Prolog

I feel like i've lost everything

***

Aku mau mati saja.

Pernah tidak berpikir bahwa mungkin saja, ada dunia lain selain dunia yang kita tempati sekarang? Seperti misalnya dunia paralel. Suatu kehidupan di mana kau akan bertemu dengan orang lain yang memiliki wajah sama persis sepertimu hanya saja dengan kehidupan yang sedikit berbeda. Namun tetap, apa yang kau miliki seperti keluarga, teman, dan yang lainnya itu tidak jauh berbeda.

Dunia paralel lah, dunia lain lah, dunia gaib lah. Peduli setan dengan dunia-dunia itu. Serta bagaimana orang-orang maniak teori menggali habis setiap dunia tersebut sudah seperti menikmati tayangan film favorit sambil mengemil popcorn dan satu gelas soda, hanya untuk memastikan apakah dunia-dunia tersebut ada atau mungkin tersembunyi. Dunia apapun namanya, tolong bawa Jay ke sana sebentar saja agar ia bisa enyah dari dunia tempat ia berpijak saat ini.

Sehari saja―tidak, satu jam saja. Biarkan Jay beristirahat dengan layak, maka setelah itu dia bisa kembali menjalani rutinitas nerakanya seperti biasa. Biarkan dia bernapas sejenak.

Namun, Jay tetaplah Jay. Dengan kehidupan yang miris, merana, dan miskin. Sudah macam para gadis di cerita-cerita dongeng yang disampaikan ibu-ibu sebagai pengantar tidur anak-anak mereka. Butuh pertolongan dari para pangeran tampan berkuda putih dan memiliki gudang penuh dengan emas. Oke, tentu saja untuk kasus Jay dia tidak butuh seorang pangeran. Gila saja, Jay masih normal, Bung.

Tujuh belas tahun dia sudah hidup. Bukan waktu yang singkat, sampai-sampai Jay sudah berhenti berharap akan ada satu saja orang yang bisa menolongnya untuk keluar dari penderitaan ini. Jay sudah remaja, sudah menduduki kelas dua SMA. Sudah tahu dengan jelas. Sudah belajar banyak. Sudah teramat mengerti. Bahwa we are our own survivor nampaknya akan menjadi prinsip yang Jay pegang teguh hingga saat ini.

Hanya saja, apa yang harus Jay lakukan jika dia saja sudah merasa kehilangan dirinya sendiri? Hampa, kosong, hilang. Jay bahkan sudah merasa bahwa kini tubuhnya itu hanyalah wadah kosong yang tak berisi. Yang sebentar lagi mungkin akan dibuang karena tidak berguna.

Kalau sudah seperti itu, siapa yang bisa menyelamatkan Jay?

Mata Jay berkilat senang. Ingat bahwa Jay mengatakan bahwa dia ingin pergi ke dunia mana pun itu agar ia bisa setidaknya ... istirahat? Jay tahu bahwa dunia-dunia lain itu hanya ada di film-film atau buku fantasi yang dia baca. Seperti ketika empat bersaudara masuk ke dalam lemari dan menemukan dunia lain di sana, atau ketika Alice mengikuti kelinci dan jatuh ke dalam lubang sehingga sampai ke dunia yang disebut Wonderland. Ingat, Jay, itu semua hanya khayalan manusia.

Hanya saja, Jay sepertinya tahu dunia lain yang ada dan mungkin bisa dia datangi. Tidak perlu repot-repot membayar mahal. Bukankah cukup dengan satu goresan saja? Cukup itu, maka Jay yakin dia bisa pergi dengan tenang. Lagipula, kehidupan di dunia ini juga sudah seperti neraka baginya. Dia tidak seperti Percy Jackson yang membayar mahal untuk ke dunia bawah dengan dracma agar bisa kembali ke dunia atas. Karena sepertinya bisa dipastikan bahwa Jay tidak akan pernah kembali.

Jay duduk dengan kaki yang diluruskan. Tidak peduli lagi dengan celananya yang kotor terkena tanah. Almamaternya sudah dimasukkan ke dalam tas dan sekarang hanya tersisa seragam kemeja putih berlengan panjang yang ia pakai. Sebelum pergi, sepertinya dia harus berpamitan dulu kepada dunia. Suara kicauan burung yang membuat Jay merasa sedikit damai tiap pagi, terpaan angin lembut yang singgah di wajahnya, atau mungkin aroma masakan warung Bi Ina setiap kali Jay melewatinya. Semua itu, akan ia rindukan dan mungkin esok tidak akan ia jumpai lagi.

Jay mengerang sakit ketika hendak mengganti posisi duduk karena mengenai luka memar di bawah dadanya. Lantas, menahan sedikit, ia akhirnya berhasil bergesar dan menempati posisi nyaman. Setidaknya, sebelum mati ia harus berada di posisi nyamannya, bukan?

Jay tidak membuang waktu. Melinting lengan seragam sampai siku memperlihatkan bekas-bekas merah dan memar yang bertolak belakang dengan kulit putihnya. Tersenyum bak orang gila yang biasa dilihatnya setiap pulang sekolah, tidak sabar rupanya untuk segera angkat kaki dari dunianya saat ini.

Para setan sudah mulai melancarkan aksinya ketika tangan Jay mendadak gemetar dan sepercik keraguan mulai menghampiri dirinya. Seperti, apakah dia memang seberani itu? Lantaran melawan orang yang selama ini menyakitinya saja Jay tidak mampu. Bersembunyi macam pengecut atau berlari menjauh layaknya seekor tikus yang melarikan diri dari kejaran kucing.

Baiklah, Jay. Kamu terlalu banyak bicara, pengecut yang tidak langsung bertindak.

Iblis-iblis di sisi kirinya sepertinya tengah bersorak girang, atau mungkin sedang berlompat-lompat sambil bertepuk tangan dengan senyum lebarnya tatkala seragam milik Jay perlahan berubah warna ketika cairan pekat itu mulai mengalir dan membentuk noda merah di sana.

Jay meringis tentu saja. Menahan sakit dan perih di tangan kirinya. Membiarkan kedua tangannya terlungkai lemas dan tinggal menunggu saat-saat di mana dia akan mati tergeletak di belakang sekolah ini. Berharap saja mayatnya ditemukan sebelum dia membusuk dengan mengenaskan.

Kepala Jay menengadah, mata terpejam, dan bibir bawah yang tergigit cukup kencang sampai Jay bisa merasakan sedikit rasa-rasa besi nan asin bercampur dengan air liurnya. Sudah berapa lamakah? Jay tidak menghitung waktu, yang pasti ketika matanya sudah mulai berkunang dan kesadarannya semakin menipis, Jay tertawa getir. Menyadari bahwa ini adalah saat-saat terakhirnya di dunia.

Besok, dia mungkin tidak akan lagi bisa bermain dengan kucing peliharaannya, berebut remot televisi dengan kakaknya, atau berlomba lari untuk bisa menggunakan kamar mandi terlebih dahulu. Rumah akan kehilangan salah satu penghuni.

"Selamat tinggal Mama, Kak Ivan. Jay pergi-"

"JEREMY!"

Ucapan lirih dan sekarat itupun terputus lantaran pekikan keras nan melengking dari sisi kanan tubuhnya. Di sisa-sisa kesadarannya, Jay melihat murid perempuan dengan seragam yang sama sepertinya berlari tergopoh. Berjongkok di hadapannya dengan mata membeliak dan panik luar biasa.

"Bocah sinting! Kalau mau mati setidaknya yang bermartabat sedikit!" Perempuan itu berseru panik.

Jay memerhatikan dalam diam, mengerjap beberapa kali sebelum berucap lirih, "Ryu?"

"Ya! Ini aku!" Ryu merampas pisau lipat yang ada di tangan kanan Jay. Melemparnya jauh-jauh sampai Jay sendiri tidak tahu kemana pisau itu mendarat.

Seolah sudah paham akan keadaan, serta melihat bibir Jay yang semakin memucat. Ryu dengan gesit melepas almamater seragamnya. Bermaksud mencegah darah mengalir semakin banyak jika saja lelaki itu tidak kembali menarik tangannya kasar, "Tidak. Jangan menolongku."

"Kamu gila!" Ryu membentak, mencoba menahan diri untuk tidak panik dan bertindak bodoh, "Setidaknya kalau mau mati, pilih cara yang sedikit terhormat. Mati dimakan singa jauh lebih baik daripada harus bunuh diri begini. Otakmu di mana, sih? Hewan saja yang tidak berakal tidak pernah tuh mau membunuh dirinya sendiri."

Sembari berseru keras. Ryu juga bersikeras kembari meraih tangan kiri Jay yang tengah disembunyikan lelaki itu di balik punggungnya. Tak memedulikan dorongan lemah Jay agar dia semakin menjauh. Untuk saat ini, Ryu rasanya benar-benar harus menahan diri untuk tidak memukul kepala Jay. Memastikan saja barangkali ada saraf Jay yang bermasalah dan butuh kembali diluruskan.

Jay menarik satu sudut bibirnya, mengeluarkan tawa sumbang yang sangat amat tidak enak untuk di dengar, "Orang sepertimu ... kenapa harus peduli? Aku bukannya orang yang patut untuk dipedulikan, Ryu. Berhenti menyusahkan diri dan terlibat masalah."

"Sinting! Kamu pikir aku setan? Aku masih manusia, tahu! Tentu saja aku peduli." Ryu membuat simpul asal dengan dua lengan almamaternya, memastikan ikatannya cukup kuat agar darah itu tidak kembali mengalir dan semakin membuatnya mual.

"Bisa berdiri, nggak?" Ryu bertanya, menatap Jay yang tidak mengalihkan pandangan darinya sejak tadi. Tatapan kosongnya, membuat Ryu menyimpulkan bahwa lelaki ini sudah pasrah dan juga sekarat.

Menghela napas panjang, lantas Ryu mengambil tas hitam usang milik Jay. Menyampirkan di kedua tangannya dan memosisikan depan dada. Ia berdiri, membersihkan debu-debu halus yang mengotori rok seragamnya.

Tangan Ryu terulur, berniat membantu Jay berdiri, "Oke, ayo bang―hei! Jangan pingsan! Kamu harus tetap sadar!"

Plak!

Jay sedikit tersentak lantaran tamparan keras Ryu yang mendarat di pipinya. Menimbulkan bekas kemerahan di sana. Hanya saja, rasa-rasanya Jay benar-benar mengantuk. Sangat mengantuk sampai-sampai rasanya dia tidak tahan lagi jika Ryu tak henti-hentinya menampar pipi putih milik Jay.

"Nggak bisa gini. Ayo, kamu harus naik ke punggungku." Ryu menggumam.

Sekalipun tubuh Jay benar-benar kurus. Terutama jika dibandingkan dengan teman-teman kelasnya, tetap saja fakta bahwa dia berjenis kelamin laki-laki membuat Ryu harus bekerja dua kali lipat untuk menggotong tubuh yang lebih besar juga darinya. Dengan cekatan, gadis itu membelakangi Jay. Mengamit dua tangan Jay dan membantu lelaki itu mengalungkan tangan di lehernya.

"Oke, kamu harus hidup. Aku nggak mau dituduh jadi pembunuh. Masa depanku masih panjang. Aku bahkan belum sempat pacaran sama Calum Hood."

Jay tidak habis pikir. Darimana sebenarnya asal rentetan kalimat yang diutarakan Ryu? Maksudnya adalah, di situasi genting seperti ini, gadis itu nampaknya masih punya banyak sekali stok kalimat untuk diucapkan.

"Oke, sekarang kita bangun sama-sama, ya? Hitungan ketiga, satu, dua, ti-ga!"

Sesuai intruksi, Jay bangkit dari posisinya. Tetap mempertahankan kesadaran sesuai dengan pinta Ryu. Membiarkan gadis itu menggeret badannya susah payah dengan napas yang tersenggal. Sehingga suara antara sepatu mereka dengan tanah yang saling menggesek itu terdengar nyaring.

"Bawa tas kakak! Setelah itu, cepat lari ke pak satpam untuk bantu kakak bawa bocah ini. Bisa?"

Jay mendengar samar-samar Ryu berbicara tegas pada seseorang. Di tengah sisa-sisa kesadarannya, juga pandangannya yang semakin mengabur, Jay melihat satu anak kecil di dekat mereka. Rambutnya yang diikat dua bergoyang ketika mengangguk berkali-kali. Terdengar suara langkah kakinya yang cepat melaksanakan intruksi dari Ryu. Pun di penglihatannya yang mengabur, Jay bisa melihat anak itu berlari mendahului mereka untuk segera meminta bantuan.

"Padahal badanmu kurus kering begini. Yang berat apa, sih? Tulang?" Gerutu Ryu. Kedua kakinya berusaha keras melangkah―tidak―lebih tepatnya adalah menyeret. Karena dia tidak sanggup untuk sekadar mengangkat kakinya barang satu senti saja saat di punggungnya ada tubuh manusia yang harus diangkut. Jadi, tidak apa-apa harus menyeret kaki yang penting dia bergerak dan bisa membawa tubuh Jay sekalipun tidak dalam waktu yang cepat.

"Bagus sekali. Aku sudah seperti pembunuh berantai di film The Lovely Bones. Omong-omong kayaknya kamu harus nonton itu, deh. Supaya kamu tahu kalau mati itu nggak lantas bikin kamu pergi dan bebas gitu saja." Ryu kembali mengoceh sepanjang langkah mereka menjauh.

Hanya untuk memastikan agar Jay tidak kehilangan kesadarannya meskipun dalam hati, gadis itu setengah mati panik dan harap-harap cemas agar Jay masih bisa di selamatkan. Serta mencubit pergelangan tangan Jay saat dirasanya lelaki itu sudah mulai melemah dan suara kakinya tidak lagi terdengar melangkah guna membantu Ryu berjalan.

Kendati kesadaran Jay sudah mulai menurun dan pandangan yang mengabur. Namun di sisa kesadaran yang dimiliki, ia masih sempat mendengar Ryu berkata.

"Kamu akan baik-baik saja. Aku janji."

Jay tersenyum tipis, jadi begini rasanya menjadi seorang putri malang yang sedang ditolong oleh pangeran berkuda putih?


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top