(18)
Lagu terakhir sudah Rick lantunkan, penonton dengan pakaian formal di aula hotel itu tampak puas dan menghadiahi The Five tepuk tangan yang meriah. Rick mengucapkan terima kasih dan segera turun panggung bersama personel The Five yang lain.
Rick segera menjauhi The Five. Ia menuju ruang ganti dan segera melepas setelannya, menggantinya dengan kaos dan jaket. Ia tidak melupakan topi untuk menghindari radar penggemar.
"Kau mau ke mana?" tanya Jim yang melihat Rick mengepak tas.
"Aku punya penerbangan yang harus kukejar."
Jim tertawa. "Kita belum menikmati Sydney. Aku tidak naif, aku belum pernah ke Sydney."
"Yeah, aku sudah di Sydney. Aku cukup puas dengan itu. Aku harus ke Westerly. Di mana Mary? Mana tiketku?"
Jim terlihat bingung. "Kau serius akan pulang? Kita belum menyapa penggemar."
Rick menutup tasnya dan menepuk bahu Jim. "Kau saja yang menyapa mereka. Wanitaku menunggu." Rick keluar dari ruang ganti dan mencari-cari manajernya. Brengsek, di mana Mary? Bukankah penerbangan Rick dua jam lagi?
Harris yang mendapati Rick yang telah berganti pakaian dan membawa baju. Orang itu sedang memberikan tanda tangan. "Kau mau ke mana, Rick?"
Sial. Penggemar-penggemar itu melihat Rick hingga Rick harus memutar dan mempercepat langkah menghindari para penggemar itu. Untunglah di ujung lorong Mary terlihat. Rick menarik Mary ke satu ruang kosong dan menutup pintu.
"Oh, Rick, aku mencarimu ke mana-mana."
"Tiketku dan kunci mobilnya, Mary."
Wajah Mary penuh penyesalan. "Rick, pihak maskapai meneleponku dan memberitahu bahwa seluruh penerbangan dari bandara Sydney dibatalkan. Tidak ada yang bisa masuk atau keluar dari Sydney. Di luar sana terlalu licin dan mereka tidak mengambil risiko."
"Apa?!" hardik Rick. "Aku harus segera ke Westerly, Mary. Sampai kapan penundaannya?"
Mary menggeleng. "Tidak bisa dipastikan. Tergantung cuacanya, Rick. Lembaga cuaca menyarankan semua orang untuk tidak berpergian jauh dalam cuaca begini."
Sial. Sial. Rick tidak bisa lebih lama berada di sini. Ia sudah janji pada Cara untuk pulang. "Kau sudah ke bandara untuk memastikan pergantian jadwalnya?"
"Kau gila?" tukas Mary. "Mereka menyuruh kita tetap tinggal. Aku tidak mau ke bandara untuk membunuh diriku."
Rick mengumpat dan meninju udara. Apa yang harus dilakukannya? Rick tak punya pilihan. Ia sudah membuat janji pada Cara. Ia tak bisa mengingkarinya. Rick menatap Mary yang mengungkapkan permintaan maaf. Ia berusaha membulatkan tekad. Demi Cara. "Berikan tiketku dan kunci mobilnya."
Mary menggeleng. "Kau tidak mungkin melakukan hal gila itu."
"Aku akan ke bandara dan menunggu penerbangan pertama yang bisa keluar dari Sydney. Tiket dan kuncinya, Mary."
"Kau gila."
"Persetan, Mary."
Mary mendesah putus asa. Ia merogoh kunci dan selembar tiket dari tas jinjingnya. Menyerahkannya pada Rick dengan setengah hati. "Jangan bilang aku tidak memperingatkanmu."
"Trims. Ambil lagi mobilnya di bandara begitu keadaannya tidak lagi membunuhmu." Rick melewati Mary dan keluar dari aula hotel menuju lobi. Rick melihat mobil yang mereka sewa hari ini. Petugas valet bertanya ke mana Rick akan pergi dan menyarankan untuk tetap berada di dalam karena cuacanya buruk. Rick tidak mendengarkan dan tetap masuk ke mobil.
Sialnya, di luar sana salju begitu tebal dan Rick tidak bisa memandang ke luar mobil lebih dari sepuluh kaki. Rick memutar kunci dan mobil itu menyala dengan mulus. Rick menelepon Cara lebih dulu, namun hanya terhubung ke kotak suara. Jadi Rick meninggalkan pesan seraya melaju perlahan.
Oh, sial, ternyata mengemudi seperti ini jauh lebih sulit. Rick menepikan mobil dan meninggalkan pesan. "Hai, C. Aku sangat merindukanmu. Tidak sabar ingin bertemu denganmu. Aku dalam perjalanan pulang ke Westerly, tapi jangan menungguku di bandara. Ada penundaan penerbangan dan aku tidak bisa memastikan. Aku akan segera ke rumahmu, mungkin aku akan menginap di Beverly House." Rick terkekeh pelan. "Aku tahu ini pertama kalinya aku akan membayar di sana." Hening sejenak dan Rick bingung harus mengatakan apa lagi. Ia berharap bisa memandang Cara secara langsung. Minimal mendengar wanita itu bicara. "Aku mencintaimu, Cara. Sampai bertemu di sana, Sayang."
Rick mematikan panggilan dan menyimpan ponselnya ke dalam tas. Menatap jalanan ekstrem di luar sana, Rick mengembuskan napas. Pandangannya ke luar buruk sekali. Rick harus menyetir perlahan jika tidak mau tergelincir. Ia harus menajamkan penglihatan supaya bisa melihat mobil lain.
Rick baru saja akan menginjak gas ketika suara decit itu terdengar. Kejadiannya begitu cepat hingga Rick tidak melihat dari arah mana mobil datang. Ketika pandangan Rick menjadi jelas dan bisa melihat mobil van yang oleng itu, mobil van itu sudah melaju ke arahnya dengan kecepatan tinggi.
Sial.
Rick berusaha menyingkir dari posisinya, namun mobil itu lebih cepat menghantam bagian samping kemudi. Rick ingat dirinya terdesak hingga seluruh tubuhnya sakit. Selebihnya, ia tidak ingat apapun lagi.
# # # #
Cara menatap langit-langit kamar Lorian yang dilukis sulur-sulur dedaunan. Satu jam yang lalu, Cara tidak terlalu peduli dengan apa yang di sana. Ia hanya peduli Rick yang mencumbunya, mencium seluruh tubuhnya, menyatukan diri dengannya, dan memberi kenikmatan padanya. Sekarang, setelah Cara mendapatkan kepuasan dan telanjang di ranjang Rick, ia mulai berpikir bahwa dinding klasik Beverly House mungkin perlu diperbarui. Itu... atau Cara harusnya menguatkan tekadnya supaya tidak dengan mudah menyerahkan diri pada Rick.
Bagaimana mungkin Cara dengan mudah jatuh ke dalam ciuman Rick? Meskipun, yah, tidak dipungkiri, Cara memang merindukan Rick dan sentuhannya. Tapi empat tahun itu harusnya membuat Cara teguh untuk menjaga dirinya dari Rick.
Namun tak ada yang bisa Cara lakukan. Ia memang selemah itu di hadapan Rick.
Rick keluar dari kamar mandi, masih dengan ketelanjangannya. Tubuh Rick lebih berotot daripada terakhir kali Cara ingat. Perut papan cuci itu mampu membuat Cara meneguk ludah. Rick mengambil tempat di samping Cara dan menyibak selimut, membuat ketelanjangan Cara terbuka. Ternyata Rick membawa handuk yang telah dibasahi, ia mengusap paha Cara seperti dulu. Cara selalu menyukai cara Rick memperlakukannya. Namun Cara menghentikan tangan Rick, mengambil alih handuk itu, dan membersihkan pahanya sendiri.
"Uh, trims," kata Cara ragu.
Rick menatapnya lama sekali. Cara merasa tak nyaman sementara ia terus mengusap kewanitaannya.
"Apa kau selalu melakukan itu?" tanya Cara memecah keheningan tak menyenangkan di antara mereka. Jangan lagi terjebak keheningan atau Cara mungkin akan luluh lagi. Bisa jadi lebih parah.
"Melakukan apa?"
"Membersihkan selangka teman tidurmu?"
Rick mengerjap, wajahnya berubah keras. "Apa? Tidak. Aku hanya tidur denganmu."
Cara hampir-hampir bisa memutar mata. Ia bangkit dari ranjang dan memasukkan handuk ke keranjang kotor. Cara sempat mendapati tubuhnya di cermin, yang telanjang, ikatan rambut yang telah turun, dan kacamata yang masih ia kenakan. Jelas-jelas terlihat habis ditiduri. Oleh Rick Storm. Cara hanya akan menjadi jajaran wanita penghibur ranjang vokalis The Five.
"Maaf jika aku tidak secantik wanita lain yang kau tiduri," ujar Cara. Ia tak tahu apa yang dipikirannya sampai bercinta dengan Rick menggunakan kacamata dan sepenuhnya telanjang. Astaga.
"Kau meracau, Cara," tukas Rick. "Aku tidak meniduri siapapun sejak-" Rick tercekat.
"Sejak apa?" tuntut Cara.
"Sejak..." Rick memalingkan pandangan. "Aku kembali dan tidak menemukanmu di sana. Aku mabuk dan aku bahkan tidak ingat sisanya. Aku sama sekali tidak sadar saat melakukannya. Kepalaku penuh dirimu." Rick memejamkan mata dan ketika membukanya lagi, ia menatap Cara. "Sekarang pun masih begitu. Aku dipenuhi dirimu setiap harinya, Cara. Kalau saja aku punya kesempatan, aku akan memperbaiki segala kekacauannya. Kumohon? Jangan menikah dengan orang lain, Cara. Menikahlah denganku."
Cara tergugu. Ia hampir saja menangis kalau saja ia tidak mengendalikan dirinya. Cara terkekeh mengusir perasaan getirnya. "Kalimat bagus, Rick Storm. Tapi kau tidak bisa menyakitiku lagi."
Memungut sisa harga diri seperti dua tahun lalu ketika Cara akhirnya memutuskan untuk meninggalkan apartemen mereka. Sekarang Cara melakukannya lagi setelah tidur dengan Rick. Ia memakai celana dalam yang teronggok di lantai, memakai branya yang terlempar ke sudut ruang yang lain. Di mana gaun dan sepatunya?
"Cara, kumohon. Tinggallah."
"Di mana gaunku?" Astaga. Cara membuka kamar mandi, tentu saja tidak ada karena mereka belum sempat melakukannya di kamar mandi. Di mana gaunnya? Ia tidak mungkin pulang telanjang. Kemudian bunyi ponselnya menggema. Sekarang di mana tas tangannya? "Itu ponselku."
"Cara, tolong. Tetaplah di sini." Rick tidak membantu untuk mencari barang yang Cara butuhkan. Ia hanya membuntuti Cara.
"Brengsek, di mana ponselku?" Deringnya telah berhenti dan Cara kesulitan mencari tanpa nada deringnya. Namun ia menemukan gaunnya di kaki selimut. Cara segera mengenakan gaunnya. Ia tidak peduli di mana sepatunya. Toh itu milik Vivian.
"Cara-"
"Aku hanya ingin ponsel sialanku, Rick," hardik Cara.
Rick tidak mendorong Cara lebih lanjut. Ia meraih di ponselnya di nakas dan memberikannya pada Cara. "Telepon nomormu."
Cara tertawa menatap ponsel mahal Rick. "Kau bercanda?"
"Nomor lamamu masih di sana. Meski kau tidak pernah membalas pesanku, aku tak pernah menghapusnya. Setiap hari aku berharap kau membalas pesanku atau bahkan emailku."
Cara meraih ponsel Rick dan mengetik nomornya. Cara tak bisa menahan senyumnya ketika nomornya, yang tak pernah ia ganti, tidak terdaftar di kontak Rick. Ia memanggil nomor itu dan benar saja, ia terhubung dengan layanan operator. Nomor lama Cara memang sudah diblokir Rick. Itu sebabnya Cara tak pernah bisa menghubungi Rick. Ia mengembalikan ponsel Rick. "Lelucon bagus. Seolah segala sesuatunya perlu kauperjelas."
"Ada apa?" tanya Rick pura-pura bingung. Serius, kenapa Rick tidak mencoba karir akting?
"Kau memblokir nomorku."
"Apa?" tukas Rick. "Aku tidak pernah memblokir nomormu."
Cara mengendik dan kembali mencari ponselnya. Ia sudah tahu kalau Rick memblokirnya, tapi dihadapkan secara langsung tidak membuat Cara siap. Dan email apa? Rick tidak pernah mengirim email sejak meninggalkannya ke Sydney.
Rick menarik Cara dan memperlihatkan layar ponselnya yang menunjukkan kontak dengan nama: Cara ♡. "Ini nomormu, kan?"
Cara mencermati nomor itu, secara teknis, nomor itu hampir mendekati nomornya. Tapi satu digit di tengah jelas menunjukkan nomor itu bukan miliknya. Cara menggeleng. "Harusnya 9 bukan 6. Itu bukan nomorku. Nomorku sudah kau blokir."
Rick menatap layarnya dan Cara bergantian. Cara tidak mengerti mengapa Rick perlu terkejut. "Tidak mungkin. Aku bersumpah aku tidak pernah memblokirnya atau menggantinya."
"Yah, maaf mengecewakanmu. Tapi memang itu yang kau lakukan padaku. Mungkin kau tidak sadar seperti saat meniduri wanita itu. Kau memblokir nomorku dan sekarang kau bertingkah seolah tidak melakukannya."
"Tidak, Cara."
Ponsel Cara berbunyi lagi dan ia mendekati nada deringnya. Ternyata tas tangan Cara berada di kolong tempat tidur yang sempit. Cara tidak punya waktu berpikir bagaimana benda itu bisa berakhir di sana. Ia segera mengangkat panggilan. Itu Max.
"Aku ketiduran dan baru sadar kau belum pulang. Kau di mana? Aku menelepon Beverly House tapi mereka hanya melihat mobilmu dan katanya Carter kembali sendirian. Kau baik-baik saja?"
Cara meneguk ludah. "Jemput aku, Max. Aku di Lorian."
"Oh, sial," ujar Max. "Kau bersamanya. Aku akan tiba kurang dari sepuluh menit."
"Cepat," bisik Cara. Kemudian mematikan panggilan itu.
"Cara-"
"Aku harus pergi," kata Cara memotong Rick. "Max menungguku."
Rick meraih tangan Cara. "Tolong. Dengarkan aku. Aku akan menjelaskan segalanya. Tolong tetaplah di sini. T-tolong-lah."
"Hentikan, Rick." Cara tak kuasa menahan air matanya lagi. "Tadi itu adalah kesalahan. Aku menyesal."
"Aku tidak menyesal karena bercinta denganmu, karena mencintaimu. Aku tidak menyesali segala sesuatunya."
"Termasuk meninggalkanku dengan harapanmu? Usaha bagus, Rick."
"Bukan itu maksudku-"
"Kita sudah selesai. Apakah kau tidak bisa melihat itu?"
Rick menggeleng. "Tolong, Cara. Beri aku kesempatan. S-sa-tu k-kesem-patan lagi. Tolong."
Cara menghapus air matanya dan berjalan melewati Rick. Keluar dari kamar Rick dan menuju ke tempat parkir. Ban mobil Max berdecit saat Cara tiba di sana. Max keluar dari mobil dan Cara menjatuhkan tubuh ke pelukan abangnya.
"Sial. Apa yang ia lakukan padamu?" tanya Max.
Cara menggeleng seraya terisak. "Bawa aku pergi, Max. Tolong bawa aku pulang."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top