11

Open PO mulai dari 25 September - 15 Oktober 2020. Cetak hanya sesuai pesanan! Harga only 115k, belum termasuk ongkir.

Format pemesanan :

Nama :

Alamat :

Kode pos :

No. Hp :

Jumlah dan nama buku :

Minat chat 083821253952.

Di wp nanti tamat, cuma tamatnya sesuai porsi yang ku tentukan.

Kelebihan :

-  Di buku ada 10 part yang gak akan kalian temuin di wp. Dengan kata lain 10 Extra Part!

- Ebook 5 Extra Part!

Dan hanya cetak sekarang aja. Aku gak cetak cerita ini lagi!! Oh iya buku My Angel is My Beautiful Devil juga ada sisa satu yang mau boleh harga Only 105k. Pembelian lebih dari satu diskon 10%. Jadi tawari temen kamu ya biar dapat diskon.

✨Happy Reading✨

Teng, ting, tang, suara tuts piano yang tengah di mainkan terdengar namun baru beberapa nada jari lentik Aneth kembali berhenti seperti sebelumnya. Aneth mengambil kertas dan pena kemudian mencoret nada yang baru saja di cobanya. Ia pun menulis nada baru dan kembali tang, tang, tung, Aneth mencoba nada itu namun berakhir sama, ia kembali mencoret nada-nada itu.

Wajah Aneth terlihat begitu buruk, ponselnya berdering dan ia hanya meliriknya sekilas. Aneth kembali menulis beberapa not dan kali ini lebih panjang, ia pun mulai kembali menekan tuts-tuts nada namun berhenti saat merasa nada-nada itu terdengar biasa saja.

Ponsel Aneth kembali berdering namun Aneth mengacuhkannya. Beberapa kali Aneth menulis nada namun sesaat kemudian mencoretnya kembali. Hal itu terus terjadi berulang-ulang hingga akhirnya Aneth menekan pena di tangannya dengan keras dan terus mencoret-coret buku itu hingga akhirnya robek.

"Akkhh!"

Aneth melemparkan buku itu di susul benda-benda lain yang ikut melayang seiring kemarahan Aneth.

Prag!

Prag!

Buk!

Betty yang duduk di sofa sambil memainkan ponselnya hanya membiarkan Aneth. Ring, ring, ponsel Aneth kembali berdering dan.. Brak! Ponsel itu kembali bernasib sama seperti benda-benda lainnya yang hancur menghantam dinding.

Pemicu kemarahan Aneth adalah karena pihak agensi yang terus menerus menghubungi dan menekan Aneth untuk segera membuat album baru yang membuat wanita itu merasa frustasi.

Pihak agensi tak menyediakan seorang pencipta lagu untuk Aneth karena dalam 4 tahun karier Aneth, Aneth selalu menciptakan karya-karyanya sendiri. Tercatat selama 4 tahun itu Aneth telah memiliki 6 album, satu album berisi 10 lagu yang artinya 4 tahun ini Aneth telah menciptakan 60 lagu yang tentunya kaku keras di pasaran.

Pihak agensi ingin Aneth segera menghasilkan karya baru karena baru-baru ini muncul artis baru yang cukup populer dari perusahaan agensi lain. Meski belum sampai tahap mengancam popularitas Aneth mereka ingin Aneth menghasilkan karya baru untuk mempertahankan tempatnya. Dan hal itu membuat Aneth frustasi, karena selama ini yang menciptakan lagu-lagu itu jelas bukan dirinya, tapi Stella sahabatnya yang kini telah tertimbun tanah, mati karena ia singkirkan.

"Aku akan keluar sebentar." Betty bangkit kemudian beranjak meninggalkan Aneth sendirian di ruangan itu.

Aneth menatap punggung asistennya tajam. Ia merasa Betty sangat tak berguna. Betty jelas mengetahui jika ia tak bisa menciptakan satu bait nada pun namun wanita itu diam saja saat pihak agensi menekannya. Seharusnya wanita itu mencarikan seorang pencipta lagu untuk menyelamatkannya. Jika kariernya terancam bukan hanya ia yang dirugikan namun Betty juga. Aneth semakin membenci Betty.

**

Di sebuah restoran Justine tengah menunggu kedatangan seseorang. Sudah satu jam ia duduk disana. Karena terlalu bersemangat ia datang satu jam lebih awal. Justine kembali melirik arloji di tangannya dan merasa semakin tidak sabar karena waktu pertemuan telah tiba. Namun belum ada tanda-tanda orang yang di tunggu-tunggunya datang. Meski begitu Justine tak mengeluh, mungkin terjadi sesuatu yang membuat orang yang di tunggunya datang terlambat, fikirnya.

Satu jam pun berlalu. Justine yang tadi duduk tenang dengan ekspresi bahagia kini terlihat resah. Ia terlihat ragu antara menghubungi orang tersebut atau tidak.

Justine kembali menegak kopi di gelas ketiganya, tampaknya memang terjadi sesuatu dan itu membuatnya cemas. Ia ingin menghubungi orang tersebut namun memutuskan untuk kembali menunggu. Ya, mungkin sebentar lagi dia akan sampai. Namun satu jam kembali berlalu dan orang yang di tunggunya masih belum tiba.

Ring, ring, ponsel Justine berdering, nama Beautiful Girl muncul di layar. Sedetik kemudian Justine dengan cepat mengangkat panggilan itu.

"Hallo, Mr. Melano." Suara lembut seorang wanita terdengar.

Jantung Justine berdebar dengan kencang. Wajah resahnya seketika berganti bersemangat, Justine membenarkan posisi duduknya menjadi lebih tegak seakan orang yang tengah berbicara dengannya ada di hadapannya memperhatikannya.

"Ah, ya. Hallo."

Suara gugup Justine membuat wanita itu tersenyum tipis di seberang sana.

"Saya ingin minta maaf karena saya tidak bisa datang kesana. Saya memiliki urusan mendesak, jadi bisakah kita menunda pertemuan di lain waktu?"

Rasa kecewa menghantam Justine namun ia berusaha mengerti. Mungkin ada hal yang lebih mendesak itu sebabnya pertemuan mereka di batalkan. Bukan masalah, lagi pula ini hanya di undur yang artinya ia masih bisa bertemu dengan gadis cantik yang terus terbayang-bayang dalam ingatannya sejak mereka bertemu.

"Ya, tidak masalah. Tidak masalah." Justine mengangguk-anggukkan kepalanya.

Kekehan terdengar membuat Justine membayangkan jika gadis cantik itu tengah tersenyum begitu menawannya.

"Terima kasih atas pengertian anda. Sekretaris saya akan menjadwal ulang pertemuan kita nanti."

"Ya, ya." Justine tentu setuju.

"Baiklah, sekali lagi terimakasih Mr. Melano. Saya tutup teleponnya."

"Ya, ya."

Dan panggilan pun berakhir. Justine menyeka keringat di keningnya. Tanpa basa-basi ia pun beranjak keluar dari restoran itu. Tak ada gunanya ia ada disana, lagi pula orang yang di tunggunya sudah di pastikan tidak akan datang.

Saat mobil Justine melaju meninggalkan restoran Stella keluar dari mobilnya. Ia menggeleng dengan senyum tipis terukir di bibir tipisnya. Justine benar-benar konyol, pria itu bahkan menunggunya selama tiga jam.

Stella kemudian memasuki restoran itu, ia duduk di meja bekas Justine tadi. Stella hanya memesan secangkir esspreso kemudian tatapannya mengarah ke luar dimana sebuah mini market berada.

Beberapa saat kemudian terlihat seorang wanita bermantel merah turun dari mobil dan memasuki mini market tersebut. Wanita itu memakai masker yang menutupi sebagian wajahnya. Ia masuk ke dalam tak begitu lama, dengan membawa kantong belanjaan berukuran sedang ia pun keluar dan kembali ke mobilnya.

Stella terus mengawasi wanita itu sampai mobil wanita tersebut menghilang, ia pun menghubungi seseorang. "Lakukan!" Setelah mendengar kata 'Ya' dari seberang sana Stella pun menutup panggilan.

Tak lama kemudian terdengar suara benturan yang cukup keras. Orang-orang menghentikan kegiatan mereka dan berlari menuju tempat itu begitu juga dengan Stella yang berjalan mengikuti orang-orang.

Asap mengepul dari sebuah mobil yang terbalik menabrak sebuah pohon. Terlihat di sudut lain mobil bermuatan berat yang tersungkur menabrak pembatas jalan.

Mobil polisi dan ambulans tiba dan membuat garis polisi di sekitar lokasi mencegah orang-orang yang berkerumun mendekati para korban yang mulai di evakuasi.

Stella berdiri dengan tangan yang ia masukan ke dalam saku jasnya, tatapannya tak lepas dari seorang wanita yang mengaduh memegangi wajahnya yang berlumuran darah. Wanita itu adalah wanita yang tadi keluar dari mini market. Melihat di sudut lain bahwa si sopir muatan berat tak memiliki luka yang cukup serius para polisi pun menggiringnya menuju mobil mereka untuk di mintai keterangan perihal kecelakaan tersebut. Stella mengangkat dan melewati garis polisi kemudian mendekati mereka.

"Nona tolong jangan menghalangi kami!" Salah satu polisi berucap pada Stella yang berdiri menghadang mereka.

"Dia salah satu karyawan saya." Ucap Stella.

"Ya, benar. Benar. Dia bos saya." Pria yang merupakan sopir itu tampak gembira melihat keberadaan Stella disana. Ia pun segara memohon dan meminta Stella menolongnya. "Nona, tolong saya! Saya telah bekerja di perusahaan kakek anda lebih dari 10 tahun dan saya memiliki anak istri yang harus saya hidupi." Pria itu mengiba.

Stella mengangguk kemudian menatap sang polisi. Melihat hal itu si polisi hanya mengangguk pada Stella. Dari pakaiannya mereka tau jika Stella bukan seseorang yang dapat mereka singgung.

"Anda dapat ikut kami ke kantor polisi nona."

Stella mengangguk dan mengikuti dari belakang menggunakan mobilnya.

Sampai di kantor polisi sang polisi pun meminta keterangan dari si sopir dan mencatatnya. Beberapa menit berlalu si sopir pun di bebaskan dan sudah boleh pulang.

"Sebaiknya kita ke rumah sakit. Anda terluka." Tatapan Stella jatuh pada darah kering di kaki si sopir.

Sopir itu menggeleng, ia tersenyum pada Stella. "Tidak perlu nona, saya baik-baik saja." Ia menolak karena merasa lukanya tak cukup serius. Mungkin kakinya tadi terluka saat ia panik menghindari tabrakan, namun lukanya tak terlalu serius jadi ia rasa tak perlu sampai ke rumah sakit.

Namun Stella berpikiran lain. Akhirnya si sopir menyerah dan mau di ajak ke rumah sakit. Namun bukan untuk memeriksakan lukanya, tapi ke sebuah ruangan dimana putrinya tengah di rawat.

**

Teddy berlari memasuki rumah sakit, jantungnya seperti mau lepas saat mendengar Stella ada di rumah sakit. Sebuah koper berisi uang ada di tangannya, sebenarnya ia tak begitu mengerti mengapa Stella memintanya membawa uang sebanyak itu ke tempat seperti ini. Karena terlalu khawatir dengan keselamatan Stella pria setengah baya itu hanya mengiyakan dan menuruti perintah Stella tanpa bertanya.

Teddy berhenti berlari saat tiba di depan ruangan yang tadi Stella beritahukan keberadaannya. Tanpa mengatakan apapun ia bergegas masuk. Di sana Stella menyambutnya dengan senyuman. "Nona."

"Terima kasih telah datang kesini." Melihat nafas Teddy yang masih memburu Stella tau ia telah membuat tangan kanan kakeknya itu khawatir.

"Berikan uang itu pada bapak ini!" Stella memberi perintah pada Teddy untuk menyerahkan koper itu pada si sopir.

Alis Teddy saling bertaut, bibirnya terbuka namun segera tertutup kembali saat melihat tatapan tak terbantahkan Stella.

Dengan tangan gemetar sopir itu menerima koper berisi uang yang di berikan Stella. "Terimakasih nona. Terimakasih." Tak henti-hentinya ia mengucapkan terimakasih pada Stella begitu juga istrinya yang melakukan hal yang sama. Stella mengangguk. Si sopir dan istrinya saling berpelukan dan menangis haru.

Tbc..

**

Yuk yang mau ikut po bukunya di tunggu. Banyak bonus chapter dan give cantik juga loh.


01 Oktober 2020.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top