(9)

What a weekend! Have a nice day! Enjoy the story ahahaha

Jangan lupa klik vote dan beri komentar untuk Rick dan Cara :) 

Pada suatu hari di musim panas di Westerley, matahari bersinar cukup terik dengan langit tak berawan. Jenis musim panas yang cukup bagus untuk dihabiskan dengan bersenang-senang. Kota itu dipadati turis dan pendapatan musim ini meningkat di segala aspek. Tahun ajaran baru sudah tinggal menghitung hari. Yang artinya beberapa hari lagi bagi Cara dan Rick sebelum menjadi senior di sekolah mereka.

Dan setelah seminggu hanya berhubungan lewat SMS, akhirnya Rick bisa menghabiskan waktu bersama Cara. Meski sudah tiga tahun bersama, Rick tetap saja merindukan gadisnya itu setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik. Tapi Rick tetap punya kehidupan untuk dilalui. Ia hidup di dunia nyata di mana ia perlu uang untuk membantu ibunya memenuhi kebutuhan, kadang-kadang sedikit memberi uang untuk makan siang adiknya, dan tentu saja menabung untuk kuliah meski hal itu bukanlah prioritas Rick.

Jadi Rick mengambil waktu kerja ekstra di pantai, mengurus kapal, menjadi penjaga pantai, dan lainnya. Gajinya cukup bagus ketika Westerley didatangi banyak wisatawan. Cara juga bekerja, di resor milik keluarganya sendiri karena keluarga Beverly satu-satunya usaha di kota yang tidak menerima pekerja tambahan. Untuk apa? Mereka punya empat anak yang sudah bisa dipaksa bekerja.

"Hei," ujar Cara ketika tiba di tepian.

Rick menjawab, "Hei." Memperhatikan Cara sambil bertopang dagu pada gitarnya.

Cara tersenyum. Senyum ceria yang sama, yang mengisi tahun-tahun SMA-nya. Kemudian Cara menghempaskan tubuhnya lagi ke air dan berenang menjauh dari dermaga. Rick kembali memetik gitar sambil mengamati Cara. Memikirkan nada-nada. Memikirkan Cara, yang berarti juga memikirkan sebuah lagu. Memikirkan betapa seksinya Cara dengan bikini kuning kecil itu.

Ya Ampun, Rick kadang merasa berengsek karena bergairah pada Cara. Meski selama ini hanya ada ciuman dan Rick baik-baik saja. Tapi Rick tak bisa mengabaikan perubahan yang terjadi pada tubuh Cara. Ia sekarang punya payudara. Ia sekarang terlihat lebih dewasa. Tidak jarang pula Rick mengamati bokong pacarnya.

"Hei," ujar Cara lagi yang telah tiba ke tepian.

"Hei," balas Rick. Ia tersenyum pada Cara dan gadis itu mengambang di air dengan santai sambil menikmati ombak yang menyapu dirinya, namun kakinya sudah siap menjejak tiang dermaga untuk memecah arusnya.

"Rick?"

"Hm?"

"Aku mencintaimu."

Rick tertawa.

"Senang sekali kau tertawa," kata Cara. Ia berenang mendekat dan memeluk kaki Rick yang terendam di air. Leher mulus Cara terasa di kulit kakinya. "Ayo, balas aku. Tanpa gagap itu, ya."

"A-aku..."

"Oh, astaga," dengus Cara mengetahui niatan Rick.

Rick tertawa lagi. "Aku mencintaimu," jawab Rick lebih lancar.

Cara tersenyum. Berbalik, lalu berenang menjauh lagi. Ombak cukup tenang jadi Rick tidak khawatir. Butuh bertahun-tahun bagi Cara untuk melatih Rick bicara. Bukan berarti Cara memang berniat melatihnya atau apa. Tapi Cara punya efek besar bagi Rick untuk memperlancar setiap kata yang ia ucapkan. Mula-mula, Cara sengaja memutar lagu kesukaan Rick berulang-ulang demi mengajak Rick bersenandung, lalu menyuruh Rick membacakan kutipan-kutipan romantis untuknya, lalu berkembang menjadi membacakan buku-buku cerita atau novel untuk Cara. Sampai akhirnya di suatu hari di akhir musim gugur, Rick memberi kejutan pada Cara dengan bernyanyi satu lagu lengkap. Ia menyanyikan Yellow milik Coldplay―band favorit Rick, Cara menangis dan bertepuk tangan paling keras saat Rick memetik gitarnya di kafetaria. Well, ternyata tidak seburuk yang Rick kira. Kafetaria tetap tempat yang gaduh, jadi Rick tidak perlu membuat semua orang terdiam dengan lagunya. Rick hanya perlu Cara mendengarnya.

Dan, ya, Rick sekarang makan di kafetaria bersama Cara. Kadang mereka akan diganggu dengan kakak laki-laki Cara, Max beserta teman-teman populernya. Kadang adik Cara, si kembar Calvin dan Kevin juga ikut duduk bersama mereka. Tapi seringnya Cara dan Rick menghabiskan waktunya berdua saja. Bukan rahasia lagi bahwa Rick dan Cara adalah pasangan tak terpisahkan. Rick tak keberatan. Rick juga tak ambil pusing soal itu. Rick punya Cara dan segalanya sudah cukup baginya.

"Hei," ujar Cara ketika tiba di tepian lagi.

"Naiklah, C. Kau nanti menggigil."

"Menggigil. Yang benar saja," cibir Cara. Satu yang Rick mulai sadari setelah berpacaran dengan Cara, gadis itu memang keras kepala dan tidak menyerah.

Bagaimanapun Rick bersyukur Cara memang tidak menyerah. Ia selalu bersabar mendengarnya meski butuh waktu lama bagi Rick untuk menyusun kalimatnya. Bukan berarti sekarang Rick tidak lepas dari gagapnya. Ia masih tergagap pada suatu kondisi yang membuatnya bingung. Saat Cara marah, misalnya. Atau saat ia panik tidak bisa menjawab pertanyaan. Atau saat adiknya, Andrew, yang berumur tiga belas, menanyakan hal-hal soal ayah mereka.

Cara masih berenang dengan santai, namun tidak mengambil jarak terlalu jauh. Ia kembali untuk memeluk kaki Rick. Beberapa kali Rick menyadari bahwa kakinya menyentuh payudara Cara, tapi sepertinya gadis itu tidak ambil pusing dan terus berenang. Sampai akhirnya Cara mengulurkan tangannya dan Rick membantu Cara mengangkat tubuh ke dermaga.

"Sudah memikirkan soal universitas?" tanya Cara.

"Belum," jawab Rick. Desakan kegagapannya merangkak naik, namun Rick berusaha menelannya kembali. Rick sudah menjauhi topik ini sejak akhir semester kemarin.

"Pilih saja. Aku bosan menjawab pada ayahku, aku akan pilih kampus yang sama dengan yang Rick pilih. Ayahku sepertinya juga bosan mendengar jawaban itu. Dia berpikir aku tidak punya pendirian, tapi persetan. Oh, dia juga memperingatkanku untuk tidak tinggal bersamamu. Dia bilang dia ingin aku mendapat gelar, bukan mendapat bayi. Yang benar saja. Tentu saja aku akan tinggal denganmu saat kuliah."

Rick merona membayangkan dirinya bercinta dengan gadisnya yang manis ini. Cara punya rencana-rencana kehidupan, bahkan ia tidak sekalipun meninggalkan Rick pada setiap rencananya.

Begitu pula dengan Rick. Ia tidak bisa membayangkan masa depannya tanpa Cara. Rick ingin terus hidup bersama Cara. Rick tidak melihat kehidupan yang lebih baik dari itu. Tapi bagaimanapun Rick harus sadar diri. Cara punya kehidupan yang utuh. Keluarga Beverly salah satu keluarga terpandang di sini. Resor mereka adalah yang paling terkenal karena fasilitas yang tiada duanya. Semua orang di kota mengenal keluarga Beverly (yang sering disebut-sebut Beverly House dari generasi ke generasi) dan Max Beverly adalah kebanggaan SMA mereka. Gerald Beverly menanam banyak investasi untuk pariwisata kota dan lebih banyak lagi di luar Westerly, membuatnya menjadi satu dari sedikit penduduk asli sini yang tergolong orang kaya. Tidak sulit untuk membiyai keempat anak mereka kuliah sekaligus dengan uang itu.

Tapi Rick bukan anak yang seberuntung itu. Kuliah bukan hanya menjadi pendidikan lanjutan, tapi juga berarti meninggalkan rumah dan menambah pengeluaran. Ayahnya sudah pergi meninggalkan mereka sejak Andrew berumur satu tahun. Ibunya hanya seorang pramusaji bar, tidak jarang mengambil waktu luangnya di siang hari untuk membersihkan rumah-rumah. Ia punya adik yang baru masuk sekolah menengah dan Rick tidak bisa meninggalkan keluarganya. Rick sudah sebisa mungkin bekerja untuk meringankan pekerjaan ibunya. Setidaknya sekarang mereka punya tabungan, tapi itu jelas tidak untuk Rick kuliah. Mungkin Andrew yang akan kuliah. Rick tidak keberatan.

"Rick?"

"Hm?"

"Kau melamun."

"Tidak."

"Kau bisa terbawa ombak, kau tahu. Aku tanya, bagaimana kalo Boston? Max menyarankan Boston. Walaupun aku memikirkan hal-hal soal... kau tahu, masa iya aku mendekati kakakku. Bisa jadi dia mencekikku."

"Itu..." Rick bingung untuk berkomentar. Boston adalah kota besar. Biaya hidup selangit tidak bisa Rick bayangkan. "B-bagus," jawab Rick kemudian. Ia menyematkan senyum untuk meyakinkan Cara, tapi Cara mengenalnya lebih dari siapapun. Dan Rick tergagap. Cara pasti bisa mengendusnya dengan cepat.

"Kau menghindar setiap kali aku membicarakan soal kuliah. Ada apa?"

"Tidak ada."

"Rick?"

"Aku baik-baik saja, Cara."

Cara menghela napas. "Oke, jadi ini pertanyaannya. Maaf mengguruimu, tapi... apakah kau berpikir akan kuliah?"

"Ya. Tentu saja." Pada waktunya. Ketika nasib berpihak padaku.

"Jadi, kenapa kau tidak mau membicarakannya? Apa kau..." Cara menggantungkan kata-katanya hingga Rick mengalihkan perhatian. "Apa kau berniat mengambil jarak dariku? Maksudku, cowok-cowok selalu begitu. Apa kau bosan dengan kedekatan kita? Apa rencanaku tidak sesuai dengan rencanamu? Atau... um, apakah kau tidak ingin melanjutkan hubungan ini dan fokus untuk kuliah? Maksudku, omong kosong semacam itu?"

"Astaga, tidak, Cara."

"Lalu katakan padaku."

Rick memalingkan wajah untuk menghindari Cara tapi Cara memang sekeras kepalaku itu dan sesabar itu menunggu Rick bicara. "Aku tidak berpikir meninggalkan kota ini."

"Maksudmu, kau tidak akan ke Boston? Kau berpikir kuliah di Rhode Island, mungkin?"

Rick sempat memikirkan itu, tapi perkiraan biaya untuk universitas di kota sebelah juga sama mahalnya. Rick tidak punya mobil dan memikirkan transportasi menambah panjang daftar perkiraan biayanya. "Aku berpikir akan menerima tawaran Leigh untuk bekerja padanya. Membuat kapal gajinya cukup bagus meski sudah dibagi." Memang membuat kapal adalah pekerjaan pertukangan musiman, tapi ketika mendapatkan tawaran itu, Rick tidak berpikir dua kali untuk mengambilnya.

Cara mengerjap. "Tunggu. Kau tidak akan kuliah?"

"Setelah lulus SMA ini?" Rick menggeleng. "Aku tidak bisa meninggalkan Andrew dan ibuku."

"Itu hanya omong kosong ketika kau tak ingin jauh dari rumah. Seperti, kau tidak bisa menerima lingkungan baru."

"Ya. Aku sudah bilang aku tidak berpikir untuk pergi dari sini. Jadi, ya, aku tak ingin jauh dari rumah."

"Kenapa?"

"Itu sudah jelas, bukan?"

"Tidak," tukas Cara. "Sama sekali tidak melihat kejelasannya, Star. Ayahku menyuruhku ke Yale, Max mendesak untuk ke Boston, Jesse merayuku ke New York. Aku mungkin bisa menegosiasikan soal kuliah di RI. Tapi kau bahkan tidak membicarakannya padaku dan aku tidak bisa menyusun rencana karena itu."

Rick tidak pernah membicarakan masalah uang pada Cara. Rick dan Cara hanya sesekali menonton. Rick selalu menabung untuk mentraktir Cara. Kadang Cara memaksa untuk mentraktir menggunakan voucher dan lain sebagainya. Cara memang tidak mempermasalahkan kondisi finansialnya. Bahkan Cara bersikap baik pada ibu Rick dan bersahabat dengan Andrew, tapi masalah kuliah ini pelik karena Cara terlalu bersemangat merencakannya.

"Aku melihat... brosur-brosur universitas itu."

"Lalu?"

"Aku memikirkan hal-hal yang lebih baik dengan... nominal sebesar itu. Memperbaiki atap rumah, misalnya. Atau membuat ibuku bekerja lebih mudah dengan membuka usaha. Menabung ketika ibuku atau Andrew sakit. Kuliah... tidak ada dalam daftar rencanaku."

"Rick, kau bisa melalui jalur beasiswa."

"Aku bukan Max yang punya... prestasi jempolan. Aku b-bahkan... sulit bicara."

"Oke, pikirkan jika kau menjauh dari rumah. Ibumu kehilangan satu beban nyawa untuk diberi makan. Kau bisa mengusahakan seluruh uangnya sendiri. Kita bisa mengusahakannya. Kita bisa kerja paruh waktu. Mencoba beasiswa, sudah jelas. Kita bisa―"

Rick menghela napas. "Ini bukan tentang kita lagi, Cara. Kau bisa kuliah. Aku... tidak. Cobalah menerima itu. Tapi tenang saja, aku akan menunggumu pulang. Aku tetap di sini."

Bibir Cara cemberut dan Rick tahu gadisnya marah. Membuat Cara marah adalah hal terakhir yang Rick inginkan. Tapi Rick memang tidak bisa lari dari ini. Mau tidak mau Cara harus menerima keadaan Rick yang kekurangan.

Cara meraih tasnya dan merogoh, kemudian menyodorkan selembar kertas pada Rick.

"Apa ini?"

"Bacakan untukku. Dengan jelas."

Rick membuka kertas itu dan mulai membaca. "Jadilah bintang dan ikuti audisinya. Terbuka untuk umum. Hadiah utama dua ribu dolar."

"Jadi, Star, jadilah bintang. Kau harus ikut audisi itu. Dua ribu dolar bisa jadi awal yang bagus untuk kehidupan kuliah."

Rick mengembalikan pamflet itu. "Kau berharap banyak. Aku tidak mungkin menang."

"Tentu saja kau bisa menang. Kau berbakat. Aku berani sumpah, di SMA kita tidak ada yang bisa menyanyi sebagus dirimu."

"Kau belum melihat band sekolah."

"Mereka band. Tapi bagaimanapun mereka tidak ada apa-apanya. Aku berani taruhan kalau kau bersolo, kau tetap mengalahkan band."

Rick menatap Cara yang menatapnya. Ada sorot kepercayaan di mata Cara, yang sekarang ini lebih menonjolkan warna hijau seperti lautan. Cara begitu yakin pada Rick. Sama ketika Cara mendengarkannya, ia selalu yakin Rick bisa menyelesaikan kalimatnya.

"Kau mau mencobanya, kan?" pinta Cara dengan gaya memohon yang tak bisa Rick tolak. "Untukku? Untuk kuliah kita? Bayangkan kalau dua ribu dolar ini bisa jadi awal yang baik untuk menjadi sarjana. Kau bisa punya pekerjaan yang lebih baik untuk membantu ibumu. Kau mungkin bisa jadi bintang setelah audisi ini."

Rick menghela napas dan tersenyum. Ia menarik bibir Cara dan mencium dengan penuh cinta. Bibir Cara selalu menyenangkan. Rick menyingkirkan gitar di pangkuannya, lalu menarik Cara mendekat. Cara memindahkan tubuhnya ke pangkuan Rick tanpa melepas ciuman mereka. Sampai Rick menyadari tangannya mulai bergetar merasakan kulit kecokelatan Cara karena satu-satunya pakaian yang digunakan Cara adalah bikininya dan Rick begitu ingin melucutinya.

"Kau mau?" tanya Cara lagi.

"Mau apa?" balas Rick. "Aku memang mau menciummu lagi."

Cara mengusap bibir Rick dengan telunjuknya. "Audisinya. Kau harus ikut. Aku mau melihatmu di panggung."

"Kau tak akan menyerah padaku, bukan?"

Cara tersenyum dan menggeleng. "Selamanya."

Rick memang menginginkan panggung. Musik selalu ada dalam dirinya dan panggung adalah impiannya. Ibu Rick bilang, itu berasal dari ayahnya. Meski Rick membenci ayahnya. Membenci nama belakanganya. Tapi Rick memang tidak bisa memungkiri bahwa musik membuatnya hidup. Rick mungkin akan tertarik pada hal-hal semacam audisi ini. Tapi jika tidak ada Cara, Rick pasti hanya membaca pamflet itu tanpa punya keberanian untuk tampil.

Demi Cara, pikir Rick. Demi diriku. "Tapi kau harus janji menemaniku saat audisi. Aku tidak tahu apakah aku punya masalah serius soal demam panggung."

"Aku juga bisa membawa serta seisi Beverly House."

Rick tertawa dan mencium Cara lagi. "Itu juga tidak membantu. Tapi, yah, oke. Aku akan ikut."

"Bagus." Cara mengalungkan lengan di leher Rick dan dada Cara kini menempel di dadanya yang tertutup kaus. "Sekarang kau... um, mau... kau tahu, melanjutkan itu?"

"Aku tak pernah cukup menciummu," bisik Rick.

"Yah, um, well, aku juga... tidak cukup dengan mencium. Maksudku, kupikir, aku... kita... b-bisa... kau tahu."

Rick mengernyit. "Kenapa kau... tergagap?"

Cara memejamkan mata dan bicara dengan cepat, hingga membuat jantung Rick berhenti berdetak. "Akuberpikiruntukmelakukanseksdenganmu." Cara membuka satu matanya untuk mengintip reaksi Rick. "Well?"

Ya Ampun. "Apa kau baru saja―" Rick berhenti saat Cara menutup mulutnya.

"Ya. Ya! Aku siap untuk S besar itu. Aku siap untuk O. Maksudku, kalau kau mau. Yah, persetan, Rick. Ini memalukan."

Dan gairah remaja Rick menjadi-jadi, ketika satu-satunya fantasi dalam hidupnya sudah menjatuhkan bom itu. "Aku t-tidak berencana... membuat pengalaman... pertama di mobilmu."

"Aku selalu membayangkan mobil." Cara memeluk Rick lebih erat hingga Rick benar-benar merasakan payudara Cara. "Well?"

"Kau yakin?"

"Ya! Astaga, jangan tanya lagi. Oh, ya ampun, cium saja aku, Rick."

Rick mencium Cara, menggendong Cara ke mobilnya, memutar lagu Coldplay, melucuti bikini yang mengejeknya, dan menjadi pria pertama untuk Cara di musim panas yang indah itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top