Bab 4

Di sebuah kastil yang tidak terlalu besar dan tersembunyi dari keramaian ibu kota, ada sekelompok orang sedang duduk berbincang di atas kursi batu, berdiri menggerombol sambil mengasah senjata ataupun menggosok baju zirah dengan campuran air, abu, serta mengolesi minyak. Aroma daging panggang menguar di udara, disertai dengan bau amis dari ikan yang sedang diasapi.

Kastil itu terhitung kecil untuk bangunannya tapi mempunyai halaman yang luas ditumbuhi pohon-pohon besar. Jalanan masuknya dari jalan utama hanya memuat satu kereta kecil. Tidak mencolok karena atap kastil tidak terlalu tinggi. Tidak terlalu berbeda dengan rumah penduduk kebanyakan kecuali fakta kalau kastil ini milik seorang Baron tua yang sudah pensiun dan kini memilih tinggal di pedesaan. Berbeda dengan kastil milik bangsawan lain yang dipenuhi dengan pelayan, di sini kesemuanya adalah prajurit dengan dua orang yang menjadi koki. Rata-rata laki-laki dan hanya satu perempuan berambut ikal dengan tubuh berotot sedang mengawasi orang yang datang dan pergi di ruang utama.

Seorang laki-laki muda tampan dengan mata sebiru lautan, duduk di ujung meja panjang. Rambut hitam laki-laki itu sedikit panjang melewati tengkuk. Berahang tegas dengan bekas luka di pelipis kanan. Kulit yang kecoklatan terpapar sinar matahari dengan lengan yang berotot menyembul dari balik pakaian, laki-laki itu terlihat sangat tangguh dan sekeras batu karang. Mata birunya yang menyorot tajam, mampu mengintimidasi setiap orang yang bertukar pandang dengannya.

Dua koki keluar menggotong babi panggang yang besar, dan meletakkan di atas meja. Tak lama sereal, roti, dan kentang rebus pun dihidangkan, berikut tumisan sayur. Anggur terbaik dituang ke dalam cawan dan orang-orang yang sedari tadi berada di luar, kini berkumpul di ruang makan.

"Your Highness, apakah bumbunya sudah cukup meresap?" Koki bertubuh kurus bertanya dengan penuh harap pada laki-laki bermata biru yang memakan irisan daging pertama darinya.

Xavier mengangguk, berdecak nikmat. "Sangat enak, kau melumuri daging dengan anggur putih sebelum memasaknya?"

Si koki tampak takjub dan mengangguk. "Benar, saya juga menaburkan rempah-rempah untuk menghangatkan tubuh di musim gugur."

"Sangat lezat!" Xavier mengangkat gelas anggurnya ke udara. "Kalian boleh makan sekarang!"

Orang-orang mulai mengambil makanan dan anggur mereka lalu membawanya ke teras depan, halaman samping atau pun ke dapur. Semua orang bebas makan di mana pun mereka inginkan. Di ruang makan kini hanya tersisa Xavier, dua pengawal pribadinya Maedoc dan Mael, serta panglima perempuan Zena. Beberapa prajurit dengan pangkat lebih tinggi, tetap tinggal di ruang makan bersama mereka.

"My Lord, saya baru saja mendengar kabar dari orang kita." Zena menyesap anggur dan berdecak nikmat. "Utusan dari Saintmerica sudah sampai di kastil King Bentley."

Xavier mengangguk, mengiris daging dengan seksama sebelum memakannya. "Ayahku tercinta, rupanya tidak senang membiarkanku hidup tenang. Dia, ditambah dengan ibu tiriku tercinta, sangat suka ikut campur dengan urusanku. Menurut kalian, siapa di antara dua princess itu yang akan menerima lamaran itu?"

Zena bertukar pandang dengan pengawal lain dan menggeleng.

"Pertanyaanku salah, siapa di antara dua princess itu yang akan cocok mendampingiku."

"Princess Ivy," jawab Maedoc tegas. "Kalau My Lord perhatikan, Princess Ivy sangat baik hati dan penuh kasih. Seharusnya bisa menjadi pendamping yang baik untuk Anda."

Xavier mengangkat sebelah alis. "Begitukah? Bukankah kau juga tahu kalau dia sudah punya kekasih?"

Lagi-lagi terjadi kehening, orang-orang kini mulai kebingungan untuk menjawab pertanyaan tuan mereka.

"My Lord ingin menikah dengan Princess Fiona?" tanya Zena pelan. Sedikit ragu-ragu dengan pertanyaannya. Takut kalau akan menyinggung perasaan Xavier.

"Menurutmu bagaimana Zena? Apakah aku harus bersama dengan seorang gadis manja yang hanya ingin dipuja? Fiona tidak akan cocok tinggal bersama kita."

"Bagaimana kalau ternyata dia yang ingin? Maksud saya Princess Fiona yang memang menginginkan pernikahan dengan My Lord."

"Zena, aku rasa dia tidak akan mau menikahiku. Tahu kenapa? Karena isi lamaran bukan menikah dengan anak kedua King George, tapi dengan pemberontak perbatasan. Biasalah, humor konyol dari ibu tiri tercinta. Kita lihat saja nanti, apakah King Bentley akan menyerahkan anak gadisnya yang berharga untuk menikah denganku, atau bertahan dan membuat provokasi dengan ayahku."

"My Lord, kami tidak mengerti kenapa Anda yang dipaksa untuk menikah. Bukankah ada Princes Kaynes? Seharusnya permaisuri memikirkan anak kandungnya lebih dulu," ucap Mael bingung.

Tersenyum sambil mendengkus, Xavier menatap Mael lekat-lekat. "Kerajaan Burgia bukan wilayah yang besar dan tentu saja, ibu tiriku tercinta pasti berpikir, kalau istriku bukan princess dengan kekuasaan luas, maka tidak akan ada bantuan tambahan. Sungguh luar biasa memang pemikiran Your Grace Carmen Elmaida, begitu terobsesi denganku. Kita lihat, apakah dia bisa menang kali ini?"

Tidak ada yang bisa menebak jalan pikiran Xavier, semua terlalu rumit untuk dipikirkan. Xavier yang terbiasa hidup bebas, dipaksa untuk menikah dengan salah satu anak Bentley. Tentu saja, Xavier menolak tapi sayangnya, sang ayah, King George memang pemaksa. Sebelum pernikahan itu menjadi kenyataan, Xavier sengaja datang ke kerajaan Burgia, untuk melihat bagaimana sosok dua princess yang akan menjadi calonnya. Sejauh ini, ia tertarik dengan si sulung, tapi tidak yakin kalau Ivy akan menerimanya.

Sementara di kastil King Bentley terjadi kehebohan, ia menunggu bersama anak buahnya di sini. Sampai saat yang tepat untuk melihat bagaimana drama perjodohan ini akan berakhir. Dalang dari perjodohan ini tidak lain tidak bukan adalah permaisuri agung dari Saintmerica.

**

Pagi sudah menanjak menjadi agak panas, dengan matahari bersinar lebih terang serta menahan gempuran angin musim gugur. Pohon di sekitar kastil bergoyang, merontokkan daun tua dan mulai menguning. Membuat para pelayan tidak berhenti bekerja untuk menyingkirkan kotoran.

Masih berdiri dengan tubuh basah kuyup, Ivy tidak bisa beranjak. Julian menahan bahunya dan mengendus tubuhnya. Mengernyit sesaat dan tanpa aba-aba menampar Ivy hingga terpelanting ke lantai. Fiona mengulum senyum, kali ini berdiri di sebelah sang mama dan menatap Ivy yang duduk di lantai dingin.

"Berani-beraninya kau melanggar perintahku!" teriak Julian. Mengamuk saat melihat Ivy menggeleng. "Kau masih berani berkelit? Bukankah sudah aku katakan, sembunyikan aroma tubuhmu? Kenapa kau tidak memakai bedak yang biasanya, hah! Sengaja melakukannya untuk menentangku?"

"Your Highness, saya ti-dak sengaja. Bukan melanggar perintah, hanya lupa." Ivy menahan pipinya yang sakit.

Fiona berkacak pinggang. "Jangan percaya dengan dia, Mother. Lihat sendiri bukan, bagaimana dia sengaja menentang kita. Dia pikir hebat, karena anak sulung tapi semua orang tahu, kalau kehadirannya di sini tidak pernah dianggap!"

Julian tersenyum tipis, menatap Ivy lekat-lekat lalu berjongkok di depannya dengan mata terpancang penuh amarah. "Aku peringatkan sekali lagi, jaga sikapmu, Ivy. Kalau sampai terjadi lagi, kau lupa menyembunyikan aroma tubuhmu, akan aku pastikan kau kesakitan sampai tua. Dan satu lagi, kalau kau masih berani mencuri, makanan yang hilang akan digantikan dengan anggota tubuhmu! Gadis tidak berguna!"

Bangkit dengan angkuh, Julian menatap Fiona dan mengajaknya meninggalkan ruang makan. "Ayo, kita temani Your Majesty. Aku ingin tahu urusan apa sampai Saintmerica mengirim utusan kemari."

"Hanya itu Mother? Tidak ingin mengurungnya?" protes Fiona.

"Tidak ada gunanya. Dia akan tetap berkeliaran entah bagaimana caranya. Jangan pikirkan dia. Kau harus mulai memilih laki-laki yang cocok untuk menjadi pendampingmu, Fiona."

"Ya, Mother."

Percakapan ibu dan anak itu terdengar makin menjauh dari ruang makan. Ivy memejam sesaat, berusaha menghela napas panjang, sebelum bangkit perlahan dari lantai. Tidak ada pelayan yang berani membantunya, mereka takut akan menerima hukuman dari sang permaisuri. Para pelayan itu hanya bisa menatap prihatin dengan raut wajah sedih. Masih terekam dalam ingatan, saat dua pelayan membantu Ivy yang saat itu dihukum dan nyaris makin karena kelaparan. Mereka menyelundupkan makanan untuknya dan diketahui oleh Julian. Hukuman yang diterima tidak main-main. Dirajam lalu dijual sebagai budak. Julian mengatakan kalau itu peringatan bagi siapa pun yang berani menentangnya dan setelah itu, tidak ada lagi yang berani membantu Ivy, tidak peduli meski sang princess menderita hingga nyaris mati.

Melangkah perlahan menyusuri lorong, di depan pintu Oriel menyambut dengan kaget. "Your Highness, apa yang terjadi?"

Ivy menggeleng. "Aku tidak apa-apa. Cepat siapkan pakaian kering dan obat oles untuk luka bakar."

Oriel tidak membantah, mengikuti langkah Ivy dengan hati teriris menahan sedih. Selalu saja ada luka baru setiap kali Ivy datang ke kastil utama. Tidak pernah ada kegembiraan maupun penyambutan layaknya princess pada umumnya.

Tiba di kastil, Ivy membuka pakaian dengan cepat. Oriel memberikan kain yang sudah direndam air dingin dan membasuh tubuh Ivy perlahan. Setelah itu mengambil botol dari rak dan mengoleskannya di perut, dada, serta lengan Ivy yang terkena teh panas. Salut karena sang princess mampu menahan sakit.

"Hari ini aku lupa memakai bedak dan Your Highness bisa mencium aroma tubuhku. Kau tahu apa yang terjadi bukan?"

Mengangguk kecil dengan wajah muram, Oriel menggumamkan permintaan maaf. "Saya terlalu senang karena Your Highness akan bertemu dengan Your Majesty, sampai lupa mengingatkan tentang bedak, maaf."

Selesai berganti pakaian dan mengoleskan obat, Ivy duduk di teras menatap beragam tumbuhan yang ada di dalam pot. Ia lahir dengan anugerah luar biasa dari Tuhan, diberi wangi tubuh alami bahkan tanpa memakai parfum sekalipun. Aroma tubuhnya yang harum dan lembut, membuat Julian serta Fiona iri. Mereka memaksanya membuat kantong wewangian untuk diletakkan di bawah gaun, dengan begitu akan tercium aroma bunga sepanjang hari dari tubuh mereka. Lebih kejam lagi meminta Ivy untuk memakai bedak yang menghambat aroma tubuhnya keluar dan tercium bau busuk samar-samar.

Selama ini Ivy diam, karena ingin tetap tinggal di kastil. Meski begitu, tetap berharap menikah dengan Richard dan bebas dari kastil ini untuk selamanya. Memikirkan Richard membuat senyumnya tanpa sadar terkembang. Ia akan kuat menghadapi semua hal kejam yang terjadi, dengan Richard di sisinya.

Suara langkah kaki mendekat membuat Ivy menoleh. Lothar muncul dengan wajah serius, membungkuk perlahan di depan Ivy.

"Your Highness, ada utusan Siantmerica baru saja tiba di kastil."

Ivy mengangguk. "Aku juga mendengarnya. Apakah ada sesuatu yang penting terjadi?"

"Benar, mereka mengirimkan lamaran perjodohan."

"Lamaran perjodohan? Untuk siapa?"

Lothar menggeleng. "Tidak tahu, karena saya belum mendapatkan informasi yang utuh. Tapi, sedikit mendengar kabar kalau perjodohan salah satu princess Burgia dilakukan dengan salah seorang pemberontak Utara. King George berharap, kita bisa membantu meredam pemberontakan dengan pernikahan."

Sungguh rencana yang sangat di luar dugaan. Ivy tidak mengerti dengan jalan pikiran para pejabat serta raja tentang kekuasaan. Apakah ayah mereka akan mengizinkan Fiona menikah dengan pemberontak? Karena dirinya sudah bertunangan dengan Richard, kecil kemungkinan kalau dirinya yang akan dijodohkan. Ivy hanya berharap, tidak tercipta perang bila kelak perjodohan gagal.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top