Rebirth | 02

WARNING: 🔞🚩
Adegan dewasa, NSFW.

- 🚩 -

FUNight Exclusive Bar
— Jakarta Selatan
Shakti' working room



"Oh."

"Ah ... ah ..."

Shakti menahan decakan seraya mempercepat gerakan pinggul. Ia berusaha tidak kehilangan mood sekaligus minat untuk beralih posisi.

Carmen?

Carrie?

Crissy?

Shakti tidak ingat siapa nama perempuan ini, namun jelas suara erangannya agak mengganggu. Mereka menyelinap masuk ruang kantornya kurang lebih setengah jam yang lalu dan setelah beberapa menit saling goda akhirnya beralih ke menu utama.

Sok polos adalah strategi awal yang bagus, perempuan ini berlagak enggan, sempat merengek takut, tetapi begitu merasakan ayunan pinggul seketika meregangkan lutut dan mulai mengerang tanpa malu-malu.

Dasar rubah betina!

"Oh, please, please ... push more deeper."

Damn! Shakti justru begitu saja menghentikan gerakan tubuh, sebal dengan racauan semacam itu. Ia berusaha melepaskan diri namun dua kaki berbalut stoking robek segera melingkar berusaha keras menahan pinggangnya, gantian bergerak-gerak hingga akhirnya tubuh setengah telanjang perempuan itu mengejang.

"Oh, great!"

Shakti mengalihkan kedua tangan, lantas membebaskan diri. Ia beralih ke kamar mandi, mencopot lateks yang tidak terpakai dan membuangnya.

Babi! Ia memaki dalam hati, seharusnya ingat untuk menutup mulut perempuan sebelum bermain-main, karena jelas racauan tidak tahu malu, sukses menghilangkan mood-nya. Sialan!

"Babe, are you done?"

Shakti menjawab tanpa menoleh, "Yeah, Criss. You can go!"

"Criss? I'm Kat ... Katrina."

Siapa peduli, Babi!

Shakti merapikan celananya, mencuci tangan dan keluar kamar mandi, mendapati si Katrina duduk di pinggiran meja kerja sambil bersedekap.

"Who the hell is Criss?" seruan itu terdengar galak, diikuti wajah muram yang tidak terima.

Wanita, mereka selalu ingat sekaligus punya minat dalam mempermasalahkan hal-hal sepele.

"I don't really remember, maybe the girl before you, or from last night's party ... I don't know!" Shakti akui bahwa dia tidak suka menghafal nama-nama perempuan yang dipakainya dan dia juga tidak peduli dengan mereka semua.

"You're bast—"

"I am bastard, yes." Shakti menanggapi lugas, tanpa perlu merasa malu atau tersinggung. Ia sekalian menunjuk pintu. "So, get your ass out of my place."

"Not with the compensation."

Kompensasi = uang.

Tentu saja, memang begitulah inti dari semua kesenangan, uang sebagai bentuk pertukaran atau transaksi nyata. Shakti mengeluarkan dompet dari saku belakang celana jeansnya, melempar lima lembar seratus dollar yang seketika dipungut oleh Katrina.

Hilang sudah wajah muram perempuan yang tidak terima dengan kesalahan panggil. Usai membereskan uangnya, merapikan pakaian yang tersisa sekenanya, langkah-langkah sepatu hak tinggi itu terdengar ritmis menuju pintu.

"Thank you, Babe ... call me again, next time."

Shakti tidak menanggapi, memastikan pintu telah tertutup rapat dan baru mengeluarkan sekotak rokok, membawanya ke sofa lalu menyalakan batang pertama.

Ia baru dua kali mengisap rokok, sewaktu tiba-tiba pintu ruang kerjanya terbuka dengan tergesa.

"Boss!" Moldi, salah satu manajer bar datang mendekat.

Shakti menoleh, agak heran dengan wajah panik itu. "Ada yang keciduk?"

"Bukan! Satya belum lama minta pilot tapi Lucas semalam terbang ke Yogyakarta, dia bawa Waffa sama Princess."

"Ya, udah, cariin pilot lain aja. Satya enggak ri—"

"Mereka terbang ke Yogyakarta karena infonya P1 kecelakaan!" sela Moldi.

P1, sign name yang merujuk pada member VIP Bar ini. Kagendra Pradipandya, sahabatnya.

Shakti begitu saja menegakkan punggung, mengerjapkan mata sembari menunjuk ponsel di meja. "Lo jangan bercanda ya, Mol."

Moldi mengambilkan ponsel bosnya. "Mana berani bercanda begini! Belum ada berita apa-apa, gimana kalau beneran lewat?"

"Enggak mungkinlah, Babi!"

Shakti menerima ponselnya, berusaha tidak panik meski degub jantungnya meningkat. Ia bergegas menyalakan ponsel, mengabaikan rentetan chat masuk dan fokus menghubungi kontak Waffa.

"Halo," sahutan itu terdengar setelah dua deringan.

"Fa! Gendra gimana?" tanya Shakti cepat.

"Lo tahu dari siapa, Shak?"

Shakti mengembuskan napas lega, nada suara Waffa terdengar tenang. "Moldi telepon Lucas, Satya butuh pilot buat ke Thailand ... terus dia bilang lagi bawa lo sama Desire ke Yogyakarta. Katanya kecelakaan?"

"Lyre yang parah, Kagendra aman! He’s quite fine, tapi ... ya begitulah. Lyre juga belum sadar jadi bakal lama di sini."

"Anaknya?"

"Ravel baik, enggak luka."

"Oke, good." Shakti kemudian mengakhiri panggilan telepon dan mengisap rokoknya lagi. Ia sekalian memberi kabar di grup, agar teman-temannya yang lain tetap tenang apabila tanpa sengaja mendengar kabar Kagendra. "Lo jangan bawa berita ini keluar ya, Mol."

"Hidup nih, berarti?"

"Lo pikir Waffa sanggup angkat telepon kalau Kagendra mati?" tanya Shakti dengan nada sebal, melempar ponselnya ke atas meja.

Moldi meringis, memahami kedekatan dua sahabat terdekat bosnya itu dan menggeleng. "Sorry, Boss ... gue juga kaget banget, langsung lari gue dari depan."

Shakti kembali menyandarkan punggung, memejamkan mata menikmati isapan rokok berikutnya, berulang-ulang hingga setengah batang terbakar.

"Gue balik depan ya, Boss."

"Hmm ..." balas Shakti sambil menikmati rokoknya dalam hening, membayangkan akan sekacau apa situasinya jika Kagendra sampai dinyatakan tewas dalam kecelakaan.

Mereka saling mengenal sejak sama-sama terlambat di hari pertama perkenalan siswa baru. Ia terlambat karena jet lag, sementara Kagendra terlambat karena salah memakai seragam.

Anak manja yang pukulannya menyakitkan, itu adalah penilaian pertama Shakti pada Kagendra dulu. Ia semula hanya iseng meledek, mengingat teman satu kelasnya itu selalu butuh bantuan dalam menyiapkan banyak hal, perkara makan juga sangat merepotkan.

Seminggu pertama sebagai siswa baru, Shakti mendapat perkelahian pertama. Kagendra memukulnya dua kali, setelah itu beranjak pergi dan tidak pernah menggubris lagi setiap kali ada ledekan tentang anak manja.

"If I was you, I will be more careful." Itu adalah kalimat pertama yang diucapkan Waffa ketika Shakti ganti meledeknya sebagai anjing peliharaan Kagendra.

Dua anak itu memang selalu bersama-sama, menempati kamar asrama yang sama bahkan bersebelahan ketika duduk di kelas atau makan. Kagendra dan Waffa bahkan sudah bersama-sama sejak kindergarten class, tidak terpisahkan di setiap jenjang pendidikan selanjutnya.

Shakti saat itu masih merasa percaya diri dalam mengejek dan membuat masalah dengan si anak manja. Hingga pada akhir pekan berikutnya terjadi hal diluar dugaan. Identitas pribadi ibu kandung Shakti tersebar di sekolah. Termasuk foto-foto pribadi kala menjalankan pekerjaan lama sebagai seorang hostest.

Hostest adalah pelayan wanita seksi yang biasanya mendampingi pelanggan VIP sebuah bar esklusif untuk minum-minum. Identitas berupa nama asli berikut nomor ponsel sekaligus bar tempatnya dulu bekerja mendapat serangkaian pesan atau telepon memalukan, bahkan sampai kiriman-kiriman barang yang tidak pantas.

Sepanjang semester, Shakti ganti jadi bulan-bulanan ejekan, membuatnya tidak tahan sampai mengadukan pada sang ayah yang justru memberinya tamparan keras.

"You have messed with the wrong family."

Itu adalah kalimat yang menyadarkan Shakti bahwa Kagendra Pradipandya bukan sekadar siswa manja biasa.

Anak itu, putra satu-satunya, pewaris tunggal kerajaan bisnis properti paling berpengaruh di Indonesia. Bahkan, salah satu proyek hunian ayahnya di Bali, menggunakan jasa dari Karya Pradipandya dan saat itu kerja sama terancam gagal.

Shakti ingat bagaimana dirinya didesak untuk mendapatkan maaf, memastikan segala hinaan itu terhenti dan jika bisa sepenuhnya berdamai.

"Kagendra ... please stop this. I'm giving up, just tell me what do you want? I will—"

"Say sorry to Waffa."

"Ya?"

Kagendra tidak mengatakan apa-apa lagi, terlihat enggan menanggapi setiap Shakti berusaha terus mengejar maaf. Namun, hari-hari berikutnya ketika ia memperbaiki hubungan dengan Waffa, situasi justru membaik.

"At that time, why should I say sorry to Waffa?" Shakti menanyakan itu setelah bulan-bulan penuh perdamaian berlalu.

"You called him a dog."

"Just because of that?"

Kagendra kemudian menunjuk Waffa, memberi tahu dengan ekspresi datar. "He's definitely not a dog ... he's a pig! Babi."

"Elo kali yang babi! Sialan!"

Begitulah permulaan saat mereka mulai berteman, menjalani hari-hari membosankan di sekolah, mencoba bersenang-senang ketika akhir pekan, menjajal banyak keseruan sekaligus kenakalan. Hingga masa dewasa yang menyibukkan, tuntutan sebagai suksesor dan pewaris bisnis keluarga membuat waktu sekaligus durasi pertemuan semakin terbatas.

Shakti meringis mengingat masa-masa sekolahnya yang cukup seru. Ia mematikan sisa rokoknya yang tidak seberapa, mengambil satu lagi dan siap menyalakan ketika pintu ruang kerjanya terbuka.

"Apaan lagi, Mol—"

Ucapan Shakti terjeda karena yang masuk ke ruang kerja tersebut bukanlah manajer barnya. Fayyana Satoo melangkah masuk dengan raut datar, mengangkat sebendel berkas yang dijilid rapi.

"Titipan dari Princess Desire, tolong diatur," ucap Fayyana singkat, meletakkan berkas tersebut di meja lantas berbalik menuju pintu.

"Buru-buru amat, Ayy ..." kata Shakti dan ketika balasan yang didapatnya berupa bantingan pintu, itu membuatnya tertawa terbahak-bahak.

Ini jauh lebih menyenangkan dibanding ketika meniduri si jalang Kristina.

***

Ini karena Alexa libur! Hanya ada Moldi yang berjaga dan saat Fayyana menunjukkan sebendel berkas yang dibawanya, justru langsung diarahkan ke ruang kerja Shakti.

Fayyana membanting pintu di belakangnya lalu melangkah cepat, jangan sampai terkejar dan jangan sampai terlibat pembic—

"Kamu yang berhenti atau aku yang lari ..."
Suara itu terlalu nyata menginterupsi pikiran Fayyana dan efeknya seketika membuat langkah kakinya memelan.

Shakti menatap Moldi yang tampak ikut berhenti melangkah di ujung koridor. "Lo ngapain, Tolol? Keluar sana!"

"O oh, oke, oke!" Moldi langsung beranjak pergi meninggalkan mereka berdua.

Koridor itu sebenarnya tidak sepi, apalagi hening. Suara dentuman musik, riuh dan keramaian khas kelab malam yang laris tidak bisa sepenuhnya teredam dinding beton di sekitar.  Namun, suara langkah kaki lelaki itu terlalu familiar, membuat Fayyana seketika bergeser menghindar saat sebuah lengan terulur hendak merangkul.

Fayyana serta merta juga beralih, berusaha tidak tersentuh, "S ... sorry, t-tapi gue emang buru-buru dan kata Dede semisal ada yang—"

"Princess lagi sibuk, Ayy ... taking care of her beloved family." Shakti menyela dengan agak geli, selama dua tahun terakhir memang Fayyana ini pintar sekali menghindarinya dengan bersembunyi di belakang Desire Hadisoewirjo. "Lagian, kalau kamu buru-buru 'kan aku bisa antar ... ayo mau ke mana?"

"E ... enggak usah, g...gue—"

"Ayyana," panggil Shakti lembut lalu mengangkat tangan, menaik-turunkan di hadapan Fayyana sebagai acuan mengatur napas. "Tenang dong, kayak sama siapa aja?"

Fayyana mundur selangkah, memang tidak mudah langsung berhadapan dengan lelaki ini setelah sebelum-sebelumya selalu merasa aman dalam perlindungan Desire. "Sorry, tapi next time aja ya, S ... Shakti."

Shakti hampir menyemburkan tawa mendengar panggilan itu. Beraninya, perempuan ini memperlakukannya begini. "Aduh, makin gemes aja kamu, Ayy."

"Gue ke sini sehubungan dengan pekerjaan dan enggak ada maksud selain itu." Fayyana menegaskan dengan ketenangan yang dipaksakan. "Jadi, terkait concept plan yang tadi gue kasih, semisal ada yang perlu dibahas ulang ... bisa langsung ke Dede atau gue, dan—"

"Sama kamu aja, yuk langsung dibahas," ajak Shakti tanpa basa-basi.

"Gue udah bilang hari ini enggak bisa, sorry," ucap Fayyana lalu kembali mundur selangkah. "Dede bilang juga—"

"Boss!" suara Moldi menginterupsi dan sosok manajer bar itu kembali muncul.

"Ck! Lo tuh—"

"Ini Waffa telepon katanya lo enggak angkat telepon, Princess mau booking buat birthday party ..." Moldi memberi tahu cepat.

Fayyana melihat itu sebagai kesempatannya pergi dan segera berpamitan, "Nah, lo omongin aja sama Dede ya ... gue duluan."

Shakti memperhatikan perempuan yang langsung berlari kecil, keluar dari area koridor menuju venue utama FUNight Bar. Jika berniat mengejar, itu tidak sulit sama sekali, hanya butuh beberapa langkah cepat. Lengannya juga cukup kuat mendekap dan membawa Fayyana ke ruangan pribadi di belakangnya. Namun, sepertinya memang tidak harus sekarang.

Shakti masih cukup sabar.

"Boss?" tanya Moldi karena Shakti diam saja.

Shakti menatap manajer barnya dan menghela napas pendek, "Suatu hari gue pasti mukulin lo, jadi jangan telat bayar asuransi."

"Y-ya?" tanya Moldi, sama sekali tidak mengerti.

***

Jaitrama Satya Shankar sengaja mengatur jadwal palsu berpergian ke luar negeri. Ia memastikan salah satu asistennya sudah mengamankan alibi itu dan membuatnya punya waktu bebas selama beberapa hari.

Seharusnya dua sampai tiga hari akan cukup untuk membereskan sisa rencananya. Si bayi sudah lahir dengan selamat dan sehat, tinggal mengurus beberapa berkas sebelum rencana jangka panjangnya matang, siap dijalankan.

Satya melajukan mobil ke rumah sakit khusus ibu dan anak yang selama hampir sembilan bulan ini bekerja sama dengannya. Dokter dan perawat yang bertugas tampak siap ketika dirinya datang, memastikan keadaan berjalan sesuai harapan.

"Perempuan?" tanya Satya ketika diperlihatkan sosok bayi yang masih lelap itu.

"Ya, sangat sehat dan cantik sekali."

Sehat adalah yang terpenting, batin Satya lalu menoleh pada dokter yang menanti. "Bagaimana dengan pengurusan berkas kelahiran yang saya minta?"

"Sudah siap, Pak." Dokter kemudian mempersilakan ke ruangannya.

Satya mengikuti, duduk di kursi yang tersedia lalu mencermati setiap berkas yang dokter tunjukkan. Ia membaca setiap baris data dan penjelasan yang tertuang lalu mengangguk, puas dengan semua ini.

"Ini karena kualitas sperma dan sel telurnya sangat baik, kondisi ibu juga stabil selama sembilan bulan ini."

Satya mengangguk, ia memang memperhitungkannya dengan baik. "Waktu kematian ibunya sudah dipastikan?"

Dokter sejenak terkesiap, sebab ekspresi wajah lelaki di hadapannya ini begitu dingin, seakan menantikan kepergian sosok ibu yang lemah dan tidak berdaya itu. "Bapak tidak ingin menemui—"

"Tidak," jawab Satya lalu mengeluarkan sebendel berkas dari tasnya. Ia menyerahkan beberapa lembar pertama. "Sesuai perjanjian, semua yang terlibat dalam hal ini harus segera menghilang, pastikan setiap perawat yang bertugas dipindahkan dalam minggu ini."

Dokter mengangguk. "Saya sudah mengaturnya, mereka semua akan dipindahkan ke klinik di luar pulau Jawa dan sudah menandatangani perjanjian kerahasiaan."

"Setelah paket dikirimkan, dokter juga harus segera pindah. Ini klinik kenalan saya di Australia, tempat tinggal dan sekolah untuk putra Anda sudah diurus sekalian."

"Baik, Pak," ujar Dokter menerima berkas yang diulurkan dan memperhatikan besaran nominal uang yang tertera, ditambah detail pekerjaan barunya. Ia akan hidup tenang dan nyaman setelah ini. "Terima kasih banyak."

Satya memperhatikan raut penuh syukur si dokter. "Seberapa merepotkannya jika bayi perempuan?"

"Eh?"

"Dibanding bayi lelaki, mana yang lebih merepotkan?"

Dokter mengerjapkan mata. "Saya rasa itu bergantung dengan pola pengasuhan dan kesiapan orang tuanya juga dalam menjalankan proses parenting yang baik."

"Kesiapan orang tua ya ..." ulang Satya dengan lirih.

"Ibu Fayyana bilang Pak Shakti akan menjadi ayah yang baik," ungkap Dokter lantas tersenyum ramah.

Satya hampir tertawa mendengar itu, beruntung dia pandai menjaga ekspresi tetap kaku dan setenang air kolam beku di musim dingin. "Perempuan itu banyak bicara, ya?"

"Y-ya? O-oh ... hari-hari hujan cukup menjemukan dan—"

"Kabari saya jika waktu kematiannya sudah ditentukan," sela Satya lalu merapikan setiap berkas yang dia butuhkan, menyimpan ke dalam tasnya dan beranjak pergi.

Dokter hendak membuntuti namun Satya memberi gelengan pelan. Ia berjalan sendirian melewati lorong sepi dan sunyi.

Suara tangis bayi membuatnya menoleh, melangkah ke dinding kaca yang membatasi dirinya dengan sesosok bayi mungil di dalam ruangan. Suster yang menenangkan si bayi, sadar akan kehadiran Satya dan sengaja menunjukkan raut tangis bayi merah itu. Lengkingan jeritan yang terdengar keluar membuat Satya mengangguk.

"Ya, bagus, tunjukkan betapa kamu kuat dan sehat ... jadilah kejutan terhebat untuk orang tuamu," ujar Satya lalu mengulas senyum tipis. "My biggest plan is ready to be executed."

[]

🎀

Fayyana mau lari juga percuma
si Shakti ngejarnya kayak orgil 😭

.

See you again, Sabtu ✨️
Thank you so much!


.

jujur kalau babi ganjil civil war
kalian di pihak KagenBi atau Baba Shakti?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top