(8)
Enjoy!
Mata Cara masih membelalak meski Rick sudah melumat bibirnya. Kilasan kisah cinta mereka melebur begitu indah bersamaan dengan ciuman mereka. Tetapi Cara tidak bisa memungkiri bahwa kenangan menyakitkan selama empat tahun terakhir juga ukut membayangi kisah mereka.
Cara mendorong pelan dada Rick, memisahkan bibir mereka yang tertaut. Memberi jarak untuk hatinya. Keterkejutan kini tersirat di wajah Rick menggantikan keterkejutan Cara. Sebisa mungkin mengalihkan perhatian, Cara memandang keluar jendela mobil Rick.
“K-kenapa?” tanya Rick tergagap. Hati Cara masih semudah itu luluh ketika mendengar suara Rick. Tapi Cara tidak bisa menjatuhkan harga dirinya sendiri. Rick tidak bisa meninggalkannya selama bertahun-tahun dan tiba-tiba menciumnya.
“Kita sudah selesai, Rick. Tidak ada yang tersisa. Kau yang sudah meninggalkanku.”
“A-aku… aku t-tidak—berengsek. Aku… tidak pernah... meninggalkanmu! Justru... itu kau yang tidak pernah membalas pesanku. Kau menghilang ketika aku kembali.”
“Kenapa sekarang semua kesalahan ada padaku? Aku yang menunggumu bertahun-tahun!” seru Cara. “Kau mau menyakitiku berapa lama lagi? Kau tidak bisa… berjanji akan kembali tapi kau digosipkan dengan banyak wanita di luaran sana.”
“Mereka bahkan bukan pacarku, Cara!” bentak Rick. “Aku tidak mencintai mereka. Aku tidak menjanjikan apapun pada mereka!”
“Yah, mereka pasti mengambil kesempatan yang ada kalau memang kau hanya menginginan asmara singkat dengan mereka, Patrick Star. Tapi aku tidak bisa menjadi wanita yang akan menemanimu hanya saat kau kembali istirahat dari tur. Aku merindukanmu setiap hari dan sungguh ironis jika di luar sana orang yang kurindukan meniduri wanita lain.”
Rick menatap Cara dengan marah. Ia menghantamkan tinjunya ke kemudi hingga Cara tersentak. “Aku tak tahu apa yang ada di pikiranmu! Aku bahkan tidak tidur dengan mereka!”
Cara mengangkat dagunya menantang Rick. “Coba saja. Tatap aku ketika mengatakannya. Biar aku lihat apa kau memang tidur dengan wanita lain selain aku.”
Rick tidak sanggup memenuhi tantangannya. Jadi Cara sepenuhnya menang. Namun kemenangan itu tidak berarti apapun selain rasa sakit menghujam hatinya.
Cara berusaha menghalau air matanya. Sesak di dadanya tak tertahankan. Ia keluar dari mobil sambil membawa belanjaannya dan mulai menyusuri trotoar seraya meratapi kebodohannya.
Kenapa pula ia mau bicara dengan Rick Storm? Sudah jelas Rick yang ini bukanlah kekasihnya. Rick punya kehidupan khas bintang besar dan sudah sewajarnya Rick melupakan masa lalunya. Cara ditinggalkan, harusnya Cara bisa menerima kenyataan itu.
“Cara…” Lengan besar itu kembali menarik tubuhnya. Memaksanya untuk berbalik. Rick masih tampak marah namun wajahnya berubah ketika melihat air mata Cara. “A-aku…”
“Tidak apa-apa, Rick,” kata Cara kemudian. Harusnya ia berkata begini sejak awal. Kalimat-kalimat ini telah disusunnya selama bertahun-tahun untuk mempersiapkan dirinya ketika berhadapan dengan Rick. “Ini mimpimu. Aku tetap… bangga padamu. Kau melakukannya dengan sangat baik.” Cara mencoba tersenyum. Ini juga ada dalam skenarionya. Tanpa suara sesenggukan dan air mata berlinangan, tentu saja. “Aku hanya… merindukanmu. Itu saja. Tapi aku tahu dalam kehidupan segala sesuatunya datang dan pergi. Jadi… ini hanya transisi untuk kita. Semuanya akan baik-baik saja.”
Rick mengernyit. “Aku tidak… tahu apa yang kau bicarakan.”
Cara tertawa parau dan mengendik. “Hidup berlanjut, Rick Storm. Kau bintang. Aku orang biasa. Hal-hal semacam itu terjadi. Kau melesat dan aku menapaki tingkat demi tingkat. Kita… sekarang berbeda.”
Rick ikut tertawa namun tanpa humor. “Hentikan saja omong kosong menyedihkan itu, Cara. Aku masih mau dirimu. Aku masih sangat mencintaimu.”
Oke, baiklah, katakan atau tidak sama sekali. Cara menjilat bibirnya dan mengumpulkan keberanian. Rick tidak perlu tahu sehancur apa dirinya. Toh kalaupun tahu, Cara juga tidak melihat apa perbedaannya. Ia dan Rick sudah berbeda kehidupan. Patrick Star sudah meninggalkannya demi tur dan sosok itu tak pernah kembali. “Well, sepertinya kita juga sudah berbeda soal itu.”
“Apa maksudmu?”
“Aku… memang mencintaimu, tapi…” Cara tercekat. Oh Tuhan, ia tidak yakin bisa melanjutkan dan mendustai dirinya.
Rick sepertinya mengerti melihat ekspresi Cara. Ia menggeleng muram. “Jangan. Jangan lanjutkan. Kau tidak sungguh-sungguh.”
Maaf, Rick. “Itu dulu,” kata Cara pelan.
Rick menggeleng. “Tidak.”
“Ya.”
“Tidak, astaga! Kau bohong.”
“Bukan aku yang bohong mengingkari janji, Rick,” kata Cara pelan.
Wajah Rick mengeras. “Dan kau tidak memberiku kesempatan kedua.”
“Aku memberimu seribu lima ratus hari dan kau tidak pernah datang.”
“Kau menghilang,” tuduh Rick lagi. “Aku kembali ke apartemen kita. Kau tidak di sana.”
“Aku menunggumu dua tahun di sana.” Suara Cara bergetar. Ia masih mengingat bagaimana ia menjalani hari-harinya seorang diri menunggu Rick. Hanya melihat Rick dari layar. Merindukannya hari demi hari, tapi Rick tak pernah kembali. Sampai akhirnya memutuskan pindah bersama Jesse dan Vivian. “Kau tak pernah… datang. Aku sudah cukup lama menunggu.”
“Cara, kumohon,” pinta Rick. “T-tolong.”
Cara mengusap air matanya. “Kau tahu, sepertinya aku sudah memperkirakan perpisahan ini ketika kau mengambil tur itu. Kau bahkan… tidak mengajakku. Tapi, itu bukan masalah. Seharusnya kau katakan padaku kalau aku memang menghambat karirmu. Semakin awal kaukatakan, semakin baik. Aku bahkan… tidak perlu menunggu kepastianmu.”
Rick hanya berdiri sambil menatap Cara. Mata Rick menyiratkan banyak pengungkapan, tapi Cara tidak akan menembus jauh ke dalamnya hanya untuk diluluhkan. Rick sudah begitu tega meninggalkannya dan Cara harus menguatkan hatinya kali ini.
Jadi Cara melambaikan tangan pada Rick, meski tahu sepertinya itu tak perlu. Ia memutar kakinya untuk pulang. Hanya satu blok. Cara harus bisa melangkah tegap tiba di rumahnya.
“Cara, tunggu.” Rick mulai menjajarinya dan Cara mempercepat langkah. Astaga, kenapa Rick tidak menyerah? “Kita bisa... ulangi lagi dari awal. Beri aku... kesempatan. Aku t-tidak… tidak… oh, s-sial. Sumpah… tidak a-akan… mengecewakan-mu.”
“Pulanglah, Rick. Petiklah gitarmu. Lakukan apapun yang biasanya jadi kebiasaanmu.”
“K-kencan?” Yang bisa Cara jabarkan, ‘Aku akan memberimu malam terindah dari seluruh malam yang kita habiskan berdua. Mau?’
Astaga. “Tidak.”
“A-aku… akan… m-menebus-nya.”
Cara masih terus berjalan. Beranda rumahnya telah terlihat. Sedikit lagi. “Ini tidak akan berhasil, Rick.”
“Cara, i-ingat lagu siang t-tadi? Aku memb-buatnya sambil… memikirkan-mu.”
Oh, Tuhan, hatiku. Cara secepat mungkin menyadarkan diri. “Hentikan, Rick.”
“Cara, kumohon—”
“Aku akan menikah, oke?!” bentak Cara tanpa pikir panjang.
Rick menghentikan langkah dan tergugu.
Oh, sial.
Sialan. Sialan.
Oh, Cara, bagus sekali otak idiotmu.
“A-apa?”
“A-aku…” Cara menelan ludah. Tidak berani berkata lebih lanjut. Namun melihat Rick yang berhenti, Cara tahu pikirkan konyol ini berhasil. Meksi tidak pernah ada dalam daftar skenarionya.
“Kau… bilang… apa?” gumam Rick.
Ayo, Cara, dukungnya pada diri sendiri. “Aku akan… menikah. Jadi jauhi aku.” Kemudian Cara berlari ke rumahnya, sengaja tidak membiarkan Rick mengungkap dustanya.
# # # #
“Kau bilang apa?” tuntut Jesse.
Cara mendesah mengulangi kalimat bodohnya. Keesokan paginya, Cara harus menghadapi teman-teman serumahnya. Lagipula jika Cara tidak membaginya, sudah bisa dipastikan ia akan menjadi gila. Cara juga membutuhkan nasehat teman-temannya soal sikapnya yang tanpa berpikir panjang ini. “Aku akan menikah.”
“Ya ampun, Cara, bagus sekali kau dan otak idiotmu,” cerca Vivian kemudian, sesuai dengan yang Cara duga. “Tapi jangan khawatir. Aku punya rasa bangga padamu karena berani bersikap begitu.”
“Hentikan, V. Cara membual,” tukas Jesse. “Kau tidak bisa mengaku menikah pada mantan kekasihmu, yang sedang tergila-gila mengajarmu, kalau mau kutambahkan. Dia pasti bertanya-tanya dan mencari tahu. Cara tidak menikah dengan siapapun. Cara tidak punya tunangan, pacar, ataupun kencan. Astaga, Cara bahkan hanya membayangkan menikahi Rick seumur hidupnya.”
“Kau tidak tahu itu,” dengus Cara jengkel. Meski Jesse mengatakan sesuatu yang tepat sasaran. Tapi untuk alasan itulah ia jengkel.
“Kenapa kau panik, Jesse?” tanya Vivian. “Memang kuakui Cara agak nekat mengatakan akan menikah itu, tapi kita bisa mengatasinya, kok. Yang kita perlukan hanya membuat Cara punya pacar.” Ia tersenyum pada Cara. “Sudah waktunya bangkit dari keterpurukan. Aku akan membantumu soal kencan ini. Jangan khawatir. Tapi aku masih marah padamu karena ke toko malam-malam. Aku ngeri membayangkanmu dimutilasi.”
“Dia sudah dimutilasi,” kata Jesse. “Sampai ke bagian terkecil. Oleh Rick. Itu sebabnya otaknya mendadak bodoh karena ukurannya jadi kecil sekali.”
“Professor, McGraw. Terserah katamu. Aku tidak bisa berpikir ketika Rick terus mengikutiku. Mau coba sensasinya? Datanglah ke rumahku saat Max pulang.”
"Tidak, ah.” Pipi Jesse memerah dengan cepat di wajah pucatnya. “Kenapa kita jadi membicarakan Max? Ini soal Rick.”
“Aku rela membayar berapapun agar topiknya berganti menjadi Max. Biar kau tahu rasa,” cetus Cara.
“Kalian berdua wanita terpuruk, berhentilah saling mengolok,” ujar Vivian.
“Apa Rick mengatakan sesuatu soal… um, tidak pernah kembali itu?” tanya Jesse pelan.
Cara terdiam mengingat kejadian semalam. Tidak mungkin ia melupakannya. Ingatannya belum tercampur dengan mimpi. Yang artinya Cara belum tidur sejak kejadian dini hari itu.
Cara mengangkat bahu dan mencoba menjawab. “Yang jelas dia tidak menyangkal soal wanita-wanitanya.”
“Pengkhianatan itu tidak bisa dimaafkan,” kata Vivian.
Jesse menghela napas. “Meskipun aku tidak percaya Rick melakukan itu, tapi aku setuju dengan Vivian.”
Dan Rick memang mengkhianatinya demi karir. Cara memang bangga terhadap prestasi Rick, tapi tetap saja rasanya menyakitkan.
Bel pintu berbunyi menyentak obrolan ketiga sahabat yang sambil menyantap panekuk. Vivian memberi isyarat pada Jesse untuk membuka pintu. Wanita dengan kacamata besar, tubuh kurus berbalut piyama barbie, wajah pucat yang tak pernah tersentuh riasan, dan rambut pirang bergelombang akibat sering dikepang itu melesat ke pintu depan menuruti Vivian. Senang rasanya Cara mempunyai teman-teman yang mengerti perasaannya. Tidak ada kewajiban membuat sarapan, atau membuka pintu, ketika ia sedang patah hati.
Jesse masuk ke dapur dengan lengan yang penuh mawar warna-warni. Ada berbuket-buket bunga di tangannya. Membuat Vivian memekik dan Cara terbelalak. “Ada orang berusaha memindahkan toko bunga ke sini. Aku masih meninggalkan banyak di depan. Cara untukmu.”
“Untukku?” ujar Cara heran.
“Kenapa aku tidak terkejut, ya?” Vivian memilah-milah tiap tangkai bunga seolah berusaha mendapatkan emas di dalamnya. “Aha! Ketemu! Untuk Cintaku, Cara,” baca Vivian keras-keras. “Aku mencintaimu selalu. Ada tanda x di sini. Dasar, mesum.” Lalu melanjutkan. “Milikmu, PS.”
Jesse mendesah haru, “Dia memang masih semanis itu.”
Vivian mencibir. “Milikmu? Yang benar saja. Haruskah aku merobeknya?” usulnya.
“Jangan,” cegah Cara. “Berikan padaku.”
Vivian memutar mata dan memberikan kartu ucapan itu pada Cara, lalu melanjutkan sarapannya.
Cara menatap kartu ucapan itu. Tulisan Rick yang selalu jelek ada di sana, beserta tanda tangannya. Cara masih ingat betul goresan tangan Rick. Ia tak mengerti mengapa Rick mengiriminya seluruh bunga ini. Tapi satu yang pasti, Rick memang belum menyerah darinya.
Aku mau bilang wow sama diriku sendiri wkwk. Jangan lupa klik vote dan berikan komentar untuk cerita ini, ya :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top