(2)

Empat tahun. Ini sudah lebih dari empat tahun terkutuk sejak mereka berpisah. Tidak mungkin takdir begitu kejam mempertemukan mereka lagi. Di tempat umum, di mana seharusnya Cara membatasi dan mengendalikan dirinya karena karirnya lah yang akan ia pertaruhkan di sini.

Tarik napas, Cara.

Dia hanya orang asing.

Cara bisa menyumbat pikirannya dengan mantra-mantra itu. Benar. Itu mungkin bisa menghalau betapa berbedanya pria itu sekarang. Betapa maskulinnya dia dengan semua uang yang kini dimilikinya. Sekarang mereka berada di dunia berbeda—selain kenyataan bahwa film debut ini akan menjadi dunia mereka untuk sementara. Cara dan Rick berjarak puluhan ribu galaksi karena Rick sudah menjadi bintang paling benderang di dunia musik.

Jadi kenapa Cara harus khawatir saat ini? Di depannya hanya Rick Storm sang bintang. Bukan Patrick Star kekasihnya dulu.

Sial. Cara bahkan masih mengingat julukan satu sama lain ketika mereka berpacaran. Itu sungguh menyedihkan karena Cara bukan siapa-siapa dan mungkin hanya akan menjadi jajaran penggemar vokalis band The Five.

Cara mungkin sudah merangkai beragam skenario yang mungkin terjadi saat bertemu Rick. Ia mungkin akan lari ke pelukannya, atau menampar Rick karena tega meninggalkannya, atau bahkan memakinya supaya semua orang mendengar, tapi dia sudah bersumpah tidak akan terpaku saat melihat sosok nyata Rick yang selama ini hanya ia lihat di layar. Kenyataannya, Cara mempertahankan sumpahnya. Ia bahkan nyaris melupakan caranya bernapas.

"A-aku..." Suara Rick terdengar lagi dan kegagapan itu memang masih belum hilang dari Rick ketika dia terlalu terkejut. Rick berdeham yang Cara kira sebagai bentuk pengendalian dirinya. "Aku Rick Storm." Ia menjabat tangan Daniel dan mengambil tempat di samping Evelyn setelah mencium singkat pipi penyanyi cantik itu. Cara sendiri tahu kehidupan seperti apa yang Rick jalani dengan semua bintang wanita di luar sana dan Cara tidak pernah bisa menahan dentuman di dadanya yang tak wajar karena melihat Rick melakukan ciuman pipi akrab dengan gadis cantik. "Senang bertemu denganmu, Barra Eve."

"Oh Tuhan." Itu suara Vivian yang sepertinya baru menyadari siapa tamu mereka. Setidaknya, Vivian lebih beruntung karena tidak mengenalinya di detik pertama. Tapi Cara tidak seberuntung itu. Dia bahkan langsung mengenali Rick bahkan ketika suaranya tersiar di seluruh kota. Cara selalu mengenalinya di manapun. "Sial," umpat Vivian hingga hanya Cara yang mendengar.

"Jadi, Rick, ini Cara Beverly, yang bukan lain adalah Barra Eve—penulis hebat kita," jelas Daniel. "Aku bisa mengatakan, kita bekerja untuknya. Kita akan membuat film romantis ini bersinar."

Rick mengangguk seraya menatap dalam-dalam pada Cara. Astaga, mata kehijauan nyaris cokelat itu tak mungkin luput begitu saja dari memori Cara. Bagaimana mungkin Rick masih menatapnya dengan cara yang sama? Demi Tuhan, ini sudah empat tahun lamanya. Rick tidak bisa seenaknya mengumbar pesonanya pada Cara. Dan juga cara Rick membuka mulut. Suaranya berat dan serak saat menyebutkan namanya. "Cara... Senang bertemu denganmu."

Jantung Cara bedetak lebih cepat dan ia pantas merasa cukup khawatir untuk saat ini. Ia bahkan tak kuasa membalas sapaan basa-basi itu.

Tunggu. Apa Rick tidak mengingatnya?

Cara tak tahu apakah Rick benar-benar telah melupakannya. Rick hanya pergi tanpa kata perpisahan apapun. Dalam gelembung khalayannya, Cara sempat berpikir bahwa mungkin Rick kehilangan ingatannya secara mendadak, kemudian ketika terbangun ia telah melupakan gadis yang ia tinggal di LA.

Empat tahun kemudian dia bertemu wanita itu lagi dan ia masih saja tak menyadari bahwa gadis inilah kekasihnya. Tapi tidak, Rick baik-baik saja dan ia memang sudah lupa. Mungkin memang benar Rick tidak mengenalinya lagi. Di hadapan Cara, pria itu begitu terkontrol. Jadi besar kemungkinannya bahwa pria itu telah melupakan Cara.

"Dan aku Vivian Bume," sela Vivian. "Aku editornya... um, kau tahu, maksudku editor Cara. Sekedar informasi kalau kau belum tahu kalau Cara sekarang jadi bosku."

Rick memutus kontak matanya pada Cara, hingga Cara bisa menghirup udara sejenak beberapa detik lamanya. Rick tidak menghiraukan nada sinis Vivian yang jelas-jelas sedang mengungkit masa lalu karena memberikan berita yang tidak Rick ketahui selama ia pergi. Namun Rick tersenyum sopan—dan tentu saja masih sama menawannya seperti dulu, kalau boleh Cara tambahkan. "Senang bertemu denganmu, Miss Bume."

"Dia masih saja brengsek," bisik Vivian di samping Cara. Sejauh ini, Cara merasa bangga karena tidak meluapkan perasaannya. Vivian jelas tidak bisa menahan umpatannya saat pertama kali melihat sosok Rick. Jika ada beberapa saksi hidup betapa rapuhnya Cara beberapa tahun terakhir, salah satu saksinya adalah Vivian.

"Kau tentu sudah tahu Rick Storm," kata Evelyn. "Dia sungguh berbakat. Aku tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata."

"Aku tahu," cicit Cara. Sulit dipercaya kini orang-orang lah yang melontarkan pujian itu untuk Rick. Banyak orang di luar sana.

"Trims. Kau berlebihan," elak Rick pada Evelyn.

"Aku benar-benar sudah mendengar demo itu, Rick. Berbanggalah sedikit," cetus Evelyn.

Rick tersenyum lagi dan matanya kembali pada Cara. Membuat Cara tidak bisa berlari ke manapun, ruangan rapat ini terasa makin dingin dan begitu sempit. "Aku akan senang sekali bekerja sama untuk kesuksesan film ini. Kau bilang, ini tentang percintaan musisi merintis, Evelyn?"

Evelyn tersenyum manis. "Tepat. Aku menangis ketika membacanya. Maksudku, astaga, mereka saling mencintai, mereka tidak menyerah hingga mencapai panggung besar. Musisi sepertimu pasti tahu."

Rick mengerjap meski matanya tidak lepas dari Cara. "Tidak menyerah, ya?"

Keadaan ini sama sekali tidak membuat Cara merasa lebih baik. Vivian selalu menjadi juru bicaranya. Berada di sekitar Rick justru hanya membuat lidah Cara terjebak menempel di langit mulutnya.

"Kau belum membacanya, Mr. Storm?" sindir Vivian.

Rick terlihat lihai mengendalikan dirinya. "Sebenarnya, bukan membaca hobiku. Meskipun, yah, aku kadang membaca."

"Dia sekarang pasti membaca banyak kontrak kerja," goda Evelyn.

Rick terkekeh. "Astaga, Eve."

"Aku pikir kau sudah membacanya , Mr. Storm," cetus Vivian. "Mungkin aku bisa menceritakan garis besar plotnya. Biar kau tahu sesuatu tentang Cara."

"Tolong, Miss Bume. Panggil aku Rick saja," sela Rick sopan. "Aku belum setua itu."

Sepertinya, kejengkelan Vivian tidak terkendali. "Oh, astaga aku tahu setua apa dirimu."

Cara cepat-cepat menginjak kaki Vivian. "V, ayolah," desisnya.

"Apa?" balas Vivian.

Cara hanya menggeleng pelan hingga mendapatkan putaran mata dari Vivian.

Evelyn tertawa. "Semua orang tahu betapa tidak tuanya Rick Storm. Profilnya tersebar di mana-mana, ya kan?"

Cara memasang raut memohon pada Vivian dan mendapat picingan mata sebagai jawaban. Isyarat bahwa Vivian tidak akan melupakan ini dan akan membahasnya nanti.

"Tentu saja," jawab Vivian kemudian. "Aku mudah penasaran. Aku menelusuri seluruh profil bintang yang sedang naik daun."

"Penggemar Storm yang lainnya," kata Evelyn.

"Aku senang mendapatkan kesan positif," kata Daniel. "Ini akan sempurna. Kuharap kerja sama kita berjalan lancar. Cara akan mendapati para pembacanya termanjakan di layar lebar. Evelyn dan Rick akan sempurna berduet di film ini."

"Mungkin kalian mau dengar demonya?" tanya Evelyn. "Kalian akan jatuh cinta."

Cara yakin masih ingat caranya jatuh cinta pada Rick Storm.

"Keren!" seru Vivian yang jelas-jelas terpaksa menahan diri untuk tidak meninju Rick. Jadi ia hanya membenarkan posisi duduknya menjadi siaga, kalau-kalau Rick memang berusaha menyulut suasana.

Cara sebisa mungkin tersenyum dan tidak melemparkan tatapan ke seberang atau ia akan beradu pandangan dengan Rick. "Tentu." Meski dalam hati ia selalu berdebar ketika The Five melantun di pengeras suara manapun.

"Tunggu sebentar," kata Daniel seraya keluar ruangan seraya melirik ponselnya. "Aku harus menjawab ini. Aku akan siapkan semua yang kita butuhkan untuk memutar demo."

Evelyn melambai singkat pada Daniel, namun ketika Daniel menghilang keluar ruangan, ia ikut bangkit. "Maaf, wanita butuh toilet." Ia menatap sekeliling ruangan dan mendengus ketika tidak mendapati pintu lain. "Dan aku harus mencari toiletnya. Kalian mungkin bisa melepaskan kefanatikan kalian pada Rick Storm. Kau tahu, saat-saat seperti ini sangat langka. Mintalah foto, tanda tangan, apa saja."

"Ayolah, Eve."

Evelyn terkekeh pelan. Menepuk bahu Rick, mengangkat tas, lalu meninggalkan ruangan.

Kini hanya ada mereka bertiga di ruangan. Dan Cara perlu bantuan untuk membuat Vivian tetap tenang.

"Untuk kau catat, Mr. Storm. Aku sama sekali bukan penggemar fanatikmu. Jika kau punya orang yang paling membencimu di dunia ini, orang itu pasti aku—tentu saja, Cara harus jadi yang berada di posisi pertama. Mungkin aku lah yang akan membuat gerakan Anti The Five."

Rick sama sekali tidak terintimidasi dengan perkataan Evelyn. Rick masih tidak mengalihkan pandangan ke manapun selain pada Cara.

Jangan menatapnya, ulang Cara dalam hati. Cara tidak bisa melakukan yang satu itu atau dirinya akan luluh lantak persis seperti empat tahun yang lalu.

"Viv, bisakah kau meninggalkan kami?" tanya Rick pelan.

Jadi Rick mengingat Vivian. Sialnya, itu berarti ia juga masih mengingat Cara.

Vivian membuat suara muak. "Bermimpilah, brengsek."

"Viv, ayolah. A-aku..." Rick kembali tergagap dan respon pertama yang selalu Cara rasakan ketika mendengar gagap itu adalah memeluk Rick dan menyemangatinya untuk terus melanjutkan. "A-aku... b-butuh b-bicara. Pada Cara."

Oh, hatiku.

Tapi bukan Vivian yang luluh saat mendengar Rick Storm tergagap. "Dia berhasil  membuatku muak," kata Vivian pada Cara. "Dari ribuan bintang yang memenuhi populasi Amerika, kenapa dia yang duduk beramah-tamah dengan kita?"

"Cara, kumohon."

Dan Cara luluh begitu saja setelah Rick meninggalkannya. Nada lembut itu tak akan sanggup Cara abaikan. "V, kupikir..."

"Oh, tidak," potong Vivian. "Kau tidak mungkin melakukan itu."

"Aku belum mengatakan apapun," ujar Cara.

Vivian mmendengus. "Tidak. Aku tahu apa yang kau pikirkan. Kau mau memberinya kesempatan."

"Aku hanya ingin bicara," kata Rick lebih jelas.

"Aku tidak bicara padamu, brengsek," tukas Vivian. "Aku lebih memilih melemparkan sepatuku saat ini."

"Dia benar, kami hanya bicara," tukas Cara.

Vivian melotot pada Cara. "Lalu bicarakan. Di depanku. Aku tidak mau dia menyakitimu lagi."

"Tidak akan," sergah Rick.

Vivian balas melotot pada Rick. "Kata orang yang mengingkari janjinya sekian lama."

"Oke." Rick berkata pelan dan keputusasaannya terlihat jelas. "Aku hanya ingin minta maaf."

"Bermimpilah—"

"V," tegur Cara pada Vivian .

"Apa?" sergah Vivian. "Dia sudah mendapatkan banyak impian yang terwujud. Kali ini tidak. Jangan kaupikir aku tak tahu apa yang ada dalam otak afektifmu, Nona Penyayang."

Vivian itu cenayang atau apa? Cara bahkan masih meragukan hatinya tapi Vivian tahu segalanya. Cara tahu betapa protektifnya Vivian sebagai sahabat. Dia hanya tidak mau Cara mengalami hal buruk yang sama. Patah hati yang begitu lama sembuh.

"Aku tahu aku tidak termaafkan," kata Rick kemudian dengan suara pelan.

"Memang," balas Vivian sinis. "Senang kau menyadarinya."

"Tapi aku sangat senang bisa melihatmu lagi." Rick mengangkat wajah dan tersenyum.

Cara memalingkan wajah tak sanggup melihat senyuman yang mungkin akan diimpikannya malam ini. Bukan hanya Vivian, Cara juga tidak mau berada di posisi itu lagi. Cara tidak tahu cara melewatinya jika hal sama terjadi dua kali.

For the first time update lewat HP.. rasanya ga kelar-kelar hahaha. Nggak nyangka  juga bisa update. Mohon doanya supaya skripsi cepat selesai. I really want to back. Kangen banget dah update marathon.

Jangan lupa dukung cerita ini dengan memberikan vote dan komentar. Trims.









Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top