40. Hiraeth


hiraeth/ˈhirˌīTH/

(n.) (especially in the context of Wales or Welsh culture) deep longing for something, especially one's home.

*****


Menatap deretan gemintang yang menghiasi malam. Jay sudah tak menghitung sudah berapa lama ia berdiri, sudah berapa orang yang lalu-lalang melaluinya, dan sudah berapa pengunjung yang berganti di sekitarnya.

Seperti dihantam oleh beban berat di tubuhnya. Atau mungkin lebih seperti kepala yang tiba-tiba disiram air es. Dingin membuat dia rasanya hampir mati. Terkejut dan tidak bisa merasakan apa-apa selain kepala yang rasanya mati rasa.

Dalam kasus ini karena membicarakan masalah hati, bukan berarti hati Jay sudah mati. Lelaki itu masihlah memiliki hati yang hanya saja membedakannya akan diberikan kepada siapa.

Sudah lima hari berlalu dan Jay sama sekali belum bisa memutuskan.

"Kenapa melamun, Jay?"

Lelaki itu menoleh saat Ivan datang menghampiri. Mengambil tempat di sampingnya dengan sepotong burger murah yang ia beli di pedagang keliling untuk sekadar mengganjal perut kosong mereka sejak tadi.

"Kak Ivan sudah datang. Katanya agak telat."

"Reuninya selesai lebih cepat. Pada banyak yang punya urusan mendadak."

Jay mengangguk, "Oh, gitu."

"Oke, jadi sekarang kamu kenapa? Patah hati?"

Jay tidak tahu bagaimana Ivan selama ini benar-benar pandai untuk menilai perasaan hatinya. Semua tebakan yang entah bagaimana mungkin bisa tepat sasaran seolah Jay tidak punya lagi alasan untuk berbohong di hadapannya.

"Nggak patah hati juga, sih, Kak," elak Jay.

Ivan tertawa kecil, "Masalah cewek?"

Jay mengangguk.

"Kenapa?"

"Aku bingung. Ternyata, orang yang ku pikir aku cinta karena alasan yang aku pegang teguh selama ini, bukan orang yang seharusnya aku berikan perasaan itu."

"Lalu?"

"Cewek yang dulu ketemu sama Kakak. Lamia. Ternyata dia yang nolongin aku selama ini. Dia orang pertama yang nemuin aku. Ryu ... hanya sebagai jembatan antara kami saja."

Ivan agaknya sudah teramat paham. Sudah mengerti arah pembicaraaan ini lantaran Jay yang juga tidak berniat menyembunyikan apapun dari Kakaknya.

"Menurut Kakak, kamu bisa lebih dahulu nyoba untuk jalanin sama Lamia." Menjawab dengan nada teramat santai, Jay mengernyit bingung.

"Maksud Kakak?"

"Di luar sana banyak orang-orang menikah dengan perjodohan, dan banyak dari mereka yang pada akhirnya berjalan bahagia dan saling mencintai satu sama lain. Kalau kamu ragu dan penasaran, kamu bisa coba saja dulu."

"Tapi nanti aku justru semakin nyakitin dia, Kak."

"Gimana kalau lihat dari sisi positifnya? Semisal kamu yang pada akhirnya bisa menemukan kebenaran akan perasaanmu dan jatuh cinta sama dia?"

Kak Ivan memanglah orang yang pintar membalikkan kalimat. Itulah sebabnya Jay juga pintar melakukan hal yang serupa, lantaran menurun dari Kakaknya. Dan lelaki itu nampaknya masih tetap santai di suapan terakhirnya saat Jay belum bisa menelan bahkan satu gigit saja.

"Lamia perempuan baik," Ivan menggumam, "dia bukan perempuan banyak mau, banyak syarat, manja, dan ngerepotin. Di mata Kakak, dia justru gadis yang kuat, hebat, mandiri, dan berpendirian teguh. Terbukti dari gimana dia memperlakukan kamu selama ini."

Meraih burger milik Jay yang masih utuh untuk mengambil setengahnya lantaran perut yang masih minta untuk diisi, Ivan menyahut ringan, "Kalau kamu jadi sama dia, Kakak bahkan sudah memberikan restu untuk kamu saat ini."

Jay masih diam, mendengar nasihat si sulung dengan baik. Ivan tersenyum simpul, "Dia sudah berjuang untuk kamu selama ini, sekarang giliran kamu yang berjuang untuk dia. Ada kalanya, sesuatu yang kamu cinta itu nggak baik untuk kamu, dan sesuatu yang kamu benci itu justru yang terbaik untuk kamu."

Menepuk pundak adiknya dua kali, Ivan tersenyum hangat, "Perempuan sebaik dia sayang sekali dilepaskan begitu saja."

Duh, memang Kak Ivan dengan semua ucapannya yang langsung mengenai hati.

***

Kesal setengah mati lantaran Ryu dan Hobi yang membatalkan secara sepihak acara menonton mereka. Lamia berkali-kali merutuk kesal karena sudah berpakaian lengkap dan hendak pergi tiba-tiba saja sepuluh menit yang lalu, saat ia hendak keluar dari rumah, satu telepon dari Hobi langsung dia terima. Harus pergi kembali lantaran ada urusan keluarga katanya.

Sebenarnya Lamia sudah membujuk agar Ryu tidak perlu ikut. Namun ia tidak kuasa melawan Hobi dengan segala ocehannya yang mengalahkan ayam di musim kawin. Rentetan kalimat yang tidak terima lantaran calon istri yang tidak diikutsertakan dalam urusan keluarga besar itu terus mendengung di telinga Lamia sampai-sampai gadis itu harus menjauhkan dahulu ponselnya dan berakhir dengan erangan kesal dengan tubuh yang jatuh di atas sofa.

Belum selesai sampai sana. Suara bel rumahnya yang tak henti berbunyi kembali membuat ia kesal. Siapa pula yang memencet bel di saat ia sedang dalam kondisi kesal setengah mati begini? Duh, kalau sudah begini Lamia jadi menyalahkan orang-orang yang tak bersalah, kan?

"Hai."

Melihat heran dengan rasa menggebu yang ditahan mati-matian. Lamia yang semula hanya menyembulkan setengah badannya itu lantas membuka pintu rumahnya lebar-lebar. Tanpa sadar genggamannya pada gagang pintu mengerat. 

"Kak Jay? Ada apa? Kak Ryu sama Kak Hobi lagi nggak ada di sini." Mencoba berkilah dengan alasan lain lantaran hati tidak mau berharap banyak.

"Aku ke sini nyari kamu."

Lamia menyipit tak mengerti, "Ngapain nyari La ke sini?"

Bruk!

Lamia terhuyung dengan tubuh besar Jay yang tiba-tiba saja memeluknya. Merengkuhnya erat sampai-sampai gadis itu sedikit sesak lantaran Jay yang seolah enggan untuk melepaskan dirinya lebih lanjut. Justru semakin merengsek dengan kepala yang mulai berada di ceruk leher Lamia. Bahkan gadis itu belum melakukan apapun, belum sempat mencerna keadaan lantaran kedatangan lelaki yang sangat ia hindari tiba-tiba datang untuk mencarinya. Maka, jangan heran jika perlakuan Jay itu bisa membuat Lamia sedikit kaget dengan kepala yang mendadak kosong.

"Kak? Kenapa? Kenapa tiba-tiba nyari La ke sini?"

"Maaf."

Lamia menghela napasnya. Dia tidak boleh lemah seperti ini. Dia haruslah kuat dan menjadi Lamia yang berpendirian teguh seperti biasanya. Jangan goyah, Lamia. Jangan goyah.

"Kita sudah selesai, Kak. Kalau ke sini cuman untuk ngerasa bersalah, lebih baik Kakak pergi saja. La sudah memaafkan semuanya."

Namun Jay justru menggeleng. Semakin mempererat pelukannya, "Maaf karena sudah menyia-nyiakan cinta kamu selama ini."

Melepas pelukan mereka perlahan dengan dua tangan yang masih betah menempel di bahu gadis itu, Jay menatap Lamia lekat-lekat, "Kamu tahu, tapi kenapa kamu nggak kasih tahu aku selama ini?"

"Tahu apa?" Lamia masih bingung dengan sikap Jay yang tiba-tiba dan pembicaraan melanturnya barusan.

"Sembilan tahun yang lalu," tegas Jay, "kamu ada di sana, kan? Kenapa kamu nggak kasih tahu aku?"

Ah, jadi ini permasalahannya. Pada akhirnya Lamia mulai paham ke mana arah pembicaraan ini.

"Kalau aku tahu, mungkin aku sudah―"

"Kalau Kakak tahu lebih dulu," potong Lamia cepat, "mungkin kita nggak bakalan ngalamin ini,mungkin kita bakalan lebih cepat untuk bersama. Mungkin kita bakalan lebih cepat untuk menjadi sepasang kekasih. Begitu?"

Jay mengangguk.

Lamia tersenyum, "Kalau Kakak tahu lebih dulu, mungkin saja perasaan Kakak nggak akan tulus. Perasaan Kakak hanya berlandaskan kasihan dan rasa hutang budi, serta pelampiasan karena tidak bisa mendapatkan Kak Ryu. Dan Lamia nggak mau mendapatkan itu semua."

"Lamia mau, Kakak mencintai Lamia dengan tulus. Sama seperti bagaimana perasaan Lamia selama ini."

Tangan Jay terangkat, menyentuh pipi Lamia dan mengelusnya lembut dengan ibu jarinya. Mata pemuda itu tidak sekalipun lepas dari sosok cantik di hadapannya yang kini membuat jantungnya berdebar bukan main, "Maaf karena selama ini meragukan ketulusan kamu."

Satu kecupan di dapatkan Lamia pada puncak kepalanya. Cukup lama dan aroma vanilla kembali menghampiri penciuman Jay. Aroma yang ia rindukan selama ini.

"Maaf karena sudah menyakitimu selama ini," bisiknya pelan.

Kembali merengkuh Lamia ke dalam pelukannya. Dengan dagu pria itu yang berada di puncak kepalanya. Mengecup tanpa henti seolah memberikan banyak afeksi yang selama ini tidak ia sadari, yang selama ini tidak ia hirau. Jay pada akhirnya melanjutkan ucapannya.

"Jay cinta La. Cinta sekali."

Ucapan itu nampaknya bukanlah ucapan cinta seperti yang biasa Lamia dengar. Lantaran sebuah nada putus asa yang dia dapatkan.Apa Kak Jay baik-baik saja selama ini? Entah bagaimana, pun mengingat bagaimana sorot mata Jay yang mengarah kepadanya seolah menjadi sebuah kesimpulan valid bahwa pria itu tidak dalam kondisi baik selama ini.

Kantung matanya dengan pipi yang menirus itu seolah memperjelas semuanya. Apa Jay selama ini tidak baik-baik saja?

Lamia merasakan bagaimana pipinya bersinggungan dengan pria itu dan dagu Jay yang pada akhirnya bertumpu di pundaknya.

"Aku pulang, Lamia," bisiknya, "tidak bisakah kamu menerimaku sekali lagi? Menjadi rumah terakhirku dengan satu kesempatan terakhir yang nggak akan aku sia-siakan."

Pada nyatanya. Jay memang lelaki dengan sejuta pesonanya yang tidak bisa membuat Lamia berpaling. Berawal dari keraguan sampai gadis itu pada akhirnya dengan yakin melingkarkan tangan di pinggang Jay untuk membalas pelukannya. Seolah semua kewarasan yang kembali ia bangun selama ini runtuh dengan pertahanan kuat yang berakhir sia-sia.

Pernyataan cinta yang cukup menampar hatinya. Menyentil sisi lain dalam hati yang sudah sepenuhnya goyah. Air mata yang menetes perlahan itu seolah membawa perasaan haru yang memenuhi dirinya. Pada akhirnya, usahanya tidak sia-sia. Pada akhirnya harapannya selama ini bukan hanya berakhir sebagai khayalan. Pada akhirnya, perasaan itu tidak kembali bertepuk sebelah tangan.

Pada akhirnya satu anggukan menjadi sebuah hasil akan perjuangan Jay kali ini.

"Welcome back, Jay."[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top