(4)

Rick terdiam di balkon apartemennya seraya menarik napas agak panjang sebelum melepaskannya ke udara dalam bentuk kepulan asap. Ia membiarkan asap menguasai dirinya, masuk ke dalam sel-sel tubuhnya, menggerogotinya. Nikotin dan tembakau akan mengaburkan dirinya bersama rasa bersalahnya.

Selama empat tahun Rick yakin rasa bersalahnya sudah menanti untuk keluar. Tapi karirnya, ambisinya, kesibukannya, kesuksesannya berhasil memaksa dirinya tersita. Rick tidak pernah punya waktu untuk larut, sampai sosok rasa bersalah itu hadir dengan utuh di hadapannya.

Rick tidak mungkin melupakan bagaimana Cara Beverly terlihat. Benar adanya bahwa cinta pertama selalu sulit dilupakan. Apalagi yang sehebat Cara. Wanita cantik dengan rambut lurus berwarna cokelat cerah, serasi untuk wajah tirus dan kulit pucatnya. Setiap inci tubuhnya masih membayangi Rick setiap harinya. Di saat-sat terendahnya, Rick hanya ingin sosok Cara yang menemaninya hingga ia harus cukup dengan imajinasinya.

Tapi Rick tak pernah mengira bahwa yang dilihatnya hari ini benar-benar Cara. Empat tahun dan segalanya berubah. Rick tak pernah mengira Cara akan menulis sebuah buku. Cara tidak pernah benar-benar membaca buku saat mereka di perpustakaan sekolah. Rick lebih banyak membacakannya—Cara yang memaksa. Itu terapi yang bagus bagi Rick yang tak pernah bicara pada banyak orang. Bahkan Rick jarang bicara pada dirinya sendiri, sampai kadang lupa bagaimana caranya membuka mulut. Hingga ketika ia melakukannya, yang keluar hanya suara gagap memalukan.

Hari ini Cara begitu diam seolah berusaha tak terlihat. Rick tahu hal-hal semacam ini, karena sebelum masanya bersama Cara, itulah yang terjadi pada dirinya. Dulu Cara seorang yang selalu menarik perhatian. Menjadi pusat orang banyak, menjadi pusat dirinya. Tapi sosok itu sudah tiada saat ia melihatnya hari ini. Secara fisik dia memang Cara, yang sebelumnya Rick kira Barra Eve karena itulah nama penanya. Tetapi ada lapisan tipis yang menyamarkan dirinya hingga orang tidak perlu berlama-lama mengacuhkannya. Dan sepertinya, itulah yang Cara inginkan.

Apakah Cara-nya sudah pergi?

Apakah Cara memang tidak mau menjadi sosok malaikat yang dikagumi Rick?

Apakah Rick yang melakukan itu pada Cara?

Rick bisa semakin gila memikirkan hal-hal ini. Tidak dipungkiri bahwa perasaan itu masih ada. Emosi di dadanya kekal saat Cara berada di sekitarnya. Rick merasa damai, sekaligus gelisah. Rick merasa tenang, sekaligus menggebu. Rick merasa dipenuhi cinta dan hasrat.

Batang ketiganya habis dan Rick membuang puntung ke asbak. Mengambil batang lainnya tanpa menyalakan, hanya menjepitnya di antara bibir. Ia meraih gitarnya dan memetikan beberapa nada. Tidak ada ketenangan, inspirasi, atau apapun. Ia hanya dipenuhi Cara.

Ini tidak bisa terjadi dalam hidupku. Aku mungkin harus menemuinya lagi. Benar-benar meminta maaf padanya, sampai aku mendengar ia menerimanya.

Ya, benar. Itu mungkin akan mengurangi rasa bersalah Rick karena sudah meninggalkannya empat tahun lalu.

Pintu balkonnya terbuka, menampakkan Jim Kinsley, gitaris di bandnya. Jim adalah anggota yang paling lama bersamanya. Bisa dibilang bersama Jim lah ia membentuk band ini. Mencari orang-orang, merintis tiap tahap yang tertatih-tatih. Cara pula lah yang menemukan Jim. Cara tahu pada detik pertama bahwa Jim akan cocok menjadi partnernya. Cara yang mengenalkan mereka. Satu hal kecil yang berarti segalanya karena Rick tak pernah benar-benar bisa memulai perkenalan.

“Hei, Man.” Suara Jim terdengar mengantuk. Rautnya berantakan khas bangun tidur. Ia bertelanjang dada dengan beberapa tanda merah lipstik atau cumbuan di tubuhnya—hanya Tuhan yang tahu tanda macam apa itu. Rick tak mau tahu apakah Jim baru saja meniduri seseorang di kamarnya. Rick bersyukur apartemen mereka cukup besar, cukup banyak kamar, sehingga privasi tidak perlu terotak-atik.

Jim menyodorkan kaleng bir dingin pada Rick. Rick membalas dengan anggukan terima kasih dan mulai membuka bir, namun terdiam cukup lama sebelum meminumnya.

“Bagaimana Evelyn?” tanya Jim.

Rick mengendik. “Bagus. Lancar.”

“Dan kenapa wajahmu tidak terlihat seperti segala sesuatunya lancar? Evelyn menyukai lagunya. Kita mendapatkan film debut yang artinya juga promosi lainnya. Besar-besaran.”

“Produsernya ingin aku berduet dengan Evelyn saja. Akustik. Memperkuat kesan romantis, begitu katanya.”

Jim terlihat tegang. “Tapi yang mendapatkan ini masih The Five, kan?”

Rick terkekeh pelan melihat kekhawatiran Jim. “Tentu saja The Five. Bahkan jika mereka meminta akustik, kita bisa berikan akustik yang hebat dari The Five. Kita bisa melakukannya.”

Kita bisa melakukannya. Dulu Cara lah yang selalu berkata begitu.

Jim menghembuskan napas lega. Ia meminum birnya lagi. “Jadi apa yang mengganggumu.”

Rick tak yakin akan membicarakannya. Tapi bicara mungkin akan mengurangi beban pikirannya. Lagipula menyembunyikan hal-hal ini tidak ada gunanya. Ini soal band-nya dan cepat atau lambat Jim pasti akan segera tahu bahwa orang di balik film ini adalah Cara.

“Tebak siapa yang kutemui hari ini.”

Jim mengernyit. “Ada orang lain selain Eve dan produsernya?”

“Ingat kalau film ini dari novel terlaris?”

Jim terkekeh. “Oh, tentu saja. Penulisnya. Siapa itu—Barrie, ya?”

“Barra,” koreksi Rick. “Barra Eve.”

“Oke. Kenapa dengannya? Apa dia penggemar fanatikmu?”

Aku akan jadi penggemar fanatikmu, Patrick Star! Yang pertama dari milyaran orang yang nantinya akan jadi penggemarmu.

Kenangan itu menghantam Rick. Membuat perasaannya berkecamuk. Cara memang selalu seperti itu sepanjang Rick mengenalnya. Tidak pernah menyerah dan selalu ceria.

Rick menghela napas. “Barra Eve adalah Cara.”

“Hah?!” pekik Jim. “Cara? Cara… Cara pacarmu itu?”

Rick tak yakin jika masih bisa menyebut Cara seperti itu. “Ya. Barra Eve ternyata adalah Cara Beverly.”

“Berengsek.” Jim bangkit dari posisinya dan mondar-mandir sambil mengacak rambut. “Apakah dia mengancam? Apakah dia membual? Apakah dia membahayakan target kita ini?”

Rick tak mengerti mengapa Jim berpikir Cara sebuah bahaya baginya karir bandnya. Rick yakin satu-satunya yang perlu dikhawatirkan hanya hatinya. Cara tidak mengancam posisi apapun bagi bandnya. Cara selalu mendukung bandnya.

“T-tidak.” Berengsek. Kebingungan ini membuat Rick kembali gagap. “Aku… yakin… tidak.”

Jim berhenti dan menatap Rick lurus-lurus. “Sungguh? Dia tidak mengungkit masa lalu, atau sesuatu?”

Bahkan Cara terlihat tidak ingin membicarakan masa lalu. Jadi Rick menjawab dan untungnya terdengar lebih lancar, “Tidak.”

“Bagus. Apakah kalian bersikap saling kenal?”

Rick menggeleng. Padahal hal pertama yang ingin ia lakukan adalah menutup pintu dan mencium Cara, saat menyadari wanita itu adalah kekasih yang terlepas darinya. Tapi melihat Cara tidak bereaksi seperti kekasihnya atau bahkan penggemarnya, membuat Rick menciut. Cara bersikap seolah belum pernah bertemu seorang Rick Storm, si bintang besar. Jadi Rick mengikuti permainan itu.

“Oke. Kau melakukan hal yang benar. Mulai sekarang urusan humas akan sepenuhnya ditangani Mary.”

Mary adalah manajer yang dibayar The Five untuk melakukan berbagai macam urusan. Hari ini Evelyn sendiri yang meminta supaya pertemuannya berjalan lebih akrab tanpa perlu pihak-pihak penghubung, meski nantinya Rick yakin seluruh urusan itu akan ditangani. Rick hanya perlu berduet dengan Evelyn. Tapi ia tak mengira akan serumit ini jadinya.

“Aku berpikir harus menemuinya, Jim.”

Jim mendesah. “Sudah kuduga kau akan berpikir begitu setelah menemukannya.”

“Ini sulit. Aku lah yang berjanji untuk pulang. Aku tidak menepati janji itu karena aku peduli pada band. Ketika aku bisa pulang, aku kehilangan dia. Tak seorang pun mau membantuku untuk menemukannya. Cukup tentang band. Aku punya sesuatu yang harus kukejar.”

“Jangan gila, Rick. Kau tahu apa yang orang di luar sana pikirkan jika kau memilih seseorang—yang biasa-biasa saja, kalau bisa kutambahkan. Penggemarmu akan muak. Itu bisa jadi masalah untuk Cara, untuk kita. Kau bintang, kau lajang, dan semua orang menggilai fakta itu.”

Rick bangkit dan menatap Jim tak percaya. “Kita tidak akan pernah berada di sini jika bukan karena Cara.”

“Kita tidak akan di sini jika kita mempertahankan pikiran-pikiran yang tidak rasional. Berengsek, Rick. Cara menginginkan sesuatu dari band. Aku tak tahu apa itu, tapi aku yakin pasti ada alasannya mengapa ia mengekorimu bertahun-tahun!”

Rick tidak mencegah kepalannya melayang ke wajah Jim. Ia tidak menyesal, tapi juga tidak memberi lebih banyak.

Jim hanya memegangi wajahnya tanpa niatan membalas. Ia meludah ke pot sebelum bicara. “Maaf. Tapi memang itu yang kupikirkan selama ini, Rick. Dan aku tidak menyesal ia pergi. Kita bisa berdiri tanpanya. Kita tidak berutang apapun padanya.”

“Aku berutang lebih banyak padanya. Jauh lebih banyak dari yang bisa kau bayangkan. Kau tak tahu apapun tentang dia.”

Dengan itu Rick masuk ke dalam dan mencari kunci mobilnya. Ia mengeluarkan ponsel ketika turun dengan lift, menelepon Mary segera.

Halo, Rick Sayang.” Suara Mary teredam berbagai macam kebisingan di kejauhan sana.

Tapi Rick tidak membuang waktu. “Aku butuh kau melakukan sesuatu untukku. Ingat film dari novel yang akan kuisi? Aku ingin tahu di mana alamat penulisnya di Manhattan. Barra Eve. Nama aslinya Cara Beverly.”

Tunggu dulu. Apa-apaan ini? Aku sedang di klub dan kau tak bisa menyuruhku bekerja,” gerutu Mary.

“Berengsek, Mary, lakukan saja. Sekarang!” Kemudian Rick mematikan ponselnya tepat saat lift terbuka di tempat parkir basement.

Jangan lupa support cerita ini dengan vote dan komentar :D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top