Bab 1

Pesta musim gugur dimulai, masa sebelum masuk musim perburuan. Di kastil utama, para bangsawan berkumpul dengan pakaian terbaik mereka, mendengarkan lagu, menari, dan bersuka cita dengan anggur di tangan. Bukan hanya perburuan di hutan, bahkan musim untuk mencari pasangan pun dimulai saat ini. Semua orang berharap bisa mengenal lebih dekat Princess Fiona, sebagai salah satu perempuan paling cantik di negeri. Sebenarnya ada dua princess di kerajaan Burgia tapi hanya satu yang terlihat dan terkenal. Satu lagi seolah menjadi bayangan gelap yang tertutup sinar terang. Orang-orang awam hanya tahu kalau King Bentley tidak pernah menganggap princess sulungnya ada. Semua karena kejadian di masa lampau yang tidak pernah dilupakan oleh sang king sendiri. Para bangsawan dan duke juga mengerti tentang hal ini karena king mereka tidak pernah menutupinya. Kebencian dan ketidaksukaan king pada princess sulungnya.

Anggur dituang dari tong-tong besar, diedarkan ke seluruh tamu pesta. Musik pengiring makin lama makin ramai saat seluruh orang nyaris mabuk dengan menyangga tubuh mereka yang sempoyongan. Makanan berlimpah ruah dari mulai daging panggang sampai buah terbaik tersaji di meja-meja panjang dekat dinding. Para tamu laki-laki melotot ke arah para perempuan yang datang ke pesta dengan gaun berpotongan rendah yang nyaris menunjukkan separuh dada mereka.

Fiona ada di sisi panggung sebelah kiri, menerima sanjungan serta hadiah yang tiada henti dari para duke atau pun marquis, serta count dan earl yang mengantri karena status mereka lebih rendah. Semua laki-laki yang ada di dekat Fiona berasal dari segala usia. Mendapatkan hati sang princess tentu saja seperti mendapatkan setengah dari kekuasaan.

"Princess Fiona, izinkan saya mengajak Anda berdansa." Seorang duke berumur tiga puluh yang baru saja menduda karena istrinya meninggal, dengan penuh semangat dan percaya diri mengulurkan tangan pada Fiona. Wajah tampan, tubuh tinggi, serta kekayaan yang melimpah ruah membuat si duke percaya diri kalau tidak akan ditolak. Sayangnya Fiona hanya tersenyum kecil dan menggeleng.

"Maaf, aku kelelahan. Tidak ingin berdansa malam ini."

Kekecewaan tergambar jelas di wajah si duke tapi dengan cepat lenyap karena mendengar sapaan dari perempuan lain. Fiona menahan dengkusan dari mulutnya untuk laki-laki yang hanya mementingkan wajah dan bukan kemampuan. Ia berumur delapan belas tahun dan siap untuk menikah. Sedang mencari calon suami dengan kriteria tidak tercela, agar kelak tidak ada penyesalan saat melepas masa lajang. Namun, di antara semua laki-laki yang mengelilinginya, tidak satu pun yang menarik minatnya. Fiona merasa pesta malam ini berjalan sangat membosankan.

"Your highness, Anda sangat harum. Apakah wewangian khusus yang Anda pakai atau memang ini aroma alami dari tubuh my lady?"

Pertanyaan seorang marquis muda dengan rambut pirang hanya diberi senyuman oleh Fiona. Mengusap tengkuk yang basah oleh keringat, rambut pirangnya bagai bersinar dan membuat kecantikannya makin menyala. Mata hijaunya menatap pemuda di depannya dengan lekat.

"Tentu saja, ini adalah aroma alami tubuhku. Kalian sudah pernah mendengarnya bukan?"

Decak kekaguman terdengar bersamaan dengan setiap kata-kata yang keluar dari bibir Fiona. Seorang puteri yang jelita ditambah dengan aroma alami tubuhnya yang harum semerbak, setiap orang membayangkan masa bahagia bila hidup bersama sang puteri. Bukan hanya menerima kekuasaan tapi juga berbagai decak kekaguman karena mempunya istri yang jelita. Keinginan setiap orang untuk mendapatkan Fiona makin meningkat.

Tidak ada satu orang pun yang menyadari kalau ujung mata Fiona justru tertarik pada sosok lain. Laki-laki muda berwibawa yang malam ini memakai jubah pesta merah marun dengan sepatu but hitam membalut kakinya berdiri tegap. Laki-laki itu membalas sapaan setiap orang yang melewatinya tapi sama sekali tidak menatap Fiona dan itu mengesalkan. Tersenyum lebih manis, bicara dengan lebih ramah, dan mengedipkan mata pada setiap laki-laki di depannya, Fiona hanya berharap perhatian dari laki-laki itu. Di kastil ini semua tahu kalau Duke Richard adalah calon suami kakaknya dan itu membuat sebal. Meski begitu, ia tetap harus bersikap tenang dan anggun, sebagaimana diharapkan dari sikap seorang princess sejati.

Di sudut ballroom, seorang laki-laki muda dengan pakaian ksatria hitam dengan keliman abu-abu, berdiri mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ada topeng yang menutupi wajah. Menahan kuap karena merasa sangat-sangat bosan. Kalau bukan karena rasa ingin tahu, ia tidak akan berada di tempat seperti ini. Ruangan besar gemerlap dengan orang-orang yang pamer kekayaan, mabuk, serta saling hina satu sama lain hanya demi mendapatkan dansa pertama dengan seorang princess. Sungguh di luar nalar apa yang mereka lakukan dan membuatnya mencibir dalam hati.

Laki-laki muda itu berdiri menyilangkan kaki dengan tubuh bersandar pada pilar besar. Jemarinya yang panjang memegang gelas perak berisi anggur yang sama sekali tidak disentuh. Ia kurang menyukai tekstur anggur yang menurutnya kurang kuat dan terlampau manis. Matanya terpancang ke arah Fiona dengan dahi berkerut. Selain wajah cantik dan rambutnya yang pirang, ia tidak mengerti kenapa para laki-laki tergila-gila dengan gadis itu. Padahal di pesta ada banyak sekali gadis cantik. Mereka semua buta, atau memang pandangannya yang kurang bagus dalam menilai seseorang? Ia tetap berdiri santai saat seorang laki-laki berpakaian hitam mendatanginya. Laki-laki dengan pedang panjang di pinggang, mengangguk kecil ke arah.

"My lord, yang satunya tidak ada di sini."

"Sudah kuduga."

"Dari yang saya dengar, satunya lagi ada di bagian belakang istana."

"Kau sudah memeriksa kebenarannya?"

"Sudah, My lord. Memang ada di istana belakang tapi saat ini sepertinya sedang bersiap pergi."

"Kemana?"

"Saya tidak tahu."

Xavier melirik sekilas ke arah pesta di mana orang-orang kini mulai menari. Fiona berdansa dengan seorang laki-laki muda berjas merah. Dua gadis bergaun biru dan hijau dengan kipas di tangan, mendatanginya. Terkikik sambil mengedipkan mata dengan menggoda. Gadis bergaun hijau bersikap sangat berani dengan berusaha mendekatinya, tapi laki-laki berpedang menghalangi.

"Ups, apakah aku tidak boleh berkenalan dengan kesatria tampan ini?" tanya gadis itu. "Meskipun bertopeng tapi terlihat jelas ketampananmu. Itu kalau kau memang benar tampan, tentunya tidak takut membuka topeng."

"Tidak! My Lord tidak punya waktu untuk bicara dengan kalian! Pergilah!" sentak laki-laki berpedang.

"Hei, kami hanya ingin berkenalan. Sombong sekali kalian ini!" Gadis bergaun biru mengumpat marah.

Xavier memegang bahu pengawalnya sekilas dan memberi tanda untuk pergi. Tidak memedulikan dua gadis yang sekarang mengomel.

"Di mana Maedoc?"

"Sedang mengawasi gadis satunya, My Lord."

"Kita ke sana. Tunjukkan jalan!"

Melangkah cepat melewati orang-orang yang sedang mabuk, Xavier diiringi oleh Mael, pengawal bertubuh gempal dan berkulit agak gelap. Menuju ke pelataran, mereka mengambil kuda yang ditambatkan di sana. Menghentakkan tali kekang dan berlari meninggalkan ballroom istana dengan segara keriuhannya.

**

Di sudut istana yang gelap dan tersembunyi, seorang laki-laki muda dengan topi besi sibuk mengangkat barang untuk dinaikkan ke kuda. Barang-barang itu ada di dalam kantong yang terbuat dari kulit. Sesekali mengusap leher dan surai kuda untuk menenangkan binatang itu. Ia berdiri tegak saat dari lorong muncul dua gadis bertudung. Ia membungkuk rendah pada gadis bertudung hitam.

"Your Highness, semua sudah siap."

Ivy mengangguk. "Ingat bagaimana kau harus memanggilku, Lothar?"

"Ya, My Lady. Saya lupa."

"Kita jalan sekarang."

Gadis bertudung cokelat menggeleng. "My Lady, sebaiknya Anda menaiki kuda. Biar kami jalan kaki."

"Tidak bisa begitu, Oriel. Justru akan menarik perhatian orang-orang kalau aku berjalan naik kuda dengan kalian berjalan kaki."

"Tapi, sekarang sudah malam dan juga dingin. Takut kaki My Lady akan luka."

"Oriel, aku baik-baik saja. Ayo, jangan lama-lama, nanti ada yang memergoki kita."

Ivy hanya menggeleng lemah saat melihat pelayannya mengernyit. Ia tahu Oriel mengkuatirkannya tapi sekarang bukan saatnya untuk bersantai-santai. Ada banyak orang yang sedang membutuhkan pertolongan mereka. Lothar menuju pintu kecil yang berada di bagian samping, membukanya yang memberi jalan pada Ivy serta Oriel. Setelah itu dia menyusul sambil menuntun kuda. Mereka bertiga melangkah cepat menyusuri malam gelap dan dingin. Angin musim gugur bertiup kencang, membuat daun-daun dan debu beterbangan. Tidak ada orang di jalanan karena malam ini semua warga ibu kota sedang berpesta di istana.

Mereka sesekali menepi saat beberapa prajurit istana yang berpatroli melewati jalan yang sama. Tetap tersembunyi dalam bayang-bayang gelap tanpa terlihat adalah tujuan utama mereka. Setelah berjalan beberapa waktu, mereka keluar dari pusat ibu kota menuju ke arah pemukiman penduduk yang lebih padat dengan rumah-rumah yang lebih kecil dan sederhana. Tidak ada kastil di sini karena ini adalah wilayah di mana orang-orang miskin ibu kota bermukim. Ivy terus melangkah maju, kali ini menapaki jalan setapak yang sempit dan berbatu. Di udara menguar aroma asap yang pekat bercampur dengan bau busuk seperti makanan basi. Langkah terhenti saat di depan ada sekumpulan orang-orang yang berada di pinggir jalan, tertidur beralaskan kain tipis dengan tubuh meringkuk menahan dingin. Ivy menoleh, memberi tanda pada Lothar untuk mendekat.

"Bagikan makanan dengan cepat, jangan sampai ada keributan. Aku akan memeriksa apakah ada yang sakit."

"Baik, My lady."

Ivy berjongkok di depan anak-anak, mengambil roti yang diulurkan Oriel dan menyerahkan pada mereka. Orang-orang yang semula tertidur mulai terjaga dan entah siapa yang memulai, terjadi keributan karena berebut makanan. Seorang anak kecil merengek dalam pelukan seorang perempuan kurus, Ivy menyentuh dahinya dan mendesah.

"Anak ini sakit."

Perempuan yang mendekap anak itu mengangguk. "Sudah seminggu ini demam My Lady."

Ivy merogoh kantong kulit yang ada di pinggangnya dan mengambil beberapa bungkusan. "Minum obat ini sehari dua kali. Sebelum itu, kau harus memberinya makan."

"My lady, kami terlalu miskin untuk bisa makan sehari dua kali."

Dada Ivy menjadi perih seketika. Ia menghela napas dan seketika aroma tidak sedap menguar di udara. Ia meminta Oriel mengambil bungkusan warna merah dan menyerahkannya pada perempuan yang menggendong anak.

"Biskuit ini mungkin bisa membantumu. Berikan pada anak itu saat akan minum obat."

"Terima kasih My lady."

Kericuhan meluas saat orang-orang yang tidak sabaran itu merasa kurang dengan makanan yang mereka dapatkan. Oriel yang melihat kalau Ivy dalam bahaya, menarik tangannya dan berseru takut.

"My lady, sebaiknya kita pergi sekarang."

Ivy awalnya mengira kalau mereka bisa ditenangkan dengan pembagian makanan yang merata tapi ternyata dugaannya salah. Orang-orang itu kini merengsek maju dengan tidak sabaran. Lothar mencabut pedang, berteriak untuk mengatasi keriuhan.

"Siapa pun yang mencoba untuk mengusik My lady, akan menerima akibatnya!"

Untuk sesaat kerumunan itu terhenti, sampai akhirnya kembali bergerak. Orang-orang ingin menjarah kantong di atas kuda, ingin mengambil semua benda yang dipegang oleh Ivy dan tidak peduli dengan peringatan Lothar. Mereka berteriak lapar dengan tangan terjulur dan wajah beringas. Oriel yang ketakutan meraih lengan Ivy dan membawanya lari tapi terlalu banyak yang mengepung dan membuat mereka terjatuh.

Dalam keriuhan dan kekacauan, muncul tiga penunggang kuda. Dua lainnya turun untuk membantu Lothar menghalau kerumunan sedang salah seorang di antara mereka tetap di atas kuda, memacu dengan kencang mendekati Princess dan membungkuk. Dalam satu kali sentakan, meraih pinggang Ivy dan membawanya pergi.

"My lady, Princess!" teriak Oriel pada Ivy yang menjauh bersama penunggang kuda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top