(14)

Ini tidak akan pernah membosankan. Rick bisa selamanya bertahan di tempat ini, bersama wanita ini, dan dalam posisi seperti ini. Rick mencium bibir Cara lagi. Bibir kenyal, lembut, dan manis yang selalu membuatnya mabuk kepayang. Ia memundurkan pinggulnya dan mendesak ke dalam diri Cara dengan lembut. Wanita itu melenguh, menegang di bawah pelukan Rick. Sementara itu, tangan Rick memanjakan payudara Cara yang tidak terlalu besar, tapi pas untuk ditangkupnya.

"Oh, Tuhan," desah Cara.

"Cara..." Rick memundurkan pinggulnya lagi, mendesak lagi. Ia melakukan lagi. Lagi dan lagi. "Kau begitu... oh, Tuhan, aku mencintaimu."

"Aku juga mencintaimu, Rick." Cara menjerit ketika Rick mempercepat gerakan pinggulnya. "Ya ampun, pelan, Rick."

"Kau bercanda?" Tetapi Rick terus mendesak miliknya tak menuruti Cara, karena Rick tahu Cara juga menginginkannya. "Oh, Tuhan, kau begitu panas, Sayang."

"Oh, Rick!" Cara memeluknya erat hingga Rick jatuh di atas tubuh telanjang Cara. Napas Cara terengah-engah, sementara dinding intinya menjepit Rick di bawah sana. Cara sudah mendapatkan kenikmatannya, tapi Rick belum. Jadi Rick bergerak lagi. "Oh, Tuhan, jangan lagi."

"Sebentar lagi, C." Rick menyangga tubuh dengan lengan, mendesakkan dirinya lagi mendekati pusat kenikmatan Cara. "Berbalik?"

Cara mengangguk. Rick mencium bibir kekasihnya, membiarkan milik mereka terlepas. Rick dihadiahi pantat indah kenyal milik Cara. Rick memposisikan diri di depan surga kenikmatan itu dan kembali menggerakkan pinggul hingga dirinya menyatu dengan Cara.

"Oh, Tuhan!" desah Cara ketika Rick meraih payudaranya dan meremas di sana.

"Sial, Cara." Rick merasa tubuh Cara seperti candu. Tubuh Cara selalu menggiurkan meski teman-temannya selalu menganggap Cara biasa-biasa saja. Apa mereka bercanda? Seks tak pernah membosankan bagi mereka. Cara sangat cantik dan mempesona, tubuh mungilnya membuat Rick tergila-gila. Rick tak pernah puas melakukan ini―memundurkan pinggulnya hingga ujungnya yang tertinggal sebelum mendesak lebih dalam lagi. Cara selalu panas dan siap untuk Rick.

"Ayo, Rick. Aku hampir tiba."

Kali ini Rick menuruti Cara. Pelepasan sudah berada di ujung gairah. Rick mempercepat gerakan pinggulnya. Menggigit bahu Cara dan terus memompa diri. Mereka saling mendesahkan kata cinta pada satu sama lain. Ketika Cara berteriak, Rick pun mendapatkan pelepasannya. Menenggelamkan diri pada Cara sedalam-dalamnya.

Cara ambruk di ranjang mereka. Rick pun demikian, namun Rick secepat mungkin bangkit. Mengambil tisu dan melepas pengamannya. Benda ini sungguh menyiksanya, tapi Rick tak punya pilihan lain. Cukup sekali mereka melupakan pengaman dan Rick masih ingat betapa takutnya mereka berdua akan kehamilan di usia muda. Mereka sama-sama masih sembilan belas tahun dan mempunyai anak sebelum lulus kuliah tidak ada dalam daftar rencana mereka. Untunglah Cara mendapatkan haidnya sebulan kemudian. Sejak saat itu mereka tak pernah melupakan pengaman. Cara bahkan melakukan proteksi ganda dengan meminum pil. Tapi Rick tetap tak mau mengambil risiko karena menggantungkan diri dengan pil. Ia sudah sering mendengar bahwa pil-pil itu tidak sepenuhnya akurat. Bagaimanapun Rick masih mengingat betapa nikmatnya seks tanpa pengaman itu.

Rick mengambil handuk kecil dan membasahinya. Cara sudah setengah terlelap ketika Rick membuka selimut dan membersihkan paha Cara.

"Mm, trims," gumam Cara.

Rick membersihkan miliknya juga dengan handuk yang sama, melempar handuk, lalu mengambil posisi di sebelah Cara dan menarik wanita itu ke pelukannya. "Tidurlah. Aku mencintaimu."

"Aku mencintaimu juga, Rick."

Rick mengecup puncak kepala Cara dan menerawang ke apartemen kecil yang mereka sewa bersama. Sejak ibunya meninggal setahun yang lalu, Rick dan Cara memutuskan tinggal bersama selagi menyelesaikan tahun terakhir kuliah mereka. Rick tahu Cara mengajaknya tinggal bersama untuk menekan biaya pengeluaran Rick setelah ibunya tiada. Sisa uangnya menipis dan tabungan mungkin hanya cukup hingga membawa Rick lulus, tapi Rick punya Andrew yang sekarang tinggal di asrama karena Rick tak tahu lagi bagaimana meninggalkan Andrew sendirian menjalani masa SMA di Westerly.

Rick menggantungkan dirinya pada band. Penghasilan mereka lumayan, tapi Rick masih ragu band ini di terima pasaran. Pasang surut di dunia musik kerap terjadi. Tak jarang sebuah band hanya bisa menjual satu lagu saja, setelah itu pudar dari pasaran. Tetapi Rick punya Andrew. Jika band ini tidak berhasil, Rick harus mencari pekerjaan.

Rick mengeratkan pelukannya pada Cara. Kalau bukan karena wanita ini, Rick tidak mungkin kuliah. Ia pasti berada di rumahnya saat ini, beristirahat setelah bekerja seharian dengan Leigh, mungkin mendengarkan Cara dari telepon tentang hal-hal yang ia lakukan di NY atau Boston atau Yale.

Tapi mereka tidak berhubungan di telepon. Mereka di sini. Di Los Angeles. Di ranjang yang sama. Saling berpelukan. Cara sering memasak dan diam-diam mengembalikan uang Rick ketika selesai berbelanja kebutuhan. Sepertinya dua per tiga dari biaya hidup mereka hampir seluruhnya ditanggung Cara. Rick ingin marah karena tidak bisa menjadi sesuatu yang lebih untuk Cara, tapi Rick terlalu mencintai wanita ini dan tak yakin jika ada bagian kehidupannya yang tidak melibatkan wanita ini.

Masa depan mereka sudah jelas. Rick tak akan pernah melepaskan Cara. Cara harus menjadi miliknya. Rick ingin melindungi Cara, membuktikan pada Cara bahwa Rick bisa menjadi sesuatu yang lebih. Rick ingin membalas pula seluruh kebaikan Cara untuk dirinya selama ini.

"Cara?" Rick bersuara tanpa ia kehendaki. Padahal napas Cara sudah teratur dalam pelukannya. Rick mendengar Cara melenguh dan menelan ludah.

"Hm?"

"Kau belum tidur?"

"Aku mencoba tidur, Sayang. Tidurlah." Cara menguap dan mengeratkan lengan Rick disekita tubuhnya. "Apa kau bergairah lagi? Tidak bisa. Jangan paksa aku, dasar mesum. Aku mengantuk."

"Cara... Setelah tur itu, m-maukah kau... menikah denganku?"

Rick bisa merasakan tubuh Cara yang menegang. Cara membalikkan tubuh dan matanya sepenuhnya terbuka. "Apa?"

"Menikahlah denganku, Cara."

Cara ragu-ragu tersenyum. "Kau... i-itu... serius?"

Rick mengangguk. "Kau mau, kan?"

"Kau sedang melamarku? Dalam keadaan telanjang?"

Rick tersenyum malu. Ia menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh mereka berdua. "Aku tahu ini kurang sempurna karena tidak ada cincin atau apapun. Aku tidak mengajakmu liburan ke sebuah pantai, atau tidak membayar makan malam yang mahal dan romantis."

Kali ini Cara benar-benar tersenyum. Air matanya meluncur. "Aku suka telanjang bersamamu. Jangan khawatir."

"Aku tahu kita masih dua puluh dua tahun, kita bahkan baru lulus beberapa minggu lagi. Tapi aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpamu. Tujuh tahun ini benar-benar hal terindah seumur hidupku. Aku memilikimu dan aku tidak berhenti bersyukur karena itu. Jadi, aku akan menemui ayahmu sebelum tur, lalu kita akan menikah di Westerly setelah aku pulang dari tur. Bagaimana menurutmu?"

Cara tertawa dan mengusap air matanya. "Ya! Ya, Rick! Aku mau menikah denganmu. Astaga, aku tak percaya kau melamarku."

"Tunggu sebentar." Rick melepas cincin perak di jari telunjuknya. Bukan cincin mahal, tapi Rick tak punya banyak pilihan karena sekarang adalah tengah malam. Rick menyematkan cincin itu ke ibu jari Cara, cincin itu masih agak longgar di sana. Namun air mata Cara terus meluncur melihat cincin itu. "Aku mencintaimu. Kita akan pilih cincinnya nanti bersama-sama?"

"Ya! Aku mau memilih cincinnya bersama. Oh Tuhan, Rick aku sangat mencintaimu!"

Rick memagut bibir Cara dengan penuh cinta. Ini sudah tepat. Apapun yang terjadi dalam hidupnya, Rick ingin Cara di dalamnya. Inilah yang Rick inginkan. Inilah takdirnya. Cara adalah takdirnya.

"Aku jadi tidak bisa tidur," gumam Cara setelah melepas ciumannya. Ia masih memandangi ibu jarinya dan menatap Rick penuh kebahagiaan. Rick tak akan bisa melupakan saat-saat seperti ini.

"Aku bisa membuatmu tidur," bisik Rick. "Aku bisa membuatmu lelah sampai tertidur."

"Oh Tuhan, jangan lagi."

Rick tertawa dan memposisikan diri di atas tubuh Cara. Mencium Cara dan kembali menyentuh Cara. Membuat tubuh mereka lelah karena seks adalah cara tidur terbaik yang pernah ada. Cara protes, tetapi tidak menghentikannya.

# # # # #

"Kau benar-benar pakai itu?" tanya Max yang melongo di ambang pintu kamar Cara.

"Astaga! Kau mengagetkanku, dasar brengsek! Ketuk dulu pintunya! Bagaimana jika aku telanjang?" gertak Cara.

"Well, pintunya terbuka," ujar Max enteng. Ia memasuki kamar Cara dan memeluk adiknya. Tubuh Max pasti beratnya dua kali tubuh Cara yang kecil dan ramping. Khas tubuh seorang gelandang dengan bahu bidang dan otot besar. Rambut cokelatnya berantakan. Cara melepas pelukan dan perlu berjinjit untuk mengacak rambut kakaknya. "Aku sangat merindukanmu, Princess. Omong-omong apa yang kau pakai itu? Kau serius memakai mantel itu ke reuni SMA? Atau di dalamnya ada gaun seksi?"

"Jangan mengguruiku," ujar Cara sambil memoles lipstiknya. Ia bisa mendengar Vivian berteriak untuk memakai warna merah. Tapi di sini tidak ada Vivian, jadi Cara tetap memakai lipstik merah muda dan menambahkan lipgloss berperisa jeruk favoritnya. "Tunggu dulu. Kau datang dari mana?"

"Tentu saja dari Boston. Aku dengar adikku pulang dan itu momen langka. Aku harus pulang juga."

Cara menatap penampilannya dari cermin. Memutar tubuhnya dan menatap pakaiannya yang biasa-biasa saja. Ya ampun, kenapa hanya Vivian yang selalu terlihat sempurna? Kenapa Cara tidak pernah punya kemampuan memikat diri seperti Vivian? "Kau tidak punya pertandingan?" tanya Cara pada Max. Ia meraih tisu dan menghapus riasan tipis yang dibubuhkannya sendiri. Ia mulai frustasi soal datang ke reuni ini. "Kau pasti punya latihan atau sesuatu."

"Hei, hei," Max menghentikan tangan Cara yang menggosok kasar. "Kau bisa membuat wajahmu merah."

Cara merasa tersinggung. "Kau tidak tahu itu."

"Percayalah, aku sudah cukup mendengarkan omong kosong soal riasan wanita setiap harinya."

Cara memutar mata. Sepertinya Cara hanya cocok dengan Calvin yang pendiam. Mereka berdua sama-sama punya misi tidak akan pulang ke Westerly kecuali waktu-waktu mendesak. Cara tak ingin teringat kenangannya bersama Rick, sementara Calvin―hanya Tuhan yang tahu apa masalah anak itu. Max dan Kevin lebih cocok bersama karena mereka membicarakan wanita setiap saat. Bukan rahasia lagi bahwa bintang lapangan seperti Max menjadi pujaan setiap wanita, sementara Kevin adalah bujangan tersisa di Westerly sehingga diincar setiap wanita lajang yang ada di kota―tidak peduli jika itu anak SMA, pelayan bar, janda, atau para lansia.

"Kau datang dengan seseorang ke sana?" tanya Max hati-hati.

Cara tahu Max pun tahu perasaan Cara untuk menghadiri reuni ini. Untungnya, Cara punya jawaban. "Tentu saja."

"Siapa? Teman SMA-mu?"

Cara menggeleng. "Dia teman kencanku dari Manhattan. Dia di sini, di Westerly."

"Kau mengajak seseorang pulang?" tanya Max terkejut. "Siapa namanya?"

"Henry Carter. Dan tidak, aku tidak membawanya pulang. Aku hanya akan mengajaknya ke reuni. Hubungan kami belum yang semacam itu. Dia menginap di Beverly House." Cara membersihkan wajahnya dan mulai mengoleskan pelembap lagi.

"Apa pekerjaannya?"

"Dia bekerja di lembaga statistik milik keluarganya."

"Kekeluargaan tinggi, kalau begitu? Ayah pasti kurang lebih akan menyukainya seperti ia menyukai Kev," ujar Max. Ia menghentikan tangan Cara yang sudah selesai dengan bedak dan akan meraih lipstik merah muda. "Oke, hentikan. Pilihanmu mengerikan. Aku mungkin tidak bisa membantu meriasmu, tapi aku bisa pilihkan sesuatu yang cocok untukmu. Pertama, ganti baju itu. Kau kelihatan seperti kutu buku atau penjaga perpustakaan dengan mantel itu."

"Pertama, aku memang kutu buku. Aku menulis buku, ingat? Aku membaca untuk riset, memperluas inspirasi dan sebagainya."

"Kedua, hak tinggi atau sepatu bot. Apakah kau sungguh memakai sepatu datar itu?"

Cara menatap sepatunya. Itu sepatu yang nyaman. Baru saja ia beli kemarin saat perjalanan pulang ke Westerly. Sengaja ia membelinya karena Vivian menyembunyikan seluruh sepatu Cara yang ada di rumah.

"Kau ingin memakai sepatu mengerikan itu ke reuni?" cerca Vivian saat Cara menanyakan di mana sepatunya. "Apakah kau ditindas saat SMA? Karena biar kuberitahu, kau akan ditindas lagi kalau pakai sepatu itu." Kemudian Vivian mengepak lima buah sepatu seperti yang Max sebutkan, padahal Cara hanya menjalani reuni untuk satu malam.

"Ketiga, merah, saudariku. Lipstik merah. Umurmu dua puluh enam tahun, demi Tuhan. Buatlah kejantanan seseorang menegang."

"Aku mau datang ke reuni, bukan untuk menari stiptis."

"Ganti baju, Cara. Kau tak ingin aku memaksa pemilik butik di kota supaya mengirimkan baju sekarang juga. Kau adikku. Jangan permalukan aku, atau bahkan dirimu."

Cara menghela napas dan menarik gaun yang Vivian beli. Gaun potongan berwarna tosca dengan rok span yang berakhir di atas lutut. "Ini?"

"Sempurna. Kenapa kau pakai mantel mengerikan itu kalau kau punya gaun yang itu?"

"Karena pakaian ini sangat terbuka."

"Pakaian itu mengagumkan," ralat Max. "Sopan tapi menawan. Ya Ampun kenakan saja. Pakai lipstik merah. Rambutmu... harus melalukan sesuatu dengan rambutmu. Jangan disanggul begitu, ya ampun. Kau bawa alat untuk mengkeriting itu?"

"Kau tahu alat semacam itu ada? Kau ini pemain football atau pekerja salon?"

"Hei, itu alat darurat wanita. Rambutmu terlalu lurus, Cara."

Cara memutar mata. "Tidak, aku tidak punya alat itu."

Max mengusap dagunya. "Hmm, ikat ekor kuda saja."

"Ekor kuda?" tanya Cara terkejut. "Apa ini SMA?"

"Ya, kau akan ke SMA!" tukas Max. "Lakukan. Aku akan keluar dan menunggu hasilnya."

Kemudian Max keluar dan berteriak dari balik pintu, menandakan bahwa ia menunggu Cara. Ini gila. Cara tidak bisa berubah menjadi Vivian yang tiba-tiba terlihat menawan. Cara melepaskan gaunnya dan mulai menjalankan saran Max. Sepertinya ada Vivian juga yang mengomando di kepalanya untuk mengoles dua kali, meratakan, atau menghapus.

Ketika Cara selesai, Cara tidak mau menatap cermin dua kali. Ia mengenakan sepatu hak tinggi dan mengambil tas tangannya. Max menunggu di luar sambil mengutak-atik ponsel. Ia terdiam menatap Cara dari atas sampai bawah.

Cara mengangkat tangan untuk mencegah Max bicara. "Jangan komentar. Aku pergi dulu sebelum berubah pikiran dan melucuti semua ini." Cara mempercepat langkah ke pintu depan sebelum kepercayaan dirinya surut. Cara merogoh kunci mobil dari tasnya. Ia baru saja membuka pintu mobil saat Kevin terlihat keluar dari SUVnya. "Hai, Kev! Aku tahu. Jangan komentar. Aku pergi dulu. Bilang pada ayah aku ke reuni. Dia tadi di bar atau entahlah."

Kemudian Cara masuk ke mobil, menyalakan mesin, dan keluar dari jalan masuk rumah besar keluarga Beverly. Dia benar-benar ingin menghindari komentar saudaranya.

Kevin menatap Max yang tersenyum lebar. Keterkejutan, tak bisa ditutupinya. "Kau pulang? Bukannya sebentar lagi musim pertandingan?"

"Oh, persetan, aku mau melihat adikku pulang," jawab Max. "Tidak akan memakan waktu lama. Aku berharap Calvin di sini."

Wajah Kevin berubah muram ketika nama kembarannya disebut. "Yeah, pasti seru." Kemudian ia teringat mengapa ia kembali ke rumah ayahnya. "Tunggu, Cara bilang ia mau ke mana?"

"Reuni SMA. Kau lupa, ya? Semua orang di kota pasti membicarakannya."

"Oh, sial. Itu sebabnya dia di sini."

"Siapa?"

"Rick Storm."

"Sial," umpat Max. "Dia datang?"

Kevin mengangguk. "Dia hampir memesan kamar sampai aku mengusirnya."

"Tapi Cara datang bersama pacarnya―well, dia bilang teman kencannya. Itu poin bagus. Biar si Storm tahu rasa."

"Kencan Cara? Siapa?"

"Dia bilang namanya Henry Carter, dia menginap di resor. Kau tidak tahu, manajer?"

Kevin mengingatnya. Hari ini hanya ada dua orang yang masuk untuk tinggal di Westerly beberapa waktu lamanya dan salah satunya orang bernama Carter―kacamata tebal, koper besar, kurus dan jangkung―yang telah melakukan pemesanan seminggu yang lalu. "Ini pasti kekacauan," gumam Kevin. Ia tak menyangka kakaknya mengencani pria semacam itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top