuk memeriksa berkas yang di berikan Teddy tadi pagi. Sampai semua orang sudah pulang dan langit telah menguning Stella masih fokus pada pekerjaannya.
Pintu terbuka namun Stella tak menyadarinya, ia terlalu serius menekuni pekerjaannya. Morgan yang melihat itu menggelengkan kepalanya. Ia menyukai perubahan Stella yang giat bekerja namun melihat cucunya yang bekerja terlalu keras bahkan sampai mengabaikan waktu dan kesehatannya membuat Morgan menghela nafas tak berdaya.
"Semua orang sudah pulang. Kenapa kamu masih berada di sini?"
Suara bariton Morgan membuat Stella mengangkat kepalanya. Gadis itu melepas kaca mata yang membingkai matanya kemudian berdiri berjalan menghampiri pria yang sudah Stella anggap seperti keluarganya sungguhan.
Stella ingin egois untuk kali ini saja, biarkan ia merasakan cinta yang sesungguhnya dari seorang keluarga meski ia tau yang Morgan sayangi adalah Stella si pemilik tubuh yang sesugguhnya.
"Masih banyak yang harus ku kerjakan kakek."
Stella mempersilahkan Morgan duduk sofa, saat ia beranjak untuk membuat minuman Morgan mencegahnya. "Tidak perlu, kakek kesini hanya untuk melihatmu."
Melihat tatapan lembut Morgan membuat hati Stella menghangat dan sakit secara bersamaan. Andai kasih sayang itu tertuju untuknya. Stella tersenyum hangat berusaha menutupi suasana hatinya yang sedikit mendung.
"Kakek tak perlu khawatir. Aku hanya sedang bersemangat bekerja. Mungkin setelah bosan aku malah kembali malas seperti sebelumnya." ucap Stella di akhiri kekehan.
Morgan mengangguk mendengarnya dan ikut terkekeh. Akhir-akhir ini Stella memang sangat bersemangat bekerja. Gadis itu sangat sibuk mengontrol dan mengecek semua proyek dan anak cabang perusahaan di bawah kendalinya membuat mereka sangat jarang untuk bertemu.
"Jangan terlalu memaksakan dirimu. Kakek senang dengan perubahanmu, namun jangan terlalu keras bekerja! Tetap jaga kesehatan dan jangan lupakan masa mudamu. Sesekali keluarlah untuk bersenang-senang."
Morgan tak ingin pekerjaan menyita waktu Stella dan membuat Stella tak dapat menikmati masa mudanya.
Stella mengangguk namun tak mengiyakan permintaan Morgan. Stella bekerja keras karena sebelumnya ia telah memakai uang yang Morgan berikan dalam jumlah besar untuk kepentingan balas dendam masa lalunya. Bekerja keras merupakan cara untuk membalas kebaikan Morgan. Hanya itu yang mampu Stella lakukan.
"Baiklah, sudah menjelang malam. Ayo, kakek antar kau pulang."
Morgan bangkit begitu pula dengan Stella. Setelah membereskan pekerjaannya Stella pulang di antar oleh Morgan.
"Kamu yakin tidak ingin pindah ke kediaman kakek? Kakek merasa kesepian hidup sendirian." Untuk kesekian kalinya Morgan menawari Stella pindah. Sejak dulu ia tau Stella tak nyaman tinggal di rumah Adam, namun entah apa alasannya Stella selalu menolaknya saat ia memintanya pindah.
"Mungkin nanti kakek."
Morgan menghela nafas mendengar jawaban yang sama selama bertahun-tahun. "Baiklah. Jika terjadi sesuatu atau kau berubah pikiran beritahu kakek. Pintu rumah kakek selalu terbuka lebar untukmu."
Stella tersenyum dan mengangguk sebelum keluar dari mobil. Tangan Stella melambai pada mobil yang mulai meninggalkan pekarangan.
Senyum di bibir Stella lenyap. Bukan Stella tak ingin pergi dari rumah ini, namun sebelum pergi ia harus menuntaskan janjinya pada si pemilik tubuh. Saat menyadari bahwa ia menempati raga Stella Mcville saat itu ia telah berjanji bahwa ia akan membalas orang-orang yang telah membuat si pemilik tubuh sebelumnya menderita. Stella tak bisa pergi sebelum menuntaskan janjinya.
Tbc..
**
10 Oktober 2020
Maaf tadi part 14 ke pencet
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top