39. Amenable


a·me·na·ble
/əˈmēnəb(ə)l,əˈmenəb(ə)l/

(adj.) (of a person) open and responsive to suggestion; easily persuaded or controlled.

*****

Keduanya memilih tempat yang bagus. Daripada berbicara terkait hal yang serius di dalam restoran dengan berbagai hal yang ditakutkan akan terjadi dan menjadi tontonan publik secara gratis, baik Jay dan Ryu memilih untuk pergi ke tempat lain yang lebih aman dan kondusif. Sebuah taman yang berada tidak jauh dari restoran Hobi dengan menggunakan mobil Ryu. Menitipkan Lamia bersama Hobi untuk beberapa saat dengan dalih Ryu mempunyai urusan lain.

"Kamu mau ngomong apa?"

Sebelum berbicara, Ryu terlebih dulu menghela napasnya. Nampak tidak begitu nyaman kendati tetap bertahan untuk membicarakan sesuatu yang menurutnya cukup penting tersebut.

Sesuatu yang sejak lama menjadi rahasianya.

"Sebelumnya, maaf nggak pernah respon kamu. Aku cuma marah sama seseorang yang udah nyakitin adik aku gitu aja."

Jay mengangguk paham.

Ryu melanjut, "Lamia masih adik aku. Wajar kalau aku marah sama siapapun itu, dia keluargaku. Sekalipun kamu sahabatku, tapi menurutku Lamia tetaplah Lamia. Adik kecil yang udah selalu sama aku sejak dulu. Jauh sebelum aku ketemu sama kamu."

"Iya, Yu. Aku ngerti."

"Bagus kalau begitu. Aku cuma mau perjelas itu. Supaya kamu juga tahu apa salah kamu. Sekalipun ini memang benar-benar bukan salahmu. Tetap saja aku marah."

"Iya."

Sekali lagi Jay hanya menyahut serupa. Bukan bagaimana, dia juga harusnya sadar diri tentang posisinya yang tentu saja tidak sebanding dengan Lamia yang sudah bersama sahabatnya itu sejak lahir. Tentang bagaimana perasaan seorang kakak dan naluriahnya yang melindungi si kecil. Persis seperti bagaimana kerasnya Ivan ketika melindunginya dari Mama dulu bahkan hingga saat ini.

Maka dari itu untuk sekali lagi Jay mengerti.

"Aku nggak akan tanya apa yang buat kamu nggak suka Lamia. Itu privasi dan aku masih menghargai itu. Aku cuman mau bilang sesuatu. Sebuah hal yang selama ini aku simpan sendiri. Sesuatu yang ku pikir awalnya tidak penting dan hal yang akan berlalu begitu saja. Namun Tuhan memang punya banyak kejutan untuk kita. Jadi, kupikir aku wajib sebarin kisah ini."

Mengernyit bingung. Jay bisa melihat bagaimana Ryu mulai berdeham dan memperbaiki posisi duduk menjadi lebih nyaman untuk memulai cerita. Pun dengan sebuah kalimat yang membuat Jay tercengang. Terkejut bukan main dengan mata yang membulat sempurna.

"Orang yang menemukanmu nyaris bunuh diri di belakang sekolah itu bukan aku," menoleh sejenak pada Jay di manik matanya, Ryu melanjut, "tapi Lamia."

•••Masa putih abu-abu (sembilan tahun silam)•••

Gadis kecil itu hanyalah seorang anak yang dengan rasa penasaran serta ingin tahu luar biasa tinggi. Kepercayaan diri setinggi langit dengan sifat ramah tamah yang kelewat batas. Tak mengindahkan ucapan supir pribadi keluarga mereka untuk tetap menunggu Ryu di dalam mobil, Lamia justru keluar. Berlari kecil manakala menangkap satu presensi gadis yang tak asing lagi untuknya.

"Kak Ryu!" pekik Lamia. Dua tangannya terentang lebar dan menubruk Ryu langsung ke pelukannya. Membuat gadis itu limbung sejenak sebelum akhirnya terkekeh lucu melihat Lamia yang menghampirinya seperti biasa.

"Kenapa nggak tunggu di mobil, sih?" tanyanya.

Lamia menggeleng, "Lama. Bosan. Lagian La juga pengin lihat sekolahnya Kak Ryu. Oh, iya. La kebelet pipis. Temanin bentar, yuk." Menarik-narik tangan Ryu dengan kedua kakinya yang bergerak gelisah.

Ryu menggelengkan kepalanya tidak habis pikir, "Ya sudah. Ayo. Kak Ryu temani."

Semula semuanya berjalan dengan biasa. Dua tangan yang saling bergandeng itu berjalan menuju toilet perempuan yang letaknya tidak jauh dari gerbang sekolah. Ryu lebih memilih untuk mengambil tempat terdekat agar tidak jauh jika harus kembali.

"Sudah, La?"

"Sebentar lagi."

"Yaampun, cek isi tas." Ryu memang orang yang ceroboh. Seringkali meninggalkan barang-barangnya di kelas sehingga berakhir dengan ocehan Mami di rumah. Gadis itu selalu diajarkan untuk selalu mengecek perlengkapan sekolahnya sebelum pulang. Maka menjadi anak berbakti dan menerapkan ajaran orang tua tanpa protes. Dibukanya lagi tas itu, mengecek satu per satu barang yang ada di sana.

"Sial. Buku catatanku pasti ketinggalan di kelas."

Mendengkus kesal lantaran mengingat kelasnya yang terletak cukup jauh sehingga harus melewati setidaknya satu gedung dengan letak kelas paling pojok di gedung tempatnya berada. Artinya, sama saja dengan dia harus melewati dua gedung.

"Kak Ryu kenapa?"

Menggeleng lemah, "Mau ambil buku dulu. Ketinggalan. Mau ikut atau tunggu di mobil?" tanyanya seraya menyerahkan tas merah muda milik Lamia.

"Ikut saja, deh. Sekalian mau lihat sekolah Kakak gimana."

Ryu pada akhirnya mengangguk menuntun langkah adiknya untuk melewati tiap-tiap ruangan dengan kepala sang adik yang celingukan sana-sini sembari ber-'wow' ria dan tak hentinya berdecak kagum.

Ryu terkekeh ringan melihat respon adiknya. Memang, sih. Sekolah bagus dan bergengsi macam sekolahnya itu tergolong bagus. Cukup menjadi daya tarik bagi banyak siswa untuk mendaftar di sana. Tidak terkecuali Lamia yang katanya juga mau melanjut di sana. Katanya, sih.

Meminta Lamia untuk diam di depan kelas selagi Ryu mengambil buku catatannya. Gadis itu melangkah menuju bangku nomor tiga dan pada akhirnya mengambil buku miliknya untuk kembali dimasukkan ke dalam tas.

"Lamia?"

Ryu memanggil heran. Bingung sekaligus panik lantaran adiknya yang tidak ada di sekitar pun setelah berkali-kali mengudarakan panggilan yang tidak mendapatkan satupun sahutan.

Ryu sudah kepalang panik. Gadis itu bahkan lekas menggunakan tasnya dan mengikat tali sepatu lebih erat. Hendak berlari sekuat tenaga mencari keberadaan Lamia di seluruh penjuru sekolah jika saja tidak ada satu tarikan tangan yang mencengkramnya.

"Kak Ryu!"

"La? Kamu nggak apa-apa?" Ryu bertanya khawatir lantaran panggilan seruan dari Lamia. Ditambah melihat wajah adiknya yang pucat pasi. Begitu ketakutan dengan tubuhnya yang sedikit gemetar.

"I-itu―"

"Itu apa?" desak Ryu saat tidak juga mendapatkan jawaban. Jemari Lamia justru menunjuk dengan tangan yang bergetar mengarah pada belakang sekolah.

"A-ada orang yang lagi main silet. Kan bahaya."

"Kalau begitu ayo pergi! Bahaya!" Ryu menarik tangan adiknya. Tidak mau mencari masalah lantaran sesorang yang disebut itu memegang sebuah benda yang berbahaya. Dia tidak mau ambil resiko seperti yang ada di pikirannya. Tidak saat ia membawa serta Lamia bersamanya.

"Jangan, Kak!" Lamia menahan pijakannya. Menarik kembali tangan Ryu saat kakaknya itu hendak pergi, "Orang itu pakai seragam yang sama kayak Kakak. Dan dia ... nyilet tangannya sendiri."

"APA?!"

Lamia mengangguk mantap. Mencoba kembali meyakinkan, "Darahnya banyak sekali. Kita harus nolongin dia. Kalau nggak nanti dia bisa mati!"

Menggigit bibir bawah lantaran ragu yang terus menghampiri. Juga kemungkinan buruk yang mungkin saja bisa terjadi. Ryu hampir saja memilih menolak dan berlari mencari orang lain jika Lamia tidak kembali mendesaknya.

"Ayo, Kak!! Kita harus nolongin dia dulu!"

Baiklah. Ryu pasrah ketika Lamia mulai menariknya. Membawa Ryu menuju tempat seperti yang ditunjukkan oleh Lamia.

Maka ketika satu sosok tak asing itu menyapa indranya. Ryu tidak bisa untuk tidak berteriak dengan kepanikan yang langsung menghampiri tubuhnya. Seolah ditampar keras lantaran anak lelaki yang tengah bersimpuh dengan dua tangan terlungkai lemas dan darah yang terus mengalir dari tempat yang vital itu adalah orang yang ia kenal selama ini.

"JEREMY!"

***

Jay seolah kehilangan pasokan kata. Otaknya mendadak seperti kehilangan kinerja lantaran sesuatu yang ia pikir benar selama ini pada nyatanya tidak sepenuhnya benar. Selagi lelaki itu mencoba untuk memaksakan otaknya agar bekerja baik dan mencerna keadaan, Ryu berucap.

"Posisinya di sini adalah aku sahabatmu dan aku juga sebagai kakak Lamia. Aku memang nggak tahu persis bagaimana kehidupan cinta kalian selama ini, tapi yang aku lihat ... kamu sudah jatuh pada Lamia, Jay ."

"Apa maksud kamu?"

"The way you look at her and the way she look at you," ucap Ryu, "everything is just the same. Kamu hanya nggak sadar itu."

Jay menggeleng, mencoba untuk menyangkal, "Aku hanya ngerasa bersalah aja sudah nyakitin dia selama ini, Yu. Aku nggak ada apa-a―"

"Hobi juga bilang begitu," potong Ryu, "dan aku juga setuju sama Hobi. Bahwa mungkin perasaan yang mengganggu kamu selama ini bukanlah rasa bersalah ... melainkan sebuah rasa tidak rela kehilangan dia."

Ryu mengikis jarak mereka. Menatap Jay tepat di manik matanya, "Sadar atau tidak. Lamia sudah menjadi bagian dari hidupmu. Bahkan sudah sangat lama."

Mengambil jeda dengan satu tarikan napas untuk dihembuskan Ryu. Jay mencerna sedikit demi sedikit memori yang langsung membawanya kepada sembilan tahun silam. Hari di mana ia bertemu dengan Ryu. Hari di mana ia menganggap gadis cantik yang tengah duduk di sampingnya ini adalah penyelamat hidupnya. Seseorang yang memberikan banyak cahaya serta tujuan hidup untuknya. Bersama dengan Hobi membimbing Jay untuk menjadi orang yang lebih baik. Lambat laun membuat Jay sadar bahwa itu adalah saat di mana ia mulai menjatuhkan hatinya pada Ryu. Cahaya hidupnya.

Namun ternyata Jay salah. Sangat salah sampai-sampai lelaki itu tidak sadar menaruh hati di orang yang tidak seharusnya ia berikan. Karena di balik itu, ternyata ada sebuah kenyataan bahwa ada orang yang lebih berhak untuk diberikan hati yang Jay miliki. Perasaan dalam yang ia simpan baik-baik yang barangkali awalnya hanya untuk Ryu.

Dan setelah mendengar penjelasan ini, apa Jay masih bisa menaruh hatinya untuk Ryu?

"Lamia sudah tahu?"

Ryu mengangguk, "Dia tahu sejak lama. Cuman dia nggak mau kasih tahu kamu. Katanya, biar kamu tahu sendiri dan bisa milih. Nggak tahu kenapa tapi dia bilang begitu."

Ya, karena dia nyuruh aku untuk milih kamu atau dia.

"Apapun yang terjadi sama kalian," Ryu kembali berujar bersamaan dengan tubuhnya yang beranjak, "tolong selesaikan ini sampai selesai. Pikirkan kembali perasaanmu. Apa hanya rasa bersalah atau memang karena cinta yang kamu sendiri tidak sadar akan hadirnya. Jangan jadi keras kepala yang menolak perasaan itu. Semakin kamu tolak, dia akan semakin beringas."

Lantas memakai tas selempangnya, Ryu mengakhiri, "Aku hanya nggak tega lihat adikku sampai nangis berhari-hari karena patah hati."[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top