BAB 1 : PRINCESS OF DESTRUCTION
Kacau
Semua orang berlari, menyelamatkan diri sembari berteriak menyerukan pada yang lain untuk kabur atau bersembunyi. Beberapa yang lain juga berteriak kesakitan meregang nyawa hingga tubuhnya menghantam tanah bergelimang darah. Tak hanya suara teriakan, suara tangis raung seakan tak luput dari pendengaran. Anak-anak kehilangan ayah dan ibunya, ada pula yang ditangkap dan dibawa secara paksa.
Sudah pasti, Stribrny Kingdom hancur dalam satu hari, saat mendapat kunjungan istimewa dari Sulien Kingdom, kerajaan dengan lambang bintang yang dililit oleh seekor ular.
Tidak semua kerajaan, hanya beberapa kerajaan saja yang beruntung mendapat kunjungan istimewa ini, karena ketika mereka datang … dipastikan seluruh penduduk yang dikunjungi akan musnah.
“Tolong aku … aku tidak mau mati seperti ini, aku harus bertemu dengan ayah dan ibuku dulu.”
Anak perempuan itu berlutut sembari memejamkan mata, tubuhnya gemetar, rambutnya yang berwarna silver kotor terkena debu dari puing bangunan yang hancur, begitu pula dengan tubuhnya yang pendek, juga pakaiannya yang lusuh. Ia memohon, berharap sosok yang ditemuinya ini memiliki belas kasih dan melepaskan dirinya.
Entah ia harus bersyukur atau tidak, lantaran sosok yang ditemuinya, tidak melakukan apa pun, meski masih berdiri tegak dengan memegang pedang bercahaya yang berlumuran darah. Sosok perempuan berambut merah sebahu berpakaian hitam panjang yang melekat pada tubuh proporsionalnya. Sosok itu menunduk, mata birunya berkilat saat mendekati wajah anak perempuan itu.
“Run.”
Suaranya dingin dan tegas, membuat anak perempuan itu membelalakkan matanya, semakin gemetar ketakutan.
“Apakah kau akan membunuhku saat aku berlari?”
“Nope.”
“Ba-baiklah.”
Dengan sedikit kekuatan yang dikumpulkan susah payah, anak perempuan itu mencoba untuk bangkit. Ia menatap sesaat sosok perempuan yang menyuruhnya untuk kabur, sosok perempuan yang cantik, tapi menakutkan. Perempuan itu seakan memiliki aura yang mengharuskan orang di sekitarnya untuk berlutut dalam ketakutan.
Tidak ada kata-kata, anak perempuan itu berlari menjauh. Sosok itu hanya melihatnya sesaat, memastikan anak itu selamat kemudian ia berbalik. Ia melihat ke sekitarnya, suasana yang tadinya ricuh kini perlahan mulai mereda, dengan pemandangan para manusia yang tak lagi bernyawa berserakan di atas tanah, bercampur dengan puing bangunan, darah, dan api.
“Putri Lumiere, kami sudah menyapu bersih seluruh tempat ini. Beberapa prajurit menuju ke istana untuk menghabisi Raja Stirbrny.”
Perempuan itu menyeringai. “Bagus! Antar aku ke sana dan jangan bunuh rajanya, biar aku yang melakukannya.”
“Baik, Putri!”
Lumiere, Putri dari Sulien Kingdom yang ikut serta dari setiap aksi genosida yang dilancarkan oleh kerajaan. Ia selalu berada di baris depan dan memimpin pasukan. Ia ditakuti oleh hampir semua prajurit kerajaan. Ia digadang-gadang memiliki sifat yang sama seperti sang raja sendiri, dibanding dengan dua saudaranya yang lain. Kejam dan tak kenal ampun.
Lumiere menyimpan kembali pedang cahaya miliknya, menjadi liontin dari gelang perak yang ada di tangan kanan, kemudian menaiki sebuah alat, seperti kapsul besar berwarna putih yang hanya bisa dinaiki oleh satu orang saja. Ada lambang kerajaan di sisi bagian belakang, benda itu hanya dimiliki oleh anggota kerajaan dan para aristokrat yang ada di Sulien Kingdom, sedangkan prajurit biasa akan mengendarai motor tanpa roda yang melayang. Kendaraan model lama.
Saat sampai di Istana Stribrny, Lumiere turun dan berjalan dengan angkuh, kembali mengaktifkan pedang bercahayanya. Keadaan istana tak jauh berbeda dengan keadaan di luar sana. Para pengawal yang tewas berserakan di koridor, mengenaskan, beberapa prajurit Sulien pun tanpa belas kasihan menginjak mereka yang sekarat dan memohon perlindungan.
“Tuan Putri Lumiere!” sapa sosok laki-laki yang berlutut di depan kursi tahta.
Lumiere memasang wajah tanpa ekspresi saat berhadapan dengan manusia berbalut pakaian kerajaan ini. Meski di atas kepalanya masih terdapat mahkota berlian, kakinya berlutut penuh harap. Di sisi kanannya terdapat perempuan dengan gaun kerajaan dan mahkota, bisa jadi Sang Ratu yang sudah pergi ke alam baka terlebih dahulu, kemudian tak jauh dari sisi Sang Ratu terdapat sosok perempuan dengan gaun yang sama, berkulit bersih, dan ya … juga tak bernyawa. Pakaian tuan putrinya sedikit tersingkap dan Lumiere menatap tajam para prajuritnya yang ada di sana.
“Apa kalian melakukan sesuatu pada putrinya?” suara Lumiere menggelegar tegas, membuat para prajurit merinding.
“Tidak, Putri,” cicit mereka.
Sang Putri menyeringai. “Aku tidak mendengar suara kalian, prajurit! Aku tidak segan membunuh kalian semua di tempat ini dan membakar jasad kalian jadi satu dengan para Stribrny jika berani menentangku!”
“Kami tidak melakukan apa pun padanya, Putri!” jawab mereka dengan lantang.
“Mereka tidak melakukan apa pun pada anakku, Tuan Putri. Anakku sedikit melakukan perlawanan meski pada akhirnya terbunuh juga. Apa … apa Anda bersedia mengampuniku?” cicit Sang Raja.
Lumiere menatap raja, kemudian berjalan mendekatinya, semakin dekat hingga wajahnya berjarak beberapa senti saja.
“Kudengar kau bukan raja yang baik, ya? Kau melakukan kekerasan pada rakyatmu dan memberi hukuman secara tidak adil. Peraturan yang berlaku hanya menguntungkan golonganmu, sekarang kau meminta ampun setelah prajuritku mengirim semua rakyatmu ke alam baka?”
Entah ada angin apa, Sang Raja yang tadinya gemetar memohon ampunan, kini mengubah raut wajahnya, ia tertawa.
“Kau, putri dari kerajaan yang dikenal tanpa ampun. Apa kau tahu bahwa kerajaanmu sendiri melakukan hal yang sama? Aku belajar banyak hal dari ayahmu dan kuterapkan di kerajaanku. Lalu kini kau menghukumku karena hal itu? Sungguh tidak-”
Tanpa suara, bahkan terjadi dalam waktu yang sangat singkat, saat kepala Sang Raja menggelinding di atas karpet merah ruangan tahta hingga berhenti di bawah salah satu prajurit. Mereka tidak takut, atau menghindar. Tubuh raja yang berlutut kini ambruk.
“Jangan sekali-kali mengoreksiku, Pak Tua! Kau hanya akan mempercepat ajalmu saja.”
Lumiere mengayunkan pedangnya untuk menghilangkan bekas darah dan mengubahnya kembali menjadi bentuk liontin. Ia berbalik dan berjalan ke luar. Tanpa bicara pun, para prajurit tahu bahwa Sang Putri telah mengakhiri genosida ini dan bersiap untuk kembali.
***
“Mereka sudah pergi, Thyle?”
“Ya, mereka semua pergi. Kita aman. Leila, ayo keluar dari tempat ini!”
“Lalu bagaimana dengan putri kita?”
Perempuan itu menangis, perempuan berusia sekitar kepala empat menghapus sendiri air matanya, tapi tidak berhenti.
“Kita telusuri dulu tempat ini, jika memang tidak ada jasad Roxy, bisa dipastikan anak itu selamat dari genosida. Ayo! Lebih cepat lebih baik!”
Leila mengangguk dan mengikuti suaminya, menyusuri tempat yang dulunya adalah kampung halaman mereka, mencari Roxy, sang putri semata wayang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top